Utmost Sincerity
Title : Utmost Sincerity
By : Mikas4
***
"Hati-hati, Rara,"
Rega mengerutkan kening ketika melihat Rara berlari ke arahnya di umurnya yang masih empat belas tahun. Kelahiran Rara empat belas tahun lalu membuat Rega tidak tahan untuk tidak mengklaim bayi mungil tersebut sebagai miliknya. Di umurnya yang ke dua puluh enam ini, sudah sepantasnya Rega mencari seorang wanita yang lebih sepadan dengannya, bukan menunggu sosok anak kecil yang kini berlari menuju ke arahnya dengan cengiran lebar.
Perbedaan usia mereka yang begitu jauh tidak membuat Rega menyerah untuk terus mendapatkan hati Rara. Walau tahu bahwa Rara tidak akan menyukai lelaki tua seperti dirinya. Rega menghela napas pelan memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan olehnya. Dan ketika Rara datang menubruk lalu memeluknya, Rega dengan segera berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Rara yang hanya sebatas pinggangnya.
"Kak Rega, aku mendapatkan nilai terbaik lagi. Lihat ini!" serunya semangat sambil menunjukkan sebuah kertas gambar di hadapan Rega. "Cantik 'kan, Kak?"
Rega tersenyum sambil mengacak rambut lurus milik Rara. "Cantik, kayak kamu," sahutnya disertai tatapan lembutnya yang teduh, membuat Rara seketika menyengir lebar dengan pipi merah merona malu. "Kita pulang?" tanya Rega kemudian sesaat setelah ia memastikan bahwa akan ada hujan sebentar lagi mengingat mendung yang begitu tebal.
"Ayo, Kak." Rara dengan semangat menautkan jemarinya dengan jemari kukuh Rega yang besar melingkupi dan menghangatkannya. "Makan apa kita malam ini? Apa Kakak masak? Atau biarin Rara masak ya, Kak? Kakak 'kan capek kerja dan bolak-balik jemput Ra-"
Sentilan di dahi gadis kecil itu membuat Rara menghentikan ocehannya. Rara mengelus keningnya yang terasa sakit.
"Sejak kapan kamu perhatian gitu? Kakak nggak pernah bilang kalau Kakak capek. Cukup satu senyumanmu maka capek Kakak akan hilang."
"Tapi-"
Rega menghentikan langkahnya. Kembali berjongkok dihadapan Rara dan menyingkirkan anak rambut yang berserakan di dahinya. Tidak menyangka bahwa Rara yang baru lahir saat itu, telah menjadi sebesar sekarang. Baik ibunda maupun ayahnya Rara pasti akan bangga melihat Rara secantik dan sepintar ini.
"Nggak ada tapi-tapian. Kamu nggak perlu mikirin urusan rumah karena tugasmu hanya belajar dan belajar sampai sukses. Paham?" tanyanya dengan nada tegas yang tak ingin dibantah.
Rara mengangguk tanpa bisa menolak. Dan tak lama setelahnya, hujan turun dengan deras membasahi keduanya tiba-tiba. Rega segera menarik tangan Rara untuk berlari dan meneduh di sebuah emperan toko yang sudah lama tutup.
"Maaf kamu jadi kebasahan karena Kakak." Lelaki itu bergumam sambil memperhatikan tubuh Rara yang basah karenanya.
Rara menggeleng pelan, "Nggak masalah kok, Kak. Lagipula, besok libur jadi seragamku nggak kepakai."
"Tasmu basah, Ra." Rega menunjuk tas Rara dengan jarinya. "Sini, Kakak bawakan." Dan tanpa perlu menunggu jawaban Rara, Rega segera mengambil tas Rara untuk dilindungi olehnya agar tidak basah, walau Rega tahu rasanya percuma saja.
"Tapi, Kak-"
"Nggak pa-pa. Pulang nanti kamu mandi terus biar nggak masuk angin."
"Iya, Kak," dan Rara tidak akan pernah bisa membantah perintah Rega yang telah bersamanya sejak ia masih dalam kandungan.
※※※
2 tahun kemudian...
"Rega Giotama," seseorang berpakaian rapi yang datang bertamu tiba-tiba membuat firasat Rega tidak enak. "Saya Fahri, pengacara orang tua anda." Perkenalan itu sudah membuatnya lemas. Sejak dulu, ayahnya benar-benar berusaha menjauhkannya dengan Rara yang merupakan adik sepupu jauhnya. "Sesuai dengan kesepakatan almarhum Bapak Vino. Seluruh harta beliau akan diserahkan kepada Anda jika Anda menikahi perempuan bernama Anaya Litya yang merupakan puteri dari Bapak Rehan Naufal."
Dan setelahnya, pengacara itu memberikan sebuah surat kuasa yang berisikan wasiat serta dengan persyaratannya. Tidak perlu membaca dua kali, Rega pasti tahu bahwa keinginan ayahnya pun masih akan terus berlanjut bahkan ketika ayahnya sudah tidak ada lagi di dunia ini!
Oh astaga! Sampai kapan ayahnya mengurusi kehidupannya?
"Saya tidak perlu harta maupun surat Bapak! Jadi, tinggalkan tempat ini segera!" usirnya dengan nada mengancam yang kental. Membuat dua orang pengacara itu sedikit gentar sebelum memilih untuk mengundurkan diri.
※※※
"Kak, cinta itu menurut kakak apa?" tanya sosok yang sudah tumbuh remaja. Sosok yang kini menjadi sangat cantik dan juga pintar. "Selama ini Kakak selalu melarangku pacaran. Padahal banyak lelaki yang ingin aku jadi pacar mere- Kak? Kakak!" seru Rara saat melihat Rega meninggalkannya begitu saja.
Selalu seperti ini...
Setiap Rara membahas tentang teman lelakinya, Rega akan selalu marah padanya. Entah kenapa setiap Rega marah, perasaan Rara menjadi kacau. Ia benar-benar benci ketika pria itu marah padanya. Hatinya terasa sangat sakit.
Dan pula, bukankah di usia matang sang kakak, dia seharusnya menikah? Rara menghela napas pelan. Setiap bertanya tentang pernikahan, Rega akan selalu menjawab bahwa ia menunggu seseorang. Seseorang yang jika siap pada waktunya akan diperlakukan oleh Rega layaknya Ratu dalam sebuah istana.
Lalu, jawaban berkali-kali itu membuat hati Rara terasa perih tak berdaya. Karena pada dasarnya, ia pun tak bisa melakukan apapun atas pilihan sang kakak. Cukup dengan kehadiran Rega yang selama ini memperhatikannya. Namun, ketika suatu saat Rega memilih untuk menikah, apa ia akan sendirian? Dadanya terasa sesak yang mencekam, membuat sudut matanya berair. Kenapa Rara justru tidak ikhlas?
"Maaf," bisikan yang diikuti kecupan lembut dikepalanya membuat tubuh Rara menegang. "Maaf karena kakak tinggalin kamu gitu aja." Rega mengambil telapak tangan Rara dan membimbingnya ke bibirnya, lalu mengecupnya lama. "Kakak nggak suka kalau kamu bahas lelaki lain. Dan kamu tahu itu!" matanya terbuka sambil melirik tajam ke arah Rara yang masih terkejut akan sikapnya.
Rega memperhatikan wajah Rara yang tampak sendu dengan air mata yang membendung di kelopak tipis itu. "Kamu nangis?" ia segera memeluk Rara erat tanpa perlu mendengar jawaban gadis kecilnya. "Maafkan Kakak."
Rara terisak keras. Tidak tahu apa yang sebenarnya ia tangisi, ataukah sebenarnya ia takut bahwa Rega akan meninggalkannya? Ya, Rara tahu itu pasti terjadi. Apalagi, setelah ia mencuri dengar percakapan antara orang asing yang mengaku pengacara dengan lelaki yang kini sedang memeluknya. Bagaimana jika Rega menikah dan melupakannya? Rara sudah terlalu terbiasa dengan Rega, sehingga sehari saja tak ada Rega, hidupnya terasa kosong.
"Sayang," bisik Rega pelan sambil mengelus punggungnya dengan teratur. "Kakak nggak niat bikin kamu sedih."
Rara menggeleng dan berusaha melepaskan pelukan Rega. Menatap berkaca-kaca ke arah lelaki yang kini menatapnya penuh rasa bersalah. Bagaimanapun, Rara harus bisa merelakan sang kakak. Ia harus bisa hidup mandiri tanpa perlu bantuan sang kakak lagi.
"Aku ingin Kakak menikah," gumamnya pelan.
"Apa?" tanya Rega tidak mengerti. "Apa maksud kamu, Ra?"
Rara menggigit bibir bawahnya kuat. Sakit mengatakan hal yang sebenarnya tidak diinginkan oleh hati. "Aku mendengar semua percakapan kakak dan pengacara itu. Mereka benar, seharusnya kakak menikah saja. Jangan pikirkan aku."
Rega menatap tajam pada sosok Rara yang kini menunduk, sama sekali tidak berani menatapnya. Ia menarik dagu Rara sebelum bertanya terus terang. "Apa kamu masih belum mengerti, Ra?"
"Apa yang harus aku mengerti, Kak? Sudah seharusnya kakak menikah. Aku nggak mau tetangga menilai yang enggak-enggak tentang kakak. Aku nggak mau kakak seperti ini karena terus menjagaku!" Rara tidak mampu menahan air matanya yang kembali melaju lebih deras. Mengambil langkah mundur, Rara memberanikan diri menatap sosok kakaknya yang tampak marah. "Kumohon, Kak. Menikahlah..."
Rega menarik napas dalam-dalam sambil menyugar rambutnya kasar. Sebelum kembali menatap Rara yang kini terisak di depannya. "Kamu mau kakak nikah? Oke, kakak akan nikah. Mungkin kamu sudah bosan dengan keberadaan kakak disini!"
Mata Rara melebar mendengar tuduhan itu. Dia sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Ketika dilihat sang kakak meninggalkannya, Rara mengejar dengan berlari. "Kak," panggilnya tanpa dihiraukan. "Kak Rega!" serunya kembali. Namun, Rega terus melangkahkan kakinya hingga masuk ke dalam mobil, lalu mengendarainya dengan kencang. Rara terduduk lemas dan bergumam pilu, "Kakak tahu itu bukan maksudku. Aku lebih memilih mati daripada kakak yang meninggalkanku seperti ini! Kak...," panggilnya serak sebelum menekuk kedua lututnya dan memeluknya lalu menangis keras disana. "Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Dan sejak saat itu, Rara benar-benar kehilangan Rega tanpa tahu jejak lelaki itu.
※※※
3 tahun kemudian...
Rara menatap hampa pada rumah yang telah menyimpan banyak kenangannya bersama Rega. Sejak dilahirkan, Rara memang sudah bersama Rega karena Rara sudah tidak memiliki kedua orang tua. Ibunya meninggal ketika melahirkannya, dan ayahnya meninggal saat ia berada dalam kandungan.
Lalu, ia tumbuh besar bersama Rega yang merupakan sepupu jauhnya, namun justru hubungan mereka lebih daripada sepupu. Rega selalu memperlakukannya seperti adik kandungnya sendiri. Apalagi, setelah Rega memutuskan untuk tinggal bersamanya. Beberapa tahun kemudian, menyusul ayahnya Rega yang meninggal dunia meninggalkan lelaki itu sebatang kara seperti Rara. Rara sama sekali tidak tahu keadaan ibu dari sosok yang dikaguminya sejak lama.
Menghela napas pelan, Rara membuka perlahan pintu rumah sederhana miliknya. Dan tubuhnya terpaku ketika menemukan sosok Rega yang semakin matang dan tampan sedang duduk bersama seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa darinya. Keduanya sedang bercakap-cakap riang dan jelas terlihat raut kebahagiaan di wajah tampan itu. Seketika, hatinya mencelos karena pemandangan itu. Ia merasa bodoh dan dungu saat ini, apalagi ketika keduanya menangkapnya basah sedang memperhatikan mereka.
"Hai, kamu Rara?" tegur wanita cantik dan jelas lebih tinggi daripada Rara. "Aku Naya." Wanita bernama Naya melangkah mendekati Rara lalu mengulurkan tangannya.
Dengan kaku, Rara menerima uluran tersebut. "Rara, Kak."
Naya tersenyum lebar sebelum menoleh ke belakang, dimana Rega memperhatikan keduanya dari sofa yang di dudukinya dengan santai. "Adik kamu cantik, Ga." Naya kembali menatap Rara, "Maaf ya, kami masuk tanpa izin darimu. Rega bilang kamu nggak akan marah."
"Eng-nggak pa-pa kok, Kak." Berusaha untuk terlihat baik-baik saja walau terasa menyakitkan. "Aku bikin minum dulu."
"Nggak perlu!" tukas Rega cepat, kemudian berdiri. "Kami hanya ingin mengantar undangan pernikahan." Lelaki itu meletakkan sebuah undangan mewah ke atas meja tamu.
"Kok kamu kasar gitu sama adik kamu?" tegur Naya tidak suka. "Maafin sikap kakak kamu ya? Dia memang jutek."
Dia memang berubah... Bisik batin Rara. Ia menatap kosong pada undangan yang diberikan oleh Rega.
Ya Tuhan...
"Ayo, kita pergi. Banyak hal yang harus dilakukan!" putus Rega sebelum memilih keluar dari rumah sederhana yang pernah mereka tempati bersama.
Dan saat pintu depan tertutup rapat, kaki Rara tak mampu lagi menopang, saat itu pula ia lunglai begitu saja ke lantai. Sudah tiga tahun lamanya dan perasaannya tidak hilang sama sekali. Ya, Rara sadar akan perasaannya setelah ia kehilangan Rega bertahun-tahun ini. Lalu, semua itu tak lagi berarti apa-apa kala ia mendapat undangan pernikahan dari sang kakak.
"Masih menyangkal perasaanmu, Ra?" suara bariton itu membuat Rara langsung menoleh cepat ke arah pintu. Terlihat Rega bersandar santai dengan tangan bersedekap sebelum menegakkan tubuhnya dan melangkah menuju ke arah Rara. Membantu gadis itu berdiri sambil memegang kedua bahu yang tampak rapuh itu. Rega menatap lekat sosok Rara yang telah lama tidak dilihatnya. "Masih ingin menyangkal perasaanmu?"
Rara terisak tanpa bisa menjawab. Air matanya terus mengalir deras. Menggigit bibirnya pun percuma untuk menahan isakan itu, karena semakin Rara menahannya, maka semakin kuat dorongannya untuk menangis.
Rega menghapus air mata itu dengan jemarinya. Sebelum jempolnya menarik lepas bibir mungil itu dari gigitan Rara. Wajahnya menunduk perlahan sebelum menyatukan bibirnya dengan bibir mungil Rara. Rasa asin dari air mata gadis kecilnya tidak membuat Rega menghentikan ciumannya. Tangannya yang kukuh menarik pinggang Rara semakin rapat ke tubuhnya. Memperdalam ciuman itu seakan menuangkan semua rasa rindu selama tiga tahun ini. Nyaris saja Rega gila karena merindukan gadis kecilnya.
Astaga... Betapa lamanya ia ingin menyentuh bibir ini dengan bibirnya sendiri.
Merasa bahwa Rara membutuhkan oksigen, Rega melepaskan tautan bibir mereka. Menyeka sisa saliva yang ada di sudut bibir Rara sambil bergumam, "Berjanjilah untuk tidak menyangkal perasaanmu lagi dan aku pastikan kita akan terus bersama dan bahagia."
※END※
Ntar punya aq ya hbs ini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top