22. Work Time

Shortlist Part
NaruHina
Masashi Kishimoto (Disclaimer)
Hanaamj

.

.

.

.

Rate: T+
Genre: Romance
Alternative Universe
Third Point of View

.

.

.

.

Belum begitu malam, kedai kopi itu masih terbuka. Beberapa kehadiran manusia nampak di sana, sekedar ingin singgah santai melepas penat. Di luarnya, masih ramai orang berlalu sibuk dalam gemilang malam Shinjuku. Meski ramai, ini sebenarnya hanyalah kumpulan manusia individual yang anti sosial dan fokus pada kehidupan mereka masing-masing. Tidak hanya sekali saja terlihat para pekerja―robot perusahaan yang pulang dengan wajah muram tiada secercah kebahagiaan, banyak sekali orang seperti itu di kota ini.

Hyuga Hinata adalah salah satu penduduk di dalamnya. Shinjuku tidak pernah padam. Ia tahu itu. Saat para pekerja kantoran berangkat pagi sekali, maka jadwal ia bekerja adalah ketika malam hari menyapa. Bukan lembur. Kalau dikatakan secara kasarnya, anggap saja Hinata adalah penghibur para robot lelah yang baru pulang dari perusahaan bagai neraka. Setumpuk uang yang tidak sedikit adalah bayarannya karena harus merelakan waktu malam damai untuk tertidur.

Apakah ia tidak masalah dengan tanggapan orang-orang di sekitarnya?

Sebagai jawaban, Hinata katakan, "Tentu tidak.". Jangan menyamakan ia dengan wanita klub malam yang rela disentuh demi kilauan harta. Beberapa orang menganggap bahwa pekerjaannya sama saja seperti wanita murahan. Ia tekankan bahwa dirinya sekedar menghibur, benar-benar menghibur. Seperti berbincang santai, minum bersama, makan dessert, mendengar keluh kesah kehidupan seorang pelanggan, membantu pelanggan menyalakan rokok mereka, karaoke ketika diinginkan dan masih banyak lagi. Intinya,  menjadi pacar satu malam. Menghibur, bukan?

Hinata tidak perlu merasa resah atas adanya tindakan yang lebih intim. Mereka―para host dan hostess bekerja dilindungi dengan peraturan klub yang tidak akan mengizinkan para pekerja mereka merasa tidak nyaman. Ketika ada pelanggaran, maka jalur hukum adalah jalannya. Antara pekerja dan pelanggan tentu saja sudah membuat kesepakatan terlebih dahulu.

"Selamat datang di Kedai Kopi Kirameki. Ada yang bisa saya bantu?" Pelayan dengan surai pirang kekuningan membuat Hinata yang sedang melamun menatap jendela kedai berjengit. Sepersekian detik wanita itu menoleh atas tawaran yang dilayangkan padanya.

Dalam hati Hinata tertawa kecil, karena sempat lupa bahwa ia sedang menunggu jam kerja di kedai ini tanpa memesan apapun. Menumpang? Sebenarnya ia tidak berniat begitu.

"Oh, Naruto-kun." Tawa pelan lolos dari bibirnya. "Boleh lihat daftar menunya?"

Uzumaki Naruto dengan sigap memberikan daftar menu. Buku kecil dan pena di tangan sudah bersiap mencatat apa yang akan dikatakan pelanggan wanita itu. Meski pemuda itu sudah hafal di luar kepala dengan apa yang akan  dipesannya, ia hanyalah bersikap profesional dalam bekerja. Tentu saja, dibalik itu semua, Naruto dan Hinata sudah mengenal sangat dekat antara satu sama lainnya. Bukan sekedar pelanggan dan pekerja di kedai.

"Americano dengan tambahan gula yang terpisah, lalu Vanilla waffle."

Layaknya secepat kilat kata-kata tersebut dicatat dengan lihai oleh Naruto. Pemuda itu telah hafal bahwa Americano adalah minuman lumrah yang gadis itu pesan setiap berkunjung ke kedai pada malam hari. Dalam hati ia tahu, bahwa Hinata tidak terlalu menyukai rasa pahit mendalam pada kopi tersebut. Tapi, tentu saja ia nekat meminumnya demi bekerja secara maksimal. Ia butuh kafein.

"Baiklah, Americano dengan gula terpisah dan Vanilla waffle."

Hinata mengangguk dengan senyuman.

"Mohon tunggu sebentar."

Begitu Uzumaki Naruto pergi, Hinata dapat menyaksikan beberapa kehadiran pelanggan dengan tampilan rapi. Ah, ia ingat ini sudah tidak perlu diherankan lagi. Kedai terletak di pinggir Kabukicho. Para manusia berduit banyak yang ada di sini tentu saja ingin mencari hiburan next stop. Sekitar beberapa jam lagi malam akan benar-benar mendominasi. Saat itulah mereka―termasuk Hinata beraksi.

"Permisi, maaf mengganggu. Ini pesanan Anda." Seorang pelayan wanita datang membawa pesanan. Sudah memasuki beberapa saat ketika Hinata kembali melamun tadi. Tangan lihai meletakkan yang dibawanya dengan terampil. Secangkir aroma kopi yang khas mendominasi di sekitaran meja dekat jendela, disertai aroma manis yang nampak halus dari sepiring Vanilla waffle. "Selamat menikmati," ujarnya.

"Terimakasih."

Puas setelah sempat memandangi hiasan lampu neon, ia merenggangkan badan dalam posisi masih terduduk. Tangkai cangkir diangkatnya dengan anggun dan aroma kopi yang tajam benar-benar menyeruak ke dalam hidung. Hinata menyicipi sedikit saja dari cairan yang masih panas tersebut. Alis mengernyit menahan rasa pahit yang terasa seperti membantai indera perasa.

Tawa getir ia tunjukkan pada diri sendiri. "Ah, aku hanya peminum kopi. Bukan penikmat kopi," ujarnya dengan rasa pahit yang tidak kunjung hilang. Diambilnya wadah gula dan menuang kristal manis ke dalam cangkir sebanyak-banyaknya.

Salah seorang pria, menggelengkan kepala atas kelakuan Hinata yang menuang gula tanpa takaran. Wanita itu sigap mengalihkan perhatiannya pada pria yang tanpa aba-aba sudah duduk satu meja berhadapan dengannya. Sekelebat pikiran masih terngiang-ngiang dalam benak yang bertanya. Apakah ia mengenal pria itu?

Tawa kecil bersuara berat menjadi reaksi atas bingungnya seorang Hyuga Hinata. Ia menopang dagu. Tatapan lekat tidak terlepas kepada wanita di depannya.

"Kalau Hinata lupa, aku ini [BoyName]. Pelangganmu minggu lalu," katanya membuat Hinata sedikit terkesiap.

Atas kontrol menguasai diri yang bagus, Hinata tersenyum menawan berkharisma. "Maafkan atas reaksiku tadi, Darling." Sebagai hostess, kata-kata manis selalu menjadi senjatanya. Ia meletakkan kembali wadah gula. Berusaha terlihat menghargai sang lawan bicara, meski sebenarnya Hinata merasa bahwa rasa ingin sendirinya telah diganggu. Ayolah, ini bukan jam kerjanya!

"Hahaha." [BoyName] menyentuh dada kirinya dengan dramatis. "Oh, Hinata. Kau selalu membuatku melayang. Tolong tarik aku kembali ke bumi." Ia menyodorkan tangan, nampak berusaha seolah ia membutuhkan tarikan supaya dirinya benar-benar tidak melayang.

Tangan halus Hinata menyentuh telapak tangan besar dan menariknya halus. "Aku akan menggapaimu. Darling, apapun untukmu akan kulakukan."

Seringai tipis tidak luput dari pandangan wanita itu. Namun, ia tetap tenang. Jangan ragukan ia dalam pengalaman bekerja. Sering kali ia menemui pelanggan yang terkadang membuatnya ingin melayangkan heels dengan emosi. Itu pun kalau ia ingin dituntut atas tindakan kekerasan. Maka dari itu, sandiwara dalam bersikap menjadi hal yang ia junjung tinggi.

"Bagaimana kalau kencan setelah ini, lalu ... kau tahu, di depan klub tempatmu bekerja ada ... hotel?"

Hei, maafkan aku yang membatin begini. Tapi, mohon sadar diri kalau semua pelangganku itu kupanggil 'Darling'! Jadi, jangan merasa istimewa.

Tahan Hinata untuk tidak melayangkan heels sekarang juga. Dalam hati menggeram meski senyum menawan terus terulas. Bibir ia tahan agar tidak berkedut. Perasaan mual dalam perut yang disebabkan oleh kopi dan tentu saja―oleh perkataan pria itu membuatnya ingin berlari segera ke toilet. Kakinya mengetuk lantai secara pelan berulang kali, dengan resah.

"Untuk kali ini permintaan itu tidak bisa kupenuhi, maafkan aku. Sayang sekali, saat ini juga bukan jam kerjaku. Aku tidak bisa mengajakmu let's have a blast tonight, Darling. Saat jam kerja nanti, aku tidak berangkat ke klub, melainkan menghadiri party night yang sudah menyewaku. Aku menyesal mengatakan ini," Hinata menekankan segala perkataannya dengan menolak mutlak secara halus. Ia menatap kopinya sebentar dan meminumnya seteguk. Rasanya sudah jauh lebih manis dari pada yang tadi.

"Ayolah, aku bisa membayar lebih dari mereka. Hanya kencan saja, kok. Maaf soal hotel tadi, aku bergurau." Tangan pria itu menyentuh jemari lentik tangan kiri Hinata.

Gelengan kepala pelan menandakan keteguhan pendirian wanita itu. Selanjutnya ia menjelaskan, "Jangan kecewa. Kita bisa bertemu lain kali dalam jam kerjaku. Sekarang, bukanlah jam kerjaku. Izinkan aku memakan sepiring Vanilla Waffle ini." Dengan anggun, ia memotong makanan manis yang mengeluarkan aroma susu itu dan melahapnya sebagai potongan pertama.

"Bagaimana kalau satu rumah megah di dekat Stasiun Shinjuku sebagai bayarannya?"

Hinata menghela nafas. "Tetap tidak bisa, Darling."

Pria tersebut masih gigih memaksa dengan memamerkan setumpuk hartanya yang melimpah ruah. Kalau saja Hinata tidak profesional dalam bekerja, tentu saja ia lebih memilih memanfaatkan pria itu secara habis-habisan malam ini juga. Dibanding pikiran nista tersebut, wanita itu lebih merasa mual dan tidak nyaman.

"Darling, semua yang kau tawarkan tidak bisa kuterima saat ini juga."

Tawa keras yang tertahan dari pria bernama [BoyName] itu cukup mengundang  perhatian orang-orang dalam kedai. Apalagi, setelah ia berkata dengan keras, "Ayolah, kau cuma wanita bayaran. Jangan sok jual mahal!"

Palu godam imajiner rasanya menghantam Hinata saat itu juga. Senyum menawan itu pudar dari paras manisnya. Rasa sesak yang tidak terlalu kentara merasuki hati. Wanita tersebut benar-benar terdiam. Ia tidak bicara apa-apa lagi setelahnya.

"Sudah cukup, Brengsek!"

BUGH!

Suara hantam antar tulang jemari yang mengepal erat sukses mendarat di pipi sang keparat, yang membuat Naruto naik darah bukan main. Pemuda itu tentu saja sudah menahan geram mati-matian sejak memperhatikan interaksi antar dua sejoli itu dari kejauhan. Meski terasa terlalu ikut campur karena datang tiba-tiba, tapi tentu saja ia harus melakukan ini.

"Jauhi wanitaku, Bastard!"

***

"Naruto-kun tumben sekali mau mengakui aku kekasih ketika lagi bekerja. Padahal katamu sendiri, kau harus profesional dalam bekerja." Hinata duduk manis berdua dengan Naruto di kursi panjang belakang kedai. Mereka menghindari keramaian atas hal yang baru saja terjadi. Setelah wanita itu memilih diam untuk menenangkan diri sejenak, akhirnya ia memulai pembicaraan kepada Naruto yang masih setia menjadi sandarannya di sisi.

"Ugh, kau ini." Naruto mengusap puncak kepala bersurai biru gelap itu dengan gemas. "Mana bisa aku diam saja ketika kekasihku diganggu seperti itu.  Hei, Hinata-chan, kau itu milikku," ucapnya kembali dengan nada berat.

"Ah, iya, iya. Mungkin pelangganku dapat memilikiku hanya dalam waktu semalam saja. Tapi, Naruto-kun juga harus ingat. Yang bisa memiliki aku dan hatiku selamanya hanya kau seorang saja."

END

1. Information
-Jumlah kata: 1482 kata (jumlah kata dalam cerita saja).
-[BoyName]: Untuk ini, readers sekalian bebas menentukan nama pria tersebut. Entah itu Sasuke, Kiba atau siapapun termasuk nama kalian sendiri jika kalian laki-laki. Intinya bebas, ya.
- 【Shinjuku, Jepang 】


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top