Eleven
D O M E S T I C
Todoroki menghalangi wajahnya ketika angin musim gugur menerpa, menerbangkan daun-daun yang berguguran di tepi jalan. Ia baru mengunjungi ibunya di rumah sakit—setelah bersusah payah meminta izin dari pihak sekolah, dokter bilang dalam waktu dekat ibunya diperbolehkan untuk pulang. Todoroki tidak sabar untuk memberitahu kabar gembira ini pada [Name].
Langkahnya terhenti di depan toko buku. Seri manga yang [Name] suka telah rilis. Todoroki menghabiskan waktu beberapa menit di depan toko untuk memutuskan apakah ia harus membeli manga sebagai kejutan atau menunda agar mereka bisa membelinya bersama di kencan berikutnya. Kakinya kembali melaju ketika ia mengambil keputusan untuk membeli manga di kencan berikutnya.
Ponsel di sakunya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Senyum terukir di wajahnya tanpa bisa ditahan ketika melihat pengirim pesan. [Name].
Aku menunggu di kamarmu saja, tidak apa-apa kan?
Tentu. Pintunya tidak kukunci. Ingin kubelikan sesuatu?
Balasan datang kurang dari satu menit. Tidak perlu. Camilan yang kemarin kau beli masih belum habis. Cepatlah pulang dan hati-hati di jalan.
Sudut bibirnya tertarik lebih dalam membayang sosok [Name] yang bersantai di kamarnya sembari mengunyah camilan. Terlepas dari penolakan [Name], Todoroki mengingatkan diri untuk mampir ke supermarket terdekat untuk menyetok camilan kesukaan [Name].
Jemarinya terhenti sejenak karena angin kencang kembali berembus. Anginnya kencang hari ini. Jangan membaca di balkon. Pastikan pakaianmu tebal.
Iya, meskipun ia tidak terlalu terpengaruh dengan perubahan suhu dan musim yang drastis, tetapi kekasihnya tidak sama. Saat cuaca terlalu dingin, kesehatan [Name] cenderung menurun. Bisa saja gadis itu mengalami serangan sesak napas dadakan. Sayangnya, [Name] terkadang keras kepala. Seringnya gadis itu tidak mengindahkan suruhannya walau demi kebaikannya juga.
Kalau begitu aku pinjam sweatermu ya? Sweater yang hitam.
Pakai saja. Tetap hangat sampai aku tiba. 20 menit lagi aku sampai.
Setelah menerima balasan untuk hati-hati di jalan dari [Name], Todoroki mempercepat langkah. Ia mampir ke salah satu supermarket, lalu mengambil keripik kentang, biskuit dan kue kering dengan merk serta rasa kesukaan [Name]. Ia berhenti beberapa saat di depan rak berisi berbagai minuman. Kopi, jus atau susu? [Name] suka ketiganya bergantung pada mood gadis itu. Tidak ingin terlalu lama, Todoroki menaruh ketiganya ke dalam keranjang kemudian membayar.
Keemasan dan cokelat kembali menyambutnya saat ia keluar. Ia sudah tidak sabar untuk menikmati pemandangan musim gugur bersama kekasihnya dari kamar asrama. Ditambah lagi saat hari libur seperti ini, asrama cenderung kosong lantaran teman-teman sekelasnya memilih untuk berada di halaman sekolah, menikmati kegiatan bebas mumpung tugas tidak terlalu menumpuk.
Ah... ia sudah tidak sabar untuk bersama dengan [Name]. Tanpa sadar, langkah Todoroki berubah menjadi lari kecil.
***
Dugaannya benar. Tidak banyak teman-teman sekelasnya yang berada di lantai satu. Hanya ada Sato, Asui dan Uraraka yang menonton acara masak-masak. Ia membalas sapaan ketiganya lalu menaruh minuman di dalam lemari pendingin tapi menyisakan satu karton susu favorit [Name]. Setelah menghangatkan susu, Todoroki membawa sepiring kue kering, segelas teh hangat dan segelas susu.
Pandangannya melembut memandangi potret indah di hadapannya. [Name] tengah bersandar di pintu balkon sambil membaca novel yang belum sempat ditamatkannya dengan mengenakan sweater hitamnya. Sweater yang pas di badannya tampak kebesaran di tubuh [Name], memperlihatkan sedikit bahunya.
Ia menaruh baki camilan di dekat [Name] sebelum mengecup ringan puncak kepala gadisnya.
"Selamat datang Shouto," [Name] menandai bukunya untuk menerima pelukan singkat dari Todoroki. "Bagaimana keadaan ibumu?"
"Dokter bilang kalau kondisinya stabil dan membaik, Ibu sudah diperbolehkan pulang," Todoroki melepas jaketnya, meninggalkan kaus putih berlengan panjang yang digulung sebatas siku. "Ibu juga titip salam untukmu."
[Name] tersenyum. "Lain kali aku ingin bertemu dengan ibumu."
Todoroki membalas senyum tapi tidak menanggapi. Ia menggeser posisi duduk [Name], menempatkan dirinya di belakang gadis itu sehingga kini punggungnya bertumpu pada pintu balkon sementara [Name] bersandar padanya.
"Sedang baca apa?" gumam Todoroki seraya menumpukan dagu di bahu gadisnya.
"Masih yang kemarin," sahut [Name], menyamankan diri dalam pelukan Todoroki. "Semalam ingin kuselesaikan, tapi aku ketiduran."
Dedaunan cokelat yang mampir ke balkonnya mengingatkan Todoroki pada sesuatu. "Kulihat seri manga yang kau ikuti sudah rilis volume baru. Mau mampir ke toko buku saat kencan nanti?"
"Boleh saja. Memangnya setelah ke toko buku, mau kemana lagi?" tanya [Name] setengah fokus seraya membalik halaman buku. "Dengan jadwal yang diberikan Aizawa-sensei, sepertinya kita tidak punya banyak waktu untuk bersantai."
"Minta izin untuk menemui ibuku," gumam Todoroki rendah, menorehkan senyum ketika iris heterokromnya bersitatap dengan netra gelap [Name]. "Setelah itu baru ke toko buku lalu mampir ke kafe kucing supaya tidak kehabisan stok, bagaimana?"
[Name] berpikir sejenak. "Memangnya sempat?"
Senyum masih terpatri di wajah Todoroki. "Berangkat pagi saja. Sorenya baru mampir sebentar. Selama tidak melewati jam malam, seharusnya tidak apa."
"Baiklah," angguk [Name] setuju. "Mungkin tidak bisa dalam waktu dekat. Aku harus melatih quirkku agar lebih luwes dan terkontrol, tidak masalah kan?"
Todoroki berdehem pelan, enggan mengusik suasana tentram di antara mereka. Ia menyesap teh dengan satu tangan, membiarkan tangannya yang lain merangkul pinggang gadisnya. Dengan jahil Todoroki mendorong kue kering ke bibir [Name], mengacaukan konsentrasi gadis itu.
"Kue kering lagi?" [Name] menggigit kue yang disodorkan oleh Todoroki. "Bukannya sudah kubilang tidak usah beli camilan dulu? Yang kemarin saja belum kumakan semua."
Todoroki mengangkat bahu acuh tak acuh. "Memanjakanmu sesekali, tidak salah kan?"
[Name] berdecak. "Tidak sesekali Shouto. Kau sudah sering memanjakanku. Waktu aku sakit, kau menungguiku hingga sembuh. Saat aku kelelahan, kau membuat teh dan memaksaku untuk istirahat lebih awal. Dan bukan sekali dua kali kau sengaja membelikan ini-itu untukku Shouto."
Todoroki menyusupkan wajahnya di lekuk leher [Name], mengulum senyum ketika gadisnya terkekeh geli karena helaian rambutnya menggelitik kulit gadis itu. "Biar saja. Lagipula siapa lagi yang memanjakanmu kalau bukan aku?"
"Yang namanya hubungan itu harus dua arah Shouto," desah [Name] pasrah. "Kalau kau yang terus-menerus memberikan ini-itu, memanjakanku, lalu apa peranku dalam hubungan ini?"
"Cukup bahagia," Todoroki menempelkan bibirnya pada bagian bahu [Name] yang tidak tertutupi sweater. "Melihatmu bahagia sudah cukup untukku."
Todoroki terkekeh pelan ketika [Name] menutup wajahnya dengan buku. Bibirnya meraih pipi [Name] yang menghangat lalu mengukir senyum saat [Name] meliriknya tajam.
"Kebiasaan menggombalmu itu dapat darimana sih?" protes [Name] masih dengan ekspresi tersipu.
Todoroki memiringkan kepala bingung. "Gombal? Kapan aku menggombal [Name]. aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
"Itu malah lebih parah lagi, sial."
Ia tidak mengerti. Kenapa malah lebih parah jika apa yang ia katakan adalah kejujuran? Ingin bertanya lebih jauh, tapi [Name] tengah berusaha untuk kembali fokus pada bacaannya sembari mengipasi wajahnya dengan tangan. Todoroki mengurungkan niat.
Todoroki memainkan ujung rambut [Name], menciumnya untuk menghirup aroma sampo gadisnya. Sesekali jemarinya menyentuh tengkuk [Name], memijat pelan tanpa mengusik fokus gadis itu. Aroma khas yang menguar dari [Name] dipadukan dengan angin musim gugur yang membawa bau khas dedaunan memberi efek menenangkan.
"Jangan memainkan rambutku," [Name] mengendikkan bahu." Nanti aku mengantuk."
"Kalau mengantuk, kau tinggal tidur saja kan?" sahut Todoroki enteng. Enggan beradu tatap dengan lirikan tajam [Name], ia memajukan wajah untuk mengecup kelopak mata gadis itu.
[Name] mendengus, tapi tidak memberi perlawanan. Todoroki semakin mengeratkan pelukan ketika [Name] merebahkan kepala di pundaknya. Tangannya tidak berhenti memilin helaian rambut gelap [Name], sesekali membiarkan angin menerbangkannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa gadisnya telah terlelap.
"Manis sekali," bisik Todoroki mengamati wajah tertidur kekasihnya. Jemarinya menyingkap helaian yang melewati telinga agar tidak menutupi rupa menggemaskan [Name]. "Selamat tidur."
Semakin lama memandangi wajah [Name], matanya kian berat. Mungkin karena perjalanan yang cukup jauh ketika menjenguk ibunya. Mungkin juga karena suasana tenang dan tentram yang selalu ia rasakan ketika bersama [Name]. Todoroki mulai menyerah pada kantuknya.
Aku tidak keberatan jika di masa depan wajah terlelapmu menjadi objek terakhir yang kulihat sebelum tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top