Blind
By Q_S_S_H
************************
"Aku pernah mengenalnya beberapa hari."
***************************************
Aku sering melihatnya duduk dengan sikap santai di sana, setiap sore. Aku bahkan sampai hapal apa saja yang dia lakukan dijam seperti ini. Di hari cerah yang sepertinya mendukung pria itu untuk datang.
Pria itu--dengan wajah manis dan hidung yang mancung. Rambut pria itu selalu terlihat berantakan di dampingin pakaian serba putih yang selalu dia kenakan. Pria itu terlihat manis.
Aku selalu seperti orang idiot yang menunggunya disetiap pukul empat sore. Menanti, bagaimana dia tersenyum pada taman kosong yang sudah jarang didatangi orang.
Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, kenapa dia selalu datang seorang diri? Kenapa dia selalu memasang senyum menawan itu disetiap sorenya? Atau yang paling sering kutanyakan adalah, siapa pria itu? Darimana dan siapa namanya?
Aku sadar aku sudah seperti orang yang terobsesi, selalu mengintip dari jarak jauh lalu ikut tersenyum sama seperti-Nya.
"Datang--temui dia. Kau sudah seperti idot yang terobsesi pada seorang pria, Kei." Aku menoleh pada pria lain yang terlihat sangat bosan di sampingku.
"Aku benar-benar terlihat aneh, Dave." Dave terkekeh, terkesan mencibir padaku.
"Kau memang aneh sejak dulu." Dave memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. "Atau harus aku yang membawamu padanya, sekarang?"
"Astaga, Dave. Kau akan membunuhku." Aku mengusap peluh yang mengalir pada pelipisku.
"Sudahlah." Dave menarikku untuk berdiri, keluar dari persembunyian.
"No, Dave." Aku menahan tubuhku agar tetap duduk didekat rumput tinggi, pembatas antara aku dan pria itu.
"Come on, Kei. Aku sudah lelah menemanimu selama seminggu ini."
"Ya Tuhan!!" Aku memekik kaget saat merasakan tubuhku terangkat, terseret dan sudah berada didepan pria itu.
"Hei, dude." Aku merasakan tubuhku bergetar, kakiku sudah seperti jelly, sudah siap hancur sekarang.
"Ya?" Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dibalik tubuh Dave yang besar.
Suara pria itu sangat tegas, berat. Berbanding terbalik dengan tampilannya. Wajahnya mendonggak ke atas, memperlihatkan warna mata yang terlihat segar, cokelat tua.
"Wanita ini ingin berkenalan denganmu."
"APA!!" Aku memekik, memukul punggung Dave dengan keras, "Dasar sialan! Kau yang menarikku kesini!"
"Kau yang selalu menarikku ke taman bodoh ini selama seminggu." Aku menarik napas berat, memandang sinis Dave. Oh God, sekarang pria itu tahu jika aku adalah wanita tempramental.
"It's okay--" pria itu tersenyum tipis. Menggeser tubuhnya ke arah kiri, dan menepuk tempat duduk di sampingnya, "kita bisa berteman." Aku menahan napas saat pria itu masih setia menungguku untuk duduk.
"Okay." Aku duduk disampingnya, masih dengan melirik Dave yang memutar bola matanya malas.
"Aku harus pergi, aku tidak cukup sabar untuk melihat orang yang sedang berkencan." Aku benar-benar ingin menampar Dave bolak-balik sekarang.
"Hmm--" Aku melirik pria itu yang masih menatap ke arah depan dengan lurus, "siapa namamu?" Pria itu mengubah posisinya ke arahku.
"Christopher. Kau bisa memanggilku Christ." Aku menatap Christ dengan bingung, dimana tangan pria itu terangkat di arah yang salah.
"Aku Keila Novaline." Aku menjabat tangannya, lalu melepaskannya. Aku merasa bingung dengan tatapan pria itu. Sangat rancu.
"Aku tahu ada seseorang yang mengintaiku sejak kemarin," wajahku memanas, "beberapa kali aku mendengar suara pertengkaran yang lucu." Rasanya aku ingin memukul Dave sekarang. Ini karena pria itu!
"Maaf--aku tidak bermaksud seperti pengintai." Christ tersenyum, dia mengangguk mengerti.
"Sayang sekali aku tidak bisa melihat pertengkaran itu." Aku ternganga, kepalaku sontak beralih ke arahnya.
"Kau?" Christ mengangguk.
"Aku buta." Aku terkejut tentu saja. Namun, pria ini memiliki keberanian yang cukup membuatku terkesan.
"Maaf."
"Tidak masalah." Christ menggoyangkan tangannya ke arah kanan dan kiri. "Aku menemukan tempat ini seminggu lalu. Aku rasa kau juga tahu, hari pertama aku disini, aku mendengar seorang wanita bernyanyi. Tetapi, tidak lama aku mendengar nyanyian itu menghilang." Aku menutup bibirku.
"Kau mendengarnya?"
"Tentu saja. Aku datang di hari berikutnya, aku kira akan mendengar suara itu lagi. Namun, aku malah mendengar suara perdebatan." Christ terkekeh pelan, dia merapikan rambutnya.
"Dave sangat menyebalkan."
"Pria itu, Dave?"
"Ya."
"Aku tidak menyangka wanita itu malah mendatangiku hari ini."
"Itu karena Dave yang menyeretku." Lagi-lagi Christ tertawa.
"Aku senang mendengarnya." Sekarang, aku merasa bingung apa yang membuat pria itu senang. Apa karena bisa berkenalan denganku atau Dave yang menyeretku?
"Suaramu indah."
"Terimakasih." Aku tersipu, meskipun dia tidak bisa melihatku.
"Aku penasaran, seperti apa taman ini?"
"Hmm--" aku bergumam, "seperti taman pada umumnya, tidak terlalu banyak bunga, hari yang cerah, dan taman jaman sekarang cukup sepi." Aku mencoba melucu, meskipun selera humor-ku sangat buruk.
"Itu karena mereka sudah terbiasa melihat." Aku ingin membantahnya. Namun, yang dia katakan benar.
"Beberapa orang benci di duna luar." Aku beragumen.
"Aku tahu yang satu itu. Dan beberapa orang, lebih menyukai pemandangan lewat ponsel pintar mereka." Aku menggerutu pelan, merasa tersindir dengan ucapan itu. "Itu karena mereka kesepian."
"Maksudmu?" Aku bertanya dengan bingung.
"Ada alasan di balik kelakuan seseorang. Dia yang membenci keramaian, dia yang membenci area luar, dia yang membenci gelap. Aku tidak bisa memberikan alasan, karena alasan itu beragam." Aku mengetuk daguku, berpikir jika pria itu benar.
"Kau benar." Aku tidak berkomentar, pria ini mengalihkan perhatianku saat menatap langit. Aku bertanya dalam hati untuk apa dia melakukan hal itu?
"Aku rasa ini waktunya untukku pulang." Aku mengerenyit bingung.
"Ini masih pukul lima." Karena biasanya dia pulang pukul enam, sampai matahari terbenam.
"Aku harus ke Rumah Sakit."
"Untuk apa?" Aku mendesah pelan, merasa lancang karena bertanya, "maaf."
"Tidak masalah. Aku hanya perlu mengecek kondisi mataku." Aku benar-benar memiliki sisi ingin tahu yang tinggi, menahan bibirku untuk mengeluarkan kata untuk apa itu sangat berat.
"Baiklah."
"Pastikan kau datang besok."
****
Semua pertemuan itu berjalan lancar selama seminggu. Namun, di minggu berikutnya aku hanya bertemu dengannya sekali.
Kenangan akan senyum Christ masih membekas diingatanku. Sesekali dia membawa sebuah gitar kecil dan memintaku bernyanyi. Pertemuanku se-simple itu, namun sangat manis.
Teringat juga saat dia memintaku untuk berfoto dengannya. Tentu saja dengan ponselku. Aku tidak mengerti untuk apa. Namun, aku merasa tersentuh. Perhatian manis itu mengubur segala kekurangan yang pria itu punya.
Ini minggu ketiga, seharusnya aku bertemu. Aku sedikit pesimis jika dia akan datang. Tetapi, sosok pria dengan pakaian berwarna putih duduk di bangku taman membuatku bersemangat sampai hampir membuatku tersandung.
Aku kadang berpikir, aku seperti gadis belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
"Hai." Aku duduk di sampingnya.
"Hai." Aku melirik Christ yang terlihat lemas.
"Ada apa?"
"Aku hanya lelah." Aku mengelus punggunnya yang terlihat melengkung. Rasanya menyakitkan saat melihat Christ terlihat lelah.
"Apa kau mau tidur?" Christ menoleh ke arahku, lalu mengangguk. Aku membantunya untuk berbaring di pangkuanku.
Aku bertanya apa hubunganku dengannya? Namun, dengan lantang hatiku menjawab. Dia pria yang tulus.
Aku menatapnya yang sedang mencoba untuk terlelap. Tanganku tergerak merapikan rambutnya yang semakin memanjang.
Aku tidak pernah bertanya, kenapa dia tidak datang beberapa hari lalu. Namun, aku percaya dia memiliki alasan.
"Di perjumpaan kita berikutnya ijinkan aku merapikan rambutmu." Christ membuka matanya, tangannya terjulur ke arah wajahku. Meraba dan mengelusnya sebentar.
"Terserah. Lagipula aku tidak bisa melihat hasilnya." Aku menghembuskan napas kesal. Menarik rambut Christ agak kencang.
"Kau bisa merasakannya, dengan tanganmu." Aku kembali mengelus rambutnya yang terasa halus, berwarna hitam gelap.
"Ya, aku menantikannya." Aku meraih tangannya dan menempatkannya pada bibirku yang sedang tersenyum.
"Aku sedang tersenyum." Ujarku.
"Kau sangat cantik." Itu pujian biasa yang seharusnya aku dengar. Namun, jika Christ yang mengatakannya, hatiku berdebar.
"Kau harusnya mengatakan indah kalau begitu." Christ tersenyum samar, mengelus bibirku.
"Kau indah." Aku tak bisa menyalahkan Christ yang terlihat berantakan sekarang. Kantung mata pria itu menandakan jika pria itu sulit terlelap akhir-akhir ini.
"Apa yang membuatmu terus membuka mata, Christ?" Aku meraba matanya, membuat gerakan agar mata indah pria itu tertutup, "tidurlah. Kau terlihat mengerikan."
"Aku memikirkanmu." Disaat itu pula jantungku rasanya berhenti berdetak. Senyum pria itu saat terlelap dan bagaimana suara serak yang mendominasi.
"Kenapa?"
"Aku merasa seperti merindukanmu sepanjang hari." Entah kenapa air mataku mengalir, aku menjadi sangat melankolis dihadapan Christ.
"Kau bisa menemuiku kapanpun."
"Ya, harusnya begitu." Aku merasakaan perasaan ganjil yang mengganggu. Membuatku ingin meneriakkan mengapa pria itu seperti ini. "Jangan menangis." Aku tidak sadar saat tangannya masih bertengger manis diwajahku, mengusap air mataku yang masih saja berjatuhan.
"Jangan menghilang, berjanjilah padaku." Napasku tercekat saat Christ menurunkan tangannya dan menegakkan tubuhnya untuk duduk.
"Aku tidak berjanji. Besok, lusa atau hari inipun, aku tidak ingin berjanji."
"Berjanjilah tidak membuatku menangis." Aku meraih tangannya yang terasa dingin.
"Aku tidak berjanji." Tangisku pecah. Pria ini tak menjanjikan apapun padaku. Namun, aku mengharapkan pria ini. "Kau tidak perlu berjanji untuk selalu menungguku, Kei."
"No--apa tidak ada yang ingin kau beritahukan padaku?" Christ membalas genggaman tanganku, sama bergetarnya seperti tubuhku.
"Aku akan menceritakannya, nanti." Dia bahkan tidak memelukku. Aku sadar dia tidak memberikan harapan, namun tidak mendorongku mundur.
Aku menundukkan kepala, melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam sore.
"Kau tidak pulang?" Aku bertanya padanya. Dia selalu pulang tepat waktu, kami bertemu selalu di tempat ini.
"Sebentar." Dia menggenggam tanganku dengan erat. Hembusan nafasnya terdengar berat. "Datanglah empat hari lagi." Aku mendonggak menatap Christ yang terlihat lelah.
"Ya. Persiapkan dirimu untuk menjadi percobaanku." Dia terkekeh pelan, terkesan memaksakan.
"Aku ingin melihat seperti apa potonganmu."
****
Aku datang lebih cepat hari ini. Sesuai keinginan Christ, kami bertemu empat hari setelah insiden tangisan sore itu.
"Keila?" Aku meraih tangannya, membantu Christ untuk duduk. "Terimakasih."
"Sudah siap?" Dia mengangguk. Aku mulai mengeluarkan peralatan untuk memotong rambutnya.
"Kau terasa sangat antusias."
"Tentu saja." Aku tersenyum lebar, mulai meraba rambutnya yang halus.
Perlahan aku memotong rambutnya yang sedikit panjang, menipiskan bagian tepinya tanpa poni. Aku menelusupkan jemariku disela rambutnya. Bibirku menipis, menatap Christ dari atas sini membuatku kehilangan akal.
Wajahku mendekat kearah kepalanya, mencium puncak kepala Christ cukup lama, dengan tangan yang menutupi kedua telinganya.
Aku merasa sakit saat menyadari Christ tidak menolakku saat menciumnya, dia membalas perasaanku. Namun, tanpa kata. Dia ingin membalas perasaanku. Namun, ada hal yang membuatnya tertahan.
Aku tak berucap apapun lagi, begitu pula Christ. Dia hanya diam sambil menatap ke arah depan. Rambutnya sudah rapi, cocok dengan wajahnya yang manis.
"Selesai--kau sangat tampan." Dia tersenyum saat aku merapikan peralatan.
"Mari berfoto--ini debutmu menjadi tukang salon." Aku tertawa keras, mengeluarkan ponselku.
"Aku mau berfoto sebanyak mungkin."
"Kau akan memencet tombol itu berulang kali, Kei. Aku tentu saja tidak akan tahu." Aku terkekeh geli. Benar yang dia ucapkan, sedari kemarin dia hanya meminta satu kali berfoto dan sudah. Tetapi, aku adalah wanita keras kepala yang selalu menekan tombol itu berulangkali.
"Warna bajuku sama sepertimu, beberapa kali kita bertemu." Dia memegang tongkat kecil yang sudah terlipat dipangkuannya. "Kita terlihat seperti malaikat."
"Malaikat tidak buta, Kei." Aku mendengus kesal, menepuk tangannya yang terlihat memerah.
"Kau tidak buta. Hatimu tidak buta. Kau bahkan tahu aku berada disini." Aku sedikit terkejut saat mendengar nada tekanan diucapanku.
"Keila--suatu saat kau akan menyadari, keadaan terlihat sangat nyata jika kau sedang mengalaminya." Aku menatap Christ dengan kesal.
"Kali ini, apalagi yang ingin kau katakan?"
"Mari bertemu satu minggu lagi." Aku ternganga, kenapa jarak waktu menjadi semakin lama. "Terimakasih." Aku menahan napasku.
"Untuk apa?"
"Sudah menemaniku beberapa minggu ini. Terasa sangat menyenangkan." Aku merasakan hal aneh itu kembali. Perasaan tidak rela jika pria itu berkata aneh.
"Aku mau bertemu denganmu setiap hari." Christ tersenyum, membalas tanganku dengan tepukan pelan.
"Hidupmu bukan hanya untuk bertemu denganku." Aku ingin menangis, pria ini selalu saja menggoncangkan hatiku dengan cepat. "Aku ingin sekali melihatmu."
Aku terdiam, pria ini memiliki rencana tak terduga. Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan.
"Aku masih tetap melihatmu, tidak masalah kau tidak." Aku bersikukuh agar dia menemuiku setiap harinya.
"Aku ingin--melihatmu." Tatapan itu, terlihat menyedihkan. Aku tidak pernah melihat hal itu sebelumnya.
"Baiklah." Aku menatapnya, tak ingin melepaskan atau melupakan wajah itu.
"Hei--aku akan memberikan kabar." Aku menganggukkan kepala, dia tak melihatku namun tersenyum.
"Aku akan menunggu."
****
Aku tak pernah merasa sebodoh ini sebelumnya. Pria itu, membodohiku.
Christopher, sialan yang selalu membuatku menangis.
Kemarin, tepat seminggu dan aku menuju taman. Namun, dia tidak datang. Dan hari ini Dave dengan wajah menyesalnya datang menemuiku. Memberikan sebuah surat dan satu kotak berukuran sedang berwarna putih.
Pemberian Christ.
Aku menyesal membaca surat yang sialannya menghancurkan harapanku. Menghancurkan perasaanku.
Dear, Keila.
Aku berharap kau tidak membaca surat ini. Namun, jika kau membacanya, sepertinya aku sudah tenang.
Maaf..
Aku tidak pernah memberikan kepastian padamu meskipun aku tahu perasaanmu. Tetapi, ada satu hal yang ingin kukatakan. Aku memiliki perasaan yang sama.
Aku sangat berterimakasih padamu karena menemani hari akhirku.
Ahh--surat ini ditulis oleh Dave. Jangan memarahinya, dia juga sama menyesalnya sepertimu.
Jika saja aku berhasil menjalani operasi, mungkin kita akan bertemu. Namun, seperti yang kau baca. Aku gagal berjuang.
Aku tidak pernah selemah ini sebelumnya.
Aku sudah melewati hari yang buruk saat menerima vonis penyakit menyebalkan ini. Kanker otak, maaf aku tidak memberitahumu. Aku berfikir jika aku menjalani operasi ini dan bisa melihatmu itu akan terasa sempurna.
Maafkan aku yang gagal.
Berikan senyummu, aku sudah mengatakan hidupmu tidak hanya untuk menemuiku. Aku tidak ingin berjanji karena aku tidak akan bisa menepatinya. Aku tidak ingin membuatmu menangis, namun pada akhirnya kau akan menangis.
Keila--aku ingin memberitahu satu hal, perkenalkan namaku Christopher Williem. Maaf aku terlambat memberitahumu. Untukmu, yang tersayang.
Aku meraba jantungku, berdetak dengan nyeri yang mematikan. Christopher sialan, memberi harapan palsu untukku.
Aku tahu ini salahku, namun aku tidak bisa menghalangi perasaan ini.
Tanganku beralih pada kotak putih tanpa pita. Setumpuk foto diambil dari jarak jauh berada di dalamnya. Pria itu penguntit yang sebenarnya.
Pria itu membalas perasaanku dengan kejamnya. Air mataku bahkan sudah mengalir sejak menerima surat yang Dave berikan padaku. Pria sialan itu tidak pernah memelukku.
Hatiku sakit, menatap Dave dengan nanar. Pria itu beralih memelukku yang sedang sesegukan sembari memeluk kotak dan surat dari Christopher.
"Yang aku tahu, dia mencintaimu, Kei."
"Aku tahu." Dia menjelaskan semuanya disurat pendek itu. Semuanya, perasaan dan perjuangan yang bahkan tidak terlihat itu.
Christopher Williem, i love you.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top