Pertengkaran Demi Pertengkaran
Aku hanya bisa memandangi Kaivan dengan tatapan heran usai dia berkata bahwa dia tidak akan segan – segan untuk merebutku dari Adri.
"Kenapa?" tanyaku akhirnya.
Kedua alis Kaivan terangkat. "Kenapa apanya?"
"Kenapa hubunganmu dan Meyra berakhir? Meyra cantik dan kelihatannya baik. Kenapa kalian bisa putus?" Di kehidupan yang kujalani sebelum terlempar kembali ke tahun 2017 ini, pertanyaan itu tidak pernah menemukan jawaban. Sesungguhnya, pertanyaan itu bahkan tidak pernah keluar dari mulutku meski aku sangat ingin mengetahui jawabannya. Pada kenyataannya, aku takut mendengar jawaban Kaivan. Aku bahkan takut jika ada penyesalan pada dirinya yang timbul karena dia lebih memilih bersamaku dibandingkan Meyra.
Di kehidupan yang kujalani sebelum ini, Kaivan sudah setahun lebih bersama Meyra saat aku datang dan entah bagaimana kami menjadi dekat. Di kehidupan sekarang, atau pun di kehidupan yang kujalani sebelum ini, aku selalu penasaran tentang apa yang menyebabkan hubungan Kaivan dan Meyra berakhir. Setelah kami menikah, kami sama – sama enggan membahas tentang masa lalu, terlebih tentang Meyra. Namun, semua berubah usai Bintang meninggal. Hubunganku dengan Kaivan merenggang dan Meyra muncul lagi di antara kami. Apakah Kaivan memang menyesal pernah lebih memilihku daripada Meyra?
"Aku tidak layak mendampingin Meyra," gumam Kaivan.
Aku tersenyum mendengar jawaban seklise itu. "Kamu mau bilang kalau Meyra terlalu baik buat kamu, makanya kamu putusin dia? kalau Meyra memang baik, bukankah kamu justru harus mempertahankannya?"
"Bagaimana bisa bersama Meyra kalau aku mencintai perempuan lain?" Kaivan menimpali. Kalimat yang membuatku terkejut.
"Maksudmu, ada perempuan lain ...."
"Kamu perempuannya," tambah Kaivan lagi.
"Bullshit!"
"This isn't bullshit. Aku sudah bilang kan kalau aku sayang sama kamu, Git. Aku peduli sama kamu."
Aku menutup monitor laptop di hadapanku dengan agak kasar dan bergegas beranjak dari kursi. Satu menit lebih lama lagi bersama Kaivan benar – benar tidak baik untuk kesehatan jiwa dan mentalku. Ada apa dengan Kaivan? Di masa kini, kami bahkan belum ada sebulan saling mengenal dan dia sudah berani bilang bahwa dia sayang dan peduli padaku? Aku mencoba mengingat – ingat, apakah hal ini jugakah yang membuatku jatuh cinta padanya, membuat kami menjadi dekat lalu berakhir dalam pernikahan di masa depan? Kalau memang seperti itu, betapa naifnya diriku.
"Mau ke mana?" Kaivan tampak terkejut dengan pergerakanku yang tiba – tiba.
"Mau lanjut kerja di mejaku." Aku mendorong pintu kaca ruang meeting. Masih sambil kerepotan menjinjing laptop dan beberapa dokumen, aku berjalan melintasi kubikel Adri. Aku bisa merasakan Adri mengikuti langkahku dengan sorot matanya. Mungkin bertanya – tanya apa yang aku bicarakan dengan Kaivan di dalam ruang meeting berdua saja padahal Pak Sam dan Bu Ratih sudah lama meninggalkan ruang tersebut.
"Ada apa, Git?" Hara menegur begitu aku tiba di kubikelku. "Meeting-nya lancar?"
"Lancar."
"Terus kenapa muka kamu ditekuk begitu?"
Aku menoleh ke arah ruang meeting dan melihat Kaivan baru keluar dari sana. Pandangan kami bertemu sejenak sebelum dia berjalan menuju meja kerjanya yang hanya berjarak satu kubikel dari meja kerja milik Adri.
Hara tampaknya mengikuti arah pandangku karena kemudian dia bertanya, "Ada apa lagi sama Kaivan?"
Setelah memastikan Kaivan atau pun Adri tidak melihatku dan juga mendengar apa yang kami bicarakan, aku kemudian berkata, "Kamu tidak akan percaya apa yang dia katakan padaku."
"Apa?"
"Aku tanya kenapa dia dan Meyra putus."
"Astaga! kamu ngapain sih nanya – nanya begitu lagi? Mancing – mancing itu namanya." Hara menyela histeris.
"Sssttt...!" Gegas kuletakkan telunjuk di bibir sebagai isyarat agar gadis itu mau memelankan suaranya. "Dengar dulu!"
"Aku nggak mau dengar dan nggak mau tau apa alasan Kaivan dan pacarnya itu putus."
"Yakin nggak mau dengar?"
"Gita ... Gita ... harusnya kamu nggak perlu cari tau lah."
"Dia bilang karena dia mencintai perempuan lain," kataku tanpa peduli semua protes yang tengah dilayangkan Hara.
"Oh, ya?"
"Dan dia bilang perempuan itu aku."
"Apa!?" seru Hara. "Dasar buaya darat! Bisa – bisanya ngomong gitu. Kamu jangan termakan rayuannya, Git."
Aku berdesah. "Dia bilang kalau dia cinta dan peduli padaku."
"Jangan termakan omongannya."
"Bagaimana bisa dia berkata seperti itu padahal kami baru dua minggu saling mengenal?"
"Ya, namanya juga buaya," celetuk Hara.
Aku tahu jawaban atas rasa penasaranku akan sikap Kaivan tidak sesederhana seperti yang dikatakan Hara. Tetapi, dari mana lagi aku bisa menemukan jawabannya? Kepada siapa lagi aku bisa bertanya? Kaivan memutuskan hubungan dengan Meyra yang sudah dipacarinya setahun belakangan ini karena mencintaiku? Dia tidak serta merta jatuh cinta padaku sejak pertama kali bertemu, bukan?
"Sudah mau pulang?" Karena memikirkan Kaivan, aku tidak sadar sudah sejak kapan Adri berdiri di samping meja kerjaku. "Meeting kamu sudah selesai, kan? kamu masih mau lanjut lembur?"
"Sepertinya bisa aku kerjakan di rumah," sahutku.
"Kalau begitu aku antar kamu pulang sekarang," sahut Adri. Dia kemudian menoleh ke arah Hara yang meja kerjanya bersebelahan denganku. "Aku duluan, ya. Kalau ada apa – apa telepon aku."
"Gampang." Hara mengibaskan tangannya. "Sana kalian pacaran. Malam minggu begini kok malah lembur. Masih ada hari esok untuk kerja!"
Aku menyengir cangggung mendengar kata – kata Hara. "Aku beres – beres dulu, ya."
"Aku tunggu di depan."
"Sudah paling benar kamu pergi saja sama Adri. Daripada di sini mikirin Kaivan." Hara berbicara usai sosok Adri menghilang dari kubikelku. "Sebaiknya mulai sekarang kurangin – kurangin deh mikirin Kaivan."
"Mana mungkin, Ra. Aku dan Kaivan sudah menikah selama dua tahun. Kami bahkan sudah punya anak," gumamku sembari merapikan dokumen – dokumen debitur yang masih berhamburan di atas meja.
"Itu kan di kehidupanmu yang entah di galaksi mana itu," sela Hara.
"Di bumi, kok! Kayaknya masih di bumi." Aku menyahut asal, sengaja melemparkan lelucon.
"Ya, di mana pun itu terserah, Gita. Yang perlu kamu ingat bahwa di sini, saat ini, di kehidupan yang kamu jalani sekarang, kamu dan Kaivan hanyalah dua orang asing yang belum lama saling mengenal." Hara menatapku lekat – lekat dan entah kenapa kata – kata Hara tentang aku dan Kaivan hanyalah dua orang asing yang belum lama saling mengenal justru membuat dadaku sesak. Aku pernah mencintai Kaivan. Setidaknya pernah sangat cinta sampai bersedia untuk menikahinya. Apakah aku masih mencintainya sekarang? Ah! apa sih maumu, Sagita Riusara? Apa maumu sebenarnya?!
"Kamu tidak punya hubungan apa pun dengan Kaivan. Kamu tidak punya tanggung jawab atau pun hutang budi padanya. Jadi, kamu tidak perlu memikirkan apa yang dia pikirkan tentang kamu. Yang Kaivan katakan atau rasakan padamu, itu sepenuhnya menjadi urusan dia." Rupanya ceramah dadakan Hara belum berlanjut. "Bukan urusan kamu sama sekali."
Aku memejamkan mata sejenak berharap bisa mengusir suara – suara dalam kepalaku. Detik berikutnya aku beranjak. "Aku rasa kamu benar, Ra."
"Ya, emang!" seru Hara jumawa.
"Aku duluan kalau gitu."
Aku berjalan melintasi sisi ruang tempat kubikel Kaivan berada untuk menuju ke pintu depan. Walau tanpa menoleh, aku bisa melihat dari ekor mataku sosok Kaivan yang masih terpekur pada meja kerjanya. "Mau ke mana, Git?" Lalu suaranya serta merta menahan langkahku.
"Aku pulang duluan," jawabku tanpa menoleh ke arah Kaivan.
"Kok pulang?"
"Aku kerjain laporan keuangannya di rumah dan akan aku email ke kamu begitu selesai biar bisa kamu koreksi juga." Terpaksa aku menoleh ke arahnya.
"Mau pergi sama Adri?"
Pertanyaan Kaivan membuat keningku berekerut. Untung saja di ruangan SKM saat itu hanya sedikit orang yang lembur dan tampaknya tidak ada yang tertarik dengan ucapan Kaivan. Apa urusannya bertanya dengan siapa aku akan pergi?
"Iya, Gita mau pergi sama aku." Adri yang memang sedang menunggu di depan pintu unit, mungkin mendengar apa yang baru saja Kaivan katakan, berjalan ke arahku.
"Aku tidak peduli apa urusan kalian, tapi tolong, bisa tidak kamu bersikap profesional sedikit, Sagita?" ujar Kaivan lagi. Matanya memandangiku lekat – lekat.
"Apa maksud kamu?" Aku terbelalak mendengar kalimat Kaivan.
"Kita sedang mengerjakan proposal tambahan kredit Idrus Hamid tapi kamu malah seenaknya pulang duluan dan membiarkan aku lembur sendiri di sini?"
Mulutku sudah menganga saking terkejutnya tetapi sial sekali karena tidak ada satu kata pun yang berhasil aku ucapkan untuk membantah ucapan Kaivan.
"Van, Gita bisa kerjakan laporan ...." Adri berbicara. Mungkin mencoba membelaku yang dilihatnya hanya bisa terpaku.
"Aku tidak punya urusan sama kamu, ya, Dri. Aku lagi ngomong sama Sagita," sela Kaivan. Tidak membiarkan Adri menyelesaikan kalimatnya.
Setelah Bintang meninggal, sikap diam Kaivan benar – benar menyiksaku. Dia berlagak seolah – olah dirinya saja yang sedang kehilangan. Apa yang dia lakukan dan katakan hanya akan menyakitiku. Di awal – awal pertengkaran kami, aku mencoba memaklumi sikapnya itu. Dia berubah karena telah kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Orang – orang bisa berubah karena kehilangan. Tetapi, aku tidak pernah menduga bahwa sikap Kaivan bisa sangat menyebalkan bahkan di awal – awal perjumpaan kami di kehidupanku saat ini. Apakah aku buta mengenalinya kala itu?
"Kamu emang benar – benar brengsek, Kai!" seruku. Aku tidak tahu seberapa keras suaraku yang tengah memaki Kaivan, tetapi kepala – kepala pegawai yang lembur kala itu seketika menyembul dari kubikel masing – masing.
Aku bisa mendengar langkah kaki mendekatiku. "Gita, kamu kenapa?" Rupanya itu Hara.
"Kita memang seharusnya tidak usah bertemu sejak awal. Aku menyesali semua keputusan yang aku ambil untuk bersama kamu di kehidupanku yang entah di mana itu! aku sangat menyesali setiap hari – hariku yang pernah aku habiskan bersama kamu, Kai!"
"Git, Gita ..." Aku bisa merasakan Hara menyentuh punggungku. "Sabar, Git. Kamu mulai ngomong macam – macam ...."
Aku tidak mempedulikan peringatan Hara. Kali ini aku tidak akan gentar menantang mata Kaivan yang masih lekat memandangiku. Di kehidupanku sebelum ini, mata Kaivan adalah hal yang sebisa mungkin coba aku hindari. Menantang matanya berarti pertengkaran. Pertengkaran berarti sebuah luka baru lagi bagiku. "Asal kamu tau, aku menyesal kita pernah bersama. Aku bahagia karena sekarang Tuhan sudah mengabulkan doaku."
Aku bisa melihat bagaimana ketegangan muncul di wajah Kaivan. Kedua matanya menyipit. Mulutnya mengatup dengan rapat. Tidak ada tanda – tanda dia akan membantah ucapanku.
Setelah mengatakan semua itu, aku memutuskan berbalik pergi meninggalkan Kaivan, Hara, Adri dan sisa kegaduhan yang sudah kubuat. Hatiku terasa jauh lebih lega.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top