02. DELILAH

Saat itu pertengahan Desember, aku ingat. Rintik-rintik hujan membasahi jendela ruang tamu. Aku menunggu Milo untuk bicara. Sudah dua puluh menit ia duduk di sofa ruang tamu rumahku tanpa mengatakan apa-apa. Setiap mengangkat kepala dan bertemu tatap denganku, ia selalu berkedip cepat. Bibirnya gemetar seakan sedang bingung, ketakutan, atau gugup. Aku tidak tahu yang mana, tapi yang pasti aku sudah tak tahan lagi.

"Kamu mau mengatakan sesuatu atau tidak? Aku tidak bisa menunggumu sepanjang hari seperti ini." Keluhku.

Sebulir keringat mengalir di atas dahi Milo. Padahal udara bisa dibilang cukup dingin. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya di atas celana pendek yang ia kenakan. Mulutnya terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun segera ditutup kembali. Aku mengerang keras-keras dan langsung bangkit dari kursi goyang di seberang sofa tempatnya duduk.

"Milo, ayolah!" Kukibaskan tangan di udara. Ia hanya mengangkat wajahnya yang makin pucat. Rambut ikalnya lembab karena keringat dingin. Aku jadi tidak tega melihat adik teman baik sekaligus tetanggaku ini. Aku menghela napas. "Oke. Akan kuhitung sampai tiga. Katakan apa yang sebenarnya ingin kamu katakan lalu pulang. Hujan semakin deras, tuh." Aku tidak menunggu reaksinya, "Satu... dua..."

"Aku suka kamu!" Serunya dalam satu tarikan napas. Lalu dengan secepat kilat, ia kabur.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

Apa aku tidak salah dengar?

Dia tidak mungkin mengatakan itu. Dia kan masih kelas satu SMA meski tubuhnya begitu jangkung. Kugelengkan kepala.

Iya. Pasti aku salah dengar.

Aku mengedikkan bahu tak acuh sembari membalikkan badan untuk masuk ke kamar.

***

Gadis yang sedang duduk di sebelahku ini namanya Delilah. Dia teman sekelasku. Temanku sejak kecil. Sekaligus tetanggaku. Dia adalah satu-satunya sahabatku. Tapi aku bukanlah satu-satunya sahabat baginya. Dia masih punya belasan sahabat di antara banyak sekali teman terdekatnya. Mereka semua memanggilnya 'Lilah'. Sedangkan aku terbiasa memanggilnya 'Lil' sejak kecil. Sejak ia mampu memainkan 'Twinkle Twinkle' dengan piano pemberian ibuku.

Ibuku adalah seorang guru musik. Lil menjadi murid pertamanya. Ia menjadi satu-satunya murid ibuku karena setahun kemudian, ibuku meninggal karena serangan jantung.

Saat ini kami berdua sedang menunggu bus yang akan kami tumpangi menuju sekolah. Kami memang sering berangkat ke sekolah bersama dengan bus. Tapi saat pulang, Lil biasanya akan dijemput oleh pacarnya. Jadi aku akan naik bus sendirian, atau jika Milo sedang tidak ada jadwal latihan bola, aku akan numpang dengan motornya.

Pagi ini ada yang ganjil. Tidak biasanya Lil diam saja. Dia bahkan tidak menalikan sepatunya dengan benar. Seragamnya kusut, wajahnya juga. Rambut panjang yang biasanya lurus, lebat, dan berkilau, pagi ini nampak awut-awutan diikat sembarangan di atas kepala. Di bawah matanya juga ada sepasang bayangan hitam, pertanda kalau dia tidak tidur nyenyak semalam.

Aku tidak yakin Lil menyadari keberadaanku di sebelahnya karena sejak tadi ia hanya melamun saja. Awalnya aku ingin bercerita padanya tentang kedatangan Milo sore kemarin ke rumahku. Siapa tahu dia bisa mengonfirmasi kalau sebenarnya saat itu kepala Milo habis terbentur pintu, jadi dia tidak benar-benar menyadari apa yang dikatakannya kemarin. Namun melihat kondisi Lil yang pagi ini cukup murung, aku mengurungkan niat.

"Aku hamil."

Biasanya suara Lil lebih ceria di pagi hari. Entahlah. Sekitar dua oktaf lebih tinggi daripada bisikan yang barusan kudengar.

"Tara, aku hamil." Ulangnya.

Aku sontak menoleh sambil menyemburkan tawa.

Wah.

Dua bersaudara ini memang jago sekali menghibur orang. Pernah suatu waktu mereka berdua duet untuk mengerjai bu Lukas, tetangga kami, dengan menyumbat selang air sehingga bu Lukas ngomel-ngomel saat ia tak bisa menyiram tamannya sore itu. Aku tertawa melihat tingkah usil mereka, walaupun saat itu aku hanya bisa mengintip dari balik jendela ruang tamu rumahku. Mereka tidak selalu mengundangku untuk ikut bermain bersama mereka.

Aku tertawa sampai perutku kram. Dadaku sesak karena tak juga berhenti tertawa. Lil menatapku dengan pandangan kosong. Pandangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ia tak mengatakan apa-apa saat ia bangkit dan berjalan pergi. Entah kemana.

Di sekolah, Milo menghindariku. Padahal kami selalu bertegur sapa. Biasanya Milo juga nimbrung di meja kami saat makan siang. Meskipun Lil lebih sering makan bersama teman-temannya, Milo selalu duduk bersamaku. Anehnya, hari ini Milo nampak tak ingin melihatku. Ia pura-pura tak melihat saat aku melambaikan tangan ketika kami bertemu di koridor.

Ada apa dengan dua bersaudara ini?

Apa mereka sedang mengerjaiku?

Aku tersenyum sendiri ketika memikirkan kemungkinan itu. Lil bahkan bermain total sampai absen dari sekolah. Padahal tadi pagi aku bertemu dengannya.

Dia membolos kemana, ya?

Saat pulang sekolah, aku memutuskan untuk mencegat Milo di halaman parkir, berharap dapat memberitahunya kalau lelucon mereka sukses.

"Milo!"

Aku melihat Milo. Milo melihatku. Sudah terlambat baginya untuk pura-pura tak melihat.

"Bilang pada kakakmu untuk berhenti mengerjaiku." Aku memukul lengannya pelan. Ia menatapku dengan aneh.

"Lelucon kalian sukses. Kalian sudah menipuku habis-habisan! Tapi aku tidak akan tertipu oleh lelucon Lil tadi pagi. Hamil? Apa menurutmu aku setolol itu untuk percaya kalau dia hamil? Ngomong-ngomong bolos kemana dia?" Aku terus mencecar Milo.

"Kamu ini ngomong apa, sih?"

Darahku serasa dipaksa turun dari kepala ketika Milo memberitahuku kalau saat itu dia tidak bercanda. Dia juga tidak merencanakan apa-apa dengan Lil. Sejak semalam ia tidak bertemu dengan kakaknya. Keluarganya mengira kalau Lil kabur dengan pacarnya. Ayah mereka sudah mengultimatum agar Lil tidak usah pulang ke rumah. Setelah Milo bercerita panjang lebar, giliranku untuk memberitahunya kalau aku habis bertemu Lil tadi pagi. Ia nampak khawatir memikirkan kakaknya yang tak kunjung pulang.

"Apa itu artinya Lil benar-benar hamil?" Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, setengah tak percaya. Jadi tadi pagi dia tidak pura-pura.

Ah, bagaimana ini?

"Kita harus mencarinya. Bisa saja dia sedang berada di suatu tempat dan sakit. Lil tidak kelihatan sehat pagi ini. Milo, kita harus mencarinya." Lanjutku panik.

Milo setuju denganku. Rencana pertama kami adalah menanyai teman-teman Lil. Namun mereka sama sekali tidak tahu. Yang mengejutkan, mereka nampak acuh tak acuh ketika kami bertanya. Kami sempat menanyakan alamat pacar Lil. Siapa tahu dia ada di sana selama ini. Jawaban mereka selalu sama.

"Tidak tahu."

Aku begitu menyesal karena menganggap Lil bercanda waktu itu. Ah, kalau saja aku tahu. Kami meneruskan pencarian di luar lokasi sekolah. Milo menyarankan untuk pergi ke tempat-tempat Delilah dan teman-temannya biasa berkumpul. Supermall. Cafe. Tempat Karaoke. Restoran. Semuanya nihil. Aku membayangkan hal-hal yang buruk. Tadi pagi saat sarapan, aku menonton berita tentang penemuan mayat wanita tanpa busana di pinggir jalan. Lalu ada juga pembunuhan. Ada juga kasus mutilasi yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan.

Bagaimana jika Lil menjadi korban dari salah satu kasus itu?

Hatiku menjerit panik. Tapi Milo selalu berusaha menenangkanku.

"Lil itu sudah besar. Dia pasti baik-baik saja." Ujarnya.

Matahari sudah hampir terbenam. Kami tak juga menemukan petunjuk apa-apa. Milo membelikanku sebotol minuman dingin yang langsung kutenggak sampai habis. Kami sedang beristirahat di pinggir jalan, duduk-duduk di atas trotoar. Seragam kami kumal dan berbau keringat. Dalam diam, kami memperhatikan lalu lalang kendaraan yang hilir mudik di depan kami. Kami sama-sama lelah. Dan aku yakin kalau Milo lebih lelah daripada aku. Namun anehnya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Seakan-akan, Lil sudah biasa kabur dari rumah, bukannya menghilang tanpa kabar dalam keadaan hamil.

"Kamu tidak cemas?" Tanyaku.

Milo menoleh, "Tentu saja aku cemas." Ia menenggak minuman bersodanya.

"Kamu tidak kelihatan benar-benar cemas." Tuduhku.

"Oke. Aku memang tidak secemas dirimu meskipun dia adalah kakakku. Dia melakukan ini atas kesadarannya sendiri. Jika terjadi sesuatu padanya, maka itu adalah konsekuensi dari perbuatan yang dia lakukan selama ini. Aku ingin dia baik-baik saja. Entah dia sungguhan hamil anak haram atau tidak, aku tetap ingin dia pulang ke rumah." Milo melempar kaleng minumannya yang sudah kosong ke dalam tong sampah dekat kami.

"Apa Lil tidak pernah mengenalkan pacarnya pada keluarga?"

Milo mengedikkan bahu tak acuh, "Kamu kan temannya. Masa tidak tahu pacarnya siapa?" Cibirnya.

"Kami tidak sedekat itu. Aku selalu menceritakan segalanya pada Lil. Tapi Lil, tidak benar-benar suka menceritakan sesuatu padaku. Aku bukan salah satu anak populer di sekolah. Cantik saja tidak. Pintar, apalagi. Bagi Lil, aku hanya tetangga yang kebetulan menjadi teman masa kecil."

Kami saling terdiam. Milo bersendawa kecil. Ia menggosok mulutnya dengan punggung tangan lalu menegakkan duduknya, "Kamu cantik, kok."

Aku tertawa kecil sambil menepuk pundaknya. "Kalau mau mengejek, jangan begitu." Rengutku.

"Aku tidak tahu bagaimana cara berpikirmu. Semua yang kulakukan ataupun yang kukatakan tidak pernah kamu anggap sungguh-sungguh."

Suasana jadi mendadak canggung. Aku merasa sedikit serba salah. Aku ingin mengatakan sesuatu untuk memecah kecanggungan aneh ini. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kami sudah tumbuh bersama sejak kecil. Kami bahkan pernah tidur bersama saat orangtuaku menitipkanku di rumah Lil dan Milo. Saat itu usiaku dan Lil enam tahun, sedangkan Milo empat tahun. Aku ikut membantu memandikan Milo setiap sore saat acara menginap kami. Milo adalah anak yang baik. Dan agaknya telah tumbuh menjadi remaja stabil. 

Berbeda dengan Lil yang sedang keranjingan untuk mencari jati diri. Kurasa Milo sudah lama menemukan jati dirinya. Aku yakin Milo bisa mendapatkan pacar sebaya dengan mudah. Milo ini lumayan populer di sekolah meskipun ia masih duduk di kelas sepuluh. Tim sepakbolanya langganan juara. Aku yakin suatu saat Milo akan mendapat beasiswa kuliah jika ia terus mempertahankan prestasinya.

Jika dilihat-lihat lagi, Milo kelihatan lebih imut daripada kemarin. Rambut ikalnya lucu. Wajahnya masih kekanakkan, meskipun tubuhnya tinggi. Jauh lebih tinggi daripada anak-anak sebayanya. Aku punya kebiasaan aneh untuk memandangi wajah orang berlama-lama. Memperhatikan hal-hal yang seharusnya tidak kuperhatikan. Seperti berapa sudut kemiringan hidung seseorang. Seberapa lebat alisnya. Seberapa unik warna gelap matanya. Seberapa lentik bulu matanya. Atau seberapa tebal bibirnya.

Anehnya, ketika aku memandangi Milo seperti ini, aku tidak benar-benar mengetahui detail wajahnya. Seperti jika aku memalingkan wajah, maka aku akan melupakan seberapa mancung hidungnya, jadi aku harus melihatnya lagi. Memandangi Milo sama sekali tidak menjenuhkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku nyaman untuk terus berlama-lama seperti ini. Memperhatikannya tanpa khawatir harus membicarakan sesuatu.

Milo selalu membantuku. Seperti saat aku kesulitan memanjat atap untuk membetulkan genting rumah yang bocor, karena ayahku phobia ketinggian. Atau saat dia rela menunggu di bawah hujan untuk menjemputku pulang dari les. Atau saat dia mengajariku naik motor yang selalu berakhir dengan kegagalan. Atau saat dia selalu makan bersamaku di kantin saat jam makan siang, padahal dia punya teman-teman sendiri.

Dia tidak harus melakukannya. Tapi Milo melakukannya.

Akhirnya aku sampai pada suatu kesimpulan.

Aku tersenyum lebar. Milo benar-benar menyukaiku. Maksudku, bukan dalam artian menyukai teman kakaknya. Namun, benar-benar menyukaiku. Ada letupan perasaan yang aneh saat aku memikirkannya. Senang yang tidak biasa.

Tanpa sadar, tanganku sudah menyentuh tangan Milo. Ia melihatku dengan satu alis terangkat. Senyumku makin lebar. Kugenggam tangannya. Kutekuri telapak tangannya yang kasar dan berjari panjang. Ia tidak menarik tangannya atau bereaksi apa-apa. Namun aku bisa melihat seulas senyum yang tersungging di bibirnya.

Kueratkan genggamanku padanya.

***

Keesokkan harinya saat aku sedang menjemur pakaian di halaman, aku melihat Lil sedang berjalan kaki menuju rumah. Buru-buru aku menghampirinya sebelum ia masuk ke dalam rumahnya sendiri atau dilihat oleh salah satu anggota keluarganya.

Lil berjalan menunduk dengan lesu. Tubuhnya kelihatan lebih kurus dalam kurun waktu dua puluh empat jam. Ia masih mengenakan seragam sekolah yang nampak makin kumal dan kotor. Rambutnya berminyak dan ia biarkan tergerai di belakang kepala. Tubuhnya ringkih seperti orang tua.

"Lil?"

Saat ia mendongak untuk melihatku, wajahnya sepucat kertas. Lingkaran hitam semakin tebal di bawah matanya. Kedua matanya merah dan sembab. Beberapa helai rambut menempel di wajahnya karena keringat. Ia melangkah maju dengan gontai untuk memelukku. Bau keringat memenuhi rongga hidungku. Ada juga samar-samar bau amis darah. Tapi tidak kuhiraukan. Aku terlalu lega karena melihat Lil pulang. Dia memang nampak kacau, tapi selebihnya dia baik-baik saja.

"Delilah, kamu darimana saja? Aku khawatir sekali." Aku melepaskan pelukannya untuk menatap wajahnya yang sayu seakan tak lagi memiliki jiwa, "Kamu... baik-baik saja, kan?"

Lil mengangguk pelan. Ia menghela napas lelah, "Aku capek sekali." Ujarnya lirih.

Kugenggam kedua tangannya yang lembab karena keringat dingin. Kuku-kukunya kotor.

"Aku senang kamu kembali, Lil." Aku memeluknya lagi erat-erat. Kami berpelukan lama sekali di pinggir jalan. Seakan waktu sudah mengabur. Seakan waktu tidak benar-benar ada.

"Waktu itu kamu bilang kalau kamu hamil. Apa benar?" Tanyaku hati-hati.

Giliran Lil yang melepas pelukanku. Ia mengangguk dengan tatapan kosong, "Waktu itu aku hamil. Tapi sekarang sudah tidak lagi."

Ia mengangkat satu tangannya untuk membelai perutnya sendiri. Lil menatapku, tapi kurasa dia tidak benar-benar menatapku. Tatapannya begitu kosong. Begitu jauh. Aku tidak tahu bagaimana harus meraihnya. Aku mencari-cari kesungguhan dari balik ekspresi wajahnya. Gadis ini tidak seperti Lil yang kukenal. Gadis ini retak. Menunggu saat yang tepat untuk benar-benar hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu hal apa saja yang sudah ia lewati selama dua puluh empat jam terakhir. Yang pasti, pengalaman itu bukanlah pengalaman yang ingin kualami sendiri.

"Apa.. yang bisa kulakukan untukmu?" Kupaksakan lidahku bergerak, meski rasanya kelu.

Kali ini Lil memandangku. Benar-benar melihatku. Bibirnya ditarik perlahan hingga tersungging senyum tipis yang amat samar. Dengan gerakan gontai ia berjalan melewatiku. Menuju rumahnya sendiri. Langkahnya diseret dengan berat.

Aku agak khawatir kalau Lil tidak akan sampai ke rumahnya jika ia berjalan seperti itu. Tapi aku tahu bagaimana Lil. Ia akan mengatakannya kalau dia butuh bantuanku. Jadi aku mengikutinya dari belakang. Menuju rumahku, menuju halaman tempat aku tadi menjemur pakaian basah. Menunggu Lil memanggilku. Menunggunya untuk minta bantuanku. Sampai saat itu tiba, aku akan menunggu dengan sabar.

Yah, kurasa hanya itu yang dapat kulakukan saat ini.

***

--12 Desember 2017--

Not sure apa yang melatar belakangi cerita ini dibuat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top