DARMA

"People think a soul mate is your perfect fit, and thats what everyone wants. But a true soul mate is a mirror, the person who show you everything that is holding you back, the person who brings you to your attention so you can change your life.

~Elizabeth Gilbert~
----------------------------------------

Hening meliputi dua anak manusia yang saling duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka terlihat sangat serius membicarakan sesuatu.

"Jadi bagaimana ini Wisnu? Keputusan apa yang akan kita ambil karena kita harus memberikan jawabannya nanti malam"tanya laki-laki yang mempunyai mata bewarna hitam pekat seperti langit malam. Mata itu menatap tajam tepat di kedua manik coklat yang berada dihadapannya.

"Empat tahun ya?Itu waktu yang lama menurutku"desah Wisnu pelan.

"Ya, itu syarat jangka waktu yang diberikan agar mereka mau menerima kita, selama 4 tahun itu kita sama sekali tidak boleh berhubungan melalui apapun, selama jangka waktu tersebut kita harus menyelesaikan kuliah kita, hanya saja kau di Indonesia dan aku di New York"

"Setelah itu, apakah mereka mau menerima kita Tristan?"

"Ya, keluargamu dan aku akan menerima hubungan kita, bahkan kita bisa menikah di Amerika, aku juga akan diumumkan sebagai pewaris keluarga Ardhani"

"Kedengarannya sangat bagus rencana itu" gumam Wisnu, namun ada kebimbangan di suaranya.

Tristan yang mendengar nada bimbang dari kekasihnya itu mengambil kedua tangan Wisnu dan menggenggamnya erat, "Wisnu Paramudya, apakah kau mempercayaiku?"

"Xander Tristan Ardhani, aku mempercayaimu dengan segenap hati dan hidupku" balas Wisnu mantap. Kedua mata coklat Wisnu memancarkan keyakinan dengan senyuman melengkung dibibir Wisnu yang tampak mengundang dengan bagian bawahnya tebal dan karena tidak pernah menyentuh rokok membuat bibir tersebut alami berwarna pink. Rambutnya yang bewarna hitam dipotong pendek sangat serasi dengan mata coklat itu. Kulitnya berwarna sedikitngelap akibat hobi segala macam olahraga outdoor. Di kedua pipinya terdapat lesung pipi yang akan muncul ketika dia tertawa menambah manis penampilannya.

Senyuman lebar terpampang di bibir tipis milik Tristan menambah ketampanannya. Rambutnya yang merah kecoklatan sudah mulai panjang bahkan sampai mencapai bahunya namun terlihat sexy ditambah dengan kulit putihnya yang tidak bisa menghitam walau sudah sering berjemur. Mungkin karena keturunan dari ayahnya yang asli Amerika dan ibunya yang sunda sehingga kulitnya terlihat putih bersih.

"Kalau begitu kita sudah punya jawabannya" kata Tristan dengan yakin tanpa melepas senyum yang terukir dibibirnya. "Ini jawaban yang akan kita berikan kepada keluarga kita..."

Malam itu Tristan dan Wisnu duduk berdampingan di ruang kerja keluarga Wisnu, dihadapan mereka ada orang tua Wisnu dan laptop untuk skype dengan keluarga Tristan di New York.

Mereka duduk dengan jemari yang saling bertautan, raut muka keduanya tampak yakin dengan jawaban yang akan mereka berikan.

"Tristan, sebaiknya kau mulai menghubungi keluargamu, sudah saatnya kita mulai pembicaraan ini" ujar ayah Wisnu.

Tristan hanya mengangguk dan memutar laptop ke hadapannya. Dia mulai membuka skype dan mencari nama ayahnya di daftar kontaknya. Sesuai janjinya kemarin, dia menghubungi ayahnya jam 10 malam karena perbedaan waktu 12 jam antara Jakarta-New York.

"Selamat pagi ayah" sapa Tristan begitu panggilan skype nya di jawab oleh ayahnya. Tampak dilayar disamping ayahnya ada ibunya dan juga Caroline, wanita yang seharusnya menjadi tunangannya atas pilihan dari keluarga besarnya. "Selamat pagi juga bu, dan juga Caroline"

"Selamat malam semuanya, maaf pertemuan ini kita adakan dimalam hari" suara ayah Tristan yang dalam dan nada yang terbiasa memerintah walau dia mencoba untuk merendah.

"Tidak apa-apa, kami tidak keberatan" tukas ayah wisnu dibarengi anggukan kepala dari ibunya Wisnu.

"Baiklah kalau begitu kita mulai saja, Tristan dan Wisnu, apa jawaban kalian terhadap syarat yang kami ajukan? Kalau kalian setuju dengan syarat tersebut, kau bisa berangkat besok pagi ke New York untuk meneruskan pendidikanmu sebagai calon pewaris" jelas ayah Tristan.

"Dan Wisnu juga bisa memulai kuliahnya di Jakarta walau baru mulai kuliahnya 1 bulan lagi" sambung ayah Wisnu.

"Ini syarat yang sama yang diajukan oleh kakekmu kepada ayah ketika ayah hendak menikahi ibumu. Selama 4 tahun itu selain kau meneruskan Pendidikanmu, kau juga harus meneruskan pertunanganmu dengan Caroline untuk mendampingimu sebagai calon pewaris" jelas ayah Tristan lebih lanjut.

Setelah penjelasan dari ayahnya Tristan selesai, kedua orangtua menunggu anak-anak mereka berbicara.

Tristan memandang ke arah Wisnu sebelum berbicara yang dibalas dengan senyuman lembut dari Wisnu. Kedua tangan mereka saling bertautan tanpa terlepas, memberi kekuatan bagi keduanya.

"Ayah, aku akan ke New York...bersama Wisnu" kata Tristan yakin.

Kedua orang tua hanya terdiam, menunggu kelanjutan dari jawaban Tristan.

"Kami tidak akan berpisah, aku akan membawa Wisnu ke New York dan kita akan berjuang bersama disana sampai kalian mengakui kami"

"Lalu bagaimana dengan kuliahmu Wisnu?" tanya ayahnya Wisnu.

"Aku akan kuliah disana ayah, jangan khawatir, aku pasti akan menyelesaikan studi ku seperti juga Tristan yang akan menyelesaikan pendidikannya, kami tidak akan mengecewakan kalian" jawab Wisnu mantap.

"Tristan, kalau kau membawa Wisnu kesini artinya kau akan menghadapi keluarga besar Ardhani, apakah kalian siap dengan hal itu?" tanya ayahnya Tristan dengan penekanan.

"Kami tahu itu ayah, kami sadar ini tidak akan mudah namun kami ingin berjuang bersama untuk membuktikan bahwa aku tetap pantas sebagai pewaris dengan Wisnu  disampingku"

"Apakah sudah bulat keputusan kalian? Sudah kalian pertimbangkan semua?" tanya ayahnya Wisnu.

"Saya dan Wisnu sudah membicarakan dan mempertimbangkan keputusan ini, saya mohon percayakan Wisnu kepada saya, saya akan menjaganya dan membahagiakannya" kata Tristan kepada orang tua Wisnu.

"Hey, aku ini cowok bukan anak gadis, kau tidak perlu menjagaku, aku bisa menjaga diriku sendiri" tukas Wisnu dengan nada sebal, bibirnya mengerucut yang malah tampak imut dimata Tristan.

"Iya dech maaf, kalau gitu aku ralat ucapanku ke orang tuamu" kata Tristan sambil mengecup pipi Wisnu berharap kekasihnya tidak marah lagi, tindakan ini membuat kedua pipi Wisnu merona merah sampai ketelinganya. Tristan hanya tertawa geli melihat kekasihnya merona merah.

Seusai tertawa kembali Tristan memasang muka serius dihadapan orang tua Wisnu, "Ijinkan saya membawa Wisnu ke New York, saya membutuhkan Wisnu disamping saya ketika saya berjuang, saya akan tetap memprioritaskan kebahagiaan Wisnu apapun keadaan kita nanti disana"

"Apakah kau siap Wisnu? Bahkan ada kemungkinan kau akan menderita disana" tanya ayahnya Wisnu.

"Ayah, aku bahagia bisa berada disamping Tristan, ijinkan aku pergi untuk berjuang bersama disana, apapun yang akan terjadi aku tidak akan menyesal"

"Biarkan mereka datang ke New York paman, aku sendiri yang akan memisahkan mereka" kata Caroline dan setelah berkata demikian dia beranjak keluar ruangan.

"Well, kalian dengar sendiri ucapan Caroline, jadi jangan harap karpet merah penyambutan ketika kalian tiba di New York"

"Kami tahu dan kami siap, akan kami buka jalan dengan tangan kami sendiri"

"Baguslah kalau kalian tahu, datanglah ke New York kapanpun kalian siap" putus ayahnya Tristan.

"Ayah, aku mau tanya, apakah dulu ayah menyetujui syarat dari kakek?" tanya Tristan sebelum ayahnya mengakhiri skypenya.

Ayahnya Tristan memandang istrinya dan tersenyum kemudian berpaling ke layar untuk menjawab, "Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa ayah tahan tidak bertemu ibumu selama 4 tahun, tentu saja ayah tidak menyetujui syarat dari kakekmu, sebagai gantinya kerja keras selama 10 tahun"

"Sudah kuduga ayah pasti juga tidak menerima syarat itu" Tristan berkata sambil tersenyum.

"Kau pintar tidak mengambil syarat itu, padahal jika kau mengambil syarat itu akan kupastikan hidupmu seperti dineraka"kata ayahnya Tristan sambil tersenyum menakutkan.

Tristan dan Wisnu bergidik melihat senyum itu, mereka bersyukur keputusan yang mereka ambil tepat.

"Berjuanglah untuk kebahagiaan kalian sendiri, jangan menunggu orang lain menjatuhkan kebahagian dipangkuan kalian"

Tristan dan Wisnu mengangguk mendengar kata-kata dari ayahnya Tristan sebab hal itu benar. "Kalau perlu akan kuubah susunan bintang dilangit untuk mewujudkan keinginanku, aku sendiri yang akan memilih dan menentukan takdirku" kata Tristan tegas dengan sorot mata siap untuk berperang.

"Bagus, itu baru anakku, datang dan buktikanlah tekad kalian, sampai jumpa di New York" kata ayahnya Tristan sebelum mengakhiri skypenya.

Begitu hubungan skype terputus, kami kembali menghadap ke orang tua Wisnu. Mereka menunggu apa yang akan diucapkan oleh orang tuanya Wisnu.

"Apa kau benar-benar yakin bisa membahagiakan Wisnu?"

Tristan melihat ke Wisnu dan mempererat genggamannya, "Ya paman, saya berjanji akan membahagiakannya"

"Kalau begitu, jangan panggil aku paman lagi...panggil aku ayah dan ibu" kata ayahnya Wisnu sambil tersenyum.

Wisnu melonjak kegirangan begitu mendengar ucapan ayahnya, dia berdiri dan berlari untuk memeluk ayah dan ibunya secara bergantian sambil mengucapkan terima kasih dengan airmata dipipinya.

"Tolong jaga Wisnu dengan baik ya Tristan, jangan sampai dia sakit, jangan buat dia menangis, bersabarlah kalau Wisnu manja atau egois" kata ibunya Wisnu sambil memeluk dan membelai kepala Wisnu. Mendengar ibunya mengatakan semua itu membuat Wisnu semakin keras menangisnya.

"Kalau kalian lelah di New York, ingatlah kalian punya rumah satu lagi di Jakarta, ini rumah kalian juga, pulanglah kesini untuk beristirahat sejenak kalau dirasa disana berat sehingga kalian bisa kembali berjuang lagi"

Tristan pun tak sanggup lagi menahan air matanya begitu mendengar ucapan ayahnya Wisnu. Dia memeluk dan mengucapkan terima kasih berkali kali karena sudah menerima Tristan sebagai anaknya.

"Sudahlah, kalian jangan menangis lagi, nanti wajah tampan kalian jadi jelek" ujar ibunya Wisnu sambil mengusap airmata diwajah Wisnu. "Sebaiknya kalian beristirahat karena sudah malam, kalian mau pulang ke apartement Tristan atau menginap disini?"

"Kami pulang ke apartement saja bu, belum terlalu malam koq" kali ini Tristan yang menjawab sambil membawa Wisnu ke dalam pelukannya.

"Ya sudah kalau begitu hati-hati pulangnya, nanti beritahu bapak sama ibu lagi kapan kalian mau berangkat ke New York nya"

"Baik pak, begitu saya selesai mengurus surat-surat transfer kuliahnya Wisnu saya akan hubungi bapak lagi, kami pasti akan datang ke sini sebelum berangkat"

Setelah berpamitan, kemudian Tristan membawa Wisnu ke mobilnya dan pulang ke apartementnya. Wisnu sudah berhenti menangisnya ketika di dalam mobil. Sepanjang perjalanan ke apartement Tristan mereka berdua membisu namun jemari mereka saling bertautan dengan erat, terlihat nyaman dalam keheningan mereka.

Sebelum tidur, mereka mengobrol diatas tempat tidur sambil berpelukan, terlihat sesekali Tristan memcium kepala maupun wajah Wisnu. "Aku sangat bahagia, kedua orang tuamu memperbolehkanmu ikut aku ke New York, aku tidak bisa mebayangkan seandainya mereka tidak memgijinkannya" Tristan terkekeh geli sambil mengeratkan pelukannya.

"Kalau tidak diijinkan, kamu mau menculik aku?"

"Tentu saja tidak, itu akan membuat orang tuamu bersedih dan aku jadi penjahat kalau begitu"

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan berlutut didepan rumahmu sampai orang tuamu mengijinkan"

"Walau sampai berhari-hari?"

"Siapa takut, kalau diusir aku akan datang lagi dan lagi sampai orang tuamu luluh pada pesonaku dan menyerahkan soul mate ku untuk kubawa ke New York"

Pipi Wisnu kembali memerah mendengar Tristan menyebutnya sebagai soul mate. "Eh?! Kamu blushing mendengar kata-kataku?"

"Diam Tristan, jangan ngegombal lagi, aku mau tidur saja!"Wisnu berusaha lepas dari pelukan Tristan karena mau menyembunyikan pipinya yang merona merah.

Namun Tristan tidak mau melepaskan pelukannya, tubuhnya kini sudah berada diatas tubuh Wisnu untuk menahan pergerakan Wisnu. Wisnu yang semula bergerak-gerak menjadi terdiam begitu menyadari wajah Tristan yang sangat dekat diatas wajahnya. Terasa hembusan nafas Tristan di wajah Wisnu.

Awalnya mereka saling memandang ke dalam mata masing-masing dan hanya melihat cinta disana. Seakan ada yang memerintahkan, keduanya bergerak bersamaan mencari bibir pasangannya. Pertama hanya saling menempelkan bibir mereka, ciuman penuh cinta dan ketulusan, kemudian perlahan ciuman itu berubah menjadi pagutan dibibir atas Tristan dan di bibir bawah Wisnu. Udara di dalam kamar tidur itu meningkat dengan drastis, walau AC sudah menyala namun rasanya masih panas.

Oksigen lah yang memaksa kedua bibir itu berpisah, namun seakan mereka sedang berlomba cepat-cepatan meraup oksigen dan kembali saling melumat bibir, kali ini Tristan sengaja menggigit bibir bawah Wisnu yang tebal karena gemas dan ingin memperdalam ciumannya. Begitu bibir Wisnu terbuka, lidah Tristan menerobos masuk ke dalam mulut Wisnu, diabsennya gigi Wisnu satu persatu dengan lidahnya kemudian keduanya bertarung siapa yang dominan dengan lidah mereka.

Pertarungan itu dimenangkan oleh Tristan, lidahnya membelit dan mengajak menari lidah Wisnu, bibir Wisnu terlihat membengkak karena digigit oleh Tristan. Ketika nafas Wisnu sudah mau habis, Tristan melepaskan ciumannya, sejenak keduanya mengambil nafas dengan tersengal sengal. "Kau sangat sexy, aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini" bisik Tristan di telinga Wisnu sambil memjilati daun telinganya kemudian menghujani ciuman ke arah leher Wisnu, mencari sweet spot di leher Wisnu. Erangan demi erangan mulai keluar dari mulut Wisnu dan ini semakin memacu semangat Tristan karena erangan itu terdengar seperti musik ditelinga Tristan.

Malam beranjak larut diiringi dua anak manusia yang berlomba mencapai nikmat duniawi. Biarkanlah mereka menciptakan surga malam ini sebelum mereka berjuang mengubah takdir mereka di New York. Semoga berhasil!

FIN





















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top