Takdir yang Tak Bisa diubah


"Git, sini!" Hara menggamit dan menarik lenganku tepat begitu morning briefing dibubarkan. "Ngopi dulu, yuk. Sekalian kamu cerita."

"Cerita apa?" Aku mengernyit.

"Apa pun yang terjadi waktu kamu dan Kaivan on the spot."

"Tidak ada yang terjadi waktu kami on the spot!" sangkalku. Tetapi tenaga Hara yang tak seberapa itu entah bagaimana berhasil menyeretku hingga ke kantin langganan kami di sebelah gedung kantor.

"Es kopi susu." Hara menyebutkan pesanannya pada pramusaji yang menghampiri kami.

"Samain aja, Mbak," tambahku.

"Bohong kalau kamu bilang tidak terjadi apa – apa weekend kemarin." Hara tidak menyerah mencecarku. Kini kami sudah duduk berhadap – hadapan dan matanya yang berbinar – binar itu menuntut jawaban yang lebih dari sekadar 'tidak ada apa – apa'.

Aku menarik napas sebanyak kapasitas paru – paruku bisa menampung oksigen. 'Tolong ingat tentang hari ini. Kamu datang kemari dan duduk melihat pantai bersamaku.' Kalimat Kaivan kemarin, sebelum Pak Seno menginterupsi dengan dua batok kelapa muda di tangan benar – benar menggangguku hingga sekarang. Aku masih ingat tatapan Kaivan yang begitu lembut sekaligus hangat saat mengatakan hal itu. Kontras dengan tatapan tajam juga dinginnya di setiap pertengkaran kami.

"Kenapa kamu dan ibumu selalu memojokkanku, Kai?"

"Tolong jangan bawa – bawa Ibu, Git!"

"Tapi kalian tidak berhenti menyalahkan aku. Bukan cuma kalian yang kehilangan Bintang, aku juga!"

"Sudahlah, Sagita."

"Mau sampai kapan kita begini terus? Mau sampai kapan kamu menghindar kalau aku ajak bicara tentang masalah ini?"

"Terus mau kamu apa!? Hah!? Aku capek, Git! Capek!"

"Bukan cuma kamu yang capek, Kai."

Tidak ada pembicaraan yang berarti usai Kaivan mengucapkan kalimat tersebut. Yang selanjutnya terjadi adalah kami sibuk menikmati kelapa muda sambil memandang ke lepas pantai. Aku lebih banyak diam sementara Kaivan sibuk bercengkerama dengan Pak Seno.

"Git?" sentuhan jemari Hara di punggung telapak tanganku membuat aku tertegun.

Aku mengembuskan napas yang sedari tadi kutahan seraya berkata, "Entahlah, Ra ...."

"Nah, sudah aku duga! Pasti ada yang terjadi. Apa yang terjadi?"

Aku ingin menceritakan pada Hara tentang sikap resepsionis hotel dan sikap Bapak yang agak aneh ketika melihat kami, tetapi aku belum terlalu yakin apakah itu ada hubungannya dengan semua yang sedang menimpaku atau tidak, sehingga alih – alih menceritakannya, aku justru berkata, "Aku dan Kaivan ke pantai karena jadwal pesawat kami masih lama."

"Berdua?" Hara tampak begitu antusias menyimmak ceritaku.

"Sama supir cabang, Pak Seno. Tapi, ada momen di mana Pak Seno lagi cari kelapa muda dan hanya aku dan Kaivan berdua saja."

"Lalu?"

"Lalu Kaivan bilang hal yang menurutku aneh."

"Bilang apa dia?"

"Dia bilang, 'tolong ingat hari ini, ya Gita. Tolong ingat kita pernah datang ke pantai berdua seperti ini.' Kurang lebih kayak gitu, lah."

"Jangan – jangan Kaivan mulai suka sama kamu, Git."

Aku gegas menggeleng. "Tidak mungkin. Aku selalu menghindari dia. Sebisa mungkin meminimalisir interaksi kami. Lagi pula dia kan sudah punya pacar. Si Meyra Meyra itu."

Hara mengaduk es kopi susunya beberapa kali sebelum kemudian menyuruputnya sekilas melalui sedotan. "Kan kamu sendiri yang cerita kalau di masa depan, yang terjadi adalah Kai dekatin kamu, putusin Meyra, kalian pacaran, lalu menikah. Itu yang sedang terjadi saat ini, Git."

"Tapi waktu itu, aku menyambut perasaan Kai. Aku membiarkan dia mendekatiku. Tidak untuk kali ini, kan?" bantahku.

Hara tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Mungkin nggak sih kalau jodoh itu adalah takdir yang tidak bisa diubah?"

"Hah?"

"Kan ada tuh yang sering bilang, kelahiran, jodoh, rejeki, maut sudah ditentukan sama Tuhan," jelas Hara. "Mungkin sebesar apa pun usaha kamu menghindari Kai, kamu tidak bisa melawan takdir, Gita ...."

"Apa – apaan, sih!" Aku mengibaskan tangan di depan wajah Hara, bertingkah seolah apa yang dikatakannya barusan tidak masuk akal. Padahal jauh di dalam hatiku, aku benar – benar mempertimbangkan apa yang baru saja dikatakan oleh Hara. Benarkah yang dikatakannya? Benarkah Kaivan dan pernikahan kami adalah takdir yang tidak bisa aku ubah? Lalu, kenapa Tuhan membuatku kembali ke masa lalu seperti ini? kalau bukan untuk menghindari pernikahanku yang penuh penderitaan bersama Kaivan, lalu untuk apa? apakah Tuhan ingin aku menjalani kehidupan pernikahan seperti itu lagi? kenapa?

"Eh, menurutku kamu Adri gimana?"

Aku menaikkan kedua belah alis demi mendengar pertanyaan Hara yang terkesan random dan tiba – tiba itu. Kenapa sekarang topik pembicaraan malah beralih kepada Adri? "Gimana apanya?"

"Menurut kamu Adri cakep apa tidak? Oke nggak si Adri buat dipacarin?"

"Kamu mau pacaran sama Adri, Ra? Sudah putus dari Ferdi?" Kali ini aku benar – benar shock. Di masa depan, Hara akan menikah dan punya anak dari Ferdi. Lalu kenapa sekarang ....

"Ngaco!" seruan Hara membuyarkan asumsi yang menari – nari liar di benakku. "Bukan aku, tapi kamu!"

"Aku!?"

"Cara untuk benar – benar menghindari Kaivan adalah dengan kamu pacaran sama orang lain. Nah, coba deh pacaran sama Adri. Mungkin jalan hidup kamu bisa berubah kalau sejak awal kamu tidak memberikan kesempatan sedikit pun kepada Kaivan. Ya dengan cara itu tadi. Menjalin hubungan sama orang lain."

"Ngaco!"

"Eh, kok ngaco?"

"Aku tidak kenal Adri dan Adri belum tentu mau sama aku!"

"Kata siapa?"

"Hah?"

"Kamu tidak tau kan kalau Adri itu diam – diam ternyata perhatiin kamu? Kalau kami lagi OTS, dia banyak nanya – nanya tentang kamu, Git. 'Hara, kamu akrab sama Sagita? Lucu ya anaknya. Ceplas ceplos.' Terus di lain waktu dia pernah bilang, 'Sagita itu kayaknya tidak akur sama Kaivan. Berantem melulu kalau ketemu. Tapi kalau dilihat – lihat, Sagita manis juga meski sering ngomel.' Nah, itu apa namanya kalau bukan naksir?"

Saran Hara kali ini benar – benar tidak masuk akal. Adri dan Kaivan berteman cukup akrab dan oleh karenanya, aku juga sering berinteraksi dengan Adri. Bahkan ketika kami menikah dan Kaivan pindah kerja ke bank lain, beberapa kali, Kaivan dan Adri masih sering bertemu. Tidak ada hubungan yang lebih dari itu antara aku dan Adri di masa depan.

"Gimana?" tanya Hara lagi.

"Gimana apanya, sih?"

"Coba aja, ya."

"Jangan gila kamu, Ra! Adri juga sudah punya pacar mungkin. Ngawur kamu!"

"Aku belum punya pacar, kok." Sebuah suara bariton yang rendah dan dalam tiba – tiba terdengar di samping meja kami. Suara milik Adri. Aku menoleh perlahan. Entah sejak kapan pemuda jangkung itu ada di sana. Wajahku menghangat seketika karena setengah mati menahan malu. Kira – kira sejauh apa Adri mendengar percakapanku dan Hara?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top