the prince and the pierrot [Lui x Ring]
Senja itu, Lui mendapatkan giliran keluar untuk berbelanja. Saat para dayang sedikit gempar karena kehabisan bahan roti, Lui melihat kesempatan emas baginya.
Jalan menuju tempat sang pembuat roti kerajaan kebetulan melewati gang sempit tempat para wanita malam menjajakan dirinya.
Lui menyeringai. Ah, dasar anak lelaki. Kendati usianya dua tahun di bawah Piko dan Len, otaknya jauh lebih dewasa bin busuk.
Senja-senja begini, enaknya lihat yang mantap-mantap. Lui mengintip-intip. Gang itu mulai ramai. Si kepala jingga mengamati dari jauh. Bisa ambruk harga dirinya sebagai pangeran kalau sampai ketahuan.
CEPLOK!
Lui mangap. Terkejut. Siapakah yang dengan berani melemparkan tomat ke wajah tampannya!? Tidakkah rakyat jelata disini tahu persis siapa yang berkuasa!?
Suara tawa menggelegar setelah Lui mengusap tomat di wajahnya.
Sang badut mendekat, mencolek pipinya dengan jenaka tanpa turun dari sepeda roda satu yang dikendarainya. Memencet hidung Lui. Gelak tawa menggelegar di kerumunan penonton.
Topeng yang dikenakan si badut. Aha. Lui berusaha mengingatnya.
Bagian mata, dilukisi bintang. Bagian pipi, bulatan merah. Bibir merah ciri khas pelawak pada umumnya. Hidung biru.
"Awas kau kalau kita bertemu lagi." batin Lui.
—2—
Keesokan harinya, tepatnya di siang hari yang terik. Lui berpanas-panas di daerah yang sama, demi mencari si badut kurang ajar yang telah mempermalukannya lebih dari apapun.
Memang kemarin dia dalam penyamaran, tapi ditertawakan rakyat yang notabene merupakan kaum yang berderajat lebih rendah darinya membuat Lui emosi, jelas.
Lui mendapati badut itu belum memulai atraksinya siang ini. Mungkin memang jadwalnya sore? Ataukah ia sedang beristirahat untuk makan siang? Lui mencoba mencari tahu.
Pertanyaannya terjawab ketika ia melongok ke dalam gang sempit itu.
—2—
"Kakak! Ayolah, ini tidak benar!" teriak Ring.
"Memangnya apa yang kautahu?" Sang kakak tak sedikitpun memalingkan wajah pada adiknya. Riasan tebal di wajahnya terus disempurnakan olehnya.
"Kumohon berhentilah melakukan ini, Kak... Pasti ada cara lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari!"
"Tidak akan cukup, Ring."
"Ayolah, Kak! Apakah Kakak benar-benar ingin melakukannya?"
"Tentu saja tidak, bodoh!"
"MAKA BERHENTILAH, KAK! PASTI ADA CARA LAIN, SELAIN MEMUASKAN HASRAT KEPARAT-KEPARAT ITU!"
"KUBILANG KITA TIDAK PUNYA JALAN LAIN!"
BUK!
Lui terperangah. Seseorang yang disebut 'kakak' melayangkan tinjunya tepat ke wajah Ring yang masih tertutupi topeng. Begitu keras sehingga Ring terjerembab. Bagian belakang kepalanya membentur ukiran batu dekorasi gedung.
Lui menggigit bibir, menahan ngilu. Hatinya semakin terkoyak melihat Ring yang melepaskan topengnya.
Hidung dan bibirnya berdarah. Pipinya lebam.
Ring tertatih berjalan, mendekati toko obat di ujung jalan.
"Yan He? Kakak disana?"
Perempuan bersurai putih menampakkan batang hidungnya. "Ring! Luka lagi!?"
"Hehehe... Biasa, mencoba trik baru." Ring tertawa, menutupi apa yang baru saja terjadi. Yan He berdecak, mulai mengobati Ring.
"Tahan. Oh iya, hidungmu mimisan. Pegang hidungmu."
Lui masih menatap Ring meski tubuhnya bergetar. Bagaimana mungkin anak perempuan yang satu ini bisa setegar itu?
"Kau tidak usah berbohong, Ring. Aku tahu kakakmu memukulmu lagi." Yan He mengusap pipi Ring.
Ring tersentak.
"Sudah selesai." Yan He membereskan kotak obatnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Ring memakai topeng miliknya lagi. "Kau yakin mau langsung beratraksi?"
"Ya!" Ring mengangguk. "Aku akan membuktikan pada kakakku kalau aku bisa mencari uang dengan cara yang baik!"
—2—
Bulan sabit menggantung di langit biru keunguan. Pukul tujuh malam.
Ring menyeka keringatnya. Tersenyum sambil memandangi beberapa peser uang di dalam karung yang ia pegang. Hasil usaha hari ini. Ia mulai menghitung, menghitung, menghitung.
"Hai, cantik."
Ring menoleh kesana kemari, mencari. Siapa gerangan yang berbicara?
Lui mendekat. Memencet hidung Ring.
"Hei! Apa yang kau lakukan?" amuk Ring.
"Sama seperti apa yang kau lakukan padaku kemarin." ujar Lui.
"Oh, kau." Ring tersenyum. "Bocah mesum yang berusaha mengintip kawasan prostitusi."
"Begitu caramu bicara pada pangeran?" Lui mendelik.
"Hehe, maaf, Yang Mulia." Ring menunduk, senyumnya tidak luntur. "Aku baru beberapa bulan hidup di sini, di negara ini. Oh iya, namaku Ring."
"Panggil saja aku Lui."
"Lui, oke."
"Nampaknya kau lelah sekali, Ring." Lui menyeka keringat yang masih bercucuran di dahi Ring.
"Menjadi pierrot di pinggir jalan memang begini, Yang Mulia. Aku yakin—"
"Eits. Lui."
"Aku yakin Lui juga banyak kegiatan di istana, kan? Banyak pelajaran dan latihan untuk putra raja." Ring tersenyum.
"Haha... Kau benar, dan terkadang hal-hal itu membosankan. Aku lebih suka mengerjai pelayan-pelayanku." Lui masih mengusap keringat Ring. Telapak tangannya tiba di pipi Ring dengan bekas lebam yang masih sedikit terlihat. Ring mengaduh.
"M-maaf—"
"Tidak masalah. Uhm, kurasa aku harus pulang sekarang, aku juga belum makan malam, Lui." Ring menggaruk belakang lehernya, menahan sakit ketika menyentuh bekas terbentur siang tadi.
"Aku akan menemanimu. Tidak baik jika anak perempuan keluar malam-malam sendirian." Lui menggandeng tangan Ring. "Lagipula, aku ingin jalan-jalan! Aku bosan dengan jam malam penuh pelajaran di istana!"
"Baiklah..."
—2—
"Aku baru tahu ada tempat seperti ini di pasar!" Lui berdecak kagum.
"Kedai ini hanya buka di malam hari, komungkin itu penyebabnya! Kau mau makan apa?"
"Terserah kau saja, deh. Aku tidak tahu harus memesan apa." Lui memainkan wadah lada.
"Baiklah." Ring menuliskan menu yang biasa ia pesan, lalu mengantarnya ke pemilik kedai. "Hati-hati dengan benda itu, kau akan bersin."
Lui menatap Ring bingung, lalu menatap benda yang sedikit asing baginya. Ah, isinya lada. Pantas saja hidungnya bereaksi.
Netra jingga Lui memandang Ring lagi dari kejauhan. Angin malam menyibakkan surai jingganya. Ia memandang kedai yang ramai malam itu.
Satu keluarga yang sedang asyik bercanda. Para ksatria yang mengobrol dengan serunya, masih dengan baju zirah mereka. Pedagang pasar yang sering ia jumpai. Bahkan ada beberapa remaja seumurannya atau mungkin lebih tua yang menghabiskan waktu di kedai itu.
Pandangannya teralihkan ke arah Ring yang sedang membayar sebelum membawa makanan yang siap disantap. Ah, harusnya Lui yang membayar makanan mereka.
Lui mendapati kalau kedua kaki Ring dipenuhi bekas luka. Sebenarnya apa saja yang telah dilakukan kakak Ring? Mengapa di dunia ini ada manusia sekejam itu?
(Mungkin kalau Oliver membaca isi pikiran Lui sekarang, ia sudah memukulnya dengan tombak sambil berucap, "APA BEDANYA DENGAN KAKAK, HAH!?")
Ring meletakkan nampan berisi dua porsi spageti, dua gelas susu almond, dan sepiring waffle.
"Pemilik kedainya sedang berbaik hati, waffle ini gratis untuk kita berdua!" Ring terdengar begitu riang.
"Syukurlah. Selamat makan!"
"Selamat makan!"
Lui makan dengan lahap. Peduli setan dengan tata krama, tidak ada pihak istana yang melihatnya di sini.
"Rasanya aneh..."
"Uh, kau harusnya memakannya bersamaan dengan sausnya, Lui!" Ring mengaduk spageti milik Lui, mencampurkan saus daging dengan pasta.
"Uwaaah! Enak sekali! Bahkan lebih enak dari makanan istana!" Lui semakin lahap menghabiskan spageti miliknya.
"Benarkah? Senangnya!" Ring merespon dengan riang, lalu meminum susu almond. Lui ikut menyesap minuman miliknya.
"Ini susu apa, Ring? Rasanya beda dengan yang di istana..."
"Oh, itu susu dari almond. Saat terjadi penyakit ternak pada sapi di kerajaan ini, kita menggunakan almond untuk memenuhi kebutuhan susu. Ternyata rasanya enak sekali, dan beberapa kedai masih menjualnya sampai sekarang, apalagi produksi almond di kerajaan kita cukup tinggi. Apakah hal ini tidak ada dalam pelajaran?" Ring memiringkan kepalanya, bingung.
"Pasti aku tidur saat bagian itu dijelaskan! Payah! Padahal susu almond rasanya seenak ini!"
Mereka berdua tertawa, lalu menghabiskan spageti mereka.
"Kalau waffle, aku sudah pernah memakannya sekali!" komentar Lui setelah menghabiskan spageti.
"Wah! Rasanya bagaimana?"
"Enak sekali! Kau harus mencobanya!" Lui mengiris waffle dan menyuapkannya pada Ring. Wajah Ring memerah.
Lui entah mengapa baru menyadari tindakannya setelah Ring menggigit waffle yang ia sodorkan. Wajahnya ikut memerah. "Bagaimana?" Lui menggaruk pipinya, canggung.
"Enak!" Ring tersenyum. Lui seolah melayang, dihujani senyum manis Ring terus-menerus. Wajahnya semakin merah padam ketika melihat Ring melakukan hal yang sama padanya.
"Ayo, buka mulutmu!"
—2—
Seusai makan malam, kedua insan tersebut memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman bunga. Lui heran dengan Ring yang begitu enerjik. Setelah seharian beratraksi, ia masih kuat berlari kecil di malam hari. Lui saja biasanya sudah mengantuk di siang hari.
"Lui, lihat! Kunang-kunang!"
Lui menghampiri Ring yang sedang asyik bermain dengan serangga bercahaya.
Cantik.
"Kunang-kunang? Aku belum pernah melihatnya langsung. Hanya pernah membacanya di buku." Lui membiarkan kunang-kunang itu hinggap di tangannya. "Ternyata mereka cantik sekali."
"Kau harus sering-sering keluar dari istana, Lui!" ucap Ring.
"Hahaha, seandainya semudah itu." Lui merapikan rambutnya, lalu kembali bermain dengan kunang-kunang.
"Uh..." Ring menoleh ke arah Lui. "Maaf soal itu."
"Kau tidak salah, kok."
"Lagipula tinggal di istana yang indah dan nyaman, untuk apa pergi keluar? Dunia luar yang dingin, kejam." Ring memandang ke langit.
"Gelandangan mungkin kelihatannya tidak memiliki apapun, bahkan rumah. Tapi perlu kau ketahui, hidup di istana berarti mendambakan kebebasan, Ring." Lui ikut memandang langit malam bertabur bintang.
"Kau belum pernah merasakan kelaparan, kedinginan di luar tanpa tempat bernaung, Lui." Ring memalingkan wajahnya, mendadak tak ingin menatap Lui.
Lui menatap Ring yang kini memunggunginya. Ia memetik bunga lily kuning di tepi bangku taman, lalu berujar,
"Kau mau tahu sesuatu? Aku mendengar semuanya, Ring."
Ring masih membuang muka. Lui angkat bicara lagi.
"Siang itu, di depan gang yang sama. Sama dengan saat kau melempar tomat ke wajahmu."
Ring menahan isakannya. "Apa yang kaudengar?"
"Mulai dari kau bertengkar dengan kakakmu."
Ucapan Lui berhasil membuat Ring tersentak.
"Kau ingin menyuruh kakakmu berhenti dari pekerjaannya sebagai kupu-kupu malam, kan? Kau berusaha meyakinkannya kalau masih ada jalan lain untuk mendapatkan uang, tapi dia tidak mau mendengarkanmu. Aku juga melihat dia memukulmu, Ring."
Ring masih diam. Tak bersuara.
"Satu lagi. Kau berbohong pada penjual obat itu, kan?"
"...apa urusanmu menanyakannya? Memangnya apa bedanya aku berbohong padanya dan tidak?" Ring mengepalkan tangannya.
"Ring." Lui memegang bahu Ring, memutar tubuhnya sehingga menghadap wajahnya. "Kau hebat."
"Maksudmu apa, Lui?"
"Kau memilih berjuang dengan kekuatanmu sendiri. Dengan kemampuanmu. Kau melawan kerasnya dunia, Ring! Kau seseorang yang kuat, aku mengagumimu." Lui mengusap pipi Ring, air mata mulai mengalir dari sana. "Kau selalu ceria sepanjang hari, menghibur anak-anak dengan tingkahmu. Tapi kau sendiri hancur di dalam, Ring."
Lui menyelipkan lily kuning di telinga Ring.
"Kau tahu arti bunga ini?" Ring menggeleng.
"Bunga lily kuning yang cerah... Indah, kan? Artinya adalah kebohongan, Ring."
"Hm."
"Sama denganmu. Kau selalu ceria di luar dengan segala tingkahmu. Di balik topengmu, kau menangis pilu."
"Memangnya semua akan berubah kalau aku jujur pada diriku sendiri?"
"Kalau ada apa-apa..." Lui memencet hidung Ring. "...kau bisa cerita padaku."
"Memangnya kau bisa mengubah semuanya menjadi lebih baik?" Ring menyingkirkan tangan Lui.
"Yah, semoga aku ditakdirkan bisa mengubah hidupmu." Lui tertawa.
"Kaum-kaum borjuis seperti dirimu punya kuasa atas segalanya, Lui." Ring tertawa pula, memukul pundak Lui.
"Tidak semuanya. Bagaimana dengan kebebasan? Aku yakin para pengawal sudah pusing tujuh keliling mempertanyakan keberadaanku." Lui mengencangkan jubahnya. "Juga soal takdir."
"Takdir." Ring tersenyum. "Ah, sepertinya sudah waktunya kita pulang. Aku tak mau membuat satu kerajaan gempar mencarimu."
"Mau kuantar?" Lui menawarkan diri.
"Bodoh." Ring tertawa renyah. "Aku tidur di gang sempit, Lui. Kadang di depan toko obat."
Lui menyodorkan sekantong uang pada Ring. "Sewalah satu kamar di penginapan kalau begitu."
"Tidak, tidak u—" ucapan Ring terpotong melihat perubahan ekspresi Lui. "Baiklah, hanya karena ini perintah pangeran. Selamat malam, Pangeran Lui." Ring tersenyum, memencet hidung Lui.
"S-selamat malam. Bilang kalau uangnya kurang, akan kuganti!" ucap Lui dengan wajah memerah.
—2—
Ring menapakkan kaki menuju gang sempit di tepi jalan utama. Hendak menjumpai sang kakak yang sudah bisa dipastikan kondisinya kalau tidak sempoyongan, pingsan.
Ia bangun agak siang hari ini. Ranjang penginapan jelas jauh lebih nyaman dibandingkan jalanan berkerikil atau triplek tipis tak terpakai di belakang toko kecil.
Iris biru muda Ring melebar ketika menangkap sebuah kerumunan tepat di depan gang sempit yang ia tuju. Setelah berusaha menyelip di antara kumpulan orang-orang tersebut, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi sehingga mereka bergerombol di sana.
Gang itu kini ditutup. Dijaga oleh beberapa pengawal.
Ring bertanya pada salah satu pengawal yang ia temui, "Apa yang sedang terjadi di sini, Tuan?"
"Yah, pagi tadi kami menggrebek lokasi ini, Nona. Kami berhasil mengamankan beberapa perempuan, namun kurasa mucikarinya berhasil melarikan diri."
"Apa!?" Ring mengepalkan tangannya, geram. "Bisa aku bertemu dengan beberapa perempuan yang tertangkap itu? Uh, hanya mau memastikan saja, salah satu di antara mereka mungkin saja adalah kakakku." ujar Ring.
"Seandainya kau bertemu dengan kakakmu, kau tidak akan membawa orang itu kabur, kan?"
"Tidak, Tuan. Tuan boleh mengawasiku kalau Tuan rasa itu perlu." tawar Ring.
"Ah, baiklah.
—2—
"Hei, Lui!" panggil Yuu. Lui yang tengah menyisir surai kuda menoleh.
"Ada apa, Kak?"
"Kau hebat!"
"Maksud Kakak apa?" Lui menggaruk kepalanya, bingung.
"Kakak tahu, kemarin kau berjalan-jalan di gang sempit dekat toko roti, kan?"
"Iya, memangnya ada apa?" Tanpa sadar wajah Lui memerah.
"Yah, kita berhasil menemukan tempat pelacuran yang sudah dicari selama berminggu-minggu. Seorang warga melihatmu di sana. Ia awalnya hendak menghampirimu, tapi kau sudah pergi. Oh, ia pun menyadari kalau gang itu menyembunyikan aktivitas rahasia mereka." terang Yuu sambil tersenyum.
"Oh, begitu."
"Pagi tadi, tempat itu sudah digeledah habis-habisan."
"Apa?" Lui sedikit terkejut, memikirkan nasib kakak Ring.
"Yah, mereka berhasil mencegah beberapa perempuan kabur, selanjutnya untuk diinterogasi. Walaupun begitu, mucikarinya sempat kabur. Untungnya jejaknya mudah terbaca. Rute perpindahan mereka terlalu mudah." Yuu merapikan jubahnya.
"Begitu, ya." Lui menggigit bibir. "Bisa aku ikut dalam pengejaran mereka?"
"Apa?" Yuu mengangkat alisnya. Heran dengan sikap sang adik yang tak biasanya. Jangankan misi begini, jadwal harian saja ia acuh tak acuh.
"Kalau nanti sore aku belum kembali, bilang saja aku bersantai di kedai dekat pasar." Lui bergegas meninggalkan Yuu.
"Kedai dekat pasar? Kedai itu baru buka malam hari..." gumam Yuu. "Tunggu! Bagaimana mungkin Lui bisa tahu ada kedai..." Yuu memutar otak. "Oh iya, kan kemarin dia pergi bersama seseorang."
Yuu bersiul, memandang kejauhan. Ia tersenyum.
—2—
"Nona? Permisi?" Ring memanggil seorang perempuan yang sedang membenahi ikat rambutnya.
"Ya? Ehm, apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku sedang mencari kakakku. Kau tahu dimana dia?"
"Kakakmu? Yang mana, ya?"
"Kak Macne Nana, yang rambutnya panjang."
"Oh, dia. Um, sebenarnya dia ikut dengan bos kami, Dik." bisik perempuan itu.
"Lalu kemana mereka pergi, Kak?"
"Kau ingin mengejar mereka? Terlalu berbahaya! Lagipula pasukan tentara kerajaan ini pasti sedang membuntuti mereka."
"Pergerakan istana lamban, Kak. Buktinya, Kakak belum diinterogasi oleh pihak istana, kan?"
"Uh, baiklah... Mereka pergi ke pelabuhan. Cari saja kapal yang berlayar ke arah selatan. Aku sudah lama terjebak dalam pekerjaan ini, jadi aku yakin aku benar." ujar sang perempuan berambut hitam.
"Baik, kak! Terima kasih!"
"Oh iya, satu hal lagi! Titip salam dariku untuk Nana. Namaku Mizki." Ia tersenyum, melambaikan tangan pada Ring.
"Kak Mizki. Baiklah!"
—2—
Ring mengayuh sepeda roda satu miliknya. Satu-satunya kendaraan yang ia miliki, yang ia harap bisa membantunya mencapai dermaga.
Sepasang netra biru langit menyapu seluruh sudut dermaga, mencari sesuatu atau seseorang yang mungkin dikenalnya. Hasilnya nihil, walau pelabuhan itu terbilang sepi hari ini.
Ring berinisiatif bertanya pada sang petugas keamanan. "Permisi, Tuan. Kapal mana yang berlayar ke selatan hari ini?"
"Hari ini hanya ada satu kapal. Cari saja yang memiliki bendera merah kecil di atasnya. Harusnya mudah, kapal itu kapal terakhir yang berangkat hari ini. Pukul lima sore kapal itu akan berangkat, jadi jangan sampai kau ketinggalan, ya!"
"Ah, baiklah! Terima kasih, Tuan!" Ring berlari secepat yang ia bisa. Benar kata petugas tadi, ia dapat menemukan kapal yang ia cari dengan mudah. Bendera merah kecil yang berkibar di puncak tiang utama kapal begitu kontras dengan langit biru cerah.
Ring memicingkan mata. Mencari sosok sang kakak. Memastikan kakaknya benar-benar naik ke kapal itu. Lima menit berselang, ia melihat sang kakak yang mengenakan mantel bulu berwarna putih menaiki kapal. Ring sangat yakin itu adalah Macne Nana, kakaknya. Mantel putih itu adalah hadiah darinya untuk sang kakak saat sang kakak genap berusia dua puluh tahun.
Ia melangkah secepat mungkin menyusul sang kakak. Ring tahu kapal itu sepuluh menit lagi berangkat. Tangan besar sang petugas menahannya.
"Tidak ada tiket, tidak boleh masuk."
"Apa!?"
"Kau harus membayar untuk naik, Nona."
Ring merogoh tasnya, mengeluarkan semua yang ia miliki. Sang petugas menggeleng.
"Tidak cukup. Kapal ini kelas tinggi, kelas eksklusif."
Ring menggertakkan giginya, meninggalkan sang petugas. Ia harus bisa menyelinap. Tepat pada saat itu, ia melihat tali yang tertambat pada patok di sisi lain dermaga.
Tali itu terikat kencang, cukup kencang hingga tegang.
Di sebelahnya, kebetulan sekali sebilah kayu tipis nan panjang tergeletak.
"Ah, untungnya aku ini pierrot." Ring menyeringai.
—2—
"Bisa aku naik ke kapal ini?" tanya seorang lelaki berjubah pada sang petugas keamanan. Di belakangnya terdapat antrian orang-orang dengan seragam.
"Perlihatkan tiketmu."
"Tiket? Kau pasti sedang bercanda." Ia menurunkan tudung jubahnya. Rambut jingga menyeruak seraya tudungnya terbuka.
"Kau... Yang Mulia Pangeran Lui!?"
"Sssst. Apa kau belum diberitahu kita sedang dalam pengejaran? Seorang bos dunia malam sedang kabur dan ia menaiki kapal ini."
"B-baiklah. Tapi hanya tiga orang pengawalmu yang boleh ikut."
"Siapa bilang aku butuh pengawal?" Lui berucap datar. Seluruh pasukan istana terheran mendengarnya.
"Apa maksudmu, Tuan Muda!?"
"Aku cukup yakin bos besar itu tidak membawa kaki tangan. Sendirian saja sudah cukup melawannya."
"Mohon maaf. Daripada memperpanjang masalah ini, lebih baik aku saja yang ikut." Ted berdehem.
"Tak usah, Ted."
"Tidak bisa begitu, Lui! Anda itu..." Ted mulai bercuap-cuap. Lui malas mendengarkan omongan panjang lebarnya. Bagaimana bisa di tengah pengejaran seperti ini Ted masih sempat menceramahinya? Saat manik jingganya mencari celah untuk kabur, seorang gadis tertangkap penglihatannya.
"Ring!" Lui tersentak. Ia berlari secepat yang ia bisa. Menerobos antrian dan menaiki kapal. Berlari ke geladak secepat yang ia bisa.
Apa Ring sudah gila? Menunggangi sepeda roda satu di tali kapal yang bisa dilepas kapan saja?
Ring sudah melewati tiga perempat tali kapal. Namun, hal itu tidak membuat Lui tenang sama sekali.
"Ah, kita harus berangkat." ujar sang petugas keamanan. Ted berlari secepat kilat, menerobos kerumunan orang-orang. Mencoba menyusul Lui.
"Cih. Lupakan saja pria magenta cerewet tadi. Matsuda, buka talinya."
Pria berambut biru yang dipanggil Matsuda tadi segera melepaskan tali yang mengikat patok. Ring yang merasa kehilangan pijakan pun menjerit.
"KYAAAAAAAAAAAAAA!"
"RING! PEGANG TALINYA!"
Beruntung, Ring berhasil menangkap tali yang semula menjadi pijakannya. Sepeda dan kayu yang ia gunakan sebagai penyeimbang jatuh ke dalam laut. Untungnya lagi, tali itu cukup tebal dan tersambung dengan kapal. Lui mengerahkan tenaga untuk menarik tali itu. Tak lama kemudian, Ring pun bisa berpijak pada geladak.
"Syukurlah." Lui memeluk Ring. "Kau membuat jantungku hampir meledak, tahu."
"Sampai kapan kau akan memelukku, Tuan Mesum?" Ring memencet hidung Lui untuk yang kesekian kalinya. "Ayo, kita bergerak sekarang."
"Maaf soal itu—" Lui menggaruk kepalanya. "—tunggu. Tudung kepalaku terbuka!"
"Angin di geladak sekencang ini, dan kau memilih memakai jubah daripada topeng. Toh, kelihatannya, tidak ada yang bereaksi melihat tampangmu." ucap Ring.
"Untunglah. Baik, kita mulai pencarian kita."
—2—
"Menurut orang-orang di istana, si penjahat yang bernama Kagene Rei itu berambut hitam, bermata kuning emas." bisik Lui.
"Begitu, ya. Baiklah. Aku akan mencari kakakku, mungkin itu akan memudahkan kita."
"Kau yakin ingin berpencar?" tanya Lui, khawatir.
"Lui, kita masih ada dalam satu kapal yang sama, ayolah."
"Oke. Jika kau tidak bisa menemukannya, temui aku di tempat duduk ini. Sebelah tiang, karpet hijau."
"Dimengerti."
—2—
"Kakak!"
"...Ring!?" Nana meletakkan sampanye yang sedang diminumnya dengan kasar. "SEDANG APA KAU DI SINI, HAH!?"
"Kakak ini benar-benar kepala batu, ya. Mau-maunya saja mengikuti bos Kakak yang bejat!"
"Anak kecil sepertimu tahu apa? Aku melakukan semua ini untukmu, Ring!" teriak sang kakak.
"Baiklah, Kak." Ring menggigit bibir. "Aku akan kembali ke Shoroido lagi setelah ini. Aku tak akan minta uang lagi dari Kakak, juga tidak akan mengganggu Kakak lagi. Janji, tapi dengar ini baik-baik."
"Apa lagi?"
"Kak Macne Nana, salam dari Mizki. Kak Mizki." Ring berbalik badan, meninggalkan Macne Nana yang kini memegangi gelas sampanye dengan tatapan kosong.
"...Mizki?"
—2—
"Siaaaaal... Ternyata ombak laut membuatku mabuuuuk..." Lui berjuang menuju kamar mandi sambil bertumpu pada dinding.
"Pangeran Lui!"
"Teeeed...?"
"Payah. Baru tiga puluh menit sudah sempoyongan saja." Ted memapah Lui menuju kamar mandi.
"Cerewet kau..."
"Sudah, sudah. Silahkan, Yang Mulia, wastafel anda sudah menunggu." Ted sebenarnya ingin tertawa lepas, hanya saja ia masih cukup sadar kalau Lui memiliki kuasa untuk memenggal kepalanya di depan seluruh kerajaan.
Sementara Lui muntah-muntah, Ted menatap ke arah lain untuk alasan yang tidak perlu dijelaskan. Ia melihat seorang gadis memasuki kamar mandi dengan santai.
Tidak menoleh pada Lui dan Ted sedikitpun.
"Ehm, maaf, Nona..." Ted berusaha menginterupsi di tengah suara riuh Lui. "...ini kamar mandi laki-laki."
Perempuan itu menoleh. "...oh, maaf! Kurasa aku kurang berkonsentrasi..."
"Hahaha, tidak apa. Mungkin kacamata hitam itu sedikit mengganggu pandanganmu. Ini sudah sore, kau tidak perlu memakainya."
"Sok ramah kau, Ted."
"Berisik."
—2—
"Lui mana, ya?" Ring menggoyangkan kaki di bangku yang ia duduki.
"Anu, permisi..." bisik seorang perempuan.
"Iya, ada apa?"
"Bisa kau menemaniku ke kamar mandi? Aku tidak tahu dimana letaknya."
"Ah, baiklah, aku akan mengantarmu." Ring tersenyum manis. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Ehm.. Panggil saja aku Rui."
"Namaku Ring. Salam kenal, ya!"
—2—
"Ada-ada saja..." Ted masih merangkul Lui di bahunya.
"Sepertinya aku sudah mulai terbiasa, Ted. Coba kau lepas aku."
"Oooh, ya." Ted melepaskan Lui. Lui bisa berdiri, benar. Baru sedetik, ia sudah tersandung dengan bodohnya dan menyenggol seorang perempuan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya si perempuan berambut hijau.
"Engg... Aku baik-baik saja." Tatapan Lui ternyata terfokus pada dada besar si perempuan.
Ted yang sadar akan situasi menjitak Lui walau sebenarnya ia sempat curi-curi pandang. "Untungnya tadi kau tidak melihat perempuan yang salah masuk kamar mandi, Lui... Mungkin sudah kau apa-apakan dia tadi..." bisiknya.
Ternyata percakapan mereka didengar oleh orang yang tadi tak sengaja disenggol Lui.
"Salah masuk kamar mandi? Apakah orangnya berambut hitam pendek?"
"Anda kenal?"
—2—
"Rui lama juga, ya... Ah, aku mau cuci tangan dulu." Ring menggulung lengan kemejanya. Saat ia mencoba memasangkan kancing untuk menahan lengan kemeja pada bagian siku, kancing yang terdapat pada sikunya terlepas.
"Ah, sial. Untung belum jadi cuxi tangan..." gumamnya sambil memungut kancing yang menggelinding. Ia lalu mengantonginya agar bisa dijahitnya lagi nanti.
Perhatiannya teralihkan pada bilik kamar mandi yang saat itu dipakai Rui. Ring menangkap sesuatu yang aneh.
—2—
"Lui? Kakak? Ini siapa?" Ring cukup terkejut melihat Lui, Nana, dan Ted ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ah, aku Ted. Omong-omong, salam kenal." ucap Ted.
"Kelihatannya kau sudah bertemu dengan Rui, ya." ujar Nana.
"Oh, kakak kenal dia?" jawab Ring. Rui tersenyum canggung.
"Hehehe, aku belum lama ini bertemu dengan Nana..."
"Perlu kau ketahui, Rui ini sangat ceroboh, tadi ia masuk ke kamar mandi laki-laki, padahal ada aku dan Ted disana." ucap Lui.
"M-maaf, aku kebelet tadi—"
"Benarkah? Kau tadi masuk dengan santai seolah-olah kau benar-benar laki-laki." ujar Ted dengan nada dingin.
"Ya. Kau bahkan tidak menoleh padaku atau Ted sama sekali, atau mungkin sudah tahu kami ada di sana, tapi kau tak peduli. Karena kau tahu, kau sadar kau ada di kamar mandi laki-laki." timpal Lui.
"Ah, Rui memang selalu begitu. Sejak kami saling mengenal, aku jadi tahu ia cukup sering pergi ke toilet laki-laki. Ketidaksengajaan macam apa yang terjadi sampai dua kali seminggu pada umumnya, hah?" Nana menyeringai.
"Nana, kau ini bicara apa—"
Ring tergelak. "Oh, iya. Perempuan apa yang buang air kecil sambil berdiri? Untung kancing bajuku terlepas dan aku sempat mengambilnya tadi. Aku jadi tahu kalau kau ternyata..."
"...Kagene Rei, bos besar dunia hiburan malam. Tepat sekali." Rui menyeringai, mengikat rambutnya, menyingkirkan kacamata hitam yang ia kenakan. "Kau ingin menangkapku? Lakukan kalau kau bisa!"
"Kau ingin kabur? Kau menitipkan seluruh kekayaanmu padaku, bodoh." Nana mengeluarkan sebuah tas berukuran besar.
"Keparat! Aku ingat mencuci otakmu..." geram Rei.
"Ya, Tuan. Sekarang aku sudah mengingat Mizki, dan tujuanku." Nana tertawa.
"Hah?"
"Sebenarnya aku mengikuti Rei agar aku bisa menyelamatkan Mizki, tapi dia mencuci otakku, membuatku menjadi bonekanya." jelas Nana kepada Ring.
"KEMBALIKAN PADAKU!" Rei melayangkan tinjunya pada Nana. Nana mengelak, bahkna menangkisnya dengan tendangan.
"Tidak semudah itu, Kagene." Nana melemparkan tas itu pada Ring. Ring berlari melesat.
"KEMARI KAU ANAK KECIL!" Rei mengejar Ring sampai ke geladak.
"Ayo, kita ikuti mereka!" bisik Ted.
—2—
"Ah, menyenangkan bermain denganmu." Rei tertawa.
"KAU SUDAH MEMPERMAINKAN KAKAKKU, TAK ADA AMPUN BAGIMU, SIALAN!"
"Berani sekali kau." Rei menembakkan sihir ke langit. Badai seketika mengamuk. Ombak laut meninggi dan meninggi. Hujan deras menerpa. Angin menghempaskan barang-barang di geladak. Ring bertumpu pada tiang, tak sekalipun melepas tatapan tajamnya pada Rei.
"Apa!? Penyihir hitam!?" Ted terperangah.
"Aku tak tahu ada penyihir hitam sekuat itu." Nana menggertakkan giginya.
"Ring..." Lui menggigit bibir.
"Mana teman-temanmu, akan kubuat mereka juga menderita." Rei tertawa.
"TIDAK AKAN KUAMPUNI KAU!" Ring melesat maju, siap menghantam Rei dengan tangan kosong. Rei menyentuhkan jarinya di dahi Ring, melumpuhkannya dengan satu sentuhan.
Tubuh Ring benar-benar membeku. Ia tak mampu bersuara. Tatapan matanya menyiratkan amarah dan ketakutan.
Rei memegang dagu Ring. "Aku suka gadis-gadis yang agresif."
Lui mengepalkan tangannya sampai bergetar ketika melihat Rei merebut ciuman dari Ring. Ted dan Nana berusaha menahan Lui yang ingin berlari ke arah Rei.
"BERANI-BERANINYA KAAAAAU!" raung Lui.
"Dia sudah dalam pengaruhku. Bocah seperti dia mudah sekali dimanfaatkan. Sekarang, katakan0 selamat tinggal pada kawan-kawanmu."
Ring mendekati Ted, Nana, dan Lui. Ia menatap mereka satu persatu. Tatapannya kosong, tidak ceria seperti Ring yang biasanya. Dengan suara datar ia mengucapkan, "Selamat tinggal."
"TIDAK! RING!" Lui berusaha menggapai tangan Ring, namun Ring menepisnya. Nana menarik Lui mundur.
"Haha. Sekarang, bocah, berjalanlah ke sana, dan melompatlah."
Ring menatap kosong, langkah demi langkah membawanya ke ujung kapal.
"SEKARANG!" Nana dan Ted kompak mendorong Lui ke arah Ring.
"Apa yang kalian inginkan? Dia sudah kukendalikan!" Rei tertawa, membiarkan dirinya dirantai oleh Ted dan Nana.
—2—
"Lui, kuberitahu cara menghilangkan hipnotisnya. Tadi Ring menghilangkannya dengan mengatakan nama Mizki, kata yang sama dengan kata yang dia gunakan untuk mulai mengontrolku."
"Tapi tadi ia tak mengatakan apapun!"
"Kalau begitu, tindakannya."
—2—
"Lui?" Ring menatap iris jingga Lui dengan wajah terkejut.
"Nanti kuceritakan. Kita harus menyelesaikan masalah itu."
"AKU SUDAH MENGENDALIKANMU, RING! HAHAHAHAHAHA!"
"Tidak, bodoh." Ring melayangkan tendangan tepat ke wajah Rei dan membuatnya pingsan. Bersama mereka melempar Rei yang masih terlilit rantai ke laut, lalu badai pun mereda.
"Fyuh. Penjahat kelas kakap memang pantas mati. Aku akan melaporkan ini pada Kaito." Ted mengusap keringatnya.
"Hei, Ted. Mau temani aku makan malam?" ucap Nada, matanya memberi kode jangan-ganggu-Lui-dan-Ring-dulu.
"Errr, tentu saja. Hari yang melelahkan, aku mungkin butuh segelas sampanye."
Kedua orang itu lalu turun dari geladak, meninggalkan Lui dan Ring di sana.
"Ring?"
"Ada apa, Lui?"
"Ehm... Kau akan kembali ke Shoroido, kan?"
"Yah, sebenarnya sejak minggu lalu, sebuah grup sirkus keliling mengajakku bergabung dengan mereka, Lui." Ring mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang sedang terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga.
Lui menunduk, menatap laut yang kini berkilau dan tenang. "Kau akan pergi hari ini?"
"Sebenarnya aku masih akan kembali ke Shoroido, kok. Besok sore baru aku akan berangkat." Ring tersenyum.
"Kalau begitu, tolong ingat ini." Lui memberi satu kecupan di pipi Ring.
"Sampai kau berani melakukan itu di bibirku, akan kulempar kau bersama dengan penjahat itu." Ring mendengus, wajahnya memerah.
"Ah, dasar kau." Lui tertawa kecil, lalu berbisik dalam hati, 'Andai ia mengingatnya.'
"Apa yang kaupikirkan?"
"Ah, tidak ada." Lui melepas jubahnya, memakaikannya pada Ring. "Untuk perjalanan panjang yang dingin, tanpaku."
"Aku lebih senang kalau kau mencucinya dulu, baru kau berikan padaku, bodoh."
—2—
Malam itu, setelah Lui berkuda sambil mengikat Ted—yang tepar karena sampanye—di punggungnya.
"Mungkin aku akan meminta para pelayan membuat susu almond." Wajahnya memerah.
"Ring..."
{part 2 : end}
HUZZAH! 4K WORDS! JADI INI KEGUNAAN OTAK SAYA!
kabar gembira untuk kalian semua, saya keterima kuliah jalur SNMPTN :D /tebar confetti/
yang artinya, saya bisa nulis fanfic, membaca manga hentong, rebahan, makan dan tidur seharian TANPA MERASA BERDOSA KETIKA TIDAK BELAJAR YUHU!1!1!1!1! /naon/
apakah ini menjamin update cepat? hmmmmmmmmm kita tanya kan pada ltmpt yang bergoyang /g
ciao, jeje
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top