05. SEMU

Mereka bilang, aku istri yang bahagia.

Suamiku PNS. Kami punya rumah, kendaraan pribadi, asisten rumah tangga, dan tukang kebun. Gaji suamiku yang tak besar mampu kututupi lewat penghasilanku sendiri. Aku sering tersenyum dan tertawa. Ya, memang karena aku bahagia.

Di pernikahan kami yang memasuki usia 11 tahun, aku mempersiapkan segala sesuatu yang spesial untuk merayakannya bersama suamiku. Bisnisku sedang bagus. Usaha yang kurintis lima tahun silam mengalami kemajuan pesat. Siapa sangka hobi mengoleksi tas dan sepatu branded sejak aku muda menjadi sumber mata pencaharian sampinganku di masa depan?

Lewat penghasilan sampingan itu, aku bisa membantu suamiku melunasi rumah, membeli dua kendaraan untuk mobilitas kami, menggaji asisten rumah tangga dan tukang kebun, rutin mengirim uang bulanan untuk mertuaku, dan juga membiayai kehidupan kami sehari-hari. Oh, jangan salah sangka... suamiku bukannya tidak membantu sama sekali. Hanya saja, beberapa bulan belakangan, gaji dan tunjangannya dialihkan untuk proyeknya sendiri. Masih merintis, sih. Proyeknya itu berhubungan dengan e-commerce atau semacamnya. Sebagai seorang istri, tentu aku wajib mendukung. Aku mensyukuri berapapun yang suamiku berikan sebagai nafkah, toh aku masih punya tabungan sendiri.

"Kalau ke Santorini, Mas setuju, nggak?" tanyaku pagi itu saat menemani suamiku sarapan. Aku sengaja selalu menyiapkan sarapan yang sehat untuknya. Roti gandum, scrambled egg, bacon sapi, dan smoothies tinggi protein. Bekal makan siang juga telah kusediakan. Sudah tersimpan rapi di dalam tas kerjanya.

"Mas?" panggilku sekali lagi kala suamiku tidak menyahut. Dia sibuk dengan ponselnya. Mungkin sedang melakukan koordinasi dengan atasan di kantor. "Mas nggak ada jadwal dinas luar kota kan Sabtu nanti?" Aku harap-harap cemas.

"Sabtu ini aku ke Bandung. Urusan kerjaan," jawab suamiku agak cuek.

"Oh..." Kuletakkan ponsel di atas meja dengan posisi terbalik. Padahal aku sudah terlanjur reservasi hotel bintang lima di Santorini untuk tiga hari dua malam. Ah, tidak apa-apa. Nanti bisa kubatalkan. Hari peringatan anniversary kami sudah biasa diundur beberapa hari sampai minggu karena kesibukan suamiku bekerja.

"Bukannya kemarin kran air kamar mandi bocor?" Begitu saja. Topik tentang Santorini berakhir. Sepertinya suamiku kurang setuju dengan pilihanku, namun tak tega menolak secara terang-terangan. Apa sebaiknya kucari destinasi lain?

Sembari tersenyum aku menjawab, "Sudah dibetulkan. Waktu Mas ngasih tau kalo bocor, aku langsung panggil tukang ke sini."

Suamiku menghabiskan smoothiesnya dalam sekejap. Isi piringnya masih utuh.

"Tadi aku buatin kebab buat makan siang Mas. Sama buah-buahan. Ada cookie juga. Dihabisin ya, Mas?"

"Hmm..." Suamiku masih enggan menatapku. Tangannya sibuk mengetik.

"Kemarin bekalnya masih utuh. Sayang, Mas, kalo nggak dihabiskan. Masa dibuang-buang?"

"Makanya kamu bawain bekal yang bisa kumakan lah."

Aku mengernyit heran. "Emang selama ini makanannya nggak bisa dimakan?"

Suamiku meletakkan gelas bekas smoothies di meja agak keras. Tatapannya datar ke arahku. "Jangan pura-pura nggak tau!" Ia meletakkan ponselnya di sebelah piring. Aku sempat melihat dengan siapa ia berkirim pesan sejak tadi. Nama kontaknya Silvia diakhiri stiker gambar hati.

Seingatku, atasannya bernama Pak Rudolf, dan jelas-jelas bukan perempuan. Kalau diingat-ingat, nama kontak itu sering muncul di layar ponsel suamiku tengah malam, tapi berujung miss-called karena suamiku sudah terlelap, dan aku tak nyaman mengangkat panggilan untuknya. Kami berdua sama-sama menghargai privasi masing-masing. Tidak mengecek isi ponsel pasangan secara diam-diam adalah salah satunya.

"Gajiku sebulan cuma empat juta. Sudah sepuluh bulan aku nggak ngasih kamu nafkah, tapi kamu masih bisa masak makanan mahal tiap hari." Ia merentangkan tangannya ke sekeliling. "Kita masih punya pembantu. Bulan lalu ibuku dapat kiriman sepuluh juta buat medical check-up, belum ditambah biaya kuliah adikku."

Senyum di wajahku menunjukkan kalau aku amat bingung dengan arah pembicaraan ini. "Lalu kenapa, Mas?"

"Santorini?" Suamiku mendengus kecil. "Gajiku bertahun-tahun kalau dikumpulkan pun nggak akan sanggup membiayai perjalanan liburan ke sana!"

"Mas, coba tenang dulu. Jelasin ke aku, apa masalahnya?"

"Masalahnya itu kamu!" Ia menghardik sampai membuatku terkejut.

"Setiap kali kita datang ke rumah orang tuamu, kakak-kakakmu selalu nyuruh aku ngajarin anak mereka yang bebal itu! Dikiranya aku ini guru honorer?"

Bebal? Tiga keponakanku memang bukan juara kelas, tapi menyebut mereka bebal, bukankah agak keterlaluan?

Lidahku terlalu kelu untuk membalas. Sebelas tahun pernikahan kami, baru kali ini suamiku meninggikan nada suaranya kepadaku. Kalau marah, biasanya suamiku cenderung diam.

"Dari tatapan mereka, aku tahu kalau mereka nggak pernah –sekalipun nggak pernah menerimaku!" lanjutnya berapi-api.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. "Kalau mereka nggak menerimamu, kenapa mereka merestui pernikahan kita sebelas tahun lalu?" Pertanyaanku beralasan. Sebelum kami sepakat mengarungi bahtera rumah tangga berdua, suamiku menerimaku. Menerima kondisi keluargaku. Dia bilang, cinta kami cukup besar untuk menghapus jurang perbedaan di antara kami. Status sosial tidak akan melemahkan keyakinan kami untuk tetap bersama.

Dia yang meyakinkanku untuk berani mengambil keputusan. Bertahun-tahun hidup dalam kompromi, mengapa sekarang diungkit?

Suamiku tertawa sinis. "Merestui dan menerima punya artian berbeda. Mereka menghargai keputusanmu untuk menikahi laki-laki miskin sepertiku, bukan berarti mereka menerimaku masuk ke keluarga kalian!"

"Mas nggak punya dasar bilang kayak gitu," sanggahku gusar.

"Sudah berapa kali kudengar pujian, kamu beruntung belum punya anak darinya. Kalau sampai punya, suamimu pasti bingung gimana ngebiayainnya. Kamu nggak bisa bayangin sepanas apa telingaku dengar kalimat itu keluar dari mulut mami kamu!"

"Kukira kita baik-baik aja hidup tanpa anak..," gumamku ragu. "Kukira kamu baik-baik aja." Aku melanjutkan agak keras. Kecewa rasanya diperlakukan begini. Di saat aku mengira pernikahan kami sempurna dan bahagia, ternyata dia tidak merasakan hal yang sama.

"Sekarang aku udah tau siapa yang mandul di antara kita berdua."

Aku menatapnya tanpa berkedip, merasa ngeri dengan apa yang mungkin keluar dari bibirnya nanti. Kami memang tidak pernah melakukan program hamil atau berkonsultasi dengan dokter sebab kami percaya kalau Tuhan belum memberikan kami tanggung jawab sebesar itu karena menilai kami belum siap.

Mengapa... mengapa hanya aku yang berpikiran senaif itu?

Suamiku meraih kembali ponselnya lalu menggulir layar beberapa kali sebelum menunjukkan sebuah foto kepadaku.

Seorang balita laki-laki. Usianya mungkin belum genap setahun. Tubuhnya montok dengan pipi merona menggemaskan. Hidung dan mata balita itu mengingatkanku pada seseorang.

"Namanya Devon. Putraku. Kualihkan nafkahku selama ini padanya." Suamiku mengatakannya tegas dan jelas.

Duniaku runtuh seketika.

"Aku menikah siri dengan Silvia bulan lalu. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku nggak sempat. Hidup di dua tempat rasanya cukup melelahkan." Seolah belum cukup kabar yang ia bawa menghujam jantungku telak, ia kembali meneruskan. "Aku mengatakan ini semua bukan untuk meminta izin darimu. Kalau kamu ingin berpisah, aku nggak akan menyulitkan. Semua harta di rumah ini adalah milikmu. Aku nggak punya hak sepeser pun."

Usai mengatakan itu, ia pergi. Ke kantor atau ke rumah Silvia untuk menemui putranya, aku tak tahu.

Yang pasti, dia meninggalkanku terperangkap dalam kebahagiaan semu.

***

-- 24 September 2021 --

.

.

.

Kali pertamaku bikin cerita tema pernikahan. Meskipun nggak menyenangkan...
Waktu mandi, tetiba muncul adegan ini di kepala. Kutulis aja sekalian.

Cocok nggak kalo aku nulis tema marriage life?
Hahahaa... nggak bisa bayangin. Isinya ntar pasti tragedi mulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top