Keanehan Meyra


"Sagita."

Aku masih tidak terbiasa dengan suara Kaivan di telingaku. Sejak pernikahan kami dalam masalah, kami lebih banyak diam dan tidak saling menyapa meski tinggal satu atap. Dan aku mungkin juga tidak akan pernah terbiasa dengan pemandangan Kaivan bersama Meyra di pelataran parkir kantor sore itu. Setelah kepergian Bintang, jelas bahwa pernikahan kami seperti kaca retak yang siap menyerpih kapan saja bahkan oleh guncangan kecil sekali pun. Dan kehadiran Meyra yang menjadi intens di antara kami, tentu saja tidak memberikan dampak yang positif.

Aku sangat sadar akan posisiku ketika memasuki hubungan Kaivan dan Meyra. Kehadiranku mungkin sedikit banyak yang menyebabkan kandasnya hubungan mereka. Untuk itu, kedekatakan Kaivan dan Meyra di saat rumah tangga kami sedang mengalami masalah kuanggap sebagai karma yang kutuai. Aku tidak percaya karma, tetapi apa sebutan yang lebih pantas untuk mendeskripsikan nasib yang menimpaku?

"Ya?" Aku menyahut. Bisa kusaksikan sekilas tatapan Meyra yang tampak tak bersabahat padaku. Apakah di titik ini Meyra sudah tahu bahwa kelak aku akan merebut Kaivan darinya? Tidak! Saat ini aku tidak akan melakukan kesalahan itu untuk kedua kalinya.

"Besok kita on the spot ke proyek pembangunan jalan yang di – handle Pak Idrus." Kaivan berjalan mendekatiku. Membiarkan Meyra mematung di sisi mobil milik Kaivan. Sore itu belum pula jam tiga. Mereka berdua baru pulang dari mana? Atau justru baru akan pergi entah ke mana? Rasa penasaran yang sama sekali tidak perlu terhadap kebersamaan mereka melintas sejenak dalam benakku, untuk kemudian cepat – cepat kutepis. Itu semua sudah bukan urusanku.

"Besok?" ulangku. Besok hari Sabtu dan aku berencana untuk pulang ke rumah Bapak. Kenapa Kaivan memberitahukan perihal on the spot ini begitu mendadak?

"Iya. Besok. Kamu kan belum pernah ketemu Pak Idrus. Sekalian besok kita ketemu di lokasi proyek. Dia ada rencana ke sana."

"Aku tidak bisa," sergahku cepat tanpa memberitahukan alasanku. Pertama, aku ingin menemui Bapak dan kedua, aku tidak perlu bertemu dengan Pak Idrus untuk tahu bahwa kredit yang kami berikan nantinya akan bermasalah. "Besok Sabtu."

"Kenapa kalau besok Sabtu? Waktu di cabang dulu kamu tidak pernah on the spot di hari Sabtu?"

"Aku tidak bisa."

"Aku sudah pesan tiket pesawat untuk kita."

"Apa!?" Seruku tak percaya. Kenapa Kaivan memutuskan seenaknya tanpa mendiskusikan hal ini padaku terlebih dahulu?

"Aku juga sudah dapat ijin dari Bu Ratih."

Aku menggelengkan kepalaku dengan kesal. "Tidak bisa, Kai! Aku ada urusan lain."

"Tapi ini penting. Bulan depan kita harus komite untuk pengusulan tambahan fasilitas kredit Bapak Idrus dan aku tidak mau hanya karena kamu belum kenal dan melihat bagaimana usahanya, kamu malah menolaknya."

"Aku tidak bisa. Aku harus pulang ke rumah orang tuaku!" tandasku kesal. Apa Kaivan pikir hanya urusan kantor saja yang penting? Aku punya urusan lain yang jauh lebih penting. Aku akan pulang ke rumah Bapak untuk pertama kalinya sejak terbangun di tahun 2017. Aku akan pulang ke rumah dan menyaksikan dengan mata kepalaku kondisi Bapak yang masih hidup, sehat dan bugar. Dan Kaivan atau siapa pun di dunia ini tidak akan kubiarkan menghalangi niatku.

"Ah, kebetulan sekali kalau begitu." Tanggapan Kaivan sungguh di luar dugaan. "Proyek Pak Idrus ada di kota yang sama dengan rumah orang tua kamu. Jadi, kamu bisa sekalian pulang. Bonusnya, tiket pesawat dibayar kantor. Bagaimana? win win, kan?"

Aku terdiam beberapa detik ketika mendengar penuturan Kaivan. Mencoba mencerna kata – katanya. "Kamu tau dari mana kota tempat orang tuaku tinggal?"

Kaivan tampak terkesiap. "Itu ... kamu berasal dari kantor cabang di sana kan sebelum pindah kemari?"

Oh ... jadi karena itu dia tahu? Untuk sepersekian detik tadinya kupikir Kaivan mengetahui hal itu karena dia berasal dari masa depan juga sepertiku. Untuk sepersekian detik dan beberapa kali terlintas dalam pikiranku bahwa aku dan Kaivan sama – sama terlempar kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubungan kami yang tidak berjalan dengan baik di masa depan. Kaivan mengetahui beberapa hal terkait pribadiku. Nama lengkap, tempat orang tuaku tinggal dan beberapa kali, ketika Kaivan menatapku, aku seolah merasakan bahwa ada banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku. Aku merasa Kaivan mengenalku lebih dari sekadar pegawai yang baru saja dimutasi ke kantornya. Aku merasa Kaivan menyimpan informasi lebih yang tidak dia beritahu padaku. Ataukah semua itu hanya perasaanku saja?

Aku tidak sempat membantah ucapannya karena tiba – tiba saja ponsel Kaivan berdering. Dia mengeluarkan benda pipih itu dari kantung celananya, melihat layarnya sekilas lalu tergesa – gesa menjauh dariku untuk menjawab panggilan telepon itu. Pembicaraan kami belum selesai jadi aku memutuskan untuk tinggal, menyedekapkan tangan di dada sembari memandang Kaivan yang tengah berbicara di telepon dengan kesal. Aku nyaris tidak menyadari pergerakan Meyra hingga entah bagaimana, wanita itu kini sudah berdiri di sampingku.

"Sagita, kan?"

Aku menoleh.

"Aku Meyra." Wanita itu mengulurkan tangan.

Aku tahu. Aku menyahut dalam hati sembari memandangi uluran tangannya padaku. Mau apa dia? mengajakku berkenalan? Meski enggan, kusambut uluran tangan Meyra dan ketika kulit telapak tangan kami bersentuhan, perasaan kesal membuncah di dalam dadaku. Meyra, apakah kamu tahu apa yang sudah kamu perbuat pada pernikahanku dan Kaivan di masa depan?

"Kaivan banyak bercerita tentang kamu." Ucapan Meyra usai tautan tangan kami terurai menyentakku. Di titik ini, aku tidak lebih dari pegawai pindahan yang baru seminggu mengenal Kaivan. Tidak ada hal yang bisa Kaivan ceritakan tentang diriku pada kekasihnya ini.

"Kaivan bercerita tentangku?" Keningku mengernyit.

"Ah ... maksudku, dia bilang kalau ada pegawai baru yang dipasangkan satu tim dengannya." Meyra menyahut. Ada jeda cukup panjang di mana wanita itu terdiam dan hanya memandangiku penuh selidik. Aku refleks mengusap sudut bibir dan pipiku karena mungkin saja ada sisa saus tomat dari makan siang yang terlambat kumakan tadi. "Sagita, apakah benar kamu tidak mengingat Kaivan sama sekali?"

"Apa?" Aku mendengar dengan jelas hal yang baru saja Meyra tanyakan tetapi aku merasa perlu untuk sekadar memastikan bahwa aku tidak salah mengerti perkataannya.

Meyra menoleh ke arah Kaivan yang masih berbicara di telepon tak jauh dari tempat kami berdiri seolah tak ingin Kaivan mendengar percakapan kami. Hal itu refleks membuatku ikut memandang ke arah pemuda tersebut. Kaivan masih tampak serius berbicara di telepon.

Meyra menyentuh lenganku dan aku tersentak. "Apakah benar kamu tidak mengingat Kaivan sedikit pun?"

Ternyata aku tidak salah mengerti ucapan Meyra. Dia memang menanyakan hal tersebut. Apakah kamu tidak mengingat Kaivan? Pertanyaan macam apa itu? aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Untuk itu aku hanya bisa melongo. Kerutan tak mau pergi dari keningku.

Meyra adalah gadis yang menarik. Postur tubuhnya lebih mungil jika dibandingkan dengan tubuhku. Rambutnya yang diwarnai brunette sangat serasi dengan kulit putihnya. Jika aku berjalan di sampingnya, dapat dipastikan orang – orang akan lebih memilih menoleh ke arahnya. Penampilannya menarik perhatian meski dalam balutan pakaian formal sekali pun. Jika kamu bertemu dengannya di jalan, kamu akan menebak bahwa dia mungkin adalah model sampul majalah daripada seorang banker. Sementara aku, hanyalah perempuan muda kebanyakan. Hanya tinggiku saja yang sedikit di atas rata – rata sedangkan bentuk wajah dan warna kulitku, adalah bentuk wajah dan warna kulit kebanyakan perempuan di Indonesia. Tidak ada yang spesial.

"Aku sangat mencintai Kaivan. Tolong jangan rebut Kaivan dariku."

Jadi, kalau sore ini gadis di hadapanku yang seperti model majalah tersebut tampak terancam dengan keberadaanku, maka aku sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi. Aku mencoba mengingat – ingat awal pertemuanku dengan Meyra sebelumnya. Apakah saat pertama kali bertemu Meyra dia juga mengatakan hal yang sama padaku? Aku tidak ingat pernah mengalami kejadian ini. Aku tidak pernah benar – benar berkenalan dengan Meyra. Tiba – tiba saja aku dekat dengan Kaivan meski aku tahu dari kolega di kantor bahwa saat itu Kaivan sedang menjalin hubungan dengan banker di kantor sebelah. Tiba – tiba saja kami resmi berhubungan. Meyra datang ke pernikahan kami dan menyalami aku dan Kaivan. Lalu, tidak ada hal signifikan tentang Meyra hingga Bintang meninggal dan Kaivan jadi kembali terlihat sering bersamanya.

"Aku tidak peduli kamu ingat pada Kaivan atau tidak tapi aku minta kamu ...."

"Mey?" ucapan Meyra terpotong oleh kehadiran Kaivan di dekat kami. Rupanya dia sudah selesai berbicara di telepon. "Sorry, sepertinya aku tidak bisa antar kamu ke lab. Tiba – tiba saja ada debitur mau minta diterbitin garansi bank. Kamu bisa pergi sendiri, kan?"

Meyra gegas mengangguk. "Iya, nggak apa – apa, kok." Senyum terbit di bibir merah mudanya.

Kaivan menoleh ke arahku sekilas lalu kembali menoleh ke arah Meyra. "Kalian sudah kenalan?"

"Iya, kami sudah kenalan." Meyra yang menyahut.

Dan dia bilang padaku untuk tidak merebut kamu darinya. Rasanya aku ingin menambahkan kalimat itu tapi susah payah kutelan kembali. Apa sebenarnya maksud Meyra?

"Oke, kalau begitu, aku naik dulu." Kaivan berbalik untuk masuk ke dalam gedung kantor. Aku melihat ini sebagai peluang untuk berbicara kembali dengan Meyra. Menanyakan maksud ucapannya, tapi kemudian langkah Kaivan terhenti. "Git, ayo! Bantu aku bikin memo penerbitan garansi bank – nya."

"Ah, itu ...."

"Ayo buruan! Sebentar lagi cabang tutup. Kita harus cepat."

Aku menatap Meyra sejenak, berjanji dalam hati bahwa suatu saat aku akan mencari waktu berbicara dengan gadis ini lagi, sebelum berbalik menyusul langkah Kaivan yang tergesa – gesa menuju ke arah lift.

"Apakah benar kamu tidak mengingat Kaivan sedikit pun?" pertanyaan Meyra kembali berenang – renang dalam benakku.[]

***

Terima kasih sudah membca. Jangan lupa tinggalkan komen dan votenya yaaa!! See ya and XOXO

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top