0.5

Kelulusan. Sudah kedua kalinya aku merasakan hal semacam ini. Pertama saat SMP dan sekarang, SMA. Aku mendefinisikan kelulusan ini sebagai awal, bukan akhir. Selanjutnya masih ada hari esok dimana aku harus berjuang lebih.

Bola mataku melirik ke kanan, ke kiri, kembali lagi menatap banner yang bertuliskan ucapan selamat untuk kelas XII atas kelulusannya dan tak lupa, nama sekolah kebanggaanku, SMA Muda Mudi. Sesekali aku memutar badan mencoba merasakan kebahagian ini, sama halnya dengan teman-temanku yang lainnya, mereka terlihat tak ingin menyiakan special moment kali ini--ada yang berfoto ria, live instagram, meminta tanda tangan teman, dan masih banyak lainnya.

Aku tak mau kalah dengan mereka. Ria, sahabatku yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya kuajak foto bareng. Meskipun dengan baju yang terkena smoke bomb, hasil foto kami tidak terlihat jelek. Malahan terkesan beda dari biasanya.

"Ini bakal gue tunjukkin ke Smyth," ucapku bersemangat.

Aku memutar bola mata malas, Ria tak merespon ucapanku barusan. Biasanya jika mendengar nama 'Smyth', dia terlihat excited. Ponselnya seakan mengundang perhatiannya untuk terus ditatap.

"Hei, ada apaan sih." Aku menyenggol lengannya. Dengan sigap ponselnya dia matikan. Seolah aku tak diperkenankan melihatnya.

"Gak ada apa-apa. Kenapa emang?" tanyanya. Dari ekspresi yang tergambar di wajahnya, dia terlihat merahasiakan sesuatu.

"Apaan tuh, kok dimatiin. Main rahasia-rahasiaan nih ceritanya?" godaku.

"Enggak kok. Ini cuma pesan dari-"

"Pacar! Iya kan? Cie udah pacaran aja. Gak mau kalah sama gue ya," sambungku memotong pembicaraannya. Mukanya terlihat memerah karena malu. Tak bisa disembunyikan dariku, bahwa dia memang sudah berpacaran.

"Sama siapa? Ganteng gak? Tajir gak? Anak mana? Kelas berapa? Baik gak? Setipe sama lo 'kan?"

Ria menjawab segala pertanyaanku dengan kata "Rahasia". Mendengar itu, aku mengerucutkan bibir sebagai tanda kecewa.

"Nanti lo akan tahu dengan sendirinya."

"Kapan?"

"Kapan-kapan."

() () ()

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 2 siang. Tandanya, sudah kurang lebih satu jam aku menunggu kedatangan Smyth. Padahal, dia sudah berjanji akan menjemputku dengan tepat waktu karena hari ini dia tidak sedang ada kelas.

Besarnya pohon yang sekarang ada dibelakangku, tidak bisa menghalangi teriknya sinar matahari siang ini. Setetes demi setetes keringat turun membasahi kemeja sekolahku.

Aku mengambil ponsel dari saku baju. Mencoba menghubungi Smyth untuk kelima kalinya.

Lagi-lagi, tidak aktif. Aku mengumpat kesal. Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Aku mengerutkan alis, mencoba mengenali mobil itu. Bukan milik Smyth rupanya.

Pintu mobil terbuka, menunjukkan siapa pemilik mobil itu, dia Aron, teman sekelasku. Bisa dibilang Aron ini adalah cowok paling keren di sekolahku. Dulu, Ria sering sekali memuji ketampanannya--tapi sekarang ketertarikan Ria kepada Aron musnah begitu saja. Entah.

"Hai, Bi. Sendirian aja?" tanyanya.

"Menurut lo!" jawabku ketus. Bodohnya Aron malah tertawa terpingkal-pingkal saat setelah aku mengucap kalimat itu.

"Kok ketawa? Gila nih bocah." gumamku.

Akhirnya, Aron terdiam. Meskipun kelihatannya dia masih menahan tawanya.

"Muka lo."

Aku membulatkan mata. "Maksud lo? Ada apa dengan muka gue?" Aku segera mengambil kaca di tas. Sampai aku tersadar jika aku lupa membawa benda tersebut.

"Sialan! Gue lupa bawa kaca."

"Ron, ada apa sih muka gue. Please," sambungku meminta penjelasan darinya.

Aron memutar badan menuju ke mobilnya. Sepertinya, ia mengambil sesuatu. Tak lama, dia kembali dengan membawa beberapa lembar tissue.

"Nih. Bersihin muka lo."

"Yang mana? Gue aja gak tahu."

Tanpa suruhan dariku, Aron secara tiba-tiba mengusap wajahku tepatnya di pelipisku. Dengan jarak yang sedekat ini, aku bisa melihat ketampanannya. Benar kata Ria, Aron ini sangatlah tampan. Apalagi parfume yang dipakai, sangat wangi.

"Udah."

"Eh. Makasih ya."

"Lain kali kalau pakai bedak, jangan kaya anak kecil."

"Maksud lo?"

Dia mengangkat kedua bahunya bersamaan dengan bibir yang dia tarik kebawah.

"Btw, lo nunggu siapa?" tanyanya.

"Smyth," jawabku dengan datar menandakan kekecewaanku padanya.

Aron terlihat melirik sekelilingku. "Bareng gue aja."

Aku terdiam. Mencoba menimang jawaban. Jika aku menyetujui ajakkan Aron, dan setelah itu Smyth datang, pasti dia juga akan kecewa. Tapi jika aku menolak dan pada kenyataannya Smyth memang tidak datang, percumah.

"Gimana? Gausah mikir segala."

"Yaudah gue tinggal." Aron berkata seraya melangkahkan kaki menuju mobil.

"Gue ikut." Aku berkata sambil melangkah membuntuti Aron.

=Author=

Cerpen 'Kembali dengan Luka' hanya terdiri dari 4 chapter. Akan diupdate setiap hari.

Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top