Takdir Mengambil Alih

Setelah tiba di kamar kontrakkan, aku mengabaikan semua panggilan masuk dari Hara dan Adri. Ketika malam semakin tua, aku memutuskan untuk menonaktifkan ponselku. Aku butuh waktu sendiri memikirkan semua yang telah kukatakan. Astaga! apa yang sudah aku katakan pada Kaivan semalam? emosiku benar – benar sudah tak terkendali. Apa yang Kaivan pikirkan tentangku? Apa yang akan Adri pikirkan tentangku? Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada mereka?

Aku menghabiskan hari Minggu – ku dengan ponsel yang kubiarkan mati, membunuh detik demi menit dengan menonton drama korea terbaru yang tentu saja sudah aku tahu bagaimana ending-nya. Di kehidupan yang kujalani sebelum ini, aku telah menonton serial enam belas episode tersebut hingga tamat. Ternyata, ada tidak enaknya juga terlempar kembali ke masa lalu dan mengulangi apa yang sudah pernah kamu jalani sebelumnya. Salah satunya adalah ketika kamu tak lagi bersemangat ketika menonton film atau serial favoritmu karena kamu sudah tahu bagaimana cerita itu akan berakhir. Terlepas dari baik atau buruknya, ketika kamu sudah mengetahui apa yang menantimu di ujung jalan, apakah kamu akan tetap bersemangat menelusuri jalanan itu? ketika aku sudah mengetahui bagaimana akhir dari kisahku bersama Kaivan, apakah aku tetap akan menempuh jalan takdir yang sama? Tapi kenapa rasanya berat ketika harus menempuh ruas jalan yang arahnya berlawanan?

"Kamu tidak punya hubungan apa pun dengan Kaivan. Kamu tidak punya tanggung jawab atau pun hutang budi padanya. Di kehidupan saat ini, kamu dan Kaivan hanyalah dua orang asing yang belum lama saling mengenal." Kata – kata Hara saat itu kembali terngiang di benakku. Ucapan Hara benar, tetapi kenapa rasanya seperti tengah berselingkuh dari Kaivan ketika aku sedang bersama Adri? Kenapa rasanya tidak nyaman?

Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan langkah berat dan juga kepala yang agak pening karena meski di rumah saja sepanjang weekend, aku tidak bisa tidur dengan baik. Kegelisahan dan pikiran – pikiran liar membuatku terus terjaga. Aku mengalihkannya dengan menonton tetapi hal itu pun tak banyak membantu. Berulang kali aku berpikir untuk tidak usah masuk kerja saja di hari Senin ini, tetapi berulang kali juga aku mengatakan kepada diriku sendiri untuk tidak lagi lari dari masalah.

Saat aku tiba di kubikelku, keadaan unit SKM masih tampak lengang. Hara bahkan belum ada di meja kerjanya. Hanya ada beberapa pegawai administrasi yang tengah asik tenggelam dalam kubikelnya masing – masing.

"Selamat pagi semua!" Lalu tiba – tiba aku mendengar suara Hara disertai dengan kemunculannya di depan pintu unit. "Gita! My God! Ke mana saja kamu? Hape kamu tidak aktif. Kamu mengabaikan semua pesan dan telponku." High heels Hara mengetuk lantai keramik dengan lantangnya ketika dia bergegas menghampiriku." Kamu baik – baik aja, kan?"

Aku mengangguk cepat dua kali. "Aku baik – baik saja."

"Kamu benar – benar bikin aku cemas. Aku sudah niat mau datangin kosan kamu kalau hari ini kamu tidak masuk."

"Maaf, ya. Aku memang sengaja non aktifkan hape. Aku butuh waktu untuk ...."

"Untuk berpikir?" kebiasaan Hara memotong ucapanku sepertinya sudah tergolong akut. "Jadi, kamu sudah memutuskan apa yang akan kamu lakukan setelah kamu ngerocos soal penyesalanmu hidup dengan Kaivan di kehidupanmu yang entah di mana itu?"

Aku meringis sambil mengsuap wajahku dengan kedua telapak tangan. "Aku benar – benar kelepasan waktu itu, Ra."

"Ya, aku paham, kok," ucap Hara seraya meletakkan tas, tumbler dan benda – benda lain yang dijinjingnya tadi ke atas meja kerja.

"Sepanjang weekend kemarin, yang aku pikirkan adalah apa yang Kaivan dan Adri pikirkan waktu mendengar kata – kataku itu."

Hara menarik kursinya untuk mendekat ke mejaku. "Hmm ... sebenarnya, Adri dan Kaivan tidak mengatakan apa pun. Kaivan diam saja kayak orang lagi shock sementara Adri, waktu itu dia udah mau kejar kamu tapi aku larang. Aku bilang, tolong beri Gita kesempatan untuk sendiri."

Aku mengembuskan napas panjang. "Makasih ya, Ra. Aku memang benar – benar butuh waktu untuk sendiri memikirkan semua ini."

"Jadi, sekarang bagaimana? kalau Adri atau Kaivan meminta penjelasan atas apa yang sudah kamu katakan hari itu, kamu mau jawab apa? Kamu mau ngarang alasan apa lagi?"

Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, Ra. Aku juga tidak tau harus menjelaskan seperti apa. Mungkin aku akan bilang kalau ...." Ucapanku terhenti karena mataku menangkap sosok Kaivan yang berjalan memasuki ruangan. Tumben dia datang sepagi ini.

Mata kami bersitatap ketia Kaivan menoleh ke arahku. "Sagita," dari tempatnya berdiri dia berbicara padaku, "Aku tunggu email laporan keuangan Idrus Hamid dari kamu sepanjang hari Minggu kemarin, tapi kamu sepertinya lupa kirim."

"Ah ... ya ..." Sesungguhnya aku tidak siap bertemu dengan Kaivan pagi ini dan lebih tidak siap lagi mendengar kalimat pertama yang dia ucapkan padaku. Dia tidak mengungkit kejadian hari Sabtu kemarin. Dia bertanya tentang laporan keuangan debitur seolah – olah tidak ada yang terjadi di antara kami dua hari yang lalu. "Maaf, aku ... aku usahakan untuk selesaikan hari ini."

"Oke, aku tunggu." Kaki Kaivan kembali melangkah menuju ke meja kerja miliknya.

Saat aku menoleh kembali ke arah Hara, aku bisa melihat ekspresi keterkejutan melalui tatapan mata membola dan mulut menganganya. "Wah ...." Hanya itu kalimat yang kemudian terucap dari bibir Hara.

"Tumben dia datang jam segini," desisku. "Biasanya dia muncul pas morning briefing udah mulai, kan?"

"Kayaknya hubungan Kaivan sama Adri lagi nggak baik. Biasanya kan mereka sama – sama datang telat karena ngopi – ngopi dulu. Emang kamu nggak tanya Adri?"

"Tanya soal apa?" keningku berkerut.

"Soal penyebab mereka hampir baku hantam waktu itu!"

"Ya tidaklah, gila aja! Adri tidak pernah bahas hal itu dan aku tidak enak kalau harus tanya – tanya soal itu lagi, kan?"

"Jangan – jangan benar apa kata Rano kalau mereka berdua berantem karena rebutin kamu."

Aku berdecak. "Please, Ra. Jangan tambah – tambahin beban pikiranku."

Hara terkekeh dan menarik kursi kembalu ke kubikelnya. Tepat di saat yang bersamaan, Ibu Ratih muncul dan menginstruksikan kepada seisi ruangan untuk segera bersiap – siap memulai morning briefing. Adri tidak tampak bahkan ketika morning briefing sudah usai dan pegawai – pegawai kembali ke meja masing – msaing untuk memulai pekerjaan.

"Adri ijin nggak masuk," ujar Hara seolah mengetahui apa yang sedari tadi berkecamuk di dalam diriku. "Katanya nggak enak badan. Dia baru whats app aku, nih."

"Oh ..."

"Dia juga tanyain kabar kamu. Dia tanya apa kamu hari ini masuk atau tidak," lanjut Hara. "Kamu mau hubungin dia langsung atau biar aku yang sampaikan aja kalau kamu hari ini datang ke kantor dalam keadaan sehat wal afiat tanpa ada satu kekurangan pun?"

Aku meringis mendengar ucapan Hara. "Nanti aku telpon Adri."

"Nah, gitu dong. Bila perlu kamu datanginlah kosannya. Pacar lagi sakit, bawa bubur, kek."

"Loh, Adri kos? Bukannya dia orang sini?"

"Hah? Kamu pacarnya tapi kok kamu bahkan nggak tau di mana dia tinggal, sih? kalian kalau pacaran ngapain aja, emang?"

"Mulai, ya. Mulai pikiran negatif," selaku.

Hara menyengir. "Orang tua Adri dan adiknya di Malaysia, bapaknya pejabat di salah satu Bank BUMN yang punya cabang di sana. Adri di sini sendiri. Eh, nenek dan om – omnya tinggal di kota ini juga, sih. Tapi karena mungkin nggak mau repotin keluarga – keluarga lain, dia pilih kos aja."

***

"Gita?" Hari itu, sepulang dari kantor, aku mengetuk pintu kos Adri dan dia menyambutku dengan keterkejutan yang tergambar jelas di wajahnya. Aku memang tidak bilang padanya akan datang membawa semangkuk sup ayam yang mulai dingin.

"Hai, Dri." Aku tersenyum sambil mengangkat paper bag berisi sup ayam yang kujinjing sejak tadi. "Apa kabar kamu? Sudah baikan?"

Kening Adri masih berkerut. Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya, "Kamu sama siapa ke sini? Tau dari mana kosanku?"

"Hara," jawabku. Merasa lucu karena Adri masih menatapku tak percaya. Ini sudah pukul 7 malam dan mungkin aku bukan orang yang dia harapkan muncul di depan pintu kamarnya seperti ini. "Aku datang sendiri naik gojek. Hara yang kasih tau alamat kamu. Aku datang untuk bawain kamu sup. Hara bilang kamu ijin karena tidak enak badan."

"Oh, aku sudah baikan. Sakit perut tadi pagi mungkin karena salah makan." Adri menimpali. Dia kemudian terkejut seperti tersadar akan sesuatu. Gegas dia menyingkir dari ambang pintu. "Ayo masuk."

Kamar kos Adri sama sekali tidak layak disebut sebagai 'kamar kos' karena ketika aku masuk, yang pertama aku jumpai adalah sebuah sofa minimalis di ruangan kecil yang berfungsi sebagai ruang tamu. Setelah ruang tamu aku bisa melihat dapur yang juga minimalis dan dua buah pintu yang menutup. Aku tebak masing – masing pintu itu adalah kamar dan kamar mandi. Konsep kontrakan Adri lebih seperti mini flat.

"Duduk, Git." Adri tampak canggung.

Tapi, bukannya duduk, aku malah melenggang ke arah dapur. Mendekati kompor. "Kamu yang harusnya duduk. Aku panasin sup ayamnya."

"Eh, tidak perlu repot – repot."

"Nggak repot, kok. Kalau supnya dingin malah nggak enak," kataku sembari meraih panci dan meletakkannya di atas kompor. "Boleh pakai panci yang ini, kan?"

"Pake aja," sahut Adri. "Makasih ya, Git."

"Makasih kenapa?"

"Terima kasih karena sudah mau datang bawakan aku sup ayam. Aku bahagia sekali hari ini."

Aku tersenyum mendengar ucapan Adri. "Kamu berlebihan."

"Aku tidak berlebihan. Rasanya sudah lama tidak ada yang masak buat aku."

"Aku nggak masakin kamu," selaku, "Aku cuma hangatkan sup yang aku beli."

"Rasanya sama. Rasanya sebahagia dimasakin Ibu."

Sup ayam yang kupanaskan sudah mengepulkan asap. Aku mematikan kompor, menuangnya ke dalam mangkuk keramik dan membawakan sup itu ke hadapan Adri yang sudah duduk pada sofa di ruang tamu.

"Ayo dimakan," ujarku.

"Kamu tidak makan sekalian?"

"Gampang. Buat yang sakit dulu."

"Aku sudah sembuh."

"Iya sih, kamu kelihatan baik – baik saja."

"Karena ada kamu sekarang."

Aku tersenyum. "Ini lagi gombalin aku?"

"Ini lagi jujur." Adri berkilah. "Gimana keadaan kantor, Git?"

"Kantor baik – baik saja. Aman terkendali." Aku melihat Adri menyuapkan sesendok sup

ke dalam mulutnya. "Gimana? Lumayan nggak, rasanya?"

Adri mengangguk. "Enak, kok." Lalu dia kembali menyendok sup namun kali ini, alih – alih menyuap ke dalam mulutnya, dia malah mengarahkan sendok itu ke mulutku. "Mau coba?"

"Tidak. Kamu aja."

"Ayo, dong. Kamu belum makan, kan?"

Lalu aku pun membiarkan Adri menyuapkan sesendok sup ke dalam mulutku. "Hm, enak ternyata, ya."

"Ya. Enak. Mau lagi?"

Aku gegas menggeleng.

Adri memandangi wajahku dengan senyuman yang tak pernah pergi dari wajahnya. "Eh, sebentar. Ada sisa sup di bibir kamu." Tangan Adri dengan cekatan meletakkan mangkuk sup dan meraih selembar tisu dari atas meja. Dia kemudian mengusapkan tisu itu di ujung bibirku secara perlahan.

Aku baru sadar jarak wajah kami sudah begitu dekat ketika aku bisa mendengar deru napas Adri yang teratur. Adri menatapku lekat – lekat sementara tubuhnya beringsut maju untuk memangkas jarak di antara kami.

Aku memejamkan mata dan membiarkan takdir yang mengambil alih.[]


***

Komen dong, kamu TEAM_GITA-KAI atau TEAM_GITA-ADRI ?? Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top