Love Reincarnation

By tiapurnamasetiani15 dengan judul Love Reincarnation.

Jangan lupa vomment ya! (:
.
.
.
.
.
Berada beribu-ribu kilometer dari orangtua dan tanah kelahiran bukan hal yang mudah bagiku. Meskipun, apa yang aku lakukan sekarang adalah pilihanku sendiri.

Ya, aku adalah mahasiswi yang lolos dalam pertukaran pelajar antara Indonesia dengan Thailand.

Bukan hal mudah bagiku melakukan semua sendiri. Namun, ini adalah pilihanku. Aku memutuskan mengikuti seleksi pertukaran pelajar ini memang lebih pada ingin memandirikan diriku. Selama ini, aku terlalu bergantung kepada orangtuaku.

Awalnya, aku menyesali keputusanku ini. Tetapi, aku harus menjalani apapun yang sudah aku pilih. Ditambah, waktu di sini dengan orangtuaku juga sama. Jadi, aku rasa, ini tidak akan terlalu berat. Karena, kami masih bisa berkomunikasi dengan intens.

Malam ini, aku masih berkutat dengan tugas-tugas yang tak kalah menumpuk seperti saat aku berkuliah di Indonesia. Aku tinggal sendiri di condo yang cukup luas ini. Mungkin, aku harus menunggu tahun ajaran baru untuk punya teman.

Aku mengembuskan napas kasar. Tidak ada teman berbincang memang terasa membosankan dan waktu rasanya berjalan sangat lambat. Aku memilih menghubungi orangtuaku via skype.

"Mama, Lyn kangen," rengekku saat ibuku menerima panggilanku.

Ibuku hanya membalasnya dengan beberapa nasihat. Aku hanya memajukan bibirku. Tujuanku menghubungi mereka untuk mengurangi rasa rinduku. Bukan untuk mendapatkan ceramah ibuku. Tidak dekat tidak jauh, sifat ibuku selalu saja begitu.

Aku mengakhiri panggilanku setelah mengucapkan selamat malam. Untuk menghilangkan rasa bosanku, aku pergi ke balkon condo untuk menghirup udara segar. Berada di lantai yang cukup tinggi, membuatku bisa menyaksikan indahnya kota Bangkok di malam hari. Meski gemerlap lampu-lampu kota mengalahkan cahaya langit malam.

****

Seperti biasa, pagi ini aku berjalan kaki menuju Chulalongkorn University. Jarak universitas dengan condo yang kutempati memang cukup dekat. Jadi, aku memutuskan untuk berjalan kaki setiap berangkat dan pulang kuliah.

Entah, ini perasaan burukku saja, atau memang benar. Aku merasa, ada yang memerhatikanku beberapa hari ini. Aku menyelidik ke sekelilingku, namun nihil. Tidak ada orang dengan gerak-gerik mencurigakan disekelilingku sekarang. Tapi, aku memutuskan untuk berjalan lebih cepat menuju kelasku.

"Ekhm,"

Kudengar seseorang berdeham tepat di belakangku. Tetapi, aku mencoba acuh karena mungkin saja bukan aku yang ditujunya.

"Ekhm,"

Aku masih tidak peduli pada dehaman kedua. Sampai, orang itu menepuk pelan pundakku.

Aku yang tidak terlalu dekat dengan laki-laki di universitas, tentu saja heran. Mengapa lelaki di belakangku tiba-tiba memanggilku?

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dalam bahasa Thailand.

"Aih, Jane. Kamu melupakanku?" tanyanya dengan wajah sedih.

Aku mengernyitkan keningku. Jane siapa maksudnya? Jelas-jelas namaku Carlyn. Tidak ada unsur Jane sama sekali.

"Maaf, anda salah orang," kataku cepat dan segera berbalik ke arah depan.

"Jane, aku mencarimu sampai ke sini. Dan kamu melupakanku?" tanyanya lagi yang semakin membuatku bingung.

Akhirnya, aku menyahut dengan bahasa Inggris agar orang itu sadar jika aku bukan orang yang dimaksudnya.

Sebelum lelaki itu menimpali perkataanku, dosen yang mengajar pagi ini masuk ke kelas dan lelaki itu segera bergegas keluar. Sudah kuduga, dia bukan anak kelasku.

Kuliah dari pagi sampai sore sudah bukan hal aneh bagiku. Namun, kali ini, aku sampai harus pulang malam karena dosen yang masuk sore mengundur kelas sampai dua jam.

Aku berjalan gontai menuju condoku. Sendirian. Yang ada dipikiranku saat ini adalah menyiram kepalaku dengan air dingin setelah sampai ke condo. Rasanya lelah dan badanku juga terasa sangat lengket.

"Hai, Jane!"

Aku hampir saja terjatuh ketika lelaki aneh di kelasku tadi kini memanggilku. Tepat di depanku. Rasa lelahku berganti dengan rasa was-was. Aku tak menghiraukan lelaki itu dan berjalan secepat yang aku bisa.

"Jane, istirahatlah. Sampai bertemu besok pagi!" teriaknya dari tempatnya berdiri.

Aku mengembuskan napas lega saat tahu lelaki itu tak mengikutiku.

****

Hari ini, rasa cemas terus menggangguku. Aku terus memikirkan perkataan lelaki aneh itu. Apa yang akan ia perbuat padaku? Aku adalah pendatang dan tidak ada siapapun yang bisa menolongku. Aku ingin menangis saat ini dan mengadu pada ayahku. Namun, itu semua tidak mungkin.

Dengan sisa keberanian, aku berangkat menuju kampus. Semoga aku tak bertemu lelaki itu lagi. Aku terus merapalkan doa sepanjang jalan.

"Ekhm,"

Dehaman itu lagi. Aku mempercepat langkahku. Tapi, rasanya universitas lebih jauh jaraknya kali ini.

"Hei. Apa temanku membuatmu setakut ini?" Pertanyaan itu membuatku berhenti dan menoleh ragu pada orang yang berbicara padaku.

"Aku minta maaf atas perlakuannya padamu. Apa boleh, aku bicara padamu?"

Aku mengangguk kaku pada lelaki itu.

"Aku Ohm," katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Lyn," jawabku singkat sambil menerima uluran tangannya.

"Temanku Tee, mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Saat kami masih duduk di sekolah menengah atas,"

Lelaki bernama Ohm itu mulai bercerita dan mensejajarkan langkahnya denganku.

"Dan Jane, adalah kekasihnya yang terlibat dalam insiden itu. Tee mengalami koma yang cukup lama. Dan ia tidak tahu jika Jane meninggal pada kecelakaan itu. Semua orang mengatakan jika Jane pindah ke Bangkok pada saat itu. Dan harus kuakui, wajahmu mirip sekali dengan Jane."

Aku hampir tidak bisa bernapas mendengar cerita Ohm. Apa Tee itu akan terus mengejarku? Lamunanku membuyar ketika Ohm menunjukkan ponselnya padaku.

Aku membulatkan mataku saat melihat perempuan dalam foto itu. Benar, Jane itu sangat mirip denganku. Antara takut dan kasihan pada Tee terus bersarang dipikiranku.

"Apa kamu mau membantuku, Lyn?" tanya Ohm.

Aku terdiam cukup lama sampai akhirnya mengiyakan permintaan Ohm.

"Bantu aku memberitahu Tee kalau Jane sudah tiada. Dan kamu bukan dia,"

Aku mengangguk dan berjalan menuju kelasku.

"Jane," panggil Tee yang sudah duduk tepat di belakang bangkuku.

"Maaf, Tee. Aku bukan Jane," ucapku hati-hati.

"Oh akhirnya, kamu mengingat namaku, Jane," ujarnya sambil tersenyum manis.

Aku jadi ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, aku harus fokus pada tujuan awalku. Yaitu, menyadarkan Tee.

Aku mengeluarkan kartu identitasku dan menyerahkan itu pada Tee. Lelaki itu diam dengan ekspresi yang tak terbaca.

Aku mencoba membaca ekspresi itu sampai dosen masuk ke kelasku. Dan sialnya, Tee keluar dengan membawa kartu identitasku.

Aku menunggu Tee di depan kelas. Harap-harap lelaki itu datang mengembalikan kartu identitasku. Namun, sampai hari petang, lelaki itu tak datang juga. Terpaksa, aku pulang dengan perasaan yang aneh.

****

Ini hari ketiga setelah Tee mengambil kartu identitasku, dan lelaki itu tidak menemuiku. Bahkan, Ohm temannya sekalipun tak tahu di mana keberadaan lelaki itu.

Aku takut terjadi apa-apa pada Tee. Bukan lagi pada kartu identitasku yang dibawanya. Akhir pekan ini aku memutuskan berjalan-jalan ke taman yang berjarak tak jauh dari condo yang ku tempati.

"Carlyn!"

Aku yang sedang duduk di bangku taman langsung berdiri saat mendengar suara yang tak asing baginya.

"Tee,"

Tanpa membalas ucapanku, Tee langsung memelukku dengan erat. Aku lebih terkejut ketika lelaki itu mulai menangis.

"Tee," panggilku lagi.

"Jane sudah meninggal, Carlyn," isaknya.

Aku mengusap bahunya ragu.

"Carlyn," panggilnya.

"Panggil aku Lyn,"

"Kamu bukan Jane. Tetapi," Tee mengarahkan telapak tanganku ke dadanya.

Aku menahan napas saat merasakan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat.

"Kamu bukan Jane. Tetapi, detak jantungku tidak mungkin berbohong."

Aku masih mematung dengan tangan yang masih menempel di dada Tee.

"Aku mencintaimu, Lyn. Aku tahu, yang datang dimimpiku itu bukan Jane. Itu kamu,"

Aku masih terdiam ditempatku.

"Lyn,"

"Kamu tidak harus mencintaiku jika kamu memandangku sebagai Jane, Tee!"

"Tidak, Lyn. Jane adalah Jane, Lyn adalah Lyn. Dan mungkin, Tuhan menciptakan kalian dalam wujud yang hampir sama, dan sama-sama dipertemukan denganku," ujar Tee.

"Aku,"

Tee kembali memelukku sebelum aku meneruskan kata-kataku.

"Tidak usah menjawab. Detak jantungmu cukup menjawab pernyataanku," ucapnya yang tidak bisa aku pungkiri.

Pelan-pelan, aku membalas pelukan Tee dan menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top