Rumah Bapak


"Aku antar kamu ke rumah Bapak sekarang." Kaivan berkata demikian begitu kami kembali ke dalam mobil dinas usai menelusuri setiap kilometer lokasi proyek jalan raya yang dikerjakan oleh perusahaan Idrus Hamid. Kaivan berkata padaku tanpa menyadari keterkejutan di wajahku. Dia tahu dari mana aku menyebut ayahku dengan sebutan 'Bapak'? dia tahu dari mana kalau di rumah itu aku hanya tinggal bersama Bapak?

"Tunggu. Aku mau bicara." Tanpa sadar aku mencengkeram lengan Kaivan, menghentikannya dari membuat kendaraan kami bergerak maju.

Kaivan memandang jemariku yang mencengkeram lengannya sejenak, tidak berupaya untuk menyingkirkan tanganku dari sana, lalu beralih memandang ke arahku. "Ya? mau bicara apa, Git?" tanyanya dengan nada yang terdengar hati – hati.

Ditanya demikian oleh Kaivan, aku justru tidak menemukan kalimat yang tepat. Mulutku mendadak terkunci meski berbagai pertanyaan berlalu lalang di dalam pikiranku dengan begitu liarnya. Ingin sekali aku segera menyemburkan kalimat tanya seperti, 'Apa kamu ingat sesuatu tentang kita?', 'Apa kamu juga berasal dari masa depan?', 'ayolah Kai, katakan saja sejujurnya. Kamu tidak usah berpura – pura.' Tingkah dan ucapan Kaivan membuatku berpikir demikian. Sejak awal perjumpaan kami ketika aku terlempar kembali ke tahun 2017 ini, Kaivan seolah sudah mengenaliku. Aku bisa merasakannya.

"Gita, apa yang mau kamu bicarakan?" suara Kaivan menyentakku dan menyadarkanku bahwa tak ada satu pun kata yang berhasil meluncur. Ah, ini pasti hanya perasaanku saja. Hanya aku yang mengalami fenomena ini. Kaivan tidak mungkin mengalaminya juga. "Soal fasilitas kredit Pak Idrus? Kalau soal itu kamu tidak perlu khawatir. Aku ...."

"Kai, apakah kita pernah bertemu sebelum ini?" Tidak ada salahnya menanyakan hal itu, bukan? Tidak ada salahnya menyuarakan rasa ingin tahumu. "Apakah kita pernah saling mengenal sebelumnya?"

Kerutan berkumpul di kening Kaivan. Kedua matanya menyipit memandangku. Dia tidak menjawab pertanyaanku untuk jeda waktu yang cukup lama. Aku bisa melihat Kaivan menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku rasa ... tidak."

Cengkeraman jemariku di lengan Kaivan yang dibalut kemeja formalnya mengendur. "Ah, begitu, ya. Aku pikir kita pernah bertemu sebelum ini."

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Karena kamu bilang pernah tinggal di kota ini," jawabku sekenanya.

Kaivan tersenyum sebelum berkata, "Mungkin di kehidupan sebelumnya kita memang pernah bertemu."

Aku terkejut mendengar penuturannya. Ingin sekali kutambahkan, 'Dan di kehidupan entah di mana itu, kita pernah menikah, bahagia, punya anak, lalu bertengkar, menderita. Tapi, tenang saja, aku pastikan kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di kehidupan kali ini.'

"Itu saja?"

"Hah?"

"Itu saja yang ingin kamu tanyakan?"

"Oh, iya. Itu saja. Maaf kalau pertanyaanku terkesan random."

Kaivan tertawa. "Jangan minta maaf, Git. Santai aja lah." Lalu dia memindahkan kopling dan menginjak pedal gas. Mobil dinas yang membawa kami pun meluncur membelah ruas jalan menuju ke rumah Bapak. Aku bisa melihat mobil Pak Idrus melambung dari sisi kanan dengan dua kali bunyi klakson. Kaivan membalas dengan membunyikan klakson juga. On the spot hari ini berakhir. Mungkin sudah saatnya aku melupakan kejanggalan – kejanggalan tentang sikap Kaivan dan orang – orang di sekitarnya sejenak demi fokus bertemu Bapak.

***

Aku bisa merasakan debaran jantung yang menggedor – gedor rongga dadaku hanya demi melihat pagar rumah masa kecilku dari kejauhan. Di dalam rumah itu ada Bapak yang masih hidup. Kenyataan itu membuat rasa haru dan bahagia seketika berkelindan di dalam benakku. Aku tidak sabar melompat dari mobil untuk mengetuk pintu rumah dan melihat Bapak yang masih hidup berdiri menyambutku. Aku akan masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang tamu sementara Bapak gegas menuju kulkas, membuka pintu kulkas lalu bertanya, 'Mau Bapak masakkan apa, Git?'

Ya, Tuhan. Aku tidak tahu kebaikan apa yang sudah aku lakukan sehingga pantas mendapatkan kesempatan kedua seperti ini.

"Di sini rumah kamu?" Mobil yang membawa kami berhenti di depan rumah sederhana dengan pagar hitam yang juga sederhana. Catnya mengelupas di beberapa tempat.

"Iya." Aku mengangguk antusias. "Terima kasih ya sudah antar. Mau mampir?" Tentu saja tawaran itu hanya basa – basi. Aku tidak berharap Kaivan akan menyambutnya. Aku tidak berharap Kaivan berada di rumah Bapak lagi setelah dia tidak datang di saat – saat terakhir Bapak.

"Tidak usah." Ah, sukurlah. "Aku bantu kamu turunkan barang dari bagasi aja."

"Terima kasih," sahutku cepat lalu segera turun dari kendaraan. Dengan agak tergesa – gesa aku mendorong pagar rumahku, melintasi pekarangan depannya yang tak seberapa luas dan mengetuk pintu depan beberapa kali.

Aku bisa mendengar derap langkah dari dalam rumah mendekat ke arah pintu. Aku bahkan hafal bunyi derap langkahnya. Langkah kaki Bapak.

Daun pintu kemudian membuka dan sosok Bapak berdiri dengan gagah, sehat dan hidup di hadapanku. "Loh, Gita?"

Bagaimana aku bisa menjelaskan situasi ini? Tentang hatiku yang diliputi banyak kerinduan pada sosok pria paruh baya di hadapanku. Bagaimana aku bisa menjelaskan situasi ini ketika bayangan telapak tangan Bapak yang besar tapi keriput mendingin di tanganku menari – nari di permukaan memori. Bapak meninggal dengan tenang di atas ranjang rumah sakit bersama aku yang tidak berhenti tersedu – sedu di sisinya. Bagaimana aku bisa menjelaskan situasi ini? Mungkin belum ada kata yang tepat yang ditemukan oleh budayawan atau pakar bahasa untuk mendeskripsikan apa yang tengah aku alami saat ini.

"Bapak." Aku menghambur ke dalam pelukan Bapak. Menangis tersedu – sedu di dadanya seperti saat kecil dulu aku menangis karena mempertanyakan di mana keberadaan Mama. Kenapa teman – temanku memiliki Mama yang tinggal bersama mereka sementara aku tidak?

"Gita? Kamu kenapa pulang tidak bilang – bilang?"

Aku tidak mengindahkan pertanyaan Bapak. Aku tidak tahu bagaimana harus mulai menjelaskan semua ini. Apakah Bapak akan mengerti? Apakah Bapak akan percaya bahwa seminggu yang lalu aku tidak berhenti menangis kala mengantar jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir? Apakah Bapak akan percaya kalau aku bilang suatu kejadian ajaib menimpaku sehingga membuat aku terlempar kembali ke masa lalu, ke tahun 2017 ini?

"Kenapa kamu nangis, Gita? Kamu sama siapa kemari?" pertanyaan Bapak masih berlanjut. Aku bisa merasakan telapak tangannya membelai kepalaku. "Loh, itu bukannya ...."

"Halo, Om." Aku mendengar suara Kaivan di belakang punggungku. "Gita, ini barang – barang kamu."

Gegas aku merenggangkan pelukanku dan cepat mengusap jejak – jejak air mata dari wajah sebelum berbalik menghadap Kaivan. Aku tidak mau Kaivan melihatku menangis. "Terima kasih, ya."

"Mau apa lagi kamu kemari?" Suara Bapak terdengar marah. Aku terkejut karena pertanyaan itu dia arahkan kepada Kaivan. Tunggu dulu! Apa maksud Bapak? Apa Bapak mengenal Kaivan?

"Saya hanya mengantar Gita kemari, Om."

"Aku sudah bilang untuk jangan pernah menampakkan wajahmu lagi di sini, kan!?"

"Eh, tunggu dulu!" Aku mencoba menengahi pembicaraan di antara mereka sambil berusaha memahami apa sebenarnya yang sudah terjadi. "Bapak kenal Kaivan?"

"Masuk, Gita!" Bukannya menjawab, Bapak justru berseru dengan nada yang tegas ke arahku.

"Kai, ada apa ini?" Aku mencoba mencari jawaban dari Kaivan karena Bapak tampak tidak bersedia menjelaskan apa pun padaku.

"Bapak bilang masuk, Sagita!" Bapak mengulangi ucapannya dengan nada suara yang sudah naik satu oktaf. Kaivan mengangguk ke arahku dan aku mengerti bahwa itu adalah isyarat agar aku mematuhi saja ucapan Bapak.

"Tapi, Pak ...." Aku butuh penjelasan.

"Sagita, kamu tidak dengar kata - kataku? Aku bilang masuk!"[]


***

Holaaa ... maaf baru update lagi. Enjoy, ya... jangan lupa vote dan komen - komennya. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top