Kotak Pandora
Cerita yang disampaikan Risa ternyata memang panjang. Kami menghabiskan hampir dua jam mengurai hal – hal yang sekali lagi, terasa begitu asing bagiku. Tetapi, dari cara Risa menyampaikan semua peristiwa – peristiwa itu, aku sangat yakin bahwa dia tidak sedang mengada – ngada. Berbagai rasa kini berkelindan di dalam diriku. Bingung, sedih, tetapi lega.
Hari sudah menjelang sore ketika aku kembali ke rumah. Aku terkejut saat mendapati Bapak masih duduk di tempat semula. Menghadap layar televisi yang tampak setengah hati dia tonton.
"Kok baru pulang? Swalayannya pindah?" tanya Bapak terdengar menyindir. Tapi, dua jam memang waktu yang sangat tidak lazim untuk dihabiskan berbelanja di swalayan dekat rumahmu.
"Apakah kamu ingat waktu itu kamu pindah sekolah karena kasus bullying di SMA lamamu? Aku masih ingat jelas saat itu pertengahan semester kelas dua. Murid baru dengan kawat gigi dan nama unik memperkenalkan diri depan kelas. Sagita Riusara." Cerita Risa menari – nari kembali di dalam pikiranku. Aku tidak ingat pernah pindah sekolah apalagi karena kasus perundungan. Ah, aku tidak ingat sebagian besar masa SMA – ku. Yang aku ingat hanya aku dan Bapak yang terlalu sering datang ke rumah sakit. Aku sakit parah. Entah sakit apa dan penyakit itu membuatku harus sering memeriksakan diri di rumah sakit. Penyakit itu jugalah yang akhirnya membuat Bapak memutuskan bahwa aku akan melanjutkan sisa tahun di SMA dengan home schooling agar tidak ketinggalan pelajaran.
"Dari mana?" suara berat Bapak menyentakkanku dari lamunan panjang akan cerita Risa.
"Oh, tadi Gita ketemu teman lama," sahutku. Aku berjalan ke arah meja makan dan mengeluarkan semua barang belanjaanku di sana.
"Teman lama?" Bapak mengulang ucapanku.
"Ya, teman SMA." Aku meletakkan beberapa makanan kaleng dan bumbu dapur instan di dalam kabinet.
"Teman SMA?" Ada nada terkejut di dalam suara Bapak. Dia membalikkan badan dan menoleh ke arahku.
Aku balas menatap ke arah Bapak. "Ya. Risa. Risa Anggita." Aku Sengaja menyebut nama Risa untuk melihat reaksinya.
"Entah bagaimana awal mulanya tetapi akhirnya kita jadi teman akrab. Mungkin karena aku suka mendengar ceritamu tentang perjalanan waktu. Meskipun anak – anak lain menganggapmu aneh, hal yang juga membuat kamu dibully di SMA lamamu." Suara Risa kembali terdengar di dalam kepalaku. Tentu saja cerita itu sama sekali tidak aku ingat.
"Risa?" Kini aku pun bisa melihat ekspresi terkejut yang begitu kental pada wajah Bapak.
"Ya. Risa juga titip salam buat Bapak."
Bapak berdehem. Dari gelagatnya kini dia tampak tidak nyaman mendengar hal tersebut. "Apa yang Risa ceritakan padamu?"
Ternyata benar selama ini Bapak menyembunyikan sesuatu dariku. Bagaimana bisa hal sepenting ini tidak pernah Bapak ceritakan?
Aku mengedikkan bahu. "Tidak ada. Anehnya, aku sama sekali tidak mengenal Risa Anggita padahal dia bilang dia sangat mengenalku dan kami berteman baik ketika SMA."
Aku bisa melihat kedua kelopak mata Bapak yang melebar dari tempatku berdiri. Apakah ini saat yang tepat untuk mengkonfrontasi Bapak? Bapak baru saja keluar dari rumah sakit. Bapak sedang melalui masa pemulihannya. Bapak divonis dengan penyakit parah yang tidak bisa disembuhkan. Apakah aku sangat egois jika memaksa Bapak menceritakan semua yang sudah terjadi di saat seperti ini? Aku takut hal – hal itu akan memperburuk kesehatannya lagi.
"Bapak ingin makan apa? bubur ayam atau sup ayam? Biar Gita buatkan," kataku usai jeda yang cukup lama dikuasai oleh keheningan karena Bapak tak menanggapi sedikit pun ucapanku. Aku memutuskan bahwa ini bukan saat yang tepat membicarakan tentang hal – hal yang tidak aku ingat, hal – hal yang Bapak sembunyikan dariku, hal – hal yang tidak orang – orang ceritakan padaku dengan alasan yang bahkan aku tidak tahu apa.
"Sup ayam," sahut Bapak datar kemudian membalikkan tubuhnya kembali ke posisi semula, menghadap layar televisi yang kini tengah menyiarkan program memasak.
***
"Aku sendiri tidak tau bagaimana awal mulanya kamu dan Kaivan menjadi dekat. Kaivan yang jago main basket, anak gaul, banyak cewek – cewek di SMA kita yang naksir dia malah memilih kamu menjadi pacarnya. Aku masih ingat bagaimana hebohnya seisi kantin waktu kamu dan Kaivan duduk berhadap – hadapan makan indomie pas jam istirahat."
Usai makan siang yang agak terlambat dengan sup ayam sayur buatanku, Bapak kembali ke dalam kamarnya. Cerita Risa menari – nari lagi dalam benakku. Aku dan Kaivan memiliki hubungan yang dekat ketika SMA? Aku bahkan tidak ingat kalau aku pernah bersekolah di SMA yang sama dengan Kaivan. Karena itukah tempo hari Kaivan pernah bertanya tentang apa yang aku ingat mengenai dia di masa lalu? pada kenyataannya aku tidak mengingat apa pun selain kehidupan pernikahan kami di masa depan yang tidak berjalan dengan baik.
"Beberapa kali kita bertiga bolos sekolah dan main di pantai. Aku, kamu dan Kaivan." Cerita Risa masih berlanjut di dalam kepalaku sementara tanganku sibuk mencuci piring bekas makan siangku dan Bapak. "Beberapa kali, aku juga sering menginap di rumahmu. Aku selalu betah berlama – lama di rumahmu yang dinding – dindingnya banyak coretan rumus – rumus. Sangat unik sekali. Pada malam – malam lainnya kita duduk di pekarangan belakang rumahmu, memandangi langit yang penuh dengan bintang sambil mendengar cerita tentang pengalaman Om Arman menjelajahi waktu semasa dia muda. Masa – masa itu sangat menyengangkan. Aku sedih ketika memikirkan bahwa kamu malah melupakan semuanya karena kecelakaan itu. Melupakan sebagian besar masa – masa remaja kita. Melupakanku dan juga Kaivan."
Gelas kaca yang sedang kugenggam nyaris saja meluncur jatuh dari tanganku. Aku segera membilas peralatan makan yang tadi sudah kusabuni sambil berjanji untuk tidak membiarkan diriku ternggelam dalam cerita yang kudengar dari Risa. Setelah selesai dengan piring – piring kotor, aku menghampiri kursi yang tadi diduduki Bapak lalu mengempaskan tubuhku di sana.
"Suatu hari kamu dan Kaivan naik motor berdua lalu kalian mengalami kecelakaan. Kaivan hanya mendapatkan luka – luka memar sementara kamu malah koma nyaris seminggu. Saat tersadar, kamu melupakan banyak hal. Aku tidak tahu persisnya karena sejak saat itu kamu tidak lagi masuk sekolah dan Om Arman melarangku datang menjengukmu."
Meski tidak mengingat sama sekali peristiwa yang Risa ceritakan padaku, entah kenapa kini ada segumpal sesak yang bersarang di rongga dada. Apa sebenarnya yang sudah terjadi padaku? kenapa tidak ada yang menceritakan hal tersebut padaku? baik Bapak atau pun Mama memilih untuk bungka, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Kenapa mereka menutupinya dariku? Bahkan Kaivan juga tidak mengatakan apa pun. Kenapa Kai juga ikut – ikutan menyembunyikan hal tersebut dariku?
Aku beranjak dari kursi dan memandangi dinding – dinding rumahku. Menyentuh dinding – dinding itu seolah tengah menyentuh barang antik di museum.
"Di dinding ruang tengah, di dapur, di pekarangan belakang. Hanya dinding ruang tamu saja yang tidak ada coretan rumusnya. Kita pernah mengambil foto di sana. Aku masih menyimpannya sampai sekarang."
Tadi Risa juga menawarkanku untuk ikut ke rumahnya melihat sendiri foto yang dia katakan, tapi aku menolak. Aku merasa belum siap menghadapi begitu banyak informasi yang menyergapku. Lagi pula aku harus buru – buru pulang sebelum Bapak khawatir karena aku belum juga kembali.
Jika benar semua hal yang Risa ceritakan pernah terjadi di hidupku, maka peristiwa itu seolah – olah telah dihapus dari ingatanku, seperti rumus – rumus yang Bapak tulis di dinding rumah kami. Apakah akhirnya Bapak menghapusnya? Jika benar aku mengalami kecelakaan saat sedang bermotor dengan Kaivan, maka reaksi marah Bapak ketika melihat Kaivan beberapa minggu yang lalu saat kami on the spot ke proyek Idrus Hamid menjadi bisa dijelaskan. Lalu, kenapa di masa depan Bapak malah merestui pernikahanku dengan Kaivan?
Ada satu ruangan di dekat pekarangan belakang yang dijadikan sebagai gudang oleh Bapak. Aku ingat bagaimana barang – barang yang dikategorikan sebagai 'tidak terpakai lagi tetapi kemungkinan akan terpakai di lain waktu' dijejalkan oleh Bapak di dalam gudang itu. Satu set alat pemanggang daging, sepeda lipat, monitor komputer, hingga dokumen – dokumen milik Bapak ketika dia masih mengajar dulu menyesaki ruangan yang tiba – tiba ingin kudatangi itu. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu di sana. Sesuatu yang bisa mengingatkanku pada cerita yang tadi dituturkan oleh Risa. Sesuatau yang bisa memberikanku sedikit petunjuk.
Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Kondisi ruangan yang berdebu dan berantakan membuatku tidak yakin apakah aku harus menelusuri satu demi satu benda di dalam ruangan sempit ini. Beberapa saat kemudian mataku tertuju pada sebuah kotak sepatu yang tergeletak begitu saja di sudut ruangan. Aku menghampiri kotak itu tanpa ekspektasi apa pun. Ketika aku mengangkatnya, kotak dengan permukaan berdebu itu terasa lumayan berat dan ketika aku membuka tutupnya, bukan sepatu yang kutemukan di sana melainkan sebuah kamera polaroid. Aku tidak ingat pernah memiliki kamera seperti ini. Apakah benda ini milik Bapak?
Aku mengeluarkan kamera itu dari dalam kotak dan menyadari bahwa ternyata ada banyak lembaran foto juga di dalam kotak itu. Yang terlebih dahulu terlihat adalah foto Bapak, sedang duduk menengadah ke atas. Aku mengenali tempat itu sebagai pekarangan belakang rumah kami. Foto itu diambil ketika malam hari, dengan pencahayaan rumah kami yang redup sehingga sosok Bapak tampak kabur. Siapa yang memotret Bapak ketika itu? Apakah aku?
Aku meletakkan kamera polaroid di atas meja kecil berbentuk sudut yang juga masuk ke dalam kategori barang 'tidak terpakai lagi tetapi kemungkinan akan terpakai di lain waktu' karena kini lembaran foto dalam kotak sepatu lebih menarik perhatianku. Aku mengambil tumpukan foto itu dan melihatnya satu per satu. Foto kedua adalah foto dua orang gadis remaja, mungkin usia mereka 16 atau 17 tahun, masih mengenakan seragam putih abu – abu, berangkulan sambil terseyum lebar. Dinding di belakang mereka penuh dengan coretan rumus – rumus entah apa. Terlihat estetis dengan cara yang aneh. Ketika menyadari bahwa gadis yang berkawat gigi itu adalah aku dan yang sedang aku rangkul tampak seperti Risa remaja, maka di situlah bulu kudukku meremang. Ternyata semua cerita Risa benar. Ternyata cerita Mama benar. Tentang dinding – dinding di rumahku yang dipenuhi rumus – rumus Fisika.
Foto ketiga adalah foto seorang pemuda yang diambil dari samping. Pemuda itu tengah merokok di latari pantai siang hari. Aku mengernyit karena belum bisa mengenalinya. Aku beralih kepada foto keempat. Masih tampak pemuda yang sama namun kini dia menoleh ke arah kamera dengan paras terkejut, mungkin karena menyadari ada yang diam – diam mengambil fotonya. Foto kelima masih gambar pemuda yang sama. Seragam putih abu – abu. Wajahnya kini tersenyum lebar.
Senyuman milik Kaivan.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top