Gadis hujan
GADIS HUJAN
*************************
Hujan kembali mengguyur bumi Cikarang. Kabut hilang bersamaan dengan rintik-rintik air yang seakan tidak ada habisnya. Desember, bagiku adalah bulan terparah dalam tahun ini. Hampir setiap hari, dari pagi sampai malam hujan turun membasahi kota pabrik ini. Meski hanya sekedar gerimis, selalu saja membuat sedikit menghambat aktivitasku sebagai pekerja keras. Namun semua itu, aku sangat sadar bahwa hujan selalu membawa keberkahan.
Sore itu aku duduk di halte, menunggu mikrolet untuk pulang ke kontrakan. Rumah kontrakanku berada sekitar 7 km dari tempakku bekerja. Untuk mempercepat perjalanan, aku memilih mikrolet karena selain lebih cepat, juga lebih ekonomis.
Jumat sore, hatiku senang, pasalnya sabtu minggu pekerjaanku libur. Waktu yang kutunggu-tunggu, mengingat selama sepekan, pekerjaan benar-benar memeras tenaga dan otak. Bekerja di sebuah perusahan elektronik yang sudah kujalani dua tahun, boleh dibilang pekerjaan yang diidam-idamkan, namun juga memiliki tingkat kejenuhan yang tinggi. Bagaimana tidak, dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore, harus bergelut dengan barang-barang elektronik. Aku sendiri mendapat bagian merakit kerangka TV, DVD, dan barang-barang elektronik lainnya. Untungnya perusahan tempakku bekerja sudah memakai system komputerisasi yang sudah canggih.
Sudah hampir setengah enam. Hujan tinggal menyisakan gerimis.Mikrolet yang biasa kutumpangi sudah penuh sesak. Rasanya tidak mungkin aku menaiki mikrolet yang sarat penumpang disaat waktu hujan. Bau pengap bercampur asap membaur menusuk-nusuk hidung. Tidak tahan lama-lama didalamnya, kalau tidak mau pingsan.
Menunggu kendaraan yang tidak benar-benar penuh rasanya menjenuhkan. Mataku berkeliling kesana kemari untuk suatu keajaiban. Barangkali ada tumpangan motor dari seseorang yang ku kenal. Yah, siapa tahu ada tetangga kontrakanku kebetulan lewat dan menawaiku tumpangan.Rasanya senang sekali jika hal itu terwujud. Seperti teman-teman sepekerjaanku yang lain, mereka sudah naik motor semua. Dan aku tidak ada kesempatan membonceng, sebab kebanyakan sudah ada yang mboking.
Sementara mataku sibuk mencari-cari keajaiban itu, pandanganku tertuju pada seorang wanita berjilbab yang sibuk menawarkan payung. Sepintas ku anggap dia melakukan hal yangkonyol. Namun setelah lama ku perhatikan bahwa dia melakukan itu untuk membantu orang lain menyeberang supaya tidak basah. Sempat terlintas dalam pikiranku, bahwa dia adalah seorang sukarelawan yang membantu sesama manusia dalam kesulitan.
Ku teliti lagi, sosok yang tidak kenal lelah, menawarkan payung kepada seseorang yang kebetulan melintas di seberang halte. Ternyata bukan perempuan yang kumaksud saat pertama kali terlintas dalam pikiran. Setelah kuperhatikan, dia gadis yang masih mudah. Dan tentunya memiliki wajah yang cukup menarik.
Lama ku perhatikan dirinya. Menawarkan payung kesana kemari tanpa memperhatikan sebagian bajunya yang basah. Aku terenyuh, prihatin dan sekaligus simpatik. Jujur, dadaku sesak menyaksikan sebuah fenomena seperti itu.
Sejenak pandanganku teralihkan oleh suara makian seorang wanita setengah baya yang berdiri di ujung halte. Dia mengomel pada pengendara mobil yang melaju kecang saat melewati genangan air dan membasahi sebagian bajunya. Belum lepas dari kejadian itu, tiba-tiba aku dikejutkan kehadiran seseorang. Dihadapanku gadis yang tadi kuperhatikan menyodorkan payung. Dengan senyum, dia mengucapkan sepatah kata yang tidak kumengerti.
“A.. U....A....YUNG...” katanya membuatku bingung sekaligus heran.
Aku melongo. Bingung harus menjawab apa. Dia menyodorkan payung yang sudah terbuka. Buliran air membasahi wajah dan bajunya.
“Terima kasih,” jawabku sekenanya, sambil pandanganku tertuju pada mikrolet yang baru berhenti, tidak jauh di sampingku. Sejenak ku perhatikan raut wajahnya yang polos dan dipenuhi guratan kesedihan, namun disisi lain, aku menangkap sorot matanya yang kuat, pertanda bahwa dia seorang yang tidak suka menyerah. Aku baru sadar, kalau sosok dihadapanku seorang wanita muda. Ku taksir umurnya belum sampai dua puluh lima tahunan, atau bahkan lebih muda dari itu.
Aku masih memikirkan gadis itu ketika sudah duduk santai dalam mikrolet. Rasa iba sekaligus simpatik padanya muncul begitu saja. Rasanya tidak percaya ada seorang gadis yang rela meluangkan waktunya disaat hujan. Sebenarnya aku penasaran pada gadis itu.
Apa yang dia lakukan disana? Dimana orang tuanya? Dan kenapa sampai berbuat begitu?
Sementara pikiranku sibuk bertanya-tanya, secara kebetulan pandangan mataku tertuju pada seorang wanita yang duduk diseberangku. Setelah kuperhatikan, aku baru sadar bahwa dia adalah wanita setengah baya yang tadi mengomel saat bajunya kecipratan air. Ternyata dia juga naik di mikrolet yang sama.
Aku sapa wanita itu untuk sekedar basa-basi sebelum menanyakan soal gadis itu. Wanita dengan nada yang agak cuek mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang ojeg payung. Seketika hatiku terenyuh. Aku tidak tega menyaksikan ada gadis yang berjuang demi rupiah yang tak seberapa di saat keadan hujan, sehingga mengabaikan kesehatannnya. Jujur saja, panggilan jiwaku meronta-ronta untuk membantunya. Mengingat selama ini, aku aktif membantu kegiatan remaja masjid dalam komplek kontrakanku.
*****
Pagi menjelma dengan muram. Matahari nampak minder terhalang awan kelam siap meneteskan air ke bumi. Setelah menyelesaikan sarapan, aku bergegas menaiki mikrolet langgananaku. Perjalanan pagi tidak sejenuh waktu pulang. Disamping udara pagi belum begitu tercemar, keadaan bagian dalam angkutan kota itu juga masih terlihat bersih.
Aku dengan perasaan terkejut memperhatikan sosok yang sejak kemarin menguasai kepalaku.
Ya, Gadis itu lagi. Dengan payung ditangan seraya memberikan jasa menyeberang pada orang tua lansia. Gadis itu membungkuk begitu menerima upah beberapa koin ribuan dari wanita tua itu.
Kulirik jam tanganku. Sudah hampir terlambat. Kupercepat langkahku menuju gerbang kantorku. Setelah mengisi daftar hadir online, aku pun langsung menuju ruangan khusus kerjaku. Selama bergulat dalam aksesoris-aksesoris yang rumit. Selama bekerja, tanpa disangka, pikiranku tertuju pada gadis itu. Gadis yang tiba-tiba muncul dan membuatku berpikir. Bukan soal apa-apa, yang membuatku kepikiran mengenai perasaan prihatin pada keadannnya.
Saat waktu istirahat, kutanyakan pada Andi, mengenai gadis itu.Teman kerjaku itu, cuma cengengesan tidak jelas. Bahkan kata-katanya itu membuatku kecewa.
“Biasa kali, banyak pengemis di jalanan,” komentarnya dengan agak pedas. “Ini kota besar, Bro. Jadi, wajar donk kalau banyak orang yang kerjaannya ngarep belas kasihan orang lain.”
Aku agak tersinggung jawaban dari teman kerjaku. Dia terlalu menyudutkan orang-orang yang tak beruntung seperti mereka.
“Aku cuma nanya, ojeg payung di depan sana,” tegasku kesal. “Kok bawa-bawa pengemis segala sih.”
“Fariz, Fariz,” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Buat apa sih, kamu masih peduli soal itu. Nyantai aja kali.”
Aku mendesah sambil menatap teman kerjaku itu dengan heran.
“Jangan nyudutin orang seenaknya, Ndi,” protesku. “Kita nggak tahu, nasib dia kedepannya. Kita juga, harus ingat, bisa saja kita seperti mereka!”
“Jangan terusin Riz,” pintanya sambil menunjukkan ekspresi kesal. “Aku sudah sering dengerin ceramah kamu!”
Lalu Andi menggeloyor masuk untuk makan siang. Sementara aku bergegas menuju mushola, untuk menuaikan shalat dhuhur.
Dalam hatiku terkadang bingung dengan jalan pikiran Andi. Teman kerjaku yang sudah bekerja lebih lama itu, sekitar empat tahun, kadang menunjukkan sikap aneh. Sesekali dia marah-marah tidak jelas. Kadang saat lagi baik, dia enak sekai diajak ngobrol soal kepedulian sesama.
Pernah suatu ketika aku main ke tempat kontrakannya. Disana ku temukan selembar kertas yang isinya curahan hati tentang istrinya.Mungkin itu bagian dari lembaran diary yang tercecer. Andi yang orangnya tertutup, marah waktu aku mengembalikan kertas itu padanya. Sepertinya dia tidak ingin masalah dirinya diketahui orang lain.
***
Seiring dengan berjalannya waktu, aku selalu memperhatikan gadisitu setiap kali berangkat dan pulang kerja. Kecuali hari sabtu minggu karena aku libur. Entah kenapa dia begitu menarik bagiku, lebih tepatnya dia membuatku simpatik akan ketegaran dalam menjalani hidup. Keprihatian pada nasib yang dialaminya membaur menjadi kekaguman atas perjuangannya bertahan hidup.
Aku tidak tahu sama sekali tentang dia. Mungkin dia gadis sebatang kara yang hidup dikolong-kolong jembatan. Perjuangannya melawan nasib merenyuhkan hatiku. Setiappagidan sore kuperhatikan sibuk menawarkanjasa demi beberapa koin uang recehan. Jujur, aku sangat penasaran ingin mengenalnya, bagaimana dia bisa setegar itu menghadapi kenyataan hidup.
Suatu pagi dihari minggu yang gerimis, aku bertekad membuat rencana. Memang, bolehdikatakan rencana kali kugila-gilaan. Selepas shalat subuh aku berangkat kantorku. Kepergianku kali bukan bekerja tetapi untuk mencari lebih jauh tentang gadis itu. Gadis yang selalu berjuang dibawah hujan.
Seperti biasa gadis yang kuharapkan, muncul membawa payung hitam yang sudah usang. Dia memakai pakaian ala kadarnya, jilbab hijau pudar menutup kepalanya. Dari sudut tempat duduk yang berjarak sekitar dua puluh meter, ku awasi gerak-geriknya sambil membaca koran pagi.
Lebih darisejam, aku duduk dan mengawasi. Tiba-tiba gadis itu lepas dari pandanganku. Aku kehilangan jejaknya. Dengan gugup aku pergi mengejar. Untung ada tukang ojeg yang mengatakan bahwa gadisitu pergi lewat ke gang di seberang jalan.
Aku percepat langkahku, mengejar gadis biasa yang penuh dengan keterbatasan.Rasa penasaranku membuncah mengalahkan gerimis yang membasahi tubuhku. Aku tak perduli. Perasaanku aneh, kenapa bisa merasa kehilangan seperti ini. Jiwaku mulai terpanggil untuk segera mencarinya. Yah, paling tidak, sekedar tahu tempat tinggalnya.
Detik berikutnya, ku ayunkah langkahku menuju pemukiman yang kumuh. Melewati padang ilalang yang menuju ke sebuah sungai kecil. Hatiku terasa terpanggil untuk menelusuri jalan setapak itu.
Lamat-lamat kudengar suara anak-anak dipinggir sungai. Aku tetap melangkah pelan,sambil mengamati air keruh sepanjang sungai kecil itu.
Suara anak-anak semakin dekat. Kupaksakan wajahku menengok ke sebuah bedeng kecil yang hamper roboh. Dalam celah kecil aku dapat menyaksikan pemandangan yang membuatku menangis. Kulihat gadis itu sedang membagi-bagikan nasi bungkus pada delapan anak-anakkecil yang rata-rata usianya enam- sepuluh tahun.
Tak kusadari,mataku berkaca-kaca melihat pemandangan itu. Gadis itu, menjadi ibu bagi anak-anak jalanan. Wajahnya yang teduh, dengan sabar menenangkan anak-anak yang lapar. Mereka berebut makanan yang tidak mencukupi.
Aku tidak tahan, lama-lama ditempat itu. Kuputuskan untuk pergi, namun kakiku tersangkut kayu. Bunyi kayu jatuh, membuat penghuni bedeng itu terkejut. Suara anak-anak berhenti seketika. Aku tidak dapat bersenyembunyi saat gadis itu keluar dan memergokiku.
“Maaf aku kebetulan lewat,” ucapku basa basi.
Gadis itu tidak bereaksi. Dia menatapiku seperti hendak menelan. Mungkin dia berpikir bahwa aku ini orang jahat.
“Sekali lagi minta maaf mbak,” lanjutku dengan nada bersalah. “Tenang aja Mbak, aku ini bukan orang jahat. Aku cuma sekedar lewat di jalan ini.”
Setelah beberapa saat saling berdiam diri, lalu kupuskan untuk meninggalkan tempat itu. Aku merasa bersalah telah memasuki daerah privasinya tanpa izin. Namun disisi lain kau merasa puas sudah tahu dimana tempat tinggalnya. Apa yang membelenggu dalam hatiku,sudah sedikit hilang. Setidaknya, aku tahu siapa dirinya.
****
Sekitar dua minggu kemudian, seperti biasa setiap berangkat dan pulang kerja selalu memperhatikannya. Bagiku dia semakin menarik perhatian saja. Bahkan tanpa sepengetahuan gadis itu, secara tidak sengaja aku selalu menerima jasanya. Waktu itu, aku pura-pura minta diantarkan keseberang jalan karena hanya merasa simpatik saja.
Sore itu hujan cepat reda dan membuatnya kehilangan pekerjaan.Aku memberikan uang lebih banyak dari pada yang dia terima dari orang lain.
Gadis itu terbelalak sambil menunjukkan selembar lima puluh ribuan yang baru dia terima dariku. Dia menggunakan gerakan, bahwa uang yang dia terima terlalu banyak.
“Nggak apa-apa, sekalian buat anak-anak,” jawabku sambil berlalu.
Dia kembali menggunakan kedua tangannya sebagai isyarat mengobrol. Lalu membungkukkan badannya sebagai ucapan terimakasih. Aku tersenyum.
Saat libur akhir pekan, tanpa didugaaku merasa terpanggil untuk pergi ke rumah bedeng anak-anak. Supaya tidak bertemu langsung dengan gadis itu, aku perginya sekita jam tiga siang. Biasanya jam-jam tersebut, dia sedang berada di sekitar halte, menawarkan payung pada orang-orang yang pulang kerja.
Aku mantapkan langkahku meneluri jalan setapak di tengah ilalang. Hujan masih menyisakan gerimis. Berbekal jaket tebal yang tidak mudah tertembus air, aku berani menerobos tetesan ribuan titik yang jatuh dari langit. Untuk memudahkan mengenal anak-anak, kusempatkan membeli roti dan kue sebagai tanda perkenalan. Aku yakin mereka akan senang.
Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ditempat itu. Kulihat anak-anak tengah duduk-duduk atas tikar usang di dalam bedeng. Kuperhatikan wajah mereka dirundung kebosanan. Sepertinya mereka bosan seharian dalam bedeng.
“Sore anak-anak?” sapaku ramah
Mereka tidak menjawab. Malah beberapa diantara mereka lari dan berkumpul di sudut bedeng. Mereka ketakutan melihat orang asing sepertiku.
“Ada yang mau makanan?” ujarku sambil mendekat. Perhatianku tertuju dinding bedeng. Hatiku miris melihat ruangan kecil berukuruan 5x5 dengan dinding terbuat dari triplek bekas. Menurutku ukuran tempat seperti itu sangat tidak layak. Apalagi, beberapa titik atapnya terlihat lubang bocor.
“Jangan takut adik-adikku,” kataku menenangkan. “Kakak, ini teman kakak kalian. Oh ya, siapa nama kakak kalian?”
“Hidayah,” sahut anak perempuan yang paling besar. Ia memakai rok kumal dengan rambut kusut.
Aku tersenyum akrab dan duduk diatas tikar. Jurus pertama untuk mengambil hati anak-anak ternyata berhasil.
“Kakak namanya siapa?” tanya anak perempuan yang tertua tadi.
“Fariz,” jawabku tersenyum. “Panggil saja Kak Fariz.”
Gadis itu tersenyum lucu.
“Nama adik siapa ya?” tanyaku
“Intan.”
“Nama yang indah,” komentarku sambil mengelus rambutnya.
Lalu pandanganku tertuju pada anak kecil dengan tubuh kurus. Aku terenyuh melihatnya.
“Kak, Idoy lapar,” rengek anak itu, berusia sekitar lima tahunan. “Idoy mau roti.”
Segera saja, kubagikan roti dan kue pada mereka. Ternyata mudahs sekali mengakrabi mereka. Sambil menunggui mereka makan, aku mencoba menghibur. Meskipun cara penyampaianku jelek, tapi mereka sangat terhibur mendengarkan dongeng asal-asalanku.
Tidak kusangka Idoy minta dimanja. Ku gendong tubuh kecil buncit itu. Dia minta dibelikan kelereng yang banyak. Sore itu aku hanyut dalam kebahagian yang berbeda. Biasanya selama ini aku menghabiskan waktu bersama anak-anak remaja masjid untuk membahas acara karang taruna.
Bercengkrama dengan mereka, aku lupa waktu. Aku tidak menyadari gadis itu, Hidayah pulang dan mengejutkanku.
Kali ini, dia menunjukkan raut wajah yang tidak ramah dan aku tahu penyebabnya. Setelah masuk ke dalam bedeng, Hidayah sibuk mengambil kertas dan bolpoin. Lalu menulis sesuatu yang kemudian ditunjukkan kepadaku.
JANGAN GANGGU MEREKA!
Tulisan itu membuatku agak tersinggung. Sama sekali tidak ada keniatan mengganggu mereka. Malah sebaliknya, aku ingin membuat mereka senang.
“Aaaku nggak beeermaaaksud gaaanggu meeereeeka...”
jelasku mengeja dengan dengan pelan dan keras, sembari tanganku bergerak sebagai isyarat.
“Aku kesini untuk membuat mereka senang.” Tatapanku tertuju pada Intan untuk mencari pembelaan. Namun gadis itu tetap terdiam.
Hidayah tidak mau tahu penjelasanku. Aku tidak sempat memberitahu bahwa aku orang yang sering mengojek payung di halte, karena dia keburu menulis lagi.
PERGI!
Aku memilih pergi. Tidak baik rasanya membuat mereka terusik. Aku yakin suatu saat mereka akan mengerti niatku.
*****
Lama kutermenung dalam waktu yang membosankan. Hujan sore itu cukup deras. Seperti biasa aku menunggu mikrolet datang. Sampai pada peristiwa itu, ketika dua orang pemuda berandalan berusaha memalak Hidayah. Aku terkejut menyaksikan gadis itu berteriak minta tolong. Payung hitamnya sudah terempas jauh entah kemana. Hujan deras membuat orang tidak banyak yang menyaksikan kejadian itu.
Perasaan simpatik yang begitu besar, membuatku tidak berpikir panjang lagi. Aku tidak memiliki ilmu bela diri apa-apa, tapi melihat ketidakadilan itu, kekuatan nekad muncul begitu saja tanpa bisa kucegah. Tubuhku yang masih berbaltu jaket, langsung menerobos hujan dan menghampiri mereka.
“Lepaskan dia!” pintaku baik-baik.
“Siapa kau! Jangan coba-coba ikut campur!” teriak seorang pemuda yang berambut gondrong. Wajahnya yang sangar membuatku agak ngeri juga.
“Aku mu pergi, asal jangan sakiti dia,” tawarku sambil menahan dingin guyuran hujan.
“Cari mati ya!” Seorang lagi yang berbadan tinggi dengan kepala botak, langsung menyerangku. Satu dua tangkisan bisa kulakukan, tapi selanjutnya aku tidak dapat mengenal lagi, lantara bogem mentah sudah mendarat di rahang kananku. Aku pingsan.
***
Suara lamat-lamat terdengar telingaku. Sejenak aku membuka mata. Lubang bocor itu pertama kulihat. Sinar matahari pagi menerobos masuk melewatinya. Aku berusaha bangkit dan mendapati anak-anak mengerubungiku. Aku terbelalak tak percaya. Hatiku bertanya-tanya kenapa aku bisa disini, ditempat yang membuatku terenyuh.
Yah, aku baru ingat, kemarin sore dua preman menghajarku hingga pingsan. Hidayah menolongku dan membawaku kesini. Kuraba, rahangku, masih ada rasa nyeri. Namun perasaan sakit itu terabaikan ketika ku mencari-cari gadis itu.
“Dia sedang cari makan buat kami,” kata Intan saat kutanya keberadaan Hidayah.
Aku tidak bertanya lagi. Kucoba bangkit dengan penopang kayu penyangga bedeng. Rasa dingin menyelimuti tubuhku yang hanya mengenakan kaos. Di luar, kusaksikan matahari menunjukan keabadiannya. Pagi ini, terasa berbeda dari pagi sebelumnya. Setelah hujan deras semalaman, sang maha pencipta memberi keadilan dengan memberi kehangatan pada penghuni bumi.
Belum sempat untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara langkah yang mengejutkanku. Hidayah muncul dengan wajah penuh kebahagiaan. Tangan kanannya membawa sekantong plastik berisi nasi uduk. Detik berikutnya aku dibuat terbelalak. Ternyata dia tidak sendirian. Ada seorang lagi yang menyusul dibelakangnya. Seorang yang ku kenal dan membuat jantungku berhenti berdetak.
“Andi?” sapaku lirih,
Sosok Andi menghampiriku dengan wajah penuh senyuman. Aku bisa menebak senyumnya adalah suatu kebahagiaan yang amat mendalam.
“Kenapa disini?” tanyaku bingung sekaligus khawatir. Terus terang, aku takut dia mengetahui keberadaanku disini.
“Sudahlah, Riz, kamu harus istirahat dulu,” sarannya sambil membantuku masuk kembali ke bedeng.
Aku menurutinya dengan penuh tanda tanya yang besar.
Kenapa Andi bisa sampai disini bersama Hidayah? Apa mereka saling kenal?
Hidayah membukakan sebungkus nasi dan menyodorkannya padaku. Aku menolaknya. Meski lapar, tapi aku sedang tidak selera. Pikiranku terus berkelana pada mereka berdua.
Setelah anak-anak kenyang, Andi memutuskan keluar untuk membeli minuman. Ini kesempatan untukku bertanya padanya.
“Aakuuu meeenguuucapkan teeeriiima kaaasih,” ucapku mengeja supaya dia mudah mengerti.
“Aaatas pertooolooonganmu keeemaaarin.”
Hidayah mengangguk. Wajahnya merona dalam senyuman. Hatiku berdesir menyaksikan dia dalam kebahagiaan. Aku sempat berfikir, kalau dia bahagia melihat keberadaanku.
“Oh ya.” Aku melanjutkan dengan nada getir. “Apaaa kaaamuuu mengeeenal Andi?” lanjutku sambil menunjuk ke luar, ke arah Andi tadi pergi.
Dia mengangguk cepat. Tatapannya penuh dengan perhatian.
“Keeenaaapa kaaamu biiisa keeenal deeengaaannya?” tanyaku
Hidayah tidak segera menjawab. Dia terdiam dalam beberapa saat. Lalu dengan gerakan yang pelan, dia mengamabil bolpoin dan menuliskan sesuatu pada kertas putih yang kusut.
DIA SUAMIKU
Teg! Jantungku seakan copot, menghempaskan semua jalan peredaran darahku. Pagi yang cerah seakan menjadi gelap berbaur petir. Aku tak percaya yang dia tulis.
“Kamu bercanda kan?” cecarku dengan buru-buru, sampai lupa mengeja kata-kata.
“Dia istriku!”
Sebuah suara terdengar diambang pintu bedeng. Ku palingkan wajahku dan melihat Andi berdiri kaku.
“Anak-anak,” kata Andi. “Kalian bermain diluar dulu ya, nanti kakak janji mau main dengan kalian.”
Tanpa menjawab mereka bergegas keluar, menyisakan kami bertiga.
“Hidayah adalah istriku,” tegasnya seraya duduk di samping gadis itu.
Aku membisu dalam ketidakmengertian. Rasanya kepalaku dijejali pertanyaan-pertanyaan yang sulit kukatakan. Antara penasaran malu, kecewa dan marah membaur jadi satu menggumpal dalam pikiranku.
Dalam konsdisiku yang belum pulih, aku berdiri dan menarik tangan teman kerjaku keluar bedeng.
“Apa yang kamu katakan serius, Ndi?” semprotku pada Andi ketika jauh dari jangkauan anak-anak yang sedang bermain diluar.
“Aku nggak bercanda Riz,” tegasnya. “Hidayah memang istriku yang sudah lama kucari.
“Aku masih nggak percaya. Ini benar-benar nggak masuk akal,” bantahku pada diriku sendiri. Aku yang merasa dihianati oleh perasaanku sendiri tidak terima bahwa gadis yang kuperhatikan selama ini adalah istri teman kerjaku sendiri. Aku tidak habis pikir, kenapa harus Andi yang jadi suaminya. Kenapa tidak orang lain saja. Aku tahu persis, siapa Andi dan bagaimana sikapnya.
Aku terlalu takut mendapati kenyataan ini. Terlalu takut Hidayah sengsara bersama Andi.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan Riz,” kata Andi ketika kami sudah mengambil posisi duduk di batang kayu dan dalam keadaan lebih tenang. “Kamu berpikir, aku bukan seoran yang bertanggung jawabkan?”
Aku mengakuinya Riz,” lanjutnya tanpa menungguku menjawab. “Selama tiga tahun,” dia berkata lagi sambil menerawang jauh. “Sejak peristiwa kebanjiran Kali Ciliwung tempatku tinggal. Tepat saat musim hujan seperti sekarang. Selepas pulang kerja, aku mendapati rumah kontrakanku terhempas banjir. Saat air itu meluap, istriku berada dalam rumah. Aku shok berat saat itu. Pernikahanku yang baru kujalani enam bulan harus berakhir tragis. Sejak itu, hidupku dirundung kesedihan dan mempengaruhi hari-hariku. Banyak yang bilang, sikapku berubah total, yang dulu peduli dengan kebaikan, berubah jadi acuh tak acuh pada siapapun.”
Kulihat sudut mata Andi meneteskan air mata. Aku jadi turut merasakan kesedihannya.
“Bagaimana kamu tahu, kalau dia adalah Hidayah, istrimu?” tanyaku kemudian.
“Semuanya keajaiban Allah,” jawabnya dengan suara berat. “Bermula dengan ceritamu mengenai gadis di depan halte. Suatu hari, tak sengaja aku ditawari payung, saat hendak ke toko. Dari situ, aku mulai mencurigainya sebagai Hidayah. Seorang suami pasti menyadari betul siapa istrinya. Tanda lahir yang ada di atas telapak tanganku, meyakinkan bahwa dia adal istriku. Sementara dia pun sama, setiap melihatku, dia seperti sedang melihat masa lalunya. Lantas, aku mencari tahu siapa gadis itu, latar belakangnya. Dan mungkin seperti yang kamu lakukan, Riz, aku pun sampai pada tempat ini.”
Andi berhenti sejanak sambil menghela nafas panjang.
“Tidak hanya itu,” lanjutnya. “Aku sampai menggeledah barang-barangnya. Disana, aku mendapat kenyataan bahwa dia adalah benar-benar istriku. Buku diary yang kutemukan, menuliskan semua kenanganku,namaku, pernikahanku, dan kebanjiran itu.”
“Sejak kapan kamu menyadari dia itu istrimu?” tanyaku lagi.
“Sebulan ini, sejak kamu menanyakan soal gadis itu dihalte. Sejak itu entah kenapa, hatiku terpanggil untuk mengenalnya.”
Andi menatapku dalam-dalam. Ada perasaan tidak enak yang hinggap dalam hatiku. Perasaan bahwa aku ini lelaki yang tidak tahu diri. Lelaki yang mengendap-endap mengikuti wanita yang sudah bersuami. Aku malu pada diriku sendiri.
“Aku ngucapin terima kasih padamu Riz,” kata Andi sambil menatapku penuh arti. “Berkat kamu, aku bisa kembali menemukan kebahagian yang sudah hilang selama tiga tahun. Berkat kamu juga, aku berhasil menemukan jati diriku yang dulu. Asal kamu tahu, Riz. Kamu mengingatkanku pada saat sebelum kebanjiran itu, yang selalu peduli pada sesama tanpa mengenal latar belakang dan status sosial.”
Aku tersenyum dalam keprihatinan. Kata-kata Andi membuaku bangga akan diriku sendiri, namun perasaan yang berkecamuk dalam hatiku membuat kebanggaan itu lenyap terhempas hujan. Yah, bagaimana tidak, Hidayah, gadis hujan itu, telah mengajariku bagaimana menjalani hakikat hidup sebagai makhluk sosial. Berbagi pada sesama sampai tidak mengenal rintangan apapun. Tidak hanya itu, gadis hujan, juga telah mengajariku bagaimana memahami hakikat cinta dan kasih sayang. Entah itu cinta sesama manusia atau cinta seorang pemuda kepada seorang gadis.
#####
The End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top