Ibu dan Kisah Masa Lalu


"Siapa tadi itu, Gita?" Suara Mama menyeretku dari lamunan yang tadi sempat tercipta dalam pikiranku.

Aku segera menetralkan ekspresi wajah – jangan sampai Mama mendapati jejak – jejak kesedihan di sana – sebelum menoleh dan menyahut, "Siapa, Ma?" Aku balik bertanya, mencoba mengulur waktu, padahal aku tahu kalau Mama mungkin sempat melihatku berbicara pada Kaivan tadi.

"Laki – laki yang tadi ngomong sama kamu."

"Oh, itu. Itu teman kantor Gita. Kaivan," jawabku.

Mama mengerling. "Teman apa teman?" godanya.

"Teman, Ma. Teman kantor."

"Bukannya kamu sudah pindah kantor di kota? kok temanmu itu jauh – jauh datang kemari? Ada urusan pekerjaan? Tidak mungkin. Ini hari Minggu." Mama bertanya tetapi kemudian menjawabnya sendiri. "Pacar, ya?"

"Bukan, Ma!" Aku gegas menggeleng.

"Kalau pacar pun tidak apa – apa, kok. Wanita muda seusia kamu wajar kalau punya teman dekat atau kekasih."

Aku berdecak. "Iya, tapi Kaivan bukan pacarku, Ma."

"Kalau begitu dia pasti ada hati sama kamu. Kalau tidak, ngapain dia susah – susah dan jauh – jauh datang kemari. Di hari Minggu pula."

Kali ini aku hanya bisa tersenyum. Ingin sekali aku bilang kalau Kaivan bukan pacarku, tetapi di masa depan, dia adalah suamiku. Apakah kira – kira Mama akan percaya cerita semacam itu?

"Kamu sudah makan siang?" tanya Mama lagi. "Temani Mama makan, yuk." Mama menggandeng lenganku.

"Tapi, Bapak ...."

"Ada Aries. Mau kan kamu berikan Aries ruang dan waktu untuk berdua saja sama Bapak kali ini?"

Aku mengerutkan kening. Pertanyaan Mama terdengar aneh, tetapi aku hanya bisa memgangguk. "Iya, tentu saja Aries boleh berdua sama Bapak."

"Terima kasih ya, Gita," ujar Mama sembari melangkah pelan. Dia masih menggandeng lenganku sehingga mau tidak mau, aku pun terpaksa melangkah bersamanya.

"Terima kasih untuk apa, Ma? Aries kan juga anak Bapak. Bapak juga rindu sama Aries."

"Terima kasih karena sudah bertumbuh cantik seperti ini dan sudah tegar menjaga Bapak," jawab Mama pelan. Ucapannya lebih terdengar seperti gumaman.

Aku menghela napas. "Gita juga mau bilang terima kasih karena Mama sudah bersedia datang jauh – jauh kemari. Untuk Bapak."

"Iya, Sayang." Mama menepuk pelan lenganku.

Berinteraksi dengan Mama selalu berhasil menghadirkan perasaan menyenangkan tetapi asing di dalam diriku. Terkadang aku tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada wanita yang melahirkanku tetapi memutuskan untuk meninggalkanku untuk hidup bersama Bapak. Bertumbuh besar tanpa Mama membuatku kadang bertanya kenapa Mama lebih memilih membawa Aries dibanding aku. Apakah karena Mama lebih menyayangi Aries dibandingkan diriku? Pertanyaan yang tentu saja tidak pernah aku utarakan karena aku takut mendengar jawabannya. Bagaimana jika benar kalau Mama meninggalkanku karena tidak terlalu mencintaiku sebesar rasa sayangnya pada Aries? Mungkin dahulu aku adalah anak yang nakal dan merepotkan sehingga Mama lebih memilih meninggalkanku. Di dunia ini ada begitu banyak pertanyaan yang tidak pernah bertemu jawaban karena meski kita sangat penasaran, kita tetap lebih takut mendengar jawabannya.

Ada sebuah kedai sederhana tak jauh dari rumah sakit. Di sanalah aku dan Mama masuk dan memilih duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Mama sudah memesan seporsi makanan berat dan es teh sementara aku memesan roti bakar dan segelas jus. Tidak ada selera makan sama sekali tetapi aku tahu kalau tubuhku butuh nutrisi untuk melalui hari ini, hari esok, hari – hari lain setelah ini. Yang mungkin akan menjadi hari – hari terakhir bersama Bapak.

"Gita, rupanya kali ini sakit Bapak agak parah." Mama membuka percakapan sembari kami menanti pesanan makanan datang. "Tadi Mama dikasih tau sama suster yang lagi cek Bapak."

"Ya. Kardiomiopati. Ada lepuh darah di jantung Bapak."

"Nama penyakitnya?"

Aku mengangguk. "Apa dulu Bapak sudah ada gejala penyakit jantung?"

"Maksudmu, waktu kami masih bersama?" Mama mengonfirmasi. "Tidak. Bapak kamu sehat bugar. Hanya saja, kakek kamu memang meninggal karena penyakit jantung. Dan mungkin saja ini keturunan. Kamu sama Aries harus periksa lengkap setelah ini."

"Aku baik – baik saja, Ma," selaku.

"Gita, Mama ingin bilang sama kamu, meski Mama yakin kamu sudah tau. Kamu tidak sendiri, Nak. Kamu tidak sendiri melalui ini semua." Mama menggenggam jemariku di atas meja. "Dan nanti, jika ada hal buruk yang menimpa Bapak, Mama ingin kamu ingat kalau kamu masih punya Mama dan Aries."

"Maksud Mama?" tanyaku meski aku sudah sangat memahami ke mana arah kalimat yang Mama ucapkan.

Mama menghela napas panjang. Tampak kesulitan menyusun kata – kata yang tepat karena dia terdiam cukup lama sambil membuang pandangannya ke tempat lain. Enggan menatap mataku. Ketika Mama menoleh ke arahku lagi dia berkata, "Pintu rumah Mama selalu terbuka untuk kamu, Gita. Kapan pun kamu ingin datang."

"Lalu meninggalkan rumah tempatku lahir dan bertumbuh? meninggalkan Bapak atau mungkin kuburan Bapak?" tanyaku. Ada gejolak yang bisa kurasakan di dalam dadaku. Mama memang selalu datang kapan pun aku memintanya datang. Tetapi dia datang untuk kembali pulang ke rumahnya lagi. Tempat keluarga barunya berada. Mama tidak bisa tinggal bersamaku karena dia harus tinggal bersama saudara – saudaraku yang lebih disayanginya.

"Gita ...." Mama terkejut mendengar tanggapanku.

"Apakah Mama pernah menyesal meninggalkanku waktu aku masih kecil dulu?" Aku menarik jemariku dari genggaman Mama. Pertanyaan itu akhirnya keluar juga bersama air mata yang tidak bisa aku kendalikan. Salah satu pertanyaan yang aku takut mendengar jawabannya.

Mama pasti adalah wanita yang cantik ketika muda dulu. Kecantikan yang masih membekas di wajah meski usia sudah menggerus sebagian besar kolagen dari kulitnya. Mama masih tampak anggun di usia senja.

"Penyesalan terbesar Mama adalah meninggalkanmu, Gita." Mata Mama berkaca – kaca. Bibir tipisnya bergetar oleh kesedihan yang coba dia tahan. Kata – kataku tadi mungkin saja berdampak hebat baginya karena kini kaca – kaca di matanya meluruh menjadi air. "Tetapi Mama tidak mungkin membawamu saat itu. Perpisahan Mama dan Bapak membuat Bapak sangat frustasi. Sebelum Mama pergi dia memohon agar meninggalkan salah satu di antara kalian untuk hidup bersamanya meski hak asuh kalian berdua sudah jatuh ke tangan Mama."

Aku tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Baik di masa depan atau pun di kehidupan yang tengah kujalani sekarang. Bapak atau pun Mama tidak pernah menceritakan detail perpisahan mereka padaku. Apakah itu karena aku tidak pernah bertanya?

"Dengan berat hati Mama memutuskan untuk meninggalkanmu. Karena kamu anak Mama yang paling baik dan penurut. Di usia tujuh tahun kamu sudah mandiri. Sementara adik kamu sangat susah dirawat dan sangat rewel." Air mata Mama terlihat semakin deras tetapi secepat itu juga dia meraih tisu untuk mengusutnya. "Bapak tidak akan kerepotan jika tinggal bersamamu. Bahkan kamu mungkin akan merawat Bapak jika terjadi sesuatu padanya. Dan firasat Mama terbukti dengan melihatmu tumbuh besar, penuh kasih, bertanggungjawab dan sangat peduli pada Bapak. Mama lega karena meski berat, Mama sudah membuat keputusan yang tepat di masa lalu."

Giliran aku yang tercengang mendengar semua penuturan Mama. "Jadi, Mama meninggalkanku bersama Bapak bukan karena Mama lebih sayang sama Aries?"

"Mama minta maaf kalau sudah membut kamu berpikir seperti itu selama ini," sahut Mama. "Mama tidak pernah membencimu sedikit pun. Baik dulu, sekarang atau sampai kapan pun."

Ada kelegaan yang luar biasa menyergap eksistenku saat ini. Seperti berita yang mengabarkan hujan setelah kemarau panjang. Satu simpul rumit dalam hidupku seolah baru saja terurai. Kadang – kadang ketakutan kita begitu menguasai sampai mengaburkan fakta yang sebenarnya.

"Terima kasih," ucapku. "Maafkan Gita, Ma."

Mama menggeleng. "Mama yang seharusnya minta maaf, Nak."

Minuman kami yang lebih dulu datang. Aku segera menyeruput jus jeruk yang kupesan beberapa teguk. Perjalanan ke masa lalu ternyata lumayan melelahkan meski hanya lewat cerita yang dituturkan orang lain.

"Boleh Gita tanya satu hal lagi sama Mama? Tapi kalau Mama tidak mau jawab juga tidak apa – apa." Keberanianku untuk mempertanyakan hal – hal yang awalnya kutakuti muncul. Pertanyaan tentang kenapa Mama meninggalkanku ternyata menemukan jawaban yang tidak buruk sama sekali. Maka, aku mempertaruhkan keberuntunganku lagi untuk pertanyaan selanjutnya.

"Mama akan jawab sebisa Mama."

"Kenapa Mama dan Bapak berpisah? apakah karena Bapak melakukan hal yang buruk pada Mama?"

Apakah Bapak berselingkuh? Apakah Mama menduga Bapak berselingkuh? Apakah di masa depan Kaivan berselingkuh? Atau itu hanya pradugaku semata? apakah Mama menghadapi kemelut yang serumit permasalahan rumah tanggaku? Apakah jawaban atas permasalahan rumah tanggaku dan Kaivan di masa depan adalah perceraian seperti hal yang juga menimpa rumah tangga Mama dan Bapak?

"Bapakmu adalah suami dan ayah yang hebat," jawaban Mama sungguh di luar dugaan. Suami dan ayah yang hebat tidak layak ditalak, bukan? "Bahkan ketika kami sudah berpisah, Bapakmu adalah sahabat yang baik. Sahabat dalam membesarkan anak – anak kami. Kamu dan Aries. Tetapi, setelah menikah, Mama sadar bahwa ada sebagian dunia Bapak yang tidak bisa Mama masuki. Awalnya Mama tidak menganggap itu masalah, sampai kemudian sebagian dunia itu mengambil alih dunia yang kami miliki."

Aku bisa merasakan keningku berkerut. "Aku tidak paham."

Mama tersenyum. "Mama tau suatu saat Mama harus menceritakan ini semua kepadamu tetapi Mama sama sekali tidak tau kalau saat itu akan datang secepat ini." Mama kembali meraih jemariku untuk dia genggam. Aku membiarkannya. "Mama kira Mama akan menceritakan ini semua di momen – momen menjelang pernikahan kamu atau ketika kamu sudah berumah tangga."

Aku memang sudah berumah tangga. Aku sudah menjalani pernikahan dengan Kaivan di masa depan tetapi aku sama sekali tidak ingat memiliki percakapan seperti ini dengan Mama.

"Terkadang ada masalah yang tak terduga datang menimpa rumah tanggamu dan kamu tidak punya pilihan selain berpisah meskipun kamu masih sangat peduli pada pasanganmu," ujar Mama. "Itulah yang terjadi pada Mama dan Bapak. Ada alasan kenapa Bapak memilih menjadi dosen sekaligus peneliti di bidang fisika. Alasan yang awalnya membuat Mama jatuh cinta. Tetapi setelah kami menjalani pernikahan hampir delapan tahun, Mama tidak pernah menyangka kalau alasan itulah juga yang membuat Mama memilih berpisah."

Keningku masih berkerut. "Apakah Gita boleh tau alasannya?"

"Tentu saja," sahut Mama yakin. "Tapi janji, kamu jangan tertawa meski rasanya ini tidak masuk akal."

Aku justru tertawa mendengar permintaan Mama. Mama juga ikut tertawa kecil beberapa detik sebelum berkata. "Bapakmu percaya kalau dia adalah penjelejah waktu. Dia mengorbankan seluruh hidupnya, termasuk pernikahan kami, untuk memecahkan misteri perjalanan waktu yang katanya pernah dia alami."

Tawaku lenyap seketika.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top