Eighteen

F U G A C I O U S

Ia terlambat.

Todoroki baru akan menanggalkan kostum pahlawannya ketika suara [Name] tersiar di saluran radio khusus mereka. Ia berlari secepat yang ia bisa, ingin berada di dekat [Name] sesegera mungkin. Namun, kecepatannya yang paling tinggi pun tak bisa membuatnya datang tepat waktu. Setibanya ia di tempat kejadian perkara, netra heterokrom Todoroki menangkap sosok tunangannya berdiri dengan kaki gemetar dan darah yang merembes cepat dari luka menganga di perut.

Bertindak bermodalkan insting semata, Todoroki membekukan dua villain yang sebelum berada di bawah kendali [Name]. Kakinya melaju, menopang tubuh [Name] agar tidak membentur tanah yang kasar.

"Shou ... to."

"[Name], bertahanlah. Kumohon ..."

Panik mulai menggelegak dalam dirinya. Todoroki cukup berpengalaman untuk tahu jumlah darah yang masih mengucur deras itu sudah diambang batas berbahaya. Dalam hati memaki dirinya lantaran tak datang lebih awal, mengutuk petugas medis yang masih belum menampakkan batang hidung mereka.

"Oi, bocah! Lepaskan kami!"

Todoroki menoleh dari balik bahunya, melempar tatapan dingin yang mengintimidasi pada villain yang terjebak dalam penjara esnya. Sungguh. Jika diperbolehkan, Todoroki ingin sekali membiarkan dua penjahat—terutama si pria berkacamata itu, untuk mati perlahan dalam esnya. Namun, moralnya sebagai seorang pahlawan menentang gagasan itu.

"Diamlah."

Satu kata. Hanya perlu satu kata untuk membungkam si kacamata.

"Shouto!" Todoroki mengangkat kepala, memandangi Shinsou yang berlari ke arah mereka. "Petugas medis sudah datang. Sebaiknya segera bawa [Name] ke ambulans."

Ia menggendong tubuh [Name] dengan hati-hati seakan-akan porselen paling rapuh dan berharga di dunia berada dalam rengkuhannya—dan dalam pandangan subjektifnya, [Name] memang seberharga itu. Dengan berat hati, Todoroki menyerahkan [Name] pada petugas medis—meski enggan berjauhan dengan gadis itu, ia cukup bijak untuk tahu kalau [Name] tidak hanya membutuhkan jahitan pada lukanya tetapi juga transfusi darah.

"Kau bisa ikut, Shouto-san," tawar salah satu petugas. "Kami tahu hubunganmu dengan [Name]-san. Kau diizinkan ikut jika ingin."

Todoroki menoleh pada dua villain yang kini berada di bawah pengawasan polisi. Mematri dengan baik wajah keduanya, lalu berbalik dan mengangguk pada petugas.

[Name] lebih penting dari mereka. Todoroki mengingatkan dirinya sendiri. Aku bisa bertemu dengan penjahat itu lain kali. [Name] membutuhkanku sekarang.

***

Satu minggu. Sudah satu minggu dan masih belum ada tanda-tanda [Name] akan terjaga.

Dokter berkata hidup [Name] tidak berada dalam bahaya, tapi butuh waktu agar gadis itu tersadar. Selain karena terlalu banyak mengeluarkan darah, luka yang dialami [Name] memaksa tubuh gadis itu untuk terlelap lebih lama untuk pulih.

Setiap hari, setelah menjalankan tugasnya sebagai seorang hero, Todoroki akan menginap di ruang rawat [Name]. Hatinya tak bisa berlama-lama di apartemen mereka tanpa gadis itu di sana. Ada sesuatu yang aneh tidak menemukan [Name] ketika ia pulang dan tidak merasakan kehangatan gadis itu di sisinya.

Hari pertama Todoroki kembali ke apartemen setelah [Name] dirawat di rumah sakit, ia bahkan tidak bertahan sampai lewat dari tengah malam sebelum akhirnya menyambar jaket dan tidur di rumah sakit.

Perasaan ini mengingatkannya pada hari-hari ia menghabiskan waktu di agensi Endeavor selama magang dan tidak bisa menemui [Name]. Perasaan cemas yang sama ketika ia mengucapkan sesuatu yang kasar pada [Name] beberapa waktu lalu yang menyebabkan dirinya dan [Name] tidak bicara. Perasaan gusar yang tak akan bisa ditepis kecuali [Name] membuka mata dan bicara langsung padanya.

Ia butuh mendengar suara [Name] menenangkannya. Ia ... butuh [Name].

Todoroki meraih jari-jari [Name] yang terkulai lemah di atas selimut putih. Matanya berkilat nanar memandangi selang infus yang menusuk nadi tunangannya. Di ruangan yang hanya ditempati oleh mereka berdua, hanya bunyi dari elektrokardiogram yang mengisi keheningan.

Salah satu sudut hatinya berpikir kalau reaksinya berlebihan. Sebagai seorang pro hero terluka dan menginap selama beberapa hari di rumah sakit bukanlah hal yang aneh. Walaupun begitu, meski sudah bukan hal yang asing, meski kejadian ini sudah terjadi lebih dari sepuluh kali, Todoroki masih belum terbiasa melihat gadisnya begitu lemah.

"Saat ini, aku bersedia melakukan apa saja agar kau selalu bisa tersenyum kembali padaku," lirih Todoroki di tengah heningnya malam. "Cepatlah kembali. Segera kembali padaku, love."

Seolah mendengar permohonannya, jemari dalam genggamannya bergerak. Mata heterokromnya terpaku pada rupa [Name]. Berharap gadis itu akan segera menampilkan netra gelap yang ia suka. Permintaannya terkabul! Kelopak mata [Name] bergerak samar, kemudian mengerjap ringan.

"Shou ... to?"

"Aku di sini, love. Aku di sini."

Todoroki menunggu [Name] mengumpulkan kesadarannya, membiarkan gadis itu mengingat semua informasi yang sempat terlupakan dan menyerap keadaan sekelilingnya. Hingga saat matanya bersitatap dengan mata [Name], barulah Todoroki mengembuskan napas panjang yang tidak sadar ia tahan.

"Sudah berapa lama aku tidur?" tanya [Name] serak

"Satu minggu. " Todoroki mengambil segelas air, membantu [Name] untuk menyesapnya sedikit demi sedikit. "Kau kehilangan cukup banyak darah. Jahitan di perutmu belum kering sempurna, tetapi luka-luka ringan di lengan dan kakimu sudah berangsur membaik."

Mereka menjaga kontak mata selama mungkin. Saling menyelami pikiran satu sama lain. Todoroki meremas lembut tangan [Name] ketika gadis itu meremat ringan tautan jemari mereka. Senyum yang terulas di bibir pucat itu berhasil menenangkan kegelisahan yang bersarang dalam dirinya.

"Aku membuatmu khawatir ya?" Todoroki menyandarkan pipinya pada telapak tangan [Name], meninggalkan kecupan ringan pada kulit hangat itu. Bukti bahwa [Name] masih hidup. Bukti bahwa takdir belum bersikap kejam dengan mengambil [Name] dari sisinya. "Maafkan aku Shouto. Aku ceroboh di saat-saat terakhir."

Todoroki menggeleng pelan. "Kau luar biasa."

[Name] mendengus kecil. "Kau tidak perlu berbohong. Aku ingat seberapa besar efek dari quirk villain itu. Setidaknya ada tiga gedung yang hancur."

"Kau luar biasa." Sekali lagi Todoroki bersikeras. "Kau mengetahui batas kemampuanmu. Kau memastikan agar villain itu tidak menyandera orang lain. Kau berhasil bertahan hingga bantuan datang."

Senyum [Name] bertahan lebih lama. Ibu jari gadis itu membelai pipi Todoroki, lebih tepatnya mengusap bagian bawah matanya yang menghitam lantaran mencemaskan keadaan tunangannya.

"Kau kurang tidur." Itu bukan pertanyaan, hanya pengamatan sederhana. "Kenapa?"

"Aku merindukanmu," sahut Todoroki mengulum senyum. "Aku merindukanmu selagi kau tertidur."

Kali ini [Name] terkekeh, walau detik selanjutnya gadis itu meringis ngilu karena kondisi abdomennya yang belum membaik. Netra gelap itu berkilau jenaka, lalu mencubit pipinya.

"Kau dan rayuanmu itu," desis [Name]. "Apa kau mengenal hari libur untuk merayuku?"

Keningnya mengernyit, masih tidak mengerti dengan maksud tersirat dari ucapan [Name] meski kalimat itu sudah terlontar semenjak mereka masih duduk di bangku SMA. Todoroki merespons dengan bingung.

"Aku tidak merayu, [Name]," kukuhnya. "Yang kukatakan barusan adalah kejujuran. Aku merindukanmu selama kau tak sadarkan diri."

"Benarkah?"

Todoroki berdehem afirmatif.

"Bagaimana kalau aku benar-benar tiada ya?" ekspresi Todoroki merengut kesal, benci dengan gagasan [Name] tak lagi berada di sisinya. Sebelum ia bisa mengangkat suara, [Name] sudah melanjutkan ucapannya. "Aku bercanda. Mana mungkin kutinggalkan kau sendiri. Apa jadinya kau tanpaku, hm Shouto?"

Todoroki mencondongkan tubuh, menempelkan bibirnya dengan lembut selama beberapa saat pada kening dan kelopak mata gadisnya. "Aku tidak berani membayangkannya."

Karena ia dengan sukarela telah menyerahkan hati dan jiwanya pada [Name]. Jika [Name] tidak ada maka ... hanya kehampaan yang menantinya di ujung sana.

"Tetaplah di sisiku, [Name]. Tetap di sini," bisiknya penuh perasaan. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top