Perjodohan

By : henzsadewa

***

Batang candu yang kini ku hisap tak terasa nikmat lagi, kepalaku terasa pening. Aku mengingat kejadian kemarin di mana orang tuaku menjodohkan aku dengan wanita yang entah siapa aku tak tau.

Ingin sekali aku menolaknya tapi aku tidak bisa. "Nak kami tidak pernah meminta apapun darimu," ucapan itu yang membungkam penolakan yang meraung di dasar hatiku dan tidak akan pernah mungkin aku suarakan.

"Maafkan kami nak."

Ucapan ibuku menyadarkanku dari lamunanku. "Ibu." Kupadamkan batang canduku kedalam asbak dan bergegas menyambut ibuku yang berdiri di ambang pintu.

"Ibu tau, kamu pasti terpaksa menerima perjodohan itu," ujar beliau mengusap wajahku penuh kasih sayang.

"Devan tidak apa-apa kok Bu, Devan ikhlas demi kebahagiaan ibu dan ayah." Kuraih punggung tangan ibuku dan menciumnya.

"Kami sangat menyayangimu nak, ibu harap kamu tidak berfikir macam-macam tentang kami. Ayah dan ibu menginginkan yang terbaik untukmu," ucap beliau.

"Devan tau Bu, Devan percaya," balasku walaupun dalam hati aku masih berfikir tak adil karena kedua kakakku menikah dengan pilihannya sendiri bukan dijodohkan. "Apa karena ibu dan ayah tak percaya padaku karena kenakalan yang selama ini aku lakukan," batinku.

"Bersiaplah," ucap beliau.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Aku berdiri di depan cermin, melihat pantulan diriku sendiri. Aku tersenyum miris, tidakku pungkiri benar kata kebanyakan orang bahwa aku menarik, aku juga memiliki wajah yang tampan. Darah keturunan Arab Indonesia membuat penampilan ku terlihat makin sempurna.

"Ayo berangkat, Nak," ajak ayahku.

"Baik ayah." Aku mengikuti beliau.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, aku membayangkan bagaimana rupa calon istriku. Aku pernah mendengar dari kakak ipar ku bahwa dia tidak menarik sama sekali, bahkan jauh dari kata cantik. Dan lagi aku kembali tersenyum miris, harusnya aku bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dengan berbekal tampangku beserta pekerjaanku yang mapan.

Ku usap wajahku kasar saat aku dan keluargaku kini telah sampai di depan rumah calon istriku.

"Tenang nak, semoga semua berjalan lancar," ucap ibuku lembut. Aku terpaksa menyunggingkan senyum tipisku, hanya untuk menenangkan beliau.

Kulangkahkan kakiku masuk dan yang pertama kali aku pikirkan adalah mencari dimana calon istriku, aku penasaran seperti apa dirinya. namun sampai acara selesai, aku tak mendapatinya. "Sudahlah„" batinku pasrah.

***

Sebulan setelah hari lamaran itu dan kini lah saat terpenting sepanjang sejarah hidupku. Hari ini aku akan menikah.

_Ya aku akan menikah..._

Jantungku berdetak kencang, aku sungguh gugup. Aku tak ingin melakukan kesalahan sehingga membuat malu. Ku hafalkan berulang kali kalimat ijab qabul yang akan aku lafalkan.

"Nak Devan duduk kemari."

Aku mengikuti perintah calon ayah mertuaku. Keringat dingin mengucur keluar dari dahiku ketika tanganku mulai di genggamnya erat untuk memulai acara ijab qabulnya.

"Ananda Devan bin Abdullah, saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinangannya, putriku Khairunisa dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Khairunnisa binti Saefullah dengan mahar tersebut, tunai."

"Sah?"

"Sah..."

"Alhamdulillah," ucap semua serempak.

Aku tersenyum lega karena aku melakukannya dengan lancar karena ijab qabul tidak boleh di jeda, harus satu tarikan nafas.

"Itu istrimu," bisik Kak Damar pelan. Aku langsung mengangkat kepalaku menatap istriku yang entah sejak kapan dia sudah duduk di sampingku.

Aku hanya diam menilai penampilannya. Benar kata kakak ipar ku bahwa dia memang tidak cantik. Tubuhnya kecil mungil dan kulitnya coklat khas wanita Indonesia. Sungguh kontras denganku yang memiliki perawakan tinggi dan kulit putih bersih.

"Silahkan saling tukar cincin," perintah sang pemandu acara.

Aku melihat tangannya bergetar, aku yakin dia gugup sama sepertiku. Hanya saja aku tak sampai seperti dirinya.

Setelah bertukar cincin, ia mencium punggung tanganku sebagai tanda penghormatan dan aku pun mengecup keningnya. Itu lah sentuhan-sentuhan pertama kami. Dan aku bisa melihat jelas pipinya merah merona. Aku yakin dia malu.

Setelan menjalani prosesi pernikahan yang sangat melelahkan karena banyak sekali tamu undangan yang datang membuat tangan dan kakiku pegal. Kurenggangkan otot-ototku. Ingin sekali ku rebahkan tubuhku di atas ranjang empukku. Namun keinginan itu ku tunda saat melihat istriku sedang kesusahan melepas gaun pengantinnya.

"Biar aku bantu," ucapku.

Dia berdiri membelakangiku. Aku meneguk air liurku susah payah ketika perlahan aku menurunkan resleting gaunnya.

"Terima kasih," ucapnya masuk ke dalam kamar mandi.

Aku duduk termenung memikirkan apa yang harus aku perbuat, aku tidak mencintainya tapi dia istriku, tanggung jawab untukku. Aku sedikit menyalahkan orang tuaku, beliau memilihkan istri yang tak cantik, dan aku lihat dia juga tidak memiliki selera fashion yang baik. Di lihat dari riasan dan gaun pengantin sederhana yang ia kenakan tadi juga sudah terlihat, dia hanya gadis sederhana.

"Mas aku sudah menyiapkan air mandi untukmu," ucapnya lembut sembari mengulurkan handuk bersih untukku.

"Ya," jawabku singkat dan ku raih handuk yang ada di tangannya.

Setelah selesai membersihkan diri, aku melihatnya masih terjaga menungguku.

"Apa kamu sudah siap?" tanyaku sebagai izin untuk mengambil hakku. Dan dalam agama memang harus di segerakan. Aku tak munafik, walaupun aku tak mencintainya tapi aku laki-laki yang tak akan menolak melakukan hal seperti itu, apalagi dengan istriku sendiri yang sudah halal untukku.

"Iya, Mas," jawabnya malu.

Ku ajak ia sholat berjamaah sebelum kami melakukannya. Dan ku lafalkan doa supaya kami di berikan keturunan yang baik dan tidak di ganggu oleh syaitan.

Ku kecup keningnya dan ku rebahkan perlahan tubuhnya di ranjang. Aku perlakukan ia selembut mungkin. Aku berharap penyatuan kami semakin memperkuat iman kami dan menumbuhkan perasaan cinta di hati kami.

***

Ku buka perlahan mataku saat merasakan ada usapan lembut di wajahku.

"Sholat subuh, Mas," ucapnya lembut. Aku tersenyum kepadanya, Aku ingat semalam dia telah menjadi milikku seutuhnya. Aku juga bangga padanya karena ia benar-benar bisa menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya.

Aku akui, aku bukanlah laki-laki baik. Aku memiliki catatan kelamku sendiri tapi aku tetap saja akan memilih wanita baik-baik untuk menjadi ibu dari anakku kelak. Dan kini aku sudah dapatkan ibu dari calon anakku berkat perjodohan itu. Perjodohan yang awalnya ingin sekali aku tolak.

Setiap hari aku belajar untuk mencintainya dan menerima dia dengan baik. Tapi ada yang mengganjal di hatiku, tentang perasaanya. Walaupun bagaimana pun, kita menikah karena perjodohan. Aku tak ingin ia tertekan hidup denganku.

"Kemarilah," perintahku sembari menepuk ranjang kosong di sebelahku. Dia tak pernah membantah dan ia selalu menuruti perintahku.

"Aku ingin bertanya padamu," ucapku kemudian.

"Aku akan menjawabnya, jika aku bisa menjawabnya, Mas," balasnya.

"Kenapa kamu mau di jodohkan?" tanyaku penasaran.

Ia terlihat terdiam dan menarik nafas cukup dalam. "Terpaksa," jawabnya terdengar getir.

Aku tak terkejut mendengar jawaban itu, karena aku sendiri juga merasakan hal demikian.

"Apa yang kamu rasakan saat pertama kali mendengarnya?" tanyaku lagi.

"Awalnya aku ingin menolak. Tapi aku urungkan, aku melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk. Setelah itu aku memantapkan diri untuk menerimanya," jelasnya.

"Lalu bagaimana perasaan kamu sekarang?" Aku masih penasaran dengannya karena selama ini dia tidak pernah bercerita tentang dirinya.

"Senang sekaligus bersyukur."

"Senang?" tegasku meminta penjelasan lebih lanjut.

"Iya aku senang mas, aku tidak nyangka bisa jadi istrinya mas. Aku sudah mengagumi mas dari pertama kali melihat mas," ucapnya malu-malu.

"Saat hari pernikahan kita?" Karena seingatku pertama kali bertemu adalah di hari pernikahan.

Dia menggeleng, membuatku mengerenyit bingung. "Lalu?"

"Aku mengagumi mas saat pertama kali melihat mas di SMA."

Aku tercengang atas penuturannya.

"Aku sudah menyukai mas saat itu dan aku selalu menyelipkan doa di setiap selesai sholat untuk meminta mas sebagai jodohku. Aku tidak menyangka ternyata Allah mengabulkan doa-doaku selama ini. Aku memang terdengar lancang karena berani meminta mas yang sempurna untuk aku yang seperti ini," ucapnya menunduk dalam-dalam.

Ku raih dagunya dan mengangkatnya tinggi untuk menatap wajahku. "Apa kamu benar-benar menganggapku sempurna?" tanyaku. Dia mengangguk sedangkan aku tersenyum tipis.

"Kamu salah." Aku lihat dia seperti bingung dengan maksud ucapanku.

"Aku tidak seperti yang kamu kira, aku memiliki sejarah kelamku sendiri. Aku seorang pemabuk dan pecinta dunia malam. Aku cacat dalam segi agama. Aku serasa buta akan hal itu dan aku rasa, aku bukanlah tipe suami yang baik apalagi sesuai kriteriamu. Aku yakin wanita sepertimu berharap memiliki imam yang baik yang mampu menuntunmu, sedangkan aku tidak memiliki ilmu agama yang baik," sudah sepantasnya ia tahu seperti apa diriku.

"Aku sudah tau kok, Mas. Itu tidak masalah buatku. Justru aku semakin mengagumi mas karena mau bertobat dan memperbaiki diri. Aku bangga menjadi istrinya mas, tidak ada kata terlambat mas untuk orang yang mau belajar. Mari kita mempelajarinya bersama-sama," jawabnya tersenyum.

"Benarkah?" tanyaku tak percaya dia ternyata sudah tau tentangku hingga keburukanku namun ia masih mau menerimaku. Bahkan ia terlihat sangat bijaksana.

Ia mengangguk sebagai jawaban pertanyaanku.

"Lalu bagaimana jika aku kembali ke dunia kelamku?" gumamku pelan. Aku sadar bahwa, aku belum bisa sepenuhnya keluar dari kebiasaan burukku yang mungkin sewaktu-waktu akan muncul kembali dan aku tak mau ia kecewa padaku.

Ia meraih tanganku dan di genggamnya kuat. "Aku akan menggenggammu mas, kita akan saling menguatkan satu sama lain," ucapnya mantap.

"Terima kasih sudah mau menjadi istriku." Aku kecup keningnya lembut. Aku bersyukur mendapatkan istri seperti dia. Aku harus berterima kasih kepada kedua orangtuaku yang menjodohkan kami.

Kini aku menyadari, kecantikan fisik bukanlah yang paling utama karena tidak ada keindahan selain akhlak yang baik. Sopan santun dan tutur katanya yang lembut kini buatku jatuh cinta kepadanya, kepada istriku.

Aku semakin percaya bahwa orangtua tidak mungkin menjerumuskan anaknya, beliau pasti akan memilihkan yang terbaik. Walaupun terkadang terdengar tak adil tapi kenyataannya itulah yang terbaik. Dalam hidup kadang Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan.

Dari perjodohan ini, Aku menginginkan istri yang cantik tapi ternyata Allah memberikan istri baik dan Sholehah yang aku butuhkan untuk menyempurnakan agamaku.

-End-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top