Why

By dewinorma

"Karin." Letticia mengangkat tangan memberitahukan keberadaannya.

Gadis yang dipanggil bernama Karin tersenyum sambil berjalan mendekat. "Maaf, lama." Karin duduk di depan Letticia dan menatap sahabatnya itu. "Bagaimana kabarmu? Bagaimana di Korea? Apa menyenangkan?"

Letticia tersenyum mendengar rentetan pertanyaan itu. "Menyenangkan, jika itu untukmu. Di sana terlalu banyak wajah yang pas dengan tipe idealmu."

Karin menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Yah, seandainya suamiku mau aku ajak tinggal di Korea." Sesaat keduanya saling pandang, lalu tertawa bersama sedetik kemudian.

Karin menyeruput kopi yang sudah Letticia pesan untuknya. "Bagaimana denganmu? Punya kekasih?"

"I'm single," jawab Letticia singkat.

Karin mendekatkan tubuhnya. "Apakah tipemu belum berubah? "

Letticia mengangkat alis, dia tersenyum penuh arti. "Tidak ada yang berubah dariku. Aku masih sangat suka dengan pria Turki. Pria dengan perawakan tinggi, jambang tipis, hidung mancung." Letticia tersenyum geli membayangkan pria impiannya.

Di saat bersamaan, langkah kaki pria tampan yang sangat sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan Letticia mendekat. Ia terdiam dan senyumnya pun menghilang menyisakan kerutan di dahi. Benaknya sekilas bertanya-tanya.

Karin yang menyadari perubahan ekspresi Letticia seketika menoleh lantas tersenyum. "Sayang."

Letticia masih diam. Sayang. Dia menatap Karin menuntut penjelasan.

Wanita itu mengedipkan sebelah matanya menggoda. Lalu, Pria itu memilih duduk tepat di depan Letticia. "Sayang, dia Letticia. Sahabat yang sering aku ceritakan padamu, yang kerja di Korea."

Lelaki itu tersenyum sambil menundukkan kepala sesaat pada Letticia. Letticia membalas dengan cara yang sama.

Karin kembali menatap sahabatnya. "Leci, dia Aaron. Suamiku." Karin menatap suaminya. "Priaku ini keturunan Turki." Karin kembali menatap Letticia. "Jadi, jangan sampai kamu jatuh cinta padanya ya?" Ia mengeraskan rahang sambil memicingkan mata.

Letticia tergelak seketika. "Oke. Aku tidak akan jatuh cinta semudah itu hanya karena dia keturunan Turki."

Aaron tersenyum sekilas. Letticia terpaku dengan senyuman itu, dia tidak memungkiri jika dia tengah terpesona. Ketika Aaron dan Letticia bertemu tatap, Letticia hanya mampu tersenyum canggung. "Senang mengenal, Anda. Pasti sangat sulit menjadi suami dari wanita manja seperti dia."

"Leci." Karin melebarkan matanya.
Letticia tersenyum sambil mengangkat alisnya.

Aaron menggenggam tangan Karin, dan menatapnya dalam. "Aku rasa manja itu pesonanya yang paling kuat."

Karin tersenyum bangga, sedang Letticia hanya mnganggukkan kepalanya mengerti. Ia tidak hadir pada pernikahan sahabatnya itu. Lagi pula, aneh jika sampai tidak tahu wajah dari suami sahabatnya. Itu memang kenyataan, Karin selalu menyembunyikan wajah Aaron, terutama di sosial media. Entah apa alasannya. Kebanyakan hanya foto punggung, foto kaki, dan sebagainya.

"Sahabatku ini sangat menyukai pria Turki, aku juga tidak tahu alasannya. Padahal menurutku pria Korea lebih tampan. Jadi, kamu jangan sampai tergoda olehnya ya?" Karin menatap suaminya ragu walau hanya sesaat.

Aaron tersenyum kaku.

"Lalu kenapa kau menikah dengan Pria Turki? Bukan Korea?" Letticia mencibirkan bibir kesal.

Karin mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin karena jodohku pria Turki dan bisa jadi jodohmu pria Korea."

Waktu berjalan dengan cepat, Aaron bukan lagi pria yang sungkan, terutama pada Letticia. Bahkan, saat Karin dan Aaron bulan madu ke Korea, mereka menolak menginap di hotel, mereka memilih menginap di apartemen Letticia, sekalipun Letticia sendiri menolaknya.

Aaron dan Letticia menjadi sangat akrab, layaknya hubungan antara Letticia dengan Karin. Mereka menyempatkan diri bertemu setahun sekali, enggan mengulangi kesalahan yang sama dan kehilangan kontak satu sama lain seperti masa lalu.

Tahun ini, tahun ketiga hubungan dekat mereka terjalin. Mereka memilih Turki sebagai tempat bertemu dan menghabiskan waktu.
Di malam hari, di sebuah restoran mewah.

"Carilah kekasih. Kau bepergian dengan kami, tapi selalu sendiri." Karin menatap Letticia sesaat.

Letticia mengunyah makanannya dan tersenyum. "Aku terlalu sibuk pada pekerjaanku, mana ada pria yang mau menerimaku yang bahkan untuk diriku sendiri saja aku tidak punya waktu."

"Ishh ... Aku takut, orang akan mengira Aaron memiliki dua istri." Karin melirik Letticia tajam.

Letticia terkekeh pelan. "Bukankah program pemerintah 'dua lebih baik'?"

Karin menggeram kesal menatap Letticia dengan tajam, Aaron tertawa melihat ekspresi istrinya itu.

Letticia menatap Aaron sesaat. "Jadi ketemu klien besok?" Letticia mengalihkan pembicaraan.

Aaron menganggukkan kepala. "Iya."

"Di mana?" Letticia kembali mengajukan pertanyaan.

"Awalnya mau ketemu di Indonesia, tapi karena suatu hal yang tidak dijelaskan, mereka memintaku ke Korea." Aaron menegak minumannya.

"Korea?" Karin mengerutkan alis. "Yah, seandainya aku bisa ikut." Karin menunduk lesu.

Letticia menatap Karin. "Kenapa nggak bisa?"

"Kamu tahu mamaku 'kan? Dia belakangan ini suka bepergian keliling dunia dan dia ngajak aku ke Mesir. Lusa penerbangan kami. Jadi, besok aku sudah harus kembali ke Indonesia," jelas Karin.

Letticia bertepuk tangan pelan. "Wahhh ... Kau lebih sibuk dariku."

***

Letticia melangkahkan kaki dengan menenteng tas hitam kecil di tangan. Dia melangkah memasuki pesawat mencari tempat duduknya. Dia pun duduk dengan nyaman. Dia mengeluarkan earphone meletakkan di telinga dan memainkan musik klasik kesukaannya dengan suara yang sangat pelan, sehingga dia masih bisa mendengar panggilan yang ditujukan padanya.

Letticia mengambil novel dari dalam tas, dan mulai membacanya.

"Leci."

Sebuah sapaan familiar, yang mampu membuat Letticia menoleh dan menatap arah asal suara. "Aaron."

Aaron tersenyum lebar, lalu duduk di samping Letticia. "Nggak nyangka ternyata kita di pesawat yang sama dan tempat duduk yang bersebelahan."

Letticia mengangguk, dia juga tersenyum. "Hm, tahu gitu tadi dari hotelnya barengan ya?"

Aaron mengangguk sambil tersenyum.

Pesawat lepas landas, membawa mereka ke tempat tujuan. Letticia meneruskan pekerjaannya, selesai dari liburan sesaat yang mampu meringankan bebannya. Aaron yang mendatangi sang klien dan berusaha memenangkan tender.

Letticia bekerja sebagai Kepala Cabang yang di tempatkan di Korea, perusahaannya bergerak di bidang penyedia kain batik. Sedang Aaron bekerja sebagai Staf eksekutif pada perusahaan komunikasi.

Letticia keluar dari kantornya dan meraih ponsel. Dia mencari nama Aaron lalu menghubunginya. Sesaat mendengar nada sambung mengalun memanjakan telinga.

"Hallo, Leci."

"Hmm, kamu udah selesai ketemuannya?" Letticia mengeratkan genggamannya pada gagang tas.

"Sudah, ini sedang di depan kantornya."

"Kirimkan lokasinya padaku, aku akan menjemput lalu mengantarkanmu ke hotel."

"Sip. Terima kasih ya calon istrinya pria Turki."

Letticia tersenyum. "Hmm. Jangan ke mana-mana, aku nggak mau direpotin kalau kamu nyasar."

Tidak perlu waktu lama untuk Letticia tiba di depan gedung perusahaan yang menjadi klien Aaron itu. Aaron dan Letticia meninggalkan lokasi tersebut setelahnya. Mereka memilih untuk makan terlebih dahulu sebelum ke hotel tempat Aaron menginap. Karena kali ini dia ke Korea sendiri dan memilih hotel sebagai tempat tidurnya.

Letticia dan Aaron makan di Restoran daerah Jongno-gu.

"Kamu itu sebenarnya cari yang kayak apa sih? Udah lama lho kamu jomblo." Aaron menatap Letticia sambil mengunyah makanannya.

Letticia tersenyum tipis. "Aku paling benci kalau ditanyai soal pasangan, eh kamu pakai ikutan tanya juga."

"Nggak mungkin cewek secantik kamu kesulitan cari pasangan. Jadi, apa alasannya sampai masih jomblo?" Aaron menegak minumannya sesaat. "Jangan bilang kamu masih cari cowok Turki?"

Letticia tersenyum. "Mungkin." Dia mengangkat bahunya sesaat.

"Mau aku kenalkan dengan temanku? Beberapa dari teman kuliahku juga keturunan Turki, bahkan ada yang asli Turki. Bagaimana?" tawar Aaron.

"No. Aku bisa cari sendiri urusan jodoh, meski aku juga tidak tahu di usia berapa." Letticia meletakkan sumpitnya, lalu menegak minuman.

"Yakin? Aku ikut sedih melihatmu jomblo terlalu lama." Aaron berdiri, tanpa bertanya dia berjalan menjauh menuju kasir.

Letticia berdiri, mengikuti langkah Aaron. Aaron berdiri di depan kasir dan membayar tagihannya.

"Terima kasih," ucap Letticia kepada Aaron.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir. Malam semakin larut, dingin menyapa, menembus pori-pori kedua insan itu. Mobil yang Letticia dan Aaron kendarai melaju menikmati lalu lintas malam. Mereka mendengar beberapa lagu sendu yang menghiasi malam menjadi semakin dingin.

"Besok balik ke Jakarta jam berapa?" Letticia memecah keheningan.

"Pukul 11. Kenapa?" Aaron menatap Letticia yang sedang fokus pada jalan di depannya.

"Tanya aja. Besok sepertinya akan ada badai salju." Mobil berhenti di lampu merah. "Semoga saja tidak sampai memberhentikan penerbangan."
Salju turun, butir demi butir.

"Semoga." Aaron tersenyum singkat.

Mobil memasuki area hotel, suasananya begitu ramai. Letticia mengerutkan alis sejenak. Ia keluar untuk menanyakan kepada petugas keamanan yang ternyata sedang ada penggerebekan salah satu publik figur yang diduga menjadi dalang dari kasus prostitusi yang sedang marak. Letticia kembali masuk ke dalam mobil.

"Gimana?" Letticia menoleh menatap Aaron.

"Emang nggak boleh masuk?" Aaron masih memperhatikan depan.

"Boleh sih, tapi akunya yang takut." Letticia bergidik ngeri.

Aaron menatap Letticia dan mengerutkan alis. "Kan aku yang nginep sini, kenapa kamu yang takut?"

"Ini penggerebekan, Aaron. Aku belum siap kalau melayat di pemakaman teman."

Aaron menggelengkan kepala. "Apa coba hubungannya sama mati? Lagian ini kasusnya bukan pembunuhan."

Letticia menghela napas. Aaron mengambil tasnya di kursi belakang, lalu bergerak akan keluar. Letticia menghentikannya dengan menggenggam lengan Aaron. "Bagaimana jika kita keluar lagi? Aku beneran takut ini. Nanti kita kembali setelah semuanya sudah selesai."

Aaron menghela napas bingung pada gadis satu ini. "Lalu, kita ke mana?"

"Minum." Letticia tersenyum canggung.

Aaron menganggukkan kepala pelan. "Oke." Dia kembali menyempurnakan duduk.

Mobil kembali keluar, meninggalkan hotel menuju tempat yang belum mereka tentukan. Hingga akhirnya Aaron dan juga Letticia memutuskan mengunjungi salah satu kedai yang letaknya tidak jauh. Di sana menjual belut panggang, Aaron dan Letticia memesan belut itu dan beberapa botol soju.

Sejauh ini mereka sudah menghabiskan lima botol.

"Leci, kamu manis." Aaron menatap Letticia dengan lembut.

Letticia tersenyum. "Aku tahu. Buah Leci emang manis." Letticia menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Aaron sudah mulai mabuk, dia pria yang tidak kuat minum banyak, meski sebenarnya mereka belum minum banyak.

Pria itu menggelengkan kepala berulang-ulang. "Bukan. Tapi kamu." Pipi Aaron memerah.

"Aaa ... mulai ngaco ini anak." Letticia melirik jam di tangannya. Tidak lama kemudian, dia berdiri dan membayar apa yang mereka makan.

Letticia kembali dan membantu Aaron berdiri. Dia memeluk Aaron dan menuntunnya menuju mobil. Sambil terus merutuki dirinya sendiri, kenapa harus menawarkan minuman pada Aaron?. Letticia tahu, Aaron tidak pernah bisa minum-minuman beralkohol.

Mobil melaju kembali, menuju tempat yang tadi mereka tinggalkan untuk sesaat.

"Kalau aku bukan suami Karin, mungkin aku akan menjadi suamimu." Aaron mulai meracau tidak jelas.

Letticia hanya tersenyum, dia memilih diam dan mendengarkan semua ocehan Aaron. Dia bersyukur Karin tidak mendengar semua ini, jika sahabatnya itu mendengar bisa gawat, 'kan?

"Boleh tidak aku menyesal?" Aaron menatap Letticia. "Leci." Dia memejamkan mata dan menghela napas berat. "Takdir. Seharusnya aku bertemu denganmu terlebih dahulu."

Letticia masih terdiam. Mobil mulai memasuki halaman hotel. Sesaat kemudian, Letticia turun setelah menempatkan mobilnya dengan aman, dia memutari mobil dan membantu Aaron berjalan memasuki hotel.

Saat dalam lift tangan kanan Aaron memeluk pundak Letticia, pria itu mempererat pelukannya dan memaksa Letticia untuk masuk dalam dekapannya. Tidak ada ucapan apa-apa dari pria itu, dia hanya diam sambil merasakan hangatnya tubuh ramping Letticia.

Tidak ada bedanya dengan Letticia, dia terkejut memang. Tapi, pada akhirnya dia terdiam, dengan degup dada yang berpacu kencang dia merasakan embusan napas Aaron.

"Kamu mau lari bersamaku?" pertanyaan aneh Aaron ajukan pada gadis yang masih dalam pelukannya ini.

Mendengar itu, Letticia melepaskan diri dari Aaron. "Gila kamu." Dia menatap Aaron dengan tajam untuk sesaat.

Letticia kembali memeluk Aaron saat pria itu akan tersungkur. Letticia lupa jika saat ini pria itu sedang dikuasai alkohol.

Lift terbuka, Letticia kembali menuntun Aaron. Aaron mengeluarkan keycard dari saku celananya. Saat pintu terbuka mereka kembali meneruskan langkah. Mereka menuju ranjang.

Niat hati ingin menidurkan Aaron lalu pergi, tapi pada kenyataannya saat Letticia menidurkan Aaron, pria itu justru menarik lalu membalikkan keadaan, Letticia berada dalam kungkungannya.

Aaron menatap mata Letticia lalu membelai kepalanya dengan lembut.

"Aaron, lepaskan aku." Letticia berusaha menegaskan nada bicaranya. Meski dia tidak memungkiri jika dadanya berdegup semakin kencang.

Aaron tidak menjawab, dia mengecup bibir Letticia sesaat lalu kembali menatapnya. Letticia terbelalak. Dia meronta, meminta Aaron melepaskan kungkungan itu. Aaron kembali mencium bibir Letticia dengan durasi yang lebih lama. Aaron menikmatinya, dia melumat bibir itu sambil memejamkan mata.
Letticia diam, dia tidak membalas sama sekali. Dalam kepalanya mengingat dengan jelas bagaimana Karin tersenyum padanya. Karin, rintihnya dalam hati. Dia meneteskan air mata.

Aaron mempererat pelukan dan masih dengan kegiatan yang sama.
Letticia menyukai Aaron, sejak pertama kali melihat pria itu, di hari Karin memperkenalkannya sebagai suami. Tapi, ini salah! Tidak boleh begini pada akhirnya.

Aaron melepas ciuman sepihak itu, dia menatap Letticia dalam. "Aku mencintaimu, Letticia."

Di situ dada Letticia seolah berhenti berdetak. Dia menggelengkan kepala pelan. "Tidak boleh."

Aaron menghapus air mata Letticia sambil kembali mencium bibir gadis itu. Kali ini, Letticia dengan bodohnya memejamkan mata dan membalas setiap perlakuan Aaron padanya. Hatinya berteriak melarang, tapi dia membutakan dirinya sendiri. Menutup pintu hatinya untuk nurani.
Sebuah pengkhianatan yang manis, sedang mereka torehkan malam ini.

***

Semua berjalan dengan sangat sempurna. Hubungan antara Letticia dan Aaron yang terjalin sejak malam itu, rumah tangga Aaron dengan Karin, pekerjaan masing-masing dari ketiganya. Tapi, semua ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Karin mulai merasakan perubahan Aaron, dari hal terkecil.
"Apa maksudnya ini, kamu mengatakan padaku jika minggu lalu tugas ke Turki, tapi teman kantormu mengatakan padaku tidak ada tugas ke sana? Kamu mulai membohongiku." Karin mengepalkan tangannya. Dia menatap Aaron dengan tajam.

Aaron diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak mau berbohong, tapi dia juga tidak mau menyakiti Karin jika dia jujur.

"Aaron, apa kamu memiliki wanita lain?" pertanyaan itu akhirnya muncul. Karin sudah menahan diri cukup lama, dia mulai menyadari perubahan Aaron selama satu bulan belakangan.

Aaron menggigit bibir bawahnya. Dia ingin meneriakkan jawabannya, tapi bibirnya terkunci dengan sangat rapat.

"Aaron." Karin menatap Aaron yang masih saja terdiam. Wanita itu mulai meneteskan air matanya, dia mengerti dari diamnya Aaron, tidak ada kata tidak atau iya. Karin berbalik dan meninggalkan rumah dengan mengendarai mobilnya.

Sepeninggal Karin, Aaron menghela napas kasar. Dia berdiri dan mengusap wajahnya frustrasi. Aaron mencari ponselnya, dia menemukannya di atas meja ruang keluarga. Aaron mencari nama Secret. Nada sambung terdengar.

"Aku menunggu teleponmu."

"Malam ini aku akan terbang ke Korea, apa pun jadwalmu besok kosongkan. Bisa kan sayang?" Aaron telah memutuskan.

"Memang ada apa?"

"Aku tutup ya? Aku mau ke bandara sekarang. Aku mencintaimu." Aaron menutup sambungan, dia berjalan mengambil jaket, dompet, juga barang seperlunya dia masukkan dalam tas ransel. Dia diam sesaat menatap foto pernikahannya dengan Karin. Baiklah, aku siap.

Di lain tempat, Letticia mengerutkan alis menatap ponselnya. Dia mempertanyakan tentang apa yang terjadi. Ponsel itu kembali berbunyi, Karin menghubunginya. Oke, sepertinya ini ada sangkut pautnya, ini tentang apa? Apa dia tahu hubungan kami?

Pelan, Letticia mengangkat teleponnya. Suara pertama yang dia dengar adalah suara tangis.

"Leci."

Letticia terdiam, dia masih harus melihat keadaan, tangannya mengepal dengan kuat.

"Apa yang harus aku lakukan? Sepertinya dia memiliki wanita lain."

Dia tahu ada wanita lain, tapi dia tidak tahu wanita itu aku. Letticia memutuskan duduk di sofanya sambil terus mendengarkan.

"Leci," suara tangisan Karin terdengar semakin menyedihkan. "Rasanya aku ingin mati saja."

Letticia menghela napasnya pelan. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, dia tokoh jahat dalam cerita ini. Manusia tidak punya hati yang menyakiti sahabat sendiri. Letticia menoleh, menatap foto bahagianya bersama Aaron, yang sengaja dia pajang sebagai pengobat rindu.

Letticia tahu dari awal, jika apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan, kesalahan yang sangat besar. Tidak hanya menyangkut dia, Aaron dan Karin saja, melainkan keluarga dari ketiganya.

Malam panjang Letticia lewati dengan tetap membuka mata, melamunkan dan memikirkan banyak hal. Dia masih duduk di sofa, dengan kedua tangan yang terus mengepal. Letticia menunduk sesaat, pada akhirnya air mata Letticia menetes setelah berjam-jam terdiam.

Matahari telah menampakkan diri, bersama tangisan Letticia yang semakin mengalun mengisi keheningan pagi. Pintu apartemen Letticia terbuka, gadis itu menghentikan tangisnya. Aaron menjatuhkan tasnya dan berjalan mendekat, Letticia berdiri dan menyambut Aaron dengan pelukan erat. Aaron membalasnya dengan hal serupa.

"Kita saling cinta, cinta tidak pernah salah. Jangan menangis." Aaron mencium kepala Letticia sesaat lalu membenamkan wajahnya di pundak gadis itu.

"Dia tahu. Apa yang harus kita lakukan?" Letticia sesenggukan.

"Semua akan baik-baik saja. Percaya padaku."

Siang ini, Aaron mengajak Letticia meninggalkan Korea. Meninggalkan semuanya, keluarga, sahabat, atau apa pun yang akan menghalangi kebersamaan mereka. Letticia menyanggupi apa pun ucapan Aaron, dia memilih cintanya, mengabaikan semua masa lalu.

***

Di Indonesia, Karin melempar guci ke arah foto pernikahannya, dia mengamuk merusak rumahnya sendiri. Dua menit yang lalu, dia menerima sebuah pesan.

Maafkan kami, kami hanya saling mencintai saja. Jika itu dosa, kami siap menanggung hukumannya.

Sebuah pesan yang dia terima dari satu-satunya teman juga sahabat. Karin menatap foto kebersamaannya dengan Letticia, kebersamaannya dengan Aaron. Beberapa foto berjajar di meja, penghias dan penanda sebuah kebahagiaan.

Karin meraih tongkat bisbol dan menghancurkan apa pun sambil berteriak marah. Dia menangis di atas rasa perihnya ter-khianati, oleh dua insan yang sangat berarti.

Karin lelah, dia tersungkur sambil terus merintih dan menangis. Dia tidak tahu apa kesalahannya, seberapa pun kerasnya dia memikirkan itu.

Karin mengeraskan rahang, matanya menatap pecahan kaca di depannya dengan tajam. "Akan aku pastikan kalian tidak akan pernah bahagia, aku akan menghancurkan kalian seperti yang kalian lakukan padaku." Tangannya mengepal kuat bersama keputusannya yang juga sudah bulat.

Karin akan membalas pengkhianatan ini, luka ini, kehancuran ini.

***End***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top