Oase
"Kai, lampu kosanku mati. Minta tolong kamu ganti balon lampunya."
"Halo, Kai, hujan deras banget. Jemput, dong!"
"Sayang, keran di wastafel dapur kayaknya rusak. Airnya pelan banget. Kamu hari ini bisa pulang cepat? Bisa perbaiki malam ini, kan?"
"Kamu di mana? Ada bangkai tikus di ventilasi kamar mandi. Aku geli!!"
"Pinggangku sakit banget. Pijit, ya."
"Kai, Bintang nangis, tuh. Giliran kamu yang bangun."
"Kai ...."
"Kai ...."
"Kaivan ...."
"Kamu tidak bisa hidup tanpa aku sepertinya, Git. Bentar – bentar Kai. Dikit – dikit Kai."
"Hm ... iya, sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Dan aku juga tidak tertarik untuk mencobanya."
Guncangan mobil yang sedang aku tumpangi membuat ponsel yang kugenggam terjatuh. Saat itu pulalah aku baru tersadar atas apa yang sedang aku lakukan. Apakah aku baru saja menelepon Kaivan? Aku meraih ponselku yang tergeletak di dasar mobil dengan susah payah dan melihat benda itu masih terhubung dengan nomor Kai.
"Halo. Gita? Halo. Kamu dengar aku?" Demi mendengar suara Kai yang memanggil – manggil di ujung sambungan telepon, aku segera menekan simbol berwarna merah dan sesegera itu juga panggilan telepon yang baru saja aku lakukan terputus.
Apakah aku sudah gila? aku menelepon Kaivan dan memintanya kemari. Ya, Kaivan pasti berpikir aku sudah gila. Aku tidak menyimpan nomor telepon Kaivan di daftar panggilan daruratku. Tetapi, sejak kami berhubungan serius sampai dengan menikah, aku terbiasa menekan nomor ponsel Kaivan kapan pun dan di situasi apa pun di mana aku membutuhkan dia untuk datang. Aku bisa mengingat nomor Kaivan dengan baik. Satu – satunya nomor ponsel yang aku hafal selain nomor ponsel milikku sendiri.
Ponsel dalam genggamanku berdering. Panggilan masuk dari Kaivan. Aku mengabaikannya. Aku tidak punya energi untuk menjelaskan situasiku saat ini, termasuk kenapa aku tiba – tiba meneleponnya tadi dan dalam kepanikan meminta dia untuk datang kemari.
Kaivan masih mencoba untuk meneleponku hingga belasan menit kemudian. Aku mengabaikan semua panggilan masuk darinya. Ketika ponselku kembali hening dan mobil Om Ridwan memasuki pekarangan rumah sakit, aku menyempatkan menelepon Mama. Setidaknya, dia harus dikabari perihal Bapak yang tiba – tiba pingsan.
"Mama akan coba cari penerbangan tercepat ke sana. Sabar, ya. Dan tolong tetap update perkembangan Bapak ke Mama."
Begitulah Mama. Dia terdengar panik ketika menerima kabar mengenai kondisi Bapak. Dia bilang dia akan segera datang dan dia memang selalu memenuhi janjinya. Mama masih sangat mempedulikan Bapak, begitu pun sebaliknya. Itulah yang aku tahu dari interaksi keduanya. Yang aku tidak tahu adalah kenapa dua orang yang masih saling peduli sedemikian besarnya, memutuskan untuk mengakhiri pernikahan? Yang aku tidak tahu adalah alasan sesungguhnya kenapa mereka berdua sampai berpisah.
Om Ridwan dan Tante Salma menemaniku di ruang UGD hingga dua jam kemudian. Ketika Bapak akan dipindahkan ke ruang ICU, keduanya berpamitan.
"Yang sabar ya, Gita." Tante Salma menyempatkan diri untuk memelukku sejenak sebelum berpamitan.
"Terima kasih, Tante."
"Kalau ada apa – apa jangan sungkan untuk telepon kami." Kali ini Om Ridwan yang berbicara. "Masih ada kan nomor Om?"
Aku mengangguk.
"Nanti sore kami datang lagi."
"Nggak perlu repot – repot, Tante."
"Repot apa, sih? nggak repot sama sekali! lagi pula kamu sendiri. Kamu juga butuh istirahat. Yang jaga pasien jangan sampai drop. Nanti sore kami datang gantian jaga Bapak kamu biar kamu bisa istirahat."
Aku tidak bisa berkata apa – apa lagi. Om Ridwan dan Tante Salma sudah menjadi tetangga kami puluhan tahun. Mereka sudah tinggal di samping rumah Bapak sebelum aku lahir. Mereka mengikuti semua rangkaian peristiwa di hidupku, di rumah kami. Aku memahami kekhawatiran yang dirasakan Tante Salma. Dia tentu saja tidak akan tega membiarkan aku seorang diri menjaga Bapak yang sampai saat ini belum juga sadar.
"Jangan khawatir, Tante. Mama juga katanya mau datang kemari."
"Mama kamu di luar pulau sana. Kalau pun bisa datang, paling pesawat tercepat baru ada besok. Sampai Mama kamu datang nanti, jangan pernah sungkan untuk mengandalkan kami kalau kamu butuh apa – apa ya, Gita."
"Iya." Aku kembali mengangguk. "Oh, ya, Tante. Tante bilang kalau ini bukan kali pertama Bapak pingsan."
"Iya. Kamu tidak dikabari?"
Aku menggeleng.
Tante Salma mengembuskan napas panjang sebelum berkata, "Mungkin Bapak kamu tidak ingin kamu khawatir. Atau mungkin memang tidak ada yang perlu dicemaskan."
Kalau tidak ada yang perlu dicemaskan, kenapa Bapak belum sadar? Kalau tidak ada yang perlu dicemaskan, kenapa Bapak harus dipindahkan ke ruang ICU?
"Banyak – banyak berdoa saja." Tante Salma menepuk bahuku. "Tante sama Om pulang dulu, ya. Nanti kami datang kemari lagi sore – sore."
***
Kaivan muncul sembilan jam kemudian. Jarak ibu kota provinsi dengan kabupaten ini delapan jam perjalanan jika menggunakan mobil. Aku menduga Kaivan langsung melompat ke dalam mobilnya begitu menerima panggilan teleponku tadi.
"Gita, bagaimana kabar Bapak?" Kaivan bertanya dengan nada cemas sembari berjalan menelusuri koridor rumah sakit demi menghampiriku yang tengah duduk di bangku panjang di depan ruang ICU tempat Bapak dirawat. Bapak belum sadarkan diri dan belum ada satu pun dokter yang memberiku keterangan terkait apa yang terjadi pada Bapak.
"Kai?" Aku beranjak dari bangku. Kedatangannya benar – benar membuatku terkejut dan tak menduga sama sekali. "Sedang apa kamu di sini?"
"Kamu telepon aku," jawab Kaivan datar. Langkahnya terhenti tepat di hadapanku. "Bagaimana kondisi Bapak?"
Tidak mungkin aku bilang kalau telepon yang kulakukan tadi pagi terjadi karena refleks, bukan? Sehingga yang keluar dari mulutku justru, "Kamu tidak perlu datang kemari."
"Terus mau kamu apa? aku pulang sekarang?" Kaivan balik bertanya. Entah kenapa sejak aku mengatakan tentang peristiwa perjalanan waktu yang aku alami, tingkah dan ucapan Kaivan terasa begitu dingin.
"Ah ... aku ... aku tidak bermaksud begitu," gumamku lemah. Perutku hanya terisi sepotong roti sejak membawa Bapak ke rumah sakit tadi pagi. Saraf – sarafku masih menegang. Berbagai pikiran buruk menari – nari di kepalaku dan hanya membuat kondisiku semakin berantakan. Aku ingin bilang 'terima kasih' pada Kaivan. Aku ingin bilang kalau kehadirannya sangat melegakanku, seperti oase di hamparan padang pasir tandus. Tapi, aku tidak mampu mengatakannya. Air mataku justru yang berlomba – lomba untuk keluar.
"Aku tau kamu tidak bermaksud begitu," sahut Kaivan. Telunjuknya menyentuh pipiku. Mengusap air mata yang baru saja mengalir di sana. "Maafkan aku. Ayo kita makan. Kamu pasti belum makan, kan?"
"Tapi, Bapak?" tanyaku. Aku tidak mungkin meninggalkan Bapak sendirian tanpa ada yang menjaga. Bagaimana kalau tiba – tiba Bapak sadar dan mencariku? Bagaimana kalau Bapak tidak pernah sadar lagi?
"Ada Tante sama Om. Kamu pergi saja sana makan sama Kaivan." Kehadiran Tante Salma dan Om Rindwan mengejutkanku. Sejak kapan mereka kembali kemari?
"Begitu sampai aku langsung ke rumah kamu tapi tidak ada orang. Om dan Tante yang mengantarku kemari," jelas Kaivan.
"Satu jam lagi Dokter Prana selesai praktek. Setelah itu katanya dia ingin ketemu kamu," ujar Tante Salma.
"Dokter Prana?"
"Ya, dokter jantung yang menangani Bapak kamu waktu pingsan pertama kali minggu lalu. Tadi suster jaga di depan bilang sejam lagi Dokter Prana ingin bertemu keluarga pasien. Makanya, sekarang kamu pergilah dulu makan. Isi tenaga. Kamu harus kuat apa pun kondisinya, kan?"
Aku menangguk. Menyusul langkah Kaivan yang sudah terlebih dahulu beranjak.
"Terima kasih, Kai," gumamku pada punggung pemuda yang berjalan di hadapanku itu.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Kaivan tanpa menghentikan langkah atau pun menoleh ke arahku.
"Karena sudah mau jauh – jauh datang kemari."
Kaivan terdiam beberapa jenak sebelum dia menyahut, "Aku tidak tau apa yang membuatku tidak datang saat pemakaman Bapak di masa depan. Aku yang sekarang akan langsung mengambil kunci mobil saat mendengar suara panikmu di telepon. Aku minta maaf, Gita. Aku minta maaf karena sudah sangat menyakitimu di kehidupan yang entah di mana itu."
Langkahku terhenti demi mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kaivan. Aku benar – benar terkejut mendengarnya. Segala rasa bercampur aduk di dalam benakku. Jantungku terasa sakit seperti diremas. Sementara punggung Kaivan semakin menjauh. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke arahku yang sudah tertinggal di belakang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top