Silent love
By viallynn
Suara dentuman sepatu yang dilempar secara asal terdengar menggema di seluruh ruangan. Aubree menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan mulai memejamkan matanya. Terjaga selama hampir 24 jam membuatnya ingin ambruk saja rasanya. Jika bukan karena kalah taruhan, tentu dia akan memilih kembali ke apartemen dan tidur seharian.
Mata Aubree kembali terbuka begitu menyadari sesuatu. Kepalanya sedikit terangkat dan menatap keadaan kamarnya yang hancur bagai kapal pecah. Mau tidak mau Aubree kembali bangkit dan mulai membersihkan kamarnya. Setidaknya dia harus menyingkirkan pakaian kotor dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Hidup sendiri di kota besar seperti ini adalah keinginan terbesar Aubree. Lepas dari orang tua akan membuatnya menjadi bebas, namun di satu sisi dia juga harus belajar untuk bertanggung jawab. Hidupnya memang telah bebas sekarang tapi dia juga harus bisa mengontrol semua tindakannya agar tidak merepotkan dirinya sendiri nantinya.
Prinsip hidup Aubree adalah kau diijinkan melakukan hal yang kau sukai, termasuk melanggar hukum sekalipun tapi kau juga harus bisa bertanggung jawab akan pilihanmu sendiri.
Itulah kalimat yang Aubree pegang sejak 2 tahun lalu, di mana untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di kota besar ini untuk masuk ke perguruan tinggi.
Langkah terseret karena lelah itu membawa Aubree memasuki dapurnya. Dia berniat akan membersihkan piring kotor tapi ketika melihat keadaan dapur yang telah bersih membuat Aubree mengerutkan dahinya bingung. Dengan cepat dia membuka kulkas dan menemukan makanan sehat di sana. Banyak sayur dan buah-buahan yang sangat dia ingat jika dia tidak pernah membelinya sama sekali.
"Dareel," desis Aubree dan menutup kulkasnya keras.
Aubree berjalan cepat keluar dari apartemennya dan mulai mengetuk pintu sebelah apartemennya, tempat Dareel.
Pintu terbuka dan muncul Dareel dengan wajah sayunya. Mungkin pria itu terganggu dengan tidur nikmatnya. Terbesit rasa iri di hati Aubree begitu melihat hidup Dareel yang tertata dengan rapi tanpa adanya masalah yang berarti.
"Kau membuang minuman kalengku?" tanya Aubree tanpa basa-basi.
"Oh, aku menemukan makanan basi di kulkasmu tadi."
Aubree menggeram kesal, "Lancang sekali! Sudah berapa kali aku katakan, jangan pernah masuk ke apartemenku!"
Dareel hanya menatap Aubree datar dan mulai bersandar pada pintu. Selalu seperti itu, pria itu selalu diam jika Aubree mulai meledak. Apa dia tidak merasa kesal dengan ucapan tajam dari Aubree? Dareel selalu mengeluarkan eskpresi yang sama setiap hari, begitu dingin dan datar.
"Sudah?" tanya Dareel sambil menguap.
"Kau!" Aubree mengengkat tangannya dan memukul udara dengan kesal. Jika dia mau, dia bisa memukul Dareel sekarang juga.
Dareel kembali berdiri tegak dan melirik jam dinding, "Hampir tengah malam. Sebaiknya kau masuk atau aku akan menghubungi ibumu dan melaporkan semua kegiatan kriminalmu seharian kemarin."
Aubree menghentakkan kakinya kesal dan berlalu masuk kembali ke apartemennya. Dia membanting pintu dengan keras sambil menggerutu. Lagi-lagi Dareel mengancamnya seperti itu. Entah apa yang ibunya pikirkan sampai mengutus Dareel -si dokter es- untuk mengawasinya di sini.
Niat awal ingin bebas malah masuk ke dalam penjara paling ketat.
Dareel, Aubree mengenalnya sejak 2 tahun yang lalu, tepat saat dia baru saja pindah di kota ini. Dareel adalah tetangga apartemennya yang sangat misterius dan.. aneh. Misterius karena sifatnya yang dingin dan jarang berinteraksi, serta aneh karena pria itu seolah menjadi malaikat penjaga untuknya, tentu masih dengan gaya khasnya yang irit bicara. Pria itu sangat menyebalkan tapi di sisi lain, Aubree kagum jika Dareel masih bertahan untuk menjaganya selama 2 tahun terakhir ini.
Dareel adalah seorang dokter dan Aubree baru tahu jika ada dokter dengan spesies aneh seperti Dareel. Bagaimana bisa ibunya mengenal pria aneh seperti Dareel? Tidak banyak hal yang Aubree ketahui tentang pria itu. Dia hanya tahu jika Dareel adalah seorang dokter dengan hobi melukisnya, itu saja. Oh satu lagi! Pria itu juga hobi untuk menganggu hidupnya, menghancurkan kesenangannya dan kebebasannya.
***
Suara dentuman bola basket di samping gedung apartemen membuat Aubree melangkah mendekat. Masih dengan gaya angkuhnya, Aubree melipat kedua tangannya dan menatap dokter jantung -tetangganya- yang tengah bermain basket sendirian.
"Kau menganggur hari ini?" tanya Aubree sambil meminum minuman kalengnya.
"Tidak, aku sedang bermain basket."
Aubree memutar matanya jengah, orang buta juga tahu jika Dareel tengah bermain basket dengan hanya mendengar suara bola basket yang menghantam tanah. Maksudnya adalah apa Dareel tidak ke rumah sakit hari ini? Karena jujur saja Aubree merasa kesepian karena membolos.
"Apa kau bisa menemaniku nanti malam?"
Dareel mengelap keringatnya pelan, "Tidak jika untuk minum atau balapan liar."
Aubree mendengus, "Kau seharusnya menikmati hidupmu. Bukan melakukan hal monoton seperti ini terus."
"Aku sudah melakukan hal yang kusukai, Aubree. Termasuk menjagamu." Ucapan Dareel membuat gadis itu terdiam. Entah kenapa ucapan Dareel sering kali menamparnya dengan keras.
"Kau tahu jika aku tidak perlu dijaga."
Dareel tersenyum sinis dan berjalan mendekat, "Tiga kali berurusan dengan polisi, setiap 2 kali semingggu pulang dengan keadaan mabuk, hampir terkena masalah absen karena sering membolos. Apa kau mengatasi semua itu sendiri, Bree? Tanpa aku?"
Aubree terdiam. Ucapan Dareel lagi-lagi menghantam jantungnya keras. Dia sadar jika dia bukanlah anak yang baik. Kebebasan ini membuatnya buta, tapi Aubree selalu bertanggung jawab akan kesalahannya. Meskipun Dareel juga membantunya, namun tetap saja bukan? Kenalakan yang dia lakukan hanyalah kenakalan remaja biasa. Tidak perlu dilebih-lebihkan.
"Kemarilah, lebih baik kau bermain basket bersamaku jika kau bosan."
Aubree menggeleng, "Aku tidak suka basket."
Dareel meraih minuman kaleng milik Aubree dan melemparnya ke tong sampah dengan mudah. Keahliannya dalam olah raga basket sangat berguna. Dengan cepat Dareel meraih Aubree dan membawanya ke tengah lapangan.
"Cobalah pantulkan bola ini."
Aubree menurut dan memantulkan bola itu ke atas tanah. Sedikit kaku namun Aubree menikmatinya. Dia merasa konyol diumurnya yang sudah kepala 2 ini masih tidak bisa bermain permainan sejuta umat ini.
"Kau lihat bola itu, bola itu memantul ke atas lalu ke bawah." Dareel melipat kedua tangannya di dada, "Begitu juga kehidupan, Aubree. Aku tahu kau masih tenggelam dengan kesedihan akan meninggalnya ayahmu tapi kau juga tidak bisa berhenti begitu saja di satu titik. Kau harus terus bergerak mengikuti alur takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan."
Aubree menghentikan gerakannya dan menatap Dareel konyol, "Aku tidak mengerti."
Dareel berdecak dan berjalan mendekat. Tangannya meraih bola dan memasukkannya ke dalam ring basket dengan mudah, "Kau sudah masuk terlalu dalam pada kesedihanmu. Aku tahu kau bukan orang yang seperti ini sebelumnya." Dareel berhenti dan menatap Aubree dalam, "Berhenti melakukan hal konyol yang merugikan dirimu sendiri. Bangkitlah dan berbuatlah positif. Ayahmu pasti sedih melihat anak gadisnya masih terpuruk seperti ini. Setidaknya ingatlah pada ibumu yang telah berjuang untuk menghidupimu setelah ayahmu pergi."
Aubree berdecak dan melangkah menjauh. Dia tidak suka jika seseorang mulai membahas masa lalunya. Kehilangan sosok ayah benar-benar membuat Aubree hilang arah. Menjadi anak satu-satunya membuat dia kesepian, apalagi ibunya mulai sibuk untuk bekerja. Memilih hidup sendiri di kota besar hanyalah sebuah kedok belaka, dia ingin ibunya memperhatikannya selagi dia berada di tempar yang jauh namun apa yang dia dapat? Wanita itu malah mengirimkan dokter es yang sangat menyebalkan untuk menjganya. Dia hanya menginginkan perhatian ibunya, itu saja.
"Kau ingin ke mana? Jika ingin balapan liar lagi aku tidak mengijinkanmu," teriak Dareel keras.
Aubree menoleh dan tersenyum sinis, "Siapa dirimu berani melarangku?"
Bukannya marah, Dareel malah tersenyum. Tersenyum menyikapi sifat keras Aubree. Sama seperti dirinya, jika bukan karena egois ingin menjaga Aubree tentu Dareel tidak akan berada di sini. Dia lebih suka mengabdikan hidupnya di kota kecil dibandingkan kota besar seperti ini yang sudah penuh akan dokter-dokter berkualitas.
***
Wajah seorang gadis yang Dareel lukis itu terlihat begitu cantik. Senyum Dareel mengembang begitu menyadari jika wajah gadis yang dia lukis lebih manis dari pada aslinya. Aubree tidak pernah menunjukkan senyum manis yang selalu dia inginkan. Hanya wajah dinginnya yang selalu Aubree keluarkan tanpa menyadari jika Dareel menginginkan lebih dari itu.
Suara dering telepon membuat Dareel melirik ponselnya sekilas. Sebuah nama yang tidak asing lagi untuknya membuat pria itu meletakkan kuasnya dan mengelap tangannya cepat sebelum meraih ponsel. Begitu tersambung, Dareel hanya bisa tersenyum menyikapi ucapan seseorang di seberang sana.
Ibu Aubree ternyata masih mengingatnya, wanita itu menghubunginya untuk menanyakan keadaannya dan tentu Aubree tentu saja.
"Bagaimana kesehatanmu, Maria?"
"Ah, jantungku baik-baik saja Dareel, namun aku masih harus kontrol secara rutin." Jawaban itu membuat Dareel mengangguk lega. Setidaknya perginya ke kota tidak membuat Maria kesulitan untuk melakukan pengobatannya.
Inilah yang membuat Dareel bisa berada di sini. Menjadi dokter jantung dan merawat Maria selama dua setengah tahun membuatnya mengenal gadis pembangkang bernama Aubree. Maria adalah pasien yang cukup membutuhkan perawatan serius, namun suatu hari wanita itu datang dan memintanya menjaga Aubree yang akan kuliah di kota. Tentu Dareel tertawa karena permintaan konyol itu. Dia sudah menuruti semua segala ucapan Maria, wanita itu memilih untuk merahasiakn penyakitnya dari Aubree dan memilih untuk rawat jalan. Anehnya, penyakit Maria juga tidak pernah kambuh di hadapan anaknya, aneh sekali.
Maria terus meminta sampai akhirnya penyakit itu kambuh membut Dareel mau tidak mau harus menuruti Maria karena wanita itu mengancamnya. Sebagai dokter, tentu Dareel menginginkan hal yang terbaik untuk pasiennya. Rasa ragu itu masih ada, sampai akhirnya Maria memberikan foto Aubree dan dia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Ternyata cinta pada pandang pertama itu benar-benar ada, dan aku sendiri yang merasakannya.
Setelah melihat Aubree, Dareel tanpa ragu lagi menuruti ucapan Maria. Wanita paruh baya itu sudah dia anggap sebagai ibunya mengingat dia hanya sendiri di dunia ini dan keberadaan Aubree yang nakal membawa warna baru untuk hidup Dareel. Cinta itu perlahan mulai berubah menjadi sebuah obesesi, rasa ingin memiliki itu masih ada tapi Dareel masih menggunakan akal sehatnya. Aubree adalah gadis yang luar biasa dan Dareel benar-benar jatuh pada gadis itu.
Setiap hari, ketika ada waktu luang, Dareel selalu melukis. Menyalurkan hobi terpendamnya untuk melukis wajah Aubree yang sama persis dengan foto pemberian Maria. Melukis pose yang sama di berbagai kanvas. Mungkin sudah tidak terhitung lagi berapa banyak wajah Aubree yang sudah dia lukis, Dareel tidak peduli. Jika dia tidak bisa dekat dengan Aubree sekarang, setidaknya dia masih memiliki senyum manis itu di ruangannya.
***
Aubree berdecak begitu melihat tidak ada telur di kulkasnya. Mungkin Dareel lupa untuk memasukkan makanan wajib itu ke dalam kulkasnya, karena selama ini pria itu yang selalu memberikan makanan sehat dan membuang seluruh makanan kalengnya.
Tanpa ragu dia mengetuk pintu apartmenen Dareel di tengah malam. Entah kenapa dia juga kelaparan malam-malam seperti ini. Niat ingin membut telur acak harus sirna karena tidak adanya telur di dalam kulkasnya.
"Dareel!" panggil Aubree kembali mengetuk pintu dengan keras.
Masih tidak ada jawaban, hingga akhirnya Aubree memutuskan untuk menekan kata sandi apartemen Dareel dan masuk begitu saja dengan tidak sopan. Tidak masalah, dia sering melakukan ini.
Aubree berjalan dengan pelan, matanya mengedar ke segala arah mencari keberadaan Dareel. Di mana pria itu? Tidak mungkin jika dia keluar karena ini sudah tengah malam. Dareel juga tidak ada jadwal malam di rumah sakit, tidak mungkin jika dia keluar malam-malam seperti ini. Itu bukanlah Dareel, pria itu akan lebih memilih untuk tidur guna memanfaatkan waktu luangnya.
"Dareel?" panggil Aubree berjalan semakin masuk ke dalam. Dia sudah mengecek kamar pria itu namun tidak menemukan siapapun di sana.
Hingga sampai akhirnya dia menemukan sebuah pintu berwarna hitam yang tidak pernah Aubree lihat, karena memang dia tidak pernah masuk terlalu dalam di apartemen Dareel. Tanpa ragu, tangan kecil itu membuka pintu itu dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Matanya mengedar ke segala arah dan menatap banyak lukisan yang membuat Aubree terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.
Tepat di tengah ruangan, terdapat lukisan yang sama dengan kanvas yang besar dan baru setengah jadi, tepat di samping lukisan itu terlihat seorang pria yang tengah tertidur di atas sofa.
Aubree menutup mulutnya tidak percaya. Kenapa banyak sekali lukisan wajahnya di tempat ini? Apa Dareel yang membuat ini semua? Aubree tidak menyangka jika sifat misterius Dareel benar-benar menyeramkan. Apa pria itu mempunyai sifat penguntit yang berlebihan?
"Aubree?!" Suara pria terdengar membut gadis itu tersentak dan berjalan mundur. Aubree tidak tahu apa yang membuat Dareel bangun, tapi yang pasti adalah dia mulai ketakutan sekarang. Dareel terlihat seperti psikopat.
"Kau—kau yang membuat ini semua?" tanya Aubree masih berjalan mundur.
"Aubree, aku bisa jelaskan ini semua, kau tidak perlu takut."
Aubree menggeleng pelan, "Ini menakutkan, sebenarnya apa yang kau lakukan Dareel?!"
"Aku mohon jangan takut, aku mempunyai alasan untuk semua ini." Dareel mencoba membujuk Aubree. Demi Tuhan! Dia benci jika Aubree menjauh darinya.
"Kau selalu bersikap tenang, seolah menjagaku dengan sikap bijaksanamu itu. Tapi yang aku lihat sekarang kau itu sakit Dareel! Kau sakit!" teriak Aubree.
Dareel mengerang dan meremas rambutnya kesal. Percuma saja, dia tidak akan bisa menjelaskan semuanya jika Aubree terus ketakutan seperti ini.
Dareel kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum lemah, "Kita pulang sekarang, biar ibumu yang menjelaskan semuanya."
***
Aubree terdiam dan menangis. Dia masih menggengam tangan ibunya dengan perasaan campur aduk. Antara kecewa, sedih, dan marah. Kecewa karena ibunya membohonginya selama ini, sedih karena penyakit jantung ibunya dan marah karena ibunya bertindak secara egois.
Aubree tidak menyangka jika ibunya memendam semua masalahnya sendiri. Dia menjadi anak yang sangat bodoh. Aubree selalu membuat onar demi menarik perhatian ibunya padahal yang perlu diperhatikan saat ini adalah ibunya. Aubree merasa berdosa sekarang, karena keegoisannya ini akhirnya ibunya sendiri yang berkorban.
Untuk Dareel, Aubree tidak menyangka jika pria itu mempunyai perasaan untuknya selama ini. Sifat tenang dan datar yang pria itu tunjukkan tidak pernah membuat Aubree berpikir jika pria itu menyukainya. Dareel memang selalu menjaganya, tapi tentu dengan alasan untuk memenuhi perintah ibunya. Aubree tidak menyangja jika Dareel memang menjaganya dengan tulus selama ini. Pria itu mencintainya dan Aubree baru tahu itu sekarang.
Pintu tertutup dan Aubree duduk di samping Dareel dengan gelisah. Ruang tamu rumahnya yang gelap seolah menambah rasa gelisah di hatinya. Maria sudah tidur, dan sekarang waktunya Aubree untuk berbicara dengan Dareel. Pria aneh yang ternyata mempunyai perasaan untuknya.
"Kau sudah mengetahuinya?"
Aubree mengangguk pelan, "Aku tidak menyangka."
"Maaf," ucap Dareel.
Aubree menggeleng, "Ini aneh Dareel. Ini konyol tapi juga menyakitkan. Kenapa kau menyembunyikan semua ini dariku?"
"Ibumu yang meminta."
"Dan kau menurut? Kau tahu betapa terpuruknya aku kehilangan ayah. Aku tidak ingin kehilangan ibu juga. Kau ingin membuatku menyesal lagi hah?!" Aubree berbicara sedikit keras.
Dareel menunduk, "Aku benar-benar minta maaf. Aku hilang arah dan tidak bisa berpikir dengan jernih saat itu. Apa yang kau lakukan jika kau berada di posisiku dengan ibumu yang sedang kambuh. Aku tidak tega untuk menolak."
"Dan apa kau benar menyukaiku?"
Dareel menggeleng pelan, "Kau sudah berhasil membutku jatuh cinta, Aubree. Konyol memang." Dareel sedikit terkekeh.
"Tapi aku tidak mempunyai perasaan untukmu."
Sakit. Begitu sakit hati Dareel mendengar itu. Benar, dengan caranya selama ini tentu Aubree tidak akan mempunyai perasaan untuknya. Gadis itu tidak mungkin mempunyai pria datar sepertinya.
"Aku mengerti," gumam Dareel pelan.
"Maaf." Aubree menunduk dan memainkan jarinya pelan, "Bisakah aku meminta sesuatu?"
"Katakan."
"Kembalilah ke kota ini dan rawatlah ibuku. Mau tidak mau aku harus menyelesaikan pendidikanku, dan hanya kau yang aku percaya saat ini."
"Tapi—"
Aubree memotong ucapan Dareel cepat, "Aku mohon Dareel, lakukan demi aku. Kau tidak perlu khawatir dengan diriku di sana. Aku akan menjaga diri dan mulai serius dengan pendidikanku."
Dareel menatap Aubree dalam, "Apa kau janji?"
Aubree mengangguk mantap. Sebuah senyuman tulus untuk pertama kalinya gadis itu tunjukkan di depan Dareel. Seolah terhipnotis, Dareel mengangguk dan tersenyum. Dia begitu lemah jika di hadapkan dengan Aubree. Dareel sadar itu.
"Baiklah, kalau begitu.. sampai jumpa lagi." Dareel berdiri dan berlalu pergi dengan kesedihan.
***
Dua tahun kemudian..
Aubree memakan rotinya cepat sebelum dia benar-benar tertinggal kereta. Dia sudah menunggu hari ini jauh-jauh hari. Hari di mana dia akan kembali ke kota kecilnya setelah berhasil lulus sebagai mahasiswa teladan.
Ya, Aubree berubah sejak saat itu. Dia mulai menata hidupnya, setidaknya dia bisa mencotoh betapa tertatanya hidup Dareel. Ah, pria itu, entah kenapa Aubree tidak bisa melupakannya sama sekali. Meskipun dia mengaku tidak mempunyai perasaan, tapi di hari-harinya dia selalu mengingat Dareel. Semua kata bijak yang pria itu ucapkan selalu Aubree pegang dengan erat.
Sejak saat itu, tidak ada tetangga menyebalkan yang selalu menjaganya. Yang ada sekarang, malah tetangga pemabuk yang lebih memyebalkan dari pada Dareel. Namun itu tidak masalah, semua itu telah berakhir sekarang. Dia akan kembali ke kota kecilnya dan memulai hidup baru bersama ibunya.
Ketika Aubree wisuda, tidak ada yang datang, baik ibunya maupun Dareel. Ibunya mengalami penurunan dan harus mendapatkan perawatan dari rumah sakit. Terkejut memang, Aubree bahkan ingin pulang saat itu juga dan tidak berniat mengikuti wisuda. Namun dengan keras ibunya memintanya untuk melakukan tugas terakhirnya sebagai mahasiswa itu sebelum benar-benar kembali ke kotanya.
Kereta berjalan dengan begitu lambat, biasanya Aubree tidak merasa seperti ini. Tiga jam perjalanan seharusnya terhitung cepat, namun entah kenapa dia ingin segera bertemu ibunya dan.. Dareel tentu saja. Jujur, Aubree merindukan pria itu. Merindukan semua yang ada di diri Dareel termasuk ceramah bijaknya.
Langkah kecil itu berjalan dengan cepat di koridor rumah sakit. Tangannya sesekali melirik jam tangannya. Rekor, Aubree datang lebih cepat dari biasanya. Gadis itu langsung menuju ruangan ibunya dan tersenyum lega, begitu melihat ibunya yang tengah makan siang dengan ditemani oleh seorang perawat.
"Ibu?"
Maria tersenyum haru, "Aubree, Sayang. Ibu merindukanmu."
Aubree masuk begitu saja ke dalam pelukan ibunya dan menangis. Ucapan terima kasih keluar dengan lancar dari mulut Aubree. Dengan terharu, Maria menangis dan mengelus punggung anaknya.
"Terima kasih," ucap Maria merenggakan pelukannya, "Makasih karena menjaga kepercayaan ibu di sini. Kau lulus tepat waktu sebagai mhasiswa teladan. Sekarang adalah hidup yang sebenarnya, Aubree."
"Terima kasih, Bu. Aaku benar-benar berterima kasih. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik."
Maria tersnenyum dan mengelus rambut anaknya sayang, "Jadi apa rencanamu sekarang? Bekerja di kota?"
Aubree menggeleng cepat, "Tidak, aku akan tetap di sini menemani ibu. Aku sudah diterima bekerja sebagai editor di perusahaan penerbit yang besar. Ibu tidak perlu khawatir."
"Sayang, Ibu benar-benar bangga. Ini langkah awal yang bagus untukmu."
Aubree tersenyum, "Aku tahu." Kemudian dia kembali memeluk ibunya erat.
"Keadaan ibu baik-baik saja bukan selama aku tidak ada, apa Dareel menjagamu dengan baik?"
Maria mengangguk, "Dia dokter yang hebat. Keadaanku mulai membaik. Hanya saja kemarin ibu kelelahan bekerja sampai akhirnya menginap di rumah sakit." Maria tertawa dengan konyol.
"Di mana Dareel sekarang?"
"Dokter Dareel tidak ada jadwal hari ini, Nona," ucap perawat yang menemani ibunya tadi.
Aubree mengangguk, "Apa aku bisa menemuinya ibu?"
Maria mengangguk, "Temui dia, Dareel menjadi semakin pendiam akhir-akhir ini."
Aubree mencium kening ibunya cepat dan berlalu ke luar kamar. Dengan bermodal alamat lama, Aubree yakin jika Dareel berada di rumahnya sekarang.
Ini adalah waktunya, Aubree berharap dia tidak terlambat. Gadis itu telah sadar jika perasaan suka itu memang ada untuk Dareel, sejak dulu. Mungkin dia yang terlalu gengsi dan kalut dengan masalah yang menimpa keluarganya, sehingga dia mengambil keputusan yang merugikan dirinya dan Dareel. Namun demi ibunya, Aubree tidak bisa melakukan hal lain. Selama dia sekolah, hanya Dareel yang bisa dia percaya.
Senyum Aubree merekah begitu melihat seorang pria yang tengah bermain basket sendirian di taman komplek. Belum sampai di rumah Dareel, gadis itu sudah bertemu dengan pria itu ketika melewati taman. Apa ini yang di namakan jodoh? Hah konyol sekali!
"Masih menyukai basket?" Suara Aubree membuat Dareel menghentikan gerakan tangannya. Pria itu menatap Aubree tidak percaya, namun senyum tipis terukir manis di bibir pria itu.
"Kau sudah kembali, kapan?"
Aubree tersenyum dan berjalan mendekat. Mengambil bola basket dari tangan Dareel dan memainkannya, "Baru tadi pagi."
"Kenapa tidak menghubungiku, aku bisa menjemputmu."
"Dan menganggu kegiatan sehatmu ini?" goda Aubree dan mulai memantulkan bola.
Dareel berdecak melihat betapa konyolnya Aubree bermain bola basket, "Kau masih saja bodoh dalam permainan ini."
Aubree berdecak, "Aku sibuk belajar jika kau lupa. Tapi ... " Aubree berbalik dan menatap Dareel masih dengan memantulkan bola, "Aku sudah mengerti ucapanmu dulu."
"Apa?" tanya Dareel bodoh.
"Tentang hidup yang tidak harus berada di bawah. Kau menyuruhku bangkit bukan? Dan aku melakukannya, seperti bola ini. Aku sekarang sadar jika ucapanmu ada benarnya juga. Aku tidak boleh terpuruk begitu saja, dan posisiku sekarang berada di atas seperti ini." Aubree bergerak measukkan bola itu ke dalam ring dan masuk.
Dareel tersenyum, "Aku senang kau berubah."
"Ah, mendengar itu, apa kau juga berubah, Dareel?" tanya Aubree berjalan mendekat.
"Aku tidak mengerti," balas Dareel bingung.
Aubree tersneyum, "Apa perasaanmu berubah?"
Dareel terkekeh dan menggeleng tidak percaya, "Rasa itu tidak pernah berubah. Aku bisa membuktikan dengan semakin banyaknya lukisan wajahmu di rumahku."
Aubree mengulum bibirnya menahan senyum, "Kalau begitu berarti perasaanku yang berubah."
Dareel semakin bingung," Aku tidak mengerti."
"Perasaanku berubah, Dareel. Aku menyukaimu."
Dareel terdiam tidak percaya. Jadi perasaannya terbalaskan? Aubree tidak bercanda bukan?
"Kau serius? Tidak sedang bercanda?" tanya Dareel menyuarakan isi otaknya.
Aubree menggeleng mantap dan tersenyum, "Jadi kapan kau akan melamarku? Jujur saja tanganku sudah gatal ingin memakai cincin."
Dareel tertawa dan menatap Aubree tidak percaya. Gadis itu memang berubah sekarang, lebih terlihat dewasa. Namun sifat konyol itu masih ada dan Dareel menyukainya.
"Secepatnya, secepatnya aku akan melamarmu, Sayang."
Inilah yang Dareel tunggu, ternyata keputusannya untuk menunggu benar-benar membuahkan hasil. Dia benar-benar merasa bahagia sekarang. Kebahagiaannya begitu lengkap dengan kehadiran Aubree dan ibunya. Dareel merasa sempurna sampai rasanya tidak ingin kebahagiaan lain selain ini.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top