21. Door
Shortlist Part
NaruHina
Masashi Kishimoto (Disclaimer)
Hanaamj
.
.
.
.
Rate: T
Genre: Romance/Fluffy/Family
Canon
Hinata's Point Of View
.
.
.
.
"Aku hanya ingin membuatmu bahagia. Itu saja, kok."
.
.
.
.
Sore hari musim semi, aku terduduk santai dalam rumah penuh kehangatan ini. Kala mata serupa nilam jernih memandang suasana di luar melalui jendela terbuka, cipta musim semi begitu cantik dengan rimbunan sakura yang tidak henti membuatku kagum akan keindahan. Cangkir isi teh hangat baru saja terhisap olehku, begitu menenangkan dengan aroma santai memasuki indera penciuman. Aku kembali meletakkannya di meja. Perhatianku kembali terfokus kepada pakaian-pakaian yang telah kering dalam pangkuan, berniat melipatnya. Ini adalah pekerjaan harian sebagai seorang ibu rumah tangga.
Uzumaki Hinata―namaku dengan marga yang telah terganti selama sekian tahun menyandang marga Hyuga. Seorang ibu dari dua anak bernama Boruto dan Himawari. Mereka adalah mutiara kecil kebahagiaanku. Semua itu, tentu saja tidak lepas dari kehadiran suamiku tercinta. Seorang yang aku kagumi sejak lama, dimulai dari aku yang hanya bisa memandang dan mengintipnya dari kejauhan―tidak berani bertegur sapa. Hingga kini, aku mendapat kebahagiaan sebagai seorang wanita yang memimpikan kehangatan rumah tangga. Katakanlah itu hal kecil, namun sangat berarti bagiku.
Senyum tipis terbit dari wajahku dengan perasaan hati yang menghangat. Aku kembali berfokus pada pekerjaanku dan menggeleng pelan mengenai bayang-bayang masa yang telah banyak kami lalui.
"Okāsan, apa Otousan belum pulang?" Himawari mengejutkan aku dengan tubuh mungil yang tiba-tiba saja muncul dari sisi sofa. Mata berbinar nampak ingin meminta sesuatu padaku. Tentu saja aku telah hafal gelagat putriku ini.
"Otousan pulang seperti biasanya, nanti malam. Ada apa Hima-chan?"
Cengiran lebar yang membuat pipinya semakin menggembul adalah jawaban. "Aku mau susu!" balasnya dengan pekik ceria. Tangan kecil itu mulai menarik lengan pakaian dan membuat aktifitasku terhenti karenanya.
Aku sebenarnya tidak keberatan, hanya saja setumpuk pakaian yang berada dalam pangkuan membuatku malas memindahkannya ke tempat lain. Mungkin tidak masalah kalau Himawari menunggu sejenak untuk meminum susunya. "Baik, nanti Okāsan buatkan. Sekarang, Hima-chan ke kamar dulu, ya?" kataku berusaha membujuknya.
Berharap Himawari dapat menunggu, nyatanya tidak sesuai dugaanku. Ia menarik kembali lengan pakaianku dengan kurva cemberut di bibir.
"Himawari mau sekarang!" ucapannya terdengar mutlak.
Aku menghela nafas. "Bagaimana kalau nanti? Sekalian saja supaya Hima-chan bisa minum susu bersama Boruto-kun. Sekarang ini Okāsan sedang sibuk melipat baju." Mataku melirik jam dinding. Aku menyadari sebentar lagi Boruto akan pulang dari Akademi. Ini sudah petang.
"Tapi Hima mau sekarang. Aku mau susu!" Ia merengek. Menggoyangkan lenganku supaya aku segera bergegas.
Mau bagaimana lagi?
Aku mengelus puncak kepala dengan helaian rambut sewarna turunan dariku. "Baiklah." Bersusah payah aku pindahkan semua tumpukan kain ke sofa, kemudian kutuntun ia menuju dapur rumah―membuatkannya susu sekarang juga seperti yang ia minta.
Di dapur, aku mengambil wadah berisi susu bubuk. Gadis kecilku duduk di kursi dan memukul pelan kentara semangat pada meja makan yang sedikit ketinggian untuknya. Sebenarnya, menyeduh susu bubuk itu tidak perlu waktu lama. Sayang sekali, aku kehabisan air panas. Mau tidak mau harus merebusnya hingga mendidih dahulu.
"Aku pulang!"
Itu suara Naruto! Meski merasa penasaran, aku senang ia pulang lebih cepat dari biasanya. Ada apa, ya?
"Selamat datang!" balasku dengan intonasi suara yang sedikit ditinggikan, sengaja supaya terdengar olehnya. Aku seharusnya menyambut suamiku di depan pintu, namun satu kali saja tidak dilakukan apakah tidak apa? Kuharap Naruto-kun memahami aku yang sedang merasa kerepotan mengurus kemauan anak kedua kami.
"Hinata, kau ada dimana?" ucapnya yang masih berada di luar pintu.
Kakiku melangkah di sepanjang dapur. Masih sibuk. Himawari juga masih bersemangat memukul meja menunggu susunya. Aku kepayahan.
"Di dapur. Masuklah, pintu tidak dikunci!" balasku dan kembali berkutat dengan kegiatan.
Suara pintu kayu yang nampak didorong terdengar. Aku tidak terlalu fokus dengan Naruto. Ia bukanlah anak kecil yang tidak mampu menggeser pintu rumah.
"Hinata, apakah ini dikunci? Aku tidak bisa membukanya." Sedikit suara gedoran pintu terdengar.
"Sungguh, tidak dikunci. Himawari baru saja dari luar." Aku menyeduh susu bubuk yang baru saja kutuang dengan air panas penuh rasa hati-hati. "Hima-chan, tadi pintunya tidak terkunci, kan?" tanyaku memastikan.
Kepala gadis itu menggeleng kuat. "Aku masih belum bisa mengunci pintu sendiri, Okāsan," jawabnya berdasarkan fakta yang membuatku mengangguk.
"Mungkinkah pintunya rusak? Hinata, kumohon kemarilah bantu aku membukanya." Ia masih gigih memanggilku dengan usahanya membuka pintu.
Tubuhku mulai bergerak terburu-buru. "Maafkan aku, sebentar lagi! Aku ada di dapur."
"Huaaaa, gawat! Jangan-jangan pintunya rusak?" teriak histeris suamiku di luar.
Perasaan lega datang dalam hatiku saat segelas susu untuk Himawari telah siap. Dengan sigap kuletakkan segelas susu di hadapan anakku dan bergegas terburu-buru ke arah pintu rumah di depan, menyusul Naruto yang mulai histeris takut pintunya benar-benar rusak.
Masih dengan suara heboh suamiku di luar, aku mengamati pintu yang sama sekali tidak dikunci oleh benda apapun itu. Ini membuatku merasa begitu heran.
Dan lihat, pintu ini terbuka dengan mudahnya begitu aku menggesernya. Tidak ada tanda-tanda kerusakan yang sepertinya fatal sampai benda penghalang ini dapat disebut rusak. Lantas, mengapa Naruto yang membukanya malah tidak bisa?
"Ah, terbuka!" Wajah tampan dengan ekspresi secerah matahari hangat nampak dalam iris mataku. "Hinata memang hebat," pujinya padaku.
Aku tersenyum hangat atas kedatangannya yang mebawa keramaian kecil. "Selamat datang, Naruto-kun. Soal pintunya, ini tidak rusak sama sekali. Tidak terkunci juga."
Seorang Uzumaki Naruto maju selangkah. Ia mengecup dahiku begitu pelan. Dibelainya helaian rambut biru gelap milikku dengan sayang. "Kau bisa membuka pintunya karena kau hebat," tuturnya yang aku yakin itu hanya candaan.
Aku menghela nafasku sambil tersenyum. Gelengan kepala pelan kulakukan demi membuang rasa geli dalam hati. "Naruto-kun juga, adalah suamiku yang sangat hebat."
"Tapi, istriku Hinata-chan lebih hebat dari siapapun. Sebuah pintu saja sampai mengakui kehebatanmu," ia melontarkan pujian sedemikian rupa. Tiba-tiba saja ia berwajah murung. "Aku yang lemah ini bukan apa-apa dibanding dirimu. Padahal, pintu ini sudah kudorong sekuat yang kubisa agar terbuka. Nyatanya, pintu tidak mengizinkan kalau bukan kau yang membuka."
Aku tertawa pelan atas perkataannya.
Tunggu, apa―
Wajahku berubah serius. "Naruto-kun, kau mendorong pintunya dan bukan menggesernya? Ini pintu geser!" Nada suaraku meninggi keheranan.
"Ah, masa?" Wajahnya kentara sedang menjahiliku. Rasa kesal merambat dalam hatiku.
"Iya. Kau sengaja, ya?" Aku memberengut kesal karena ia sudah membuatku khawatir atas pintunya kalau saja benar rusak. Rupanya hanya dikerjai. Aku kesal, meski tidak benar-benar merasakannya.
"Hehehe. Aku cuma bercanda, kok." Kedua tangan itu menangkup pipiku, mencubitnya gemas.
Rupanya, hari itu ia sengaja berbuat konyol (kebodohan) demi rutin mendapatkan sambutan hangat dariku selepas pulang bekerja. Aku selesai menuliskan ringkasan kejadian tersebut sambil meminum teh hangat di cangkir yang tinggal setengah. Helaan nafas lolos dari mulutku yang belum berhenti mengulas senyum sepanjang menulis cerita.
Terimakasih sudah rela menyisihkan waktu untuk menikmati kisah kami.
END
1. Information:
-Jumlah kata: 1073 kata (dalam ceritanya saja).
2. Note:
Berusaha meniup debu yang sudah terkumpul pada buku ini, hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top