the prince and the thief [Oliver x Yuki]
"Hei, Oliver. Maukah kau pergi ke pasar dan membeli ini semua?" tanya Len sambil menyodorkan sebuah daftar pada Oliver.
"Ke pasar? Mau!" jawab Oliver bersemangat. Jarang-jarang ada kesempatan untuk keluar dari istana.
"Baiklah. Kaito, temani dia." titah Len.
"Siap, Yang Mulia."
"Eh, tidak usah! Aku bisa sendiri!" tolak Oliver.
"Kau yakin?" Len menatap Oliver.
"Aku sudah besar, Kak!" seru Oliver tegas.
"Hahaha, baiklah. Senang punya adik yang tidak manja." Len mengelus kepala Oliver sambil memakaikan jubah. "Jangan sampai ketahuan, ya?"
Oliver mengacungkan jempolnya.
—1—
"Waah... Indah sekali hari ini..." Oliver terkagum-kagum. Sebelah iris kuning emas bak matahari miliknya menatap keramaian pasar, hiruk-pikuk yang tidak pernah ditemuimya di istana. Yap, cuma sebelah. Tadi pagi, jebakan kulit pisang yang disiapkan Lui di dekat tangga dengan harapan membuat seorang maid terpeleset dan menampakkan celana dalamnya malah memakan korban lain. Tepatnya Oliver yang sudah bertumpu namun matanya terantuk ornamen tangga. Sebenarnya Len menyuruh Oliver berbelanja karena ada maksud lain, menghindari sesi baku hantam.
"Pisang, wortel, jeruk, daun bawang, apel... Ah! Apel!" Ketika melihat sebuah kios yang menjual buah-buahan, Oliver langsung berlari menghampirinya.
"Tuan, aku mau beli apel!" ucap Oliver ramah pada salah satu pedagang di sana.
"Ah, kau lagi." Gakupo, sang penjual apel tersenyum ramah pada Oliver. "Oh iya, apa kau bisa membawa dua keranjang hari ini? Yang satu lagi untuk Luka."
"Kak Luka, ya! Dia selalu baiiiik sekali! Tapi Kak Lui masih sering mengerjainya, huh! Lihat ini, mataku jadi diperban gara-gara dia."
"Hahaha, masih seperti biasanya. Ini untukmu. Hati-hati, ya!" Gakupo mengusap rambut Oliver dan memberikan dua keranjang apel padanya.
Belum sepuluh langkah jarak Oliver dari kios Gakupo, sosok bertubuh kecil dengan cepat mendekatinya dan mengambil satu keranjang apel itu darinya.
Oliver yang menyadari sosok itu melesat secepat kilat langsung berteriak, "Pencuri!"
—1—
Oliver masih berlari membuntuti pencuri tadi. Banyak orang sudah menyerah dan berhenti karena kehilangan jejak.
Terima kasih kepada para pelayan, juru masak istana, dan pengajar-pengajar di sana yang sudah membangun fisik Oliver dengan latihan yang mantap dan gizi empat sehat lima sempurna, enak-enak pula makanannya.
Mendekati area hutan, sang pencuri berjubah hitam memperlambat larinya. Kesempatan bagus bagi Oliver, ia menambah kecepatan sembari berteriak, "Kembalikan apelku!"
Sosok di depannya tersentak. Pasar hingga kediamannya lumayan jauh. Pasti yang membuntutinya sampai sini bukan orang sembarangan.
Ia berbalik, firasatnya benar.
"Pangeran Oliver!?"
Hening sejenak di antara mereka. Oliver terpaku. Orang yang sejak tadi ia kejar ternyata seorang gadis kecil, kira-kira lebih muda darinya. Rambut hitamnya dikucir dua, hampir menyentuh bahunya. Kedua matanya coklat, seperti hazelnut dari negeri jauh yang sering dimasak oleh Miki untuknya.
"Ma... Maafkan aku, Yang Mulia! I... Ini..."
"Tenang dulu, sini ceritakan padaku! Aku tidak akan marah kalau kamu mau bicara! Oh, iya. Namamu siapa?" tanya Oliver sambil menggaruk pipinya.
"Panggil saja aku Yuki..."
"Yuki, Yuki. Sini, cerita denganku!"
—1—
"Kak Yuki!" Seorang bocah lelaki berambut hijau berlari kecil ke pintu depan sebuah rumah kecil. Memeluk Yuki sambil tersenyum, menampakkan gigi gingsulnya.
Melihat wajah baru di ruangan itu, iris hijau sang bocah membulat. "Siapa ini?"
Yuki tersenyum. "Ini Pangeran Oliver, dari kerajaan Shoroido."
"Kak Oliver! Aku Ryuto!" Ryuto masih cengar-cengir.
"Hush! Sopan sedikit!" Yuki menjitak Ryuto.
"Hehehe~ maaf, Yang Mulia!" Ryuto membungkuk hormat. Senyum masih tak lepas dari wajahnya.
"Kamu lucu sekali! Pasti Yuki senang punya adik sepertimu." Oliver membalas senyum Ryuto.
"Oh iya! Tadi aku bikin teh! Ayo diminum!" Ryuto dengan riang pergi ke ruangan lain.
"Ah, maaf, Yang Mulia, tempat ini pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan istana tempat tinggal Anda." Yuki menunduk.
"Tidak masalah, tempat ini nyaman, kok! Panggil saja aku Oliver." Oliver tersenyum.
"Tapi, Yang Mulia—"
"Oliver!"
"Aaaaah, aku tidak enak, rasanya tidak so—"
"Ayolaaah, panggil aku Oliver!" Oliver menggembungkan pipinya.
"B-Baiklah, Oliver..." Yuki memalingkan wajahnya sedikit. Ryuto kembali dengan tiga cangkir teh. Oliver mengambil secangkir, dan menyesapnya dengan penuh etika.
"Wah, enak sekali!" puji Oliver.
"Yeay!" Ryuto tertawa.
"Ryuto. Ini teh darimana?"
"Dari tumbuhannya, lah!"
"Bukannya sudah mati, ya? Kan kamu lupa menyiramnya!" tanya Yuki curiga.
"Hihi, Kak Yuki lupa?" Ryuto terkikik. Ia memasukkan sebuah daun teh dalam pot, lalu menutupinya dengan tanah. Setelah itu, tanah yang sudah diratakan ditekan-tekan tiga kali. Muncul tunas dari sana.
"Wah, tunasnya tumbuh semakin cepat hari ini! Kau semakin hebat saja!" puji Yuki. Oliver terperangah. Melihat ekspresi bingung sang pangeran, Yuki berinisiatif menjelaskan, "Ryuto ini sebenarnya keturunan dari bangsa elf dan penyihir. Yang Mulia—"
"OLIVER SAJAAAA!" Oliver ngotot sampai wajahnya merah. Andai saja guru tata krama istana melihat ini, mungkin Oliver sudah berjalan jongkok dari singgasana sampai gerbang perbatasan kerajaan.
"Iyaaa, maaf! O-Oliver pernah dengar tentang penyihir, kan?"
"Tentu saja pernah!"
"Yang penyihir itu ayahku! Ibuku elf! Makanya aku punya kekuatan sihir seperti peri!" Ryuto melanjutkan sambil tersenyum.
"Biasanya, Paman Nigaito dan Bibi Aoki berjualan kue di sini. Tapi, mereka ditangkap oleh penyihir putih..." Yuki menunduk.
"Apa!? Penyihir putih!?"
"Ayah dan ibuku sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi sudah sebulan mereka tidak kembali..."
"Sudahlah, Kak Yuki! Jangan bersedih! Paman Zeito dan Bibi Zatsune pasti bisa kembali! Mereka penyihir hitam yang hebat, kok!" Ryuto masih berusaha menghibur dengan polosnya.
"Kemudian, kalau Ryuto punya kekuatan seperti ini, kenapa kau masih mencuri di pasar? Dan kalau kamuanak penyihir, kenapa kamu tidak memakai sihirmu juga?"
"Kak Yuki mencuri!?" Ryuto berteriak.
Yuki tertunduk lebih dalam. "A-Aku tidak punya uang lagi... Semua tetangga tidak ada yang mau memberikan makanan, atau meminjamkan uang... Aku juga belum dibolehkan belajar sihir oleh Ayah..."
"Kak Yuki! Dengan kekuatanku, kita masih bisa makaaaan! Jangan begitu!" Ryuto mengguncang bahu Yuki.
"Aku tidak bisa memaksamu mengeluarkan semua kekuatanmu, Ryuto!" Yuki terisak.
"Tenang, Yuki..." Oliver menyentuh bahunya. "Aku bisa membawakanmu sesuatu dari istana!"
"Eh?"
"Di istana kan ada banyak makanan, jika kuambil sedikit saja, pasti tidak ketahuan!" Oliver mengedipkan mata.
"Tidak usah, nanti merepotkan—"
"Tidak apa-apa! Ayolah!"
"Eeeeh, baiklah kalau Oliver maunya begitu... Beberapa potong roti sudah cukup kok untuk kita—"
"Jangan sungkan, ah! Oh iya, apelnya bawa saja dulu! Nanti aku yang urus!"
"Uwaaaaah! Kak Oliver baiiiik sekali! Terima kasih Kak!" Ryuto langsung memeluk Oliver. Yuki tersenyum.
"Hehehe, omong-omong, aku pulang dulu! Kakak-kakak pasti mencariku di istana!" Oliver tertawa kecil. Melambaikan tangannya pada Ryuto dan Yuki.
—1—
"Banyak sekali!" Yuki ternganga melihat Oliver yang tak kunjung rampung mengeluarkan roti dari sebuah karung.
"Ah, ini nggak seberapa! Biasanya juga di istana segini kok makanannya!"
Sementara itu, di istana.
"YANG MULIAAAAAAA! PERDANA MENTERIIIIIII! KEMANA ROTI KITAAAAA!?" Rui panik. Pasokan roti untuk besok pagi lenyap.
"Emmmm... Dimakan tikus?" Tebak Tei.
"TIKUS APAAN SEKALI HAP LANGSUNG LENYAP!?"
Perdana Menteri Kaito hanya geleng-geleng. "Lui sepertinya sedang santai. Dia saja yang kusuruh beli..."
"Waaaaaaah! Senangnyaaaaaa!" Ryuto menjerit-jerit.
"ASTAGA AKU LUPA AMBIL SELAI!" Oliver menepuk jidatnya.
"Sini aku saja yang beli!" Ryuto masih melompat-lompat rusuh. Yuki gemas ingin menggebuk kepala hijau itu dengan sendok kayu yang dipegangnya, tapi tatapan hangat dan senyum Oliver membuatnya lupa dunia sejenak.
Oliver mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. "Kau ini semangat sekali... Pergilah, hati-hati! Cepat pulang, ya!"
"BAIIIIIIIK!" Ryuto menghambur keluar seraya meninggalkan mereka.
Yuki dan Oliver, berdua saja.
"A-Ah... Oliver mau teh?" Yuki berusaha mencairkan suasana, walaupun kelihatannya suasana hatinya yang perlu ditenangkan.
"Tidak usah, nanti merepotkan! Lagipula tadi aku sudah makan!"
"Eeeeh? Baiklah..." Yuki mengiris roti.
Oliver memperhatikan jemari kecil Yuki. Yuki terlihat cukup lihai dalam memasak. Rambut hitam dikuncir dua milik Yuki sangat manis, entah mengapa si pirang baru menyadarinya hari ini. Sejenak Oliver merasa bahagia dirinya menyempatkan diri mengejar gadis cilik ini kala itu.
"Oliver?" Yuki menyadari Oliver memandangnya tanpa berkedip.
"Eeeeeh—kenapa?" Oliver menggaruk pipinya.
"Kamu itu yang kenapa! Siang-siang melamun gini?"
"Memangnya harusnya malam, ya?" Oliver ingin memukul kepalanya sendiri setelah mengatakan hal itu. Aaaaah! Bodoh!
Yuki tersenyum. Oliver kalang kabut.
"Eeeeh... Anu... Kenapa kamu tidak belajar sihir? Kemarin Ryuto bilang orang tuamu penyihir hitam, kan?" Oliver mencoba mengalihkan kecanggungannya tadi.
"Yah... Sebenarnya... Aku berhenti belajar sihir sejak orangtuaku berusaha menyelamatkan Bibi Aoki dan Paman Nigaito..."
"Kenapa begitu?"
"Mereka diculik penyihir putih yang bisa merasakan kekuatan sihir lain, Oliver... Paman Nigaito adalah keturunan keluarga Shion, keluarga penyihir yang terkenal hebat sejak dulu. Sedangkan Bibi Aoki adalah putri dari desa elf salju."
"Bukannya desa elf salju itu jauh sekali ya?"
"Iya! Mereka bertemu ketika keluarga Shion sedang berlibur di pegunungan. Waktu itu, Bibi Aoki sedang membeli coklat panas, lalu mereka bertabrakan!"
"Aaah! Apakah Paman Nigaito marah?"
"Untungnya tidak! Mereka malah minum bersama setelah itu!"
"Bisa gitu, ya!" Oliver meregangkan lengannya. "Pasti menyenangkan bisa bertemu jodoh walau sejauh itu..."
"Hehe..." Yuki memalingkan wajahnya.
—1—
Ryuto menenteng sekaleng selai melon dengan gembira. Dibukanya kaleng itu, lalu dicoleknya dan dicicipi.
"Enaknyaaaaa!"
Dasar anak kecil.
Langkahnya santai, melalui rimbunnya hutan. Jalan setapak yang ia lalui sedikit gelap tertutupi daun. Tangan isengnya memetik sebuah dandelion.
"Fuuuuuh!" Bunga itu pun menyebar. Ryuto tertawa, memandang takjub pada biji ringan dandelion yang terbawa angin cukup jauh.
"Aku mau lagi! Aku mau lagi!" Ryuto menggunakan sihirnya, menumbuhkan bunga baru di tempat ia mematahkan setangkai.
"Senang bermainnya, anak kecil?" Suara misterius mengejutkan Ryuto dari euforia.
"SIAPA KAU!?"
—1—
Sejak bermenit-menit lalu, hening tercipta lagi. Hanya kemerisik dedaunan di luar, tertiup angin sepoi-sepoi dengan lembut. Oliver juga terdiam, tak tahu bagaimana harus menyambung topik obrolan.
"Oliver?"
"Ya?"
"Kemarin waktu kita pertama ketemu..." Yuki menggantungkan kalimatnya. "...kamu marah enggak, sih?"
"Kenapa harus marah, Yuki?"
"Aku mencuri apelmu, lho... Kamu jadi mengikutiku jauh-jauh sampai ke sini..." Yuki menunduk.
"Tapi, aku yakin, Yuki anak yang baik! Yuki manis sekali!" Oliver menepuk pundak Yuki, lalu mengacungkan jempolnya.
Semburat merah muncul di pipi Yuki. Oliver memperlebar senyuman, berusaha menyembunyikan merah tomat yang sebenarnya juga muncul di pipinya.
"Eh... Beneran?" Yuki menggaruk kepala.
"Serius! Yuki rajin, baiiiik... Baiiiik banget sama Ryuto!"
"Astaga! Ryuto!" Yuki menengok ke arah jam kayu besar di sudut ruangan. Sudah pukul tiga. Tiga puluh lima menit sejak Ryuto meninggalkan rumah.
"Benar juga. Kok Ryuto belum pulang, ya?" Oliver mulai bertanya-tanya.
"Ada rute yang lebih cepat... Lewat jembatan hanya lima belas menit pulang-pergi, dan dia tahu jalannya. Jangan-jangan dia lewat tempat yang kemarin kita lewati itu?" Yuki memucat.
"Jembatannya sedang diperbaiki, Yuki!"
"Ah! Tidak! Oliver, ayo kita susul dia!" Yuki langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Kenapa?"
"Banyak orang yang diculik ketika lewat sana! Ryuto punya darah penyihir dan elf, pasti banyak yang mengincarnya!"
—1—
"TOLOOOOONG!" Ryuto meraung, berusaha melepaskan ikatan tali di tubuhnya.
"HAHAHA! Berteriaklah sampai ada yang mendengar, anak kecil! HAHAHAHAHAHAHA!" Penyihir putih itu tertawa curang.
"LEPASKAN AKU!" Ryuto meronta sekuat tenaga.
"Diam saja di situ... Ah, aku merasakan kekuatan sihir yang aneh darimu." Haku mengamati Ryuto sejenak. Beberapa tenggak wine lagi ia nikmati. Haku tersenyum jahat. Sedikit sempoyongan, Haku menyiapkan buku mantera dan tongkat sihirnya.
"Haku! JANGAN!" Wanita berambut hitam panjang dalan kerangkeng sihir berteriak pada sang penyihir putih.
"Bisa apa kau, Zatsune?" Haku meninggikan nadanya sembari menenggak lagi wine di tangannya. "Keluar dari sana saja kau tak bisa! Hahaha!"
"KEPARAT KAU!" Zatsune berusaha menerobos sela-sela kerangkeng.
BZZZT! CTAS! CTAS!
"AAAAAAAKH!"
"HAHAHAHAHA! BERUSAHALAH TERUS WAHAI KAU PENYIHIR HITAM! DASAR LEMAH!" Wanita bernama Haku, sang penyihir putih, terus tertawa.
"Hentikan!" Pria dengan surai hitam menarik mundur tubuh ramping Zatsune.
"Ukh... Kita harus... Menyelamatkannya..."
"Pasti ada jalan, Zatsune. Pasti ada jalan."
"Jangan sampai... Dia... Nigaito..."
—1—
"
Dimana, ya?" Yuki menggumam cemas.
"Kau yakin lewat sini?"
"Kalau jembatan sedang diperbaiki, akses jalan ke kota hanya lewat sini!"
"Tempat ini berbahaya! Selain sepi dan sering ada penculikan, pasti ada binatang buas di sekitar sini!"
"OLIVER! Jangan nakut-nakutin..."
"I-Iyaaaa! Maaf!" Oliver masih mencari jejak, begitupun juga Yuki. Oliver tak lama kemudian menyadari sesuatu. Cairan hijau menempel di sepatunya
"APA INI!?" Oliver terkejut.
"Ssssh!" Yuki mendekat. "Ini selai, Oliver! Pasti Ryuto sudah lewat sini!"
"Ah! Benar juga."
Yuki memperhatikan tumpahan selai melon di jalan setapak. Selai itu seolah tumpah ketika Ryuto bergerak, karena meninggalkan jejak.
"Lewat sini. Ikut aku!" Yuki menarik tangan Oliver."
—1—
Haku belum jadi memulai ritualnya. Wine yang ia tenggak justru membuatnya mabuk. Meninggalkan Ryuto terikat di tengah pentagram dan buku mantera.
Bodoh.
"Ryuto! Ryuto!"
Ryuto menengok ke sumber suara.
"KAKAK!? KAK OL—"
"SSSSH! Nanti dia bangun!" bisik Oliver.
"Setelah ini kita harus lari, cepat!" Yuki memotong ikatan Ryuto dengan pisau yang ia temukan tak jauh dari sana.
"Jangan pergi dulu, Kak! Aku melihat Paman Zeito dan Bibi Zatsune tadi!"
"SERIUS!?" jerit Yuki kaget.
"SSSSSSH!" Oliver mendesis. "Di mana mereka sekarang?"
"Di ruangan dalam sana! Mereka dikurung dengan kekuatan sihir petir, aku tidak tahu bagaimana mengeluarkan mereka!" Ryuto menunjuk ruangan kecil di balik perpustakaan.
"Mantera untuk membebaskan mereka pasti ada di buku itu!" Oliver menunjuk buku mantera yang tergeletak tak jauh dari mereka. Yuki memungutnya.
"Tapi apa gunanya kita memiliki ini? Aku bahkan belum belajar sihir!"
"YA MAKANYA BUKU MANTERANYA ITU DIBACA—"
"Ssssst! Nanti dia bangun! Lebih baik kita datangi Ayah dan Ibu, sekalian tanya sama mereka!"
"Pintar deh! Ayo kita berangkat!" Oliver menggeret Ryuto dan Yuki ke ruangan yang dimaksud.
—1—
"RYUTO!? YUKI!? PANGERAN OLIVER!?" Zeito dan Zatsune terperangah melihat tiga anak yang masuk ke tempat mereka dikurung. Bagaimana bisa? Bukannya tadi Ryuto hampir menjadi bahan percobaan Haku?
"Paman dan Bibi tenang saja! Kami akan menyelamatkan Paman dan Bibi!" ujar Oliver.
"Bagaimana membacanya, ya..." Yuki bergumam.
"Oh? Kalian membawa buku manteranya ternyata! Bagus!" puji Zeito.
"Tapi aku tidak bisa membacanya, Ayah!"
"Berikan pada Ayah!"
Yuki memasukkan buku itu melalui sela-sela penjara.
"Kimin nə olduğunu bilir..." bisik Zeito. (1)
ZZZZZAP!
Zeito dan Zatsune dengan sigap mendarat.
"Ayo Paman, Bibi! Kita semua harus kabur sebelum penyihir putih itu terbangun!" ajak Ryuto.
"Tidak! Jangan lari dulu. Kami tahu Nigaito dan Aoki ada di sini!" ujar Zatsune.
"EEEEEEEH!?"
"Mereka dibekukan di ruang bawah tanah dengan lilin ajaib, jadi mereka tidak mati. Kami ingin menyelamatkan mereka, tapi kami tak sengaja menginjak jebakan dan Haku pun menemukan kita." jelas Zeito.
"Baiklah, kita harus menyelamatkan mereka juga!" ucap Yuki.
—1—
"Qəzəbimi çəkmək istəyirəm!" Yuki merapalkan mantra untuk membuka pintu.
KRIEEEEEEEEET
"Kau mempelajari bahasa kuno degan cepat, Yuki. Seharusnya Ayah dan Ibu mengizinkanmu belajar sihir sejak dulu." Zeito menunduk.
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku paham kok, Ayah dan Ibu sebenarnya khawatir dengan ulah para penyihir putih." Yuki tersenyum.
"Et ta erklären." bisik Zatsune. Seluruh obor di dalam pun menyala.
Setiap sudut ruangan itu kini terekspos. Mereka menapak di atas sebuah karpet ungu. Benda-benda sihir yang sudah tua tertata dengan rapi di kotak-kotak kayu. Lukisan seorang perempuan bersurai putih, berkepang dua.
"Rasanya aku pernah melihatnya, tapi dimana, ya..." gumam Oliver.
"Eh?" respon Yuki.
"Lupakan saja..."
"Sepertinya kita menemukannya." ujar Yuki sambil menunjuk ke sebuah pilar berwarna kekuningan.
Saat mereka mendekat, mereka dapat melihat seorang laki-laki dan peri perempuan yang dibekukan di dalam lilin kuning keemasan.
"Ayah... Ibu..." Ryuto meraba permukaan lilin.
"Akan sangat menyiksa bagi mereka kalau kita membakarnya dengan api. Kita harus gunakan cara lain..." gumam Yuki.
"Mungkin di buku mantera ada sesuatu yang bisa membantu!" ucap Oliver.
"Yah, kami harap juga begitu." jawab Zeito sambil membolak-balik buku mantra.
"Eh? Ryuto, apakah ibumu memang kecil seperti itu?" Oliver menunjuk ke arah Aoki.
"Ibuku kan elf! Wujud aslinya memang kecil begitu!" ucap Ryuto. "Kerajaan elf mulai terbuka dengan dunia manusia beberapa puluh tahun lalu, sejak kakek buyut Ibu mencari cara untuk menjadi manusia. Bangsa manusia juga yang membantu mereka!"
"Ooooh, begitu..."
"Karena Ibu melahirkanku saat sia berwujud manusia, sekarang aku manusia, bukan elf!" Ryuto nyengir.
"Tetap saja kau pendek..."
"KAKAK OLIVER!"
"SSSSSST!" Yuki menjitak Ryuto.
"Oh, ini dia mantranya..." Zatsune membuka halaman bertanda biru. Semua langsung berkerumun.
"Hmmm. Jika dilapalkan oleh satu orang, bisa memakan waktu sejam, ya?" ucap Ryuto.
"Lama sekali..." gumam Oliver.
"Ah. Jika dibaca lebih dari satu orang, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pencairannya akan berkurang!" seru Yuki.
"Benar! Di sini dikatakan jika dibaca dua orang, waktu yang dibutuhkan menjadi setengah dari waktu awalnya. Berarti 30 menit, kan? Kalau dibaca bertiga, kita hanya butuh 15 menit!" ucap Oliver.
"Kalau begitu, kamu harus ikut membaca mantranya bersama Ayah dan Ibu, Yuki." ucap Zeito.
"Eeeeh? Aku baru saja mempelajari bahasa sesulit ini..." Yuki menggaruk tengkuknya.
"Ayo! Kau pasti bisa, Yuki!" Oliver mengelus kepala Yuki.
"Eeeeh..."
"Benar! Kak Yuki pasti akan menjadi penyihir yang hebaaaat!" ucap Ryuto.
"Ayo, Yuki. Kita mulai sekarang." Zatsune menggenggam tangan Yuki dan Zeito. Mereka melingkari pilar damar tersebut.
"Ayah dulu." Zeito berdeham. "Kartoizko gizona..."
"Alfonbra gizona..." sambung Zatsune.
"Zizelkatua gizona..." Yuki mengikuti."
"Gizonek porrot egiten dute..."
"Gizonak argazkiak egiten ari dira..."
"Alfonbra gizona..."
Mereka mencapai baris terakhir mantra. Ketiganya menarik napas dalam,
"BASATIA ZARAAAAAAA!"
KRAK! KRAK! KRAK!
"Berhasil!" ucap Ryuto.
"Ingat, kita harus menunggu 15 menit. Lebih baik kita berjaga disini! Teriakan mereka mungkin saja membangunkan Haku! Ambil apapun yang bisa dipakai untuk melindungi diri!" perintah Oliver pada Ryuto.
"Baik!" Ryuto bergegas mencari benda terbaik yang bisa ditemukannya.
—1—
Haku berusaha bangkit sambil memegangi kepalanya yang sakit. Emosinya memuncak ketika melihat pentagram yang kosong.
"Keparat..." Haku menggeram mendapati Ryuto telah melarikan diri. Buku mantranya juga hilang.
Haku menenggak anggur—lagi—dan meraih bola kristal di meja.
"Kalian pikir aku tak tahu dimana kalian, hah?"
—1—
"HEI KALIAN, ANAK-ANAK BANGSAT! KELUAR KALIAN!" Haku mendekat dengan geram.
"Gawat! Kita ketahuan! Kak Yuki belum selesai..." Ryuto menggenggam erat tutup kuali yang ia temukan. Entah bagaimana caranya dia bisa kuat mengangkatnya.
"Tenang, Ryuto. Ingat, apapun yang terjadi, kita harus melindungi mereka!" ucap Oliver.
Haku melangkahkan kakinya, semakin dekat. Oliver melempar botol kaca untuk mengalihkan perhatiannya.
PRANG!
"KEMARI KAU!" Haku menghampiri botol itu. Oliver memukul kepala Haku dari belakang dengan tombak.
"Kena."
"Bocah sialan! KAU AKAN MERASAKAN AKIBATNYA!" Haku menembakkan petir ke arah Oliver. Saat itu Ryuto maju, menggunakan tutup kuali sebagai tameng.
Tutup kuali tadi pecah, berserakan. Oliver meraih tombak yang tadi dan menghunuskannya ke arah Haku.
"Kau menantangku?" Haku menatap Oliver tajam.
"Sebenarnya aku diajari untuk tidak menyakiti orang lain..." Oliver menggigit bibir. "...tapi tidak untuk orang jahat yang mencoba menyakiti teman-temanku!"
"Berani juga kau, Pangeran Oliver." Haku menyeringai, mengeluarkan botol berisi cairan berwarna hijau. "Kita lihat, apakah kau bisa bertahan."
PRANG!
Haku membanting botol itu ke karpet. Aroma busuk menguar dengan cepat.
"Aku sedang berbaik hati, kau mungkin hanya akan pingsan karena racun ini..." ucap Haku sadis. "Yah, itu karena aku masih butuh kelinci percobaan."
Haku mendekati Oliver yang wajahnya mulai memucat.
"Sungguh hina. Kau selalu saja memanfaatkan anak kecil."
BRUK!
"APA!?" Haku berusaha berdiri. Tubuhnya terasa beku. Kaki dan tangannya kemudian diikat oleh syal hijau oleh Yuki.
"Cepat tinggalkan tempat ini!" komando Nigaito. Aoki menebarkan debu peri pada Oliver, memulihkan sang pangeran. Yuki membantunya berdiri.
"Oliver! Laporkan kejadian ini pada pihak istana!" ucap Yuki. "Aku akan menemanimu!"
—1—
"Masalah di perbatasan memang sangat sulit diselesaikan..." Jenderal Ted memijat keningnya.
"Semuanya selamat kok, Ted!" Oliver tersenyum pada Ted.
"Oh iya. Sobat kecil..." Ted memandang Yuki. "Aku dengar, kau sering mencuri di pasar, ya?" Yuki hanya menunduk.
"Soal itu... Jangan marahi dia, Ted!" Oliver berseru.
"Mengapa demikian, Yang Mulia?"
"Karena penyihir putih tadi menangkap orangtua Yuki, Yuki tidak punya pilihan untuk bertahan hidup! Saat itu dia belum bisa menggunakan sihir untuk melindungi dirinya dari ancaman-ancaman di hutan!" ujar Oliver.
"Aku paham, Oliver. Aku tidak akan tega menyuruhnya berburu." ucap Ted. "Mungkin dia bisa ikut ke istana."
"Benar, Yuki! Maukah kau tinggal di istana bersamaku?" Oliver memegang tangan Yuki, menatapnya lekat.
"Maaf, Oliver..."
"Maksudmu apa, Yuki?"
"Aku harus memperdalam ilmu sihirku, menyempurnakan kemampuanku..." ucap Yuki. "Lagipula, rumahku di sini, keluargaku sangat berharga bagiku... Kau mengerti, kan?"
"Kalau begitu apakah kita bisa bertemu lain kali, Yuki? Aku mohon, jawab aku!"
"Mungkin kau akan bertemu denganku di pasar, jika kau beruntung~" Yuki tersenyum.
Ted ikut tersenyum. Nampaknya Oliver tidak perlu dikawal lagi saat keluar dari istana.
{the prince and the thief : done}
OMAIGATTTT. 3K WORDS OMAGAT. BISA SEPANJANG ITU OMEGATTTT TERKEJUT TERHERAN HERAN HAMBA.
Nantikan chap selanjutnya anak anak. Intinya jempol saia dah tepos, capek ah.
Gud baiiiiii! Jaa matane, matamu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top