Goodbye Ex-husband
Sinopsis :
Pernikahan kilat karena suatu keadaan dan rasa bersalah dari pihak sana, membuat Olivia terjebak pada pernikahan yang ternyata tidak diinginkan oleh Rayner---suaminya.
Rekor, dihari ke 13, ia menyandang status sebagai janda.
Dan dihari ke 14 ia menyandang status barunya sebagai kekasih bosnya---Edwin.
Seakan takdir sedang bergurau, saat jamuan makan malam bersama Edwin, ia bertemu kembali dengan sang mantan suami dan kekasihnya. Sang mantan melihat Olivia dengan pandangan berbeda.
Apa Rayner menyesal?
Akankah bisa kembali lagi mereka?
Ataukah Olivia lebih memilih berlabuh pada pria yang lebih bisa menghargainya, Edwin?
🌺🌺🌺
"Kamu enggak sarapan dulu?" tanya Olivia.
"Aku lupa ada rapat pagi, aku pergi dulu," jawab Rayner dengan tergesa dan ia langsung keluar menuju mobilnya di halaman.
Olivia hanya menatap sendu kepergian Rayner—suami kilatnya.
Ya, suami kilatnya.
Ia dan Rayner Wijaya Kusuma menikah seminggu yang lalu. Pernikahan karena rasa bersalah dari orangtua Rayner.
Kecelakaan yang disebabkan oleh adik perempuan Rayner—Elisa, membuat kedua orangtua Olivia dan sang adik laki-lakinya meninggal.
Elisa yang sedang mabuk malam itu bersama teman-temannya, menyetir dan kehilangan kendali. Yang akhirnya menabrak mobil yang dikendarai papa Olivia dari arah berlawanan. Tabrakan yang sangat keras, mobil orangtua Olivia rusak parah karena terpental pembatas jalan.
Dan menewaskan satu teman Elisa, sedangkan Elisa dan dua temannya yang lain hanya luka-luka. Akhirnya Elisa dipenjara untuk membayar kelalaiannya karena mabuk sambil menyetir hingga mengakibatkan kecelakaan yang menewaskan empat orang.
Seharusnya malam itu adalah malam yang sangat indah. Karena malam naas itu, tepat hari ulang tahun Olivia. Orangtuanya dan adiknya berencana memberikan kejutan untuknya dan mendatanginya ke apartemen sederhananya.
Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.
Karena rasa bersalah itu, orangtua Rayner ngotot agar Olivia menikah dengan Rayner. Agar Rayner bisa menjaga Olivia yang kini sebatang kara---itu menurut orangtua Rayner.
Tapi kenyataannya, seminggu usia pernikahannya, hanya membuat hidup Olivia seperti di neraka.
Rayner tidak pernah memukulinya ataupun membentaknya, justru pria itu hanya mendiaminya. Olivia tahu dengan sadar, bahwa Rayner menolak pernikahan ini walaupun ia tidak mengatakannya dengan lantang.
Rayner hanya diam saat orangtuanya menyuruh menikahi Olivia. Sejak ijab kabul terucap dari mulut pria itu hingga saat ini, Rayner hanya bicara seperlunya. Tatapannya dingin, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia seperti tak semangat dengan pernikahan ini.
Sejak ijab kabul juga, Olivia hanya menempati kamar tamu. Mereka tidak sekamar, Rayner mengatakan, "aku belum terbiasa dengan pernikahan ini, untuk sementara kita pisah kamar dulu."
Olivia paham maksudnya dan ia pasrah menerimanya. Ia pun akan berusaha membuat Rayner menerimanya, paling tidak seperti itu.
*****
Suara denting sendok dan garpu yang bersinggungan dengan piring saja yang terdengar diruang makan.
Olivia dan Rayner sedang makan malam dengan keterdiaman mereka.
Walaupun Olivia tidak dianggap oleh Rayner, tapi sebagai seorang istri yang sah secara hukum dan agama, ia tetap melakukan kewajibannya mengurus suaminya.
Ia tetap memasak untuk Rayner di pagi hari dan malam hari. Walaupun ada asisten rumah tangga, tapi soal memasak, Olivia tetap turun tangan.
Rayner tidak pernah berkomentar apapun perihal masakannya. Olivia saja sampai saat ini tidak tahu, makanan kesukaan Rayner apa saja.
Pertama kali menyandang status sebagai istri, ia hanya menanyakan apakah Rayner memiliki alergi? Dan dijawab dengan gelengan kepala saja dari pria itu.
"Besok pagi, aku akan pergi ke Bali selama tiga hari. Urusan kantor. Tidak apa-apa kan?" Olivia memulai dengan pertanyaan.
"Tidak apa."
"Nanti biar bi Atun saja yang memasak," Olivia.
"Ya."
Dan suasana kembali hening. Rayner tampak tidak peduli. Bahkan tidak ada lanjutan pertanyaan tentang kepergian Olivia. Berarti pria itu tidak berencana akan mengantar Olivia ke bandara.
Baiklah, Olivia sudah paham. Ia tidak akan mengharapkan hal seperti itu pada pria didepannya.
Paginya, Olivia sudah berangkat ke bandara. Tidak ada yang mengantar. Ia akhirnya memesan taksi online. Dan sepertinya, suaminya juga belum bangun.
Olivia adalah seorang sekretaris, sudah empat tahun ia bekerja. Dan tentu saja, sepertinya suaminya juga tidak tahu kalau ia seorang sekretaris.
Ia hanya mendengus mengingat hal itu, apa dimasa lalu ia membuat kesalahan besar, sehingga sekarang hidupnya merana karena pernikahan yang tidak diinginkan oleh suaminya sendiri?
Ck! Menyedihkan!
"Oliv, saya minta berkas yang kemarin kamu catat," suara Edwin---bosnya menyadarkannya.
Dengan cekatan ia mengambil berkas yang sudah tersusun rapi di map kuningnya dan memberikannya pada bosnya.
"Setelah meeting ini selesai, bisa temani saya untuk membeli oleh-oleh?" Edwin.
"Bisa pak."
Dan, akhirnya rapat pun berlangsung dengan lancar. Sesuai permintaan Edwin tadi, kini mereka melangkah santai ke pantai. Tiba-tiba saja Edwin berubah pikiran, ia hanya ingin duduk-duduk santai di pantai.
Hotel bintang lima yang langsung memiliki akses menuju pantai. Sangat indah, pemandangan air laut yang biru terhampar begitu indahnya.
Olivia tersenyum senang melihat pemandangan tersebut. Anggap saja ini sebuah liburan kecil, setelah pernikahan anehnya berlangsung selama delapan hari ini.
"Indah ya?" Edwin.
Olivia menoleh kearah Edwin dan mengangguk seraya tersenyum. Ia setuju, ini indah sekali.
Olivia sudah berganti pakaian dengan tank top yang tertutupi outer kemeja bunga-bunga dengan hot pants yang ditutupi oleh kain khas Bali. Tak lupa topi pantai berpita beserta kacamata hitamnya menyempurnakan tampilannya.
Dan Edwin hanya bercelana sepanjang lututnya beserta kaos abu-abu yang melekat pas ditubuhnya dan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Tampan.
Satu kata itu terlintas di kepala Olivia. Ia langsung menggelengkan kepalanya cepat-cepat, berusaha mengusir kata 'tampan' yang tadi sempat berada di otaknya.
"Kamu enggak mau berenang?" Edwin.
"Enggak pak, saya malu banyak yang lihat," jawabnya.
"Besok kita akan menginap di villa milik teman saya, disana kamu bisa berenang sepuasnya. Ada kolam renang, karena itu vila pribadi. Jadi tenang saja, tidak akan ada orang lain," jelas Edwin.
Olivia hanya mengangguk.
Dan benar saja, keesokan harinya Edwin dan Olivia menginap di vila yang katanya milik temannya Edwin.
Private vila yang begitu indah dan mewah. Olivia menuju kamarnya begitupula Edwin. Kamar mereka bersebelahan, disini ada beberapa pegawai yang menjaga vila ini dan asisten rumah tangga yang akan menyiapkan makanan untuk mereka.
Sore harinya, Olivia berdiri di balkon kamarnya yang langsung berhadapan dengan kolam renang. Ia berniat untuk berenang. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera mengganti pakaiannya dengan bikini miliknya dan ditutupi handuk kimono. Ia langsung menuju kolam renang.
Ia memang membawa bikini, karena jaga-jaga saja, siapa tahu punya kesempatan untuk berenang. Dan sekaranglah kesempatan itu.
Setelah melakukan pemanasan, ia bersiap berenang. Meluncur dengan indah didalam air. Sangat segar, paling tidak, bisa menyegarkan otaknya yang sudah stress dengan kehidupan pernikahan yang menyiksanya.
Sayup-sayup Edwin mendengar seseorang bermain air di kolam renang, ia bangkit dari ranjang dan keluar ke balkon kamarnya.
Ia melihat Oliv sedang berenang dengan indah disana. Segaris senyum terlukis di wajah Edwin.
Sudah empat tahun Olivia bekerja dengannya, Edwin akui, Olivia cantik dengan senyum tulus selalu muncul di bibirnya. Gadis itu tidak punya banyak teman di kantor. Ia hanya berteman dengan Lisa, asisten Manajer kantor.
Jarang ikut bergosip dengan karyawan lain, walaupun ia ramah pada siapapun, tapi tidak mau terlalu dekat dengan pegawai lainnya.
Pekerjaannya selalu rapi dan Edwin selalu puas dengan hasilnya. Olivia malah lebih dekat dengan Office Boy dan Office Girl, dia akan senang hati mengobrol dengan mereka---yang notabenenya, jabatannya tentu saja jauh dibawah Olivia.
Tapi, Edwin suka.
Ya ampun! Edwin langsung menggelengkan kepalanya. Entah pikiran apa itu?
Oke, Edwin hanya kagum.
Tok...Tok...Tok...
"Masuk!" Edwin.
Seorang pekerja yang biasa menjaga vila ini masuk seraya membawa nampan berisi buah dan teh manis hangat.
Edwin yang masih duduk santai di balkon, mempersilakan pria itu menaruh nampannya. Lalu pria itu melihat kearah Olivia yang sedang keluar dari kolam renang, tubuh seksinya yang hanya berbalut bikini itu terpampang jelas.
"Ehem! Jaga penglihatanmu, Agus!" Tegur Edwin.
"Eh, i__iya Pak. Maaf, saya permisi," ucapnya gugup karena ketahuan melihat sesuatu yang indah.
Pegawai yang bernama Agus itupun langsung keluar dari kamar Edwin.
Edwin gusar, ia bangkit dan menuju ke lantai bawah. Tepatnya ke kolam renang.
Ia memakai kacamata hitamnya dan dengan langkah lebar, ia menuju ke tempat Olivia.
Edwin menyambar handuk kimono milik Oliv yang bertengger di kursi santai dan menghampiri gadis itu yang sedang berdiri menatap langit senja.
Sepertinya ia tak menyadari kedatangan Edwin.
"Pakai handukmu, Oliv!" Edwin langsung memakaikan handuk tersebut di tubuh Oliv dari belakang.
"Eh, iya Pak."
"Bagaimana jika ada pria lain yang melihat tubuhmu?"
"Tapi ini kan private vila, jadi tidak ada orang lain."
"Saya juga seorang pria normal, Oliv. Kamu lupa?" Edwin menyeringai.
"Ah___itu___saya lupa. Maaf Pak," ucap Oliv seraya menunduk malu dan memeluk erat tubuhnya sendiri.
"Langit sorenya indah ya? Kamu suka?" Edwin mengalihkan pembicaraan.
Lagi-lagi Oliv mengangguk dengan cepat, meng-iyakan dengan senyum sumringah. Wajahnya bersinar karena terpaan sinar senja yang mengenai wajahnya. Semilir angin terasa, membuat siapapun merasa sejuk ketika merasakannya.
Untuk sesaat, mereka berdiam diri menikmati tenggelamnya matahari.
*****
Setelah tiga hari di Bali, akhirnya hari ini Olivia sudah sampai dirumah suaminya. Ini memang rumah suaminya, setelah menikah dengan Rayner, ia langsung dibawa oleh Rayner kesini.
Rumahnya tampak sepi dan lengang. Ia merebahkan dirinya diatas ranjang dan tanpa terasa ia akhirnya tertidur.
Pukul 17.00 sore, Olivia keluar dari kamarnya. Ia sudah mandi dan berencana ingin memasak untuk makan malam Rayner.
"Bu, biar saya saja. Ibu istirahat," ucap bi Atun.
"Enggak apa-apa, saya mau masak buat makan malam."
"Tapi selama Ibu di Bali, Pak Rayner enggak pernah pulang."
Aku menoleh kearah bi Atun.
"Kemana bi?"
"Saya enggak tahu Bu, Bapak pulang kalau malam saja buat mandi dan bawa pakaian ganti, selesai itu langsung pergi lagi dan tidak pulang lagi," terang bi Atun.
Oke, mungkin ia pulang kerumah orangtuanya.
Olivia tetap memasak untuk makan malam. Ia harus berpikiran positif pada suaminya.
Setelah selesai masak, ia kembali mandi untuk membersihkan tubuhnya yang berbau asap.
Beberapa lama kemudian, Rayner datang dan ia langsung masuk menuju kamarnya tanpa berkata apapun. Benar-benar dingin.
Saat makan malam, seperti biasa, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang bergesekan dengan piring memenuhi suasana ruang makan.
"Kamu enggak pulang kesini selama aku di Bali?" Olivia memberanikan diri bertanya.
Rayner menoleh sekilas, lalu hanya dijawab dengan anggukan saja. Dan melanjutkan kembali makannya.
"Kemana? Kerumah mama?" Olivia masih belum puas dengan jawaban Rayner.
Rayner meletakkan sendok dan garpunya, lalu meminum air mineralnya.
"Soal itu___aku hanya ingin mengatakan ini sekali. Kita tidak usah terlalu dekat dan kamu juga tidak usah berusaha untuk dekat denganku. Karena aku masih menjalin hubungan dengan kekasihku, Risa. Dan mengenai pernikahan ini, aku hanya menurut sebagai tanda bakti pada mama dan papa. Mengenai kecelakaan yang disebabkan adikku, aku benar-benar minta maaf. Tapi, aku tidak punya perasaan spesial padamu. Aku harap kamu bisa mengerti perasaanku," terang Rayner.
Setelah ia mengatakan hal itu, ia langsung pergi memasuki kamarnya. Olivia masih diam, mencerna semua kalimat yang Rayner ucapkan.
Untuk pertama kalinya, Rayner berkata panjang lebar. Itu adalah kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Rayner.
Olivia tersenyum miris, ia menatap makanan di piringnya yang belum habis. Tiba-tiba saja ia tak bernapsu lagi.
Namun ibunya pernah berkata, "jika makan, harus dihabiskan. Nanti nasinya nangis, kan kasihan."
Kalimat itu selalu ampuh untuk Olivia kecil menurut agar menghabiskan makanannya.
Dan sekarang?
Ia kembali melanjutkan makannya, dengan air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. Kali ini nasinya tidak akan menangis, biarkan saja malam ini, Olivia yang menangis. Ia berjanji, ini adalah tangisan pertama dan terakhirnya.
Bi Atun yang mengintip dari pintu belakang hanya bisa bersedih melihat sang majikan yang begitu tersakiti.
Tangisannya tak bersuara, hanya punggungnya yang bergetar.
*****
Kelupaan covernya 🤧
Met baca ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top