Menelusuri Kenangan
(Meet Sagita & Kaivan versi yang ada di dalam bayanganku. Kamu boleh punya bayangan sendiri karakter mereka kayak apa, kok. Heheh)
Kendaraan kantor cabang rupanya menjemput kami di bandara. Kaivan mengatakan kepada si driver bahwa dia yang akan menyetir dengan alasan agar lebih fleksibel dan tidak mengganggu jadwal liburan supir itu. Begitulah awal mulanya sehingga kini hanya ada aku dan Kaivan di dalam kendaraan dinas ini. Kaivan duduk di kursi kemudi dan aku duduk di kursi penumpang. Kami menelusuri jalanan kampung halamanku dalam keheningan yang terasa canggung. Pusat kota kabupaten ini terletak di sepanjang bibir pantai. Pemandangan yang familiar, suasana yang familiar. Berada di samping Kaivan di dalam mobil seperti ini membuatku déjà vu. Beberapa kali di hari libur atau ketika ketika kami sama – sama mengambil cuti, Kaivan akan menyetir mobil membawa kami pulang ke rumah Bapak.
"Aku pernah tinggal di sini."
"Hah? Di kabupaten ini?"
Sebuah percakapan di antara kami terlintas di pikiranku. Setengah tahun lebih setelah perjumpaan pertama kami, ketika Kaivan sudah mengakhiri hubungan dengan Meyra dan mulai menjalin hubungan denganku, Kaivan berinisiatif untuk menemui Bapak demi mengutarakan kesungguhannya.
Aku ingat Kaivan berkata kepadaku bahwa dia pernah tinggal di sini karena ayahnya yang seorang abdi negara dimutasi ke tempat ini. Kaivan sempat bersekolah SMP dan SMA di sini.
"Mungkin kita pernah tidak sengaja bertemu. Hampir enam tahun aku di sini. Bersekolah di kabupaten ini."
"Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu."
"Menurutmu, kalau misalnya kita pernah bertemu di masa lalu saat masih bersekolah, apakah kita bisa bersama seperti sekarang?"
"Pertanyaan macam apa itu?"
"Aku hanya berandai – andai."
"Tidak penting apa yang terjadi di masa lalu. Tidak penting apakah kita pernah bertemu atau tidak. Yang terpenting sekarang kita kan sudah sama – sama."
Aku masih ingat dengan jelas isi percakapan itu. Aku masih ingat dengan jelas bagaiamana Kaivan tersenyum dan dengan tangan kirinya dia mengusap pipiku sementara tangan kanannya masih mencengkeram erat kemudi mobil.
"Aku sangat cinta sama kamu, Git. Jangan tinggalin aku, ya."
Saat itu kebahagiaan di hatiku membuncah. Perasaanku berbalas. Aku jatuh cinta pada Kaivan sejak pandangan pertama. Sejak pertama kali melihatnya aku nyaris tidak bisa melepaskan tatapanku dari wajah Kaivan. Ketika mengetahui bahwa dia sudah memiliki kekasih, ada bagian dari hatiku yang merasa sakit. Tetapi, saat ini aku sadar kalau aku begitu naif. Kaivan memutuskan Meyra demi bisa bersamaku. Ada rasa bersalah yang sekonyong – sekonyong menyergap perasaanku. Aku seharusnya tidak menghancurkan hubungan Kaivan dan Meyra. Aku seharusnya tidak membiarkan Kaivan memutuskan hubungannya dengan Meyra. Apakah permasalahan dalam pernikahan kami adalah balasan Tuhan karena aku sudah mengacaukan hubungan mereka?
"Aku pernah tinggal di sini."
Aku tersentak mendengar ucapan Kaivan yang memecah kesunyian di antara kami. "Apa!?"
"Mungkin kita pernah tidak sengaja bertemu. Hampir enam tahun aku di sini. Bersekolah di kabupaten ini."
Aku menoleh ke arah Kaivan dengan kerutan yang sudah mengumpul di tengah keningku sementara orang yang kutatap justru tampak tidak menyadari keterkejutanku. Kaivan sedang berkonsentrasi menyetir. Pandangannya lurus menatap badan jalan. Tapi, kata – kata Kaivan sama persis dengan apa yang pernah dikatakannya padaku.
"Kamu ... pernah tinggal di sini?" tanyaku meski aku sudah tahu apa jawabannya.
"Iya."
Aku memalingkan wajah ke arah jendela mobil di sampingku. Menyembunyikan senyum yang setengah mati kukulum. Di kehidupan yang aku jalani sebelumnya, aku dan Kaivan baru akan berkendara bersama ke kampung halamanku di bulan ke tujuh atau ke delapan perjumpaan kami. Di kehidupan yang aku jalani saat ini, rupanya semuanya terjadi lebih cepat. Takdirku sedikit bergeser. Ah, seperti itu rupanya.
"Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu." Sahutku akhirnya, menirukan apa yang pernah aku ucapkan di kehidupanku sebelum ini.
Ah, sialan sekali! Apa sebenarnya yang sedang menimpaku ini? Tapi, tunggu dulu. Kalau saat ini aku memang sedang melakukan perjalanan waktu kembali ke masa lalu, apakah suatu saat nanti aku akan terbangun dan berada lagi di masa depan? Atau, selamanya aku tidak bisa pulang ke tahun 2020? Lalu, apa yang terjadi pada Sagita di tahun 2020? Memikirkan hal ini mendadak membuatku pening. Laju kendaraan dan kontur jalan yang berkelok – kelok menghadirkan sensasi tidak mengenakkan di perutku. Tolong jangan muntah sekarang, Gita!
"Padahal aku berharap kita pernah bertemu atau setidaknya satu sekolah di SMA, misalnya," timpal Kaivan.
Aku kembali tersenyum mendengar ucapan Kaivan. "Jadi, setelah lulus SMA kamu pindah ke kota?" tanyaku hanya sekadar agar kami tetap memiliki bahan pembicaraan. Kaivan pindah kembali ke kota asalnya setelah ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan di lokasi kerja. Ayahnya dikebumikan di taman pekuburan yang sama dengan Bintang. Jarak nisan mereka hanya diantarai dua kuburan lainnya.
"Sebelum lulus ayahku meninggal mendadak. Aku dan ibuku kembali ke kota. Orang tuaku berasal dari sana jadi Ayah dikebumikan di sana juga. Setelah itu aku dan Ibu pindah karena kami sudah tidak memiliki alasan lagi untuk tinggal di sini. Aku tidak memiliki alasan lagi untuk tinggal di sini ...."
"Maaf," gumamku. Sedikit menyesali pertanyaan yang aku lontarkan sehingga membuat Kai harus kembali mengingat sosok sang ayah. Kaivan anak tunggal dan dia sangat dekat dengan ayahnya.
"Kenapa minta maaf?"
"Maaf karena membuat kamu harus kembali mengingat ayahmu."
"Aku selalu ingat ayahku meskipun tidak kamu tanyakan. Jadi, santai aja," sahut Kai. Mobil kami berbelok memasuki parkiran sebuah hotel. "Kita sudah sampai. Aku check in dulu, ya. Kamu mau tunggu di mobil atau ...."
"Aku istirahat sebentar di lobi boleh, nggak?" Perutku masih bergolak dan lebih lama di mobil bisa membuatku benar – benar muntah.
"Kamu nggak apa – apa? kamu kelihatan pucat." Kaivan sudah berhasil memarkirkan mobil. Dia menoleh ke arahku dengan cemas setelah mematikan mesin mobil.
Aku menggeleng. "Sedikit pusing. Tapi, aku baik – baik saja, kok."
"Kamu yakin, Git? Apa mau makan dulu?"
"Aku sudah sarapan," sergahku cepat. Dan ini belum pula jam sebelas. Masih terlalu pagi untuk makan siang. Lagi pula Kaivan sudah mengatur jadwal kunjungan hari ini. Kami akan makan siang bersama Bapak Idrus nanti.
"Oke. Kalau begitu istirahat di lobi saja. Kita masih punya waktu satu jam lagi sampai makan siang nanti."
Aku mengangguk dan mengikuti Kaivan turun dari mobil. Kami berjalan beriringan memasuki bangunan hotel bintang tiga itu. Aku segera duduk di salah satu sofa yang ada di lobi sementara Kaivan terus berjalan hingga di meja resepsionis.
"Selamat siang. Selamat datang di Hotel ... Loh, Kaivan?" Seorang wanita di balik meja resepsionis tampak terkejut melihat kedatangan Kaivan di sana. Jarak sofa dengan meja resepsionis lumayan dekat sehingga aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
"Risa? Risa, kan? Wah! Aku tidak tau kamu kerja di sini."
"Baru dua bulan. Sebelumnya di hotel sebelah." Wanita bernama Risa itu menyahut. "Apa kabar, Van?"
Aku tidak familiar dengan wajah Risa. Mungkin salah satu teman Kaivan ketika dia masih tinggal di sini.
"Aku baik. Kamu gimana? Keluarga kamu gimana?"
"Baik. Semuanya baik. Lagi kunjungan dinas di sini ya, Van?" Percakapan itu masih berlanjut. "Sama siapa? Loh, itu bukannya Sagita? Kalian sama – sama?"
Aku yang tadinya memilih berhenti mendengarkan percakapan dua orang teman lama yang tampaknya baru bertemu setelah sekian lama dan memutuskan untuk mengecek email di ponsel refleks menoleh ke arah meja resepsionis. Apa aku tidak salah dengar? Wanita bernama Risa itu menyebut namaku. Dia tahu dari mana namaku? Apakah kami pernah bertemu sebelumnya? rasanya tidak.
Saat itu aku melihat Kaivan menyentuh bahu Risa lalu mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku dengar dari tempatku duduk. Aku memutuskan untuk beranjak dari sofa dan menuju meja resepsionis.
"Aku sudah memesan dua kamar atas namaku dan kamu. Tapi, aku bilang pada mbak resepsionis ini kalau kamu cancel karena mau tinggal di rumah keluarga." Kaivan berbalik dan menyambut kedatanganku di meja resepsionis dengan senyuman yang tampak dipaksakan.
Aku balas menatapnya dan wanita resepsionis bernama Risa itu secara bergantian. Berharap aku bisa mengenali paras wajah wanita tersebut. Dia menyebut namaku, tampak terkejut dengan kehadiranku. Seharusnya aku mengenalinya juga, bukan? Namun, wanita itu tetap terasa asing bagiku.
"Eh, iya, Ibu Sagita. Saya hanya mengkonfirmasi status kamar hotel yang sudah Bapak Kaivan pesan." Risa menambahkan. Wajahnya terlihat tegang. Mereka berdua – dia dan Kaivan – seperti tengah menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh aku ketahui.
"Oh, begitu," sahutku. "Maaf karena membatalkan mendadak. Aku memang akan menginap di rumah orang tuaku. Kebetulan aku berasal dari kabupaten ini juga."[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top