Pusara

"Eh, Adri. Mau ngopi juga?" Untung saja Hara berinisiatif memecah kecanggungan akibat kemunculan Adri yang tiba – tiba itu.

"Iya. Boleh gabung?" sahut Adri.

"Boleh, dong!" Hara berseru dengan antusiasme yang sedikit berlebihan. Aku menyempatkan diri menendang kaki Hara di bawah meja sebagai isyarat agar lain kali wanita itu berpikir dulu sebelum berbicara yang tidak – tidak. Hara meringis dengan canggung sambil menatapku.

Sementara itu Adri menarik bangku dan duduk di sampingku. "Kalian lagi ngomongin aku, ya?"

"Hah?" Aku nyaris tersedak es kopi susu yang baru saja kuseruput.

"Aku dengar kalian sebut – sebut namaku."

"Ha ... ha ... ha." Hara tertawa dengan begitu anehnya. "Pesan dulu lah, Dri."

Adri mengangguk sembari mengangkat tangan kanannya ke arah pramusaji. "Pesan minum yang sama dengan mbak – mbak ini," katanya ketika sang pramusaji datang menghampiri meja kami.

"Gita tadi tanya, kamu sudah punya pacar apa belum?" Celutukan Hara yang tiba – tiba membuatku nyaris tersedak untuk yang kedua kalinya.

"Kenapa jadi aku?" Aku menyangkal. Mencoba menyelamatkan harga diriku yang masih tersisa.

Adri tersenyum lebar sembari memandang ke arahku. Jika dibandingkan Kaivan, Adri cenderung lebih pendiam. Jika Kaivan adalah kembang api yang meletup – letup, maka Adri adalah butiran salju yang meluruh perlahan dari langit. Tenang dan dingin. Ah, perumpamaan macam apa itu?

"Aku belum punya pacar. Kalau kamu?" tanya Adri.

"Uhuk ... uhuk!" Kali ini pertanyaan Adri benar – benar membuatku tersedak. Aku sudah menikah, Adri. Aku sudah menikah dengan Kaivan tetapi entah kenapa saat ini aku malah kembali ke masa lalu.

"Gita masih jomlo kok, Dri. Kamu mau?" Hara kembali menyeletuk. Nada bicaranya seperti sedang menawarkan barang tak berharga ke seorang kawan.

"Heh! Apa – apaan sih!?" Aku mencubit lengan Hara.

Adri kembali tersenyum. Dia menggeleng – gelengkan kepalanya. "Kalian ini becanda atau gimana?"

"Kita tidak lagi bercanda, Dri." Ingin sekali kusumpal mulut Hara dengan tisu agar dia berhenti mempermalukanku.

"Terus, Kaivan gimana, Git?" tanya Adri.

"Apa!?" Aku dan Hara menyuarakan keterkejutan kami secara bersamaan. Apa maksud pertanyaan Adri?

Namun Adri justru memandang dengan tatapan bingung ke arah kami. "Kaivan kapan balik dari Kalimantan? On the spot-nya berapa hari?"

Huft ... aku mengembuskan napas lega dan aku bisa melihat Hara juga melakukan hal yang sama. Rupanya, itu maksud pertanyaan Adri? Tadinya kupikir, Adri sudah mendengar percakapanku dan Hara tentang takdirku menikah dengan Kaivan di masa depan.

"Oh, itu .... Lusa sudah masuk kantor, kok," sahutku akhirnya.

"Gimana on the spot Sabtu Minggu kemarin?" tanya Adri. "Kabupaten itu juga daerah asal kamu, kan? Kaivan cerita kalau dia juga pernah tinggal di sana."

Aku mengangguk, "Iya, itu kampung halamanku. Bapakku tinggal di sana."

"Kalau ibu?"

"Bapak sama Mama sudah bercerai. Mama tinggal di pulau lain."

"Ah, maaf. Aku ...."

"Nggak apa – apa. Dri. It's okay. Mereka berdua, maksudku orang tuaku, masih berhubungan baik sampai sekarang, kok."

"Eh, bentar, ya. Ini si Ferdi nelpon. Aku angkat dulu." Hara berujar kepadaku. Lalu, tanpa menunggu responku dan Adri, gadis itu beranjak dari meja dan keluar dari kantin.

Setelah Hara pergi, mendadak kecanggungan kembali terasa menyergapku. Minuman pesanan Adri sudah datang dan sedari tadi yang dilakukan pemuda itu hanya mengaduk – aduknya saja dengan sedotan.

"Diminum, Dri," kataku.

"Apa?"

"Itu, es kopi susunya diminum, dong! mau sampai kapan diaduk – aduk doang?"

"Oh!" Adri tersenyum lalu menyeruput minumannya sejenak. Adri kemudian menatap ke arahku. "Memangnya kamu mau pacaran sama aku?"

"Hah!? Jangan ditanggapi serius kata – katanya Hara, Dri." Aku mengibaskan tangan ke arah Adri sambil berjanji dalam hati untuk memberikan Hara sedikit pelajaran nanti.

"Tapi, aku serius." Ucapan Adri benar – benar tak terduga.

"Ah, itu ...."

"Tidak perlu kamu jawab sekarang," sela Adri. Senyum kembali terkembang di wajah teduhnya. "Jawab kapan – kapan saja."

Aku tertegun mendengar ucapan Adri hingga tidak menemukan kalimat yang tepat untuk kuucapkan. Aku memalingkan pandangan ke dalam gelas minumanku. Apakah Adri benar – benar serius dengan apa yang dia katakan barusan? Tidak ada lagi di antara kami yang berbicara hingga Hara kembali bergabung sekitar sepuluh menit kemudian.

***

Ketika aku menunjukkan test pack dengan dua garis biru, Kaivan menatapku bingung. Dia tidak memiliki ide tentang benda apa yang tengah aku tunjukkan padanya itu.

"Kamu demam?" Aku masih ingat bagaimana aku tertawa terbahak – bahak ketika mendengar reaksi Kaivan. Dia mengira itu adalah alat pengukur suhu.

"Ini test pack."

"Test pack? Ah! Jadi ...."

"Selamat ya, calon ayah ...."

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kedua kelopak mata Kaivan melebar, mulutnya menganga. Dia terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya berteriak "Wohooo!" teriakan yang sama ketika club sepak bola favoritnya mencetak angka. Setelahnya, dia memelukku erat, tidak pernah seerat itu, seraya menghujaniku dengan ciumannya yang bertubi – tubi. Di keningku, pipiku, di bibir. Priceless. Momen itu tidak pernah bisa aku lupakan bahkan ketika pertengkaran demi pertengkaran mulai menghiasi pernikahan kami. Bahkan ketika tangan Kaivan sudah terangkat ke udara dan siap mendarat ke wajahku kapan pun dia mau.

Langkah kakiku terhenti tepat di depan gerbang tempat yang aku tuju. Aku sengaja pulang tepat jam lima sore, memesan taksi online yang kemudian membawaku kemari. Tadi, ketika harus mengambil berkas salah satu debitur di kantor perusahaannya, secara kebetulan mobil dinas yang kutumpangi melewati lokasi ini. Tempat yang di setiap kedatanganku selalu menghadirkan perasaan perih dan juga rindu. Pemakaman tempat Bintang dikebumikan. Pusaranya hanya berjarak dua nisan dari pusara ayah Kaivan.

Aku memantapkan langkah memasuki lokasi pemakan terebut. Berjalan dengan yakin menuju ke salah satu sisi taman pemakaman ini. Nisan – nisan menyambutku. Ketika aku tiba, senja sudah tampak malu mengintip di ufuk barat. Di taman pemakanam luas ini hanya ada beberapa manusia yang terpaku di samping nisan orang – orang terkasihnya. Aku hafal benar di mana lokasi Bintang akan dikebumikan. Setelah Bintang meninggal, hampir setiap hari aku kemari.

Tentu saja belum ada nisan bertuliskan Bintang Aaron Mahendra di sana. Belum ada jasad Bintang di bawah tanah pekuburan ini, tetapi entah kenapa aku tidak bisa mencegah bulir air yang semena – mena mengalir dari pelupuk mataku. Rasa sakit terasa menghujam di dalam dada. Aku jatuh terduduk. Sesenggukan. Bersimpuh menatap permukaan tanah datar yang belum menjadi gundukan. Tanah yang nantinya akan menjadi tempat Bintang terbaring untuk selamanya bahkan sebelum dia belajar tengkurap. Rumah peristirahatan terakhirnya.

Ketika mengetahui aku hamil, Kaivan memiliki kebiasaan lain setiap pagi setelah bangun tidur. Dia tidak hanya akan mencium kening dan bibirku, tetapi juga tidak pernah melewatkan satu hari pun untuk mengusap permukaan perutku, menciuminya berkali kali. Kadang – kadang dia melakukan semua itu sambil bercengkerama seolah – olah janin di dalam kandunganku bisa mengerti ucapannya. Priceless. Momen – momen seperti itu tidak pernah bisa aku lupakan bahkan ketika kami tidak lagi saling menyapa.

Kaivan yang memandikan jasad Bintang karena aku tidak berhenti menangis dan jatuh pingsan. Kaivan ada di barisan paling depan menggiring keranda mungil hingga ke pemakaman. Kata apa yang bisa mendeskripsikan rasa yang orang tua harus tanggung ketika mengantar anak mereka yang lebih dulu berpulang ke tempat peristirahatan terakhirnya? Itulah kali pertama Kaivan mengunjungi pusara Bintang dan juga kali terakhirnya. Setelah itu dia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di tempat ini.

"Sagita?" Suara Kaivan terdengar di belakangku. Ah, ataukah aku hanya mengkhayalkannya saja? Kaivan bahkan tidak pernah mengunjungi makam ayahnya lagi setelah menguburkan Bintang di tempat ini.[]

***

Hai teman - teman. Terimakasih masih setia membaca Gita - Kai. Coba dong tulisankan pendapat kalian di kolom komentar tentang apa yang kira - kira sedang dialami Gita?  heheh. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top