Chapter 5

(Name) meminta Anzu untuk tidak membawanya kehadapan Undead. Tentunya karena (Name) tidak ingin kakak kelasnya yang sekaligus tetangganya melihatnya dalam kondisi hancur seperti ini. Pasti akan merepotkan untuk kakak kelasnya itu.

Kini, (Name) tengah berjalan menyusuri jalan setapak yang telah disediakan oleh taman. Sesekali, ia pun menatap bunga-bunga yang mekar dengan indahnya.

"Kau cantik," puji (Name) dan disambung, "Namun, apakah kau pernah merasakan apa yang aku rasakan saat ini?"

'Oh, tentu tidak. Mengapa penekanan orang itu sangat kuat untukku?' batin (Name) yang menatap bunga tersebut dengan tatapan nanar.

(Name) kembali melanjutkan perjalanannya ke sembarang arah hingga ia melihat Ritsu bersama dengan Arashi. Saat itu pula, (Name) ingin mengeluarkan suaranya, sekadar memanggil ataupun meminta pertolongan. Namun, nafasnya tercekat. Ia tidak bisa mengucap sepatah katapun.

(Name) membisu. Ia hanya bisa menatap dua pria itu berjalan melalui dirinya.

'Kenapa ... k-kenapa harus seperti ini,' batin (Name).

(Name) pun mulai melangkahkan kakinya perlahan. Hingga pada akhirnya, ia berlari dan terus berlari lalu memutuskan untuk pulang lebih awal.

Bruk!

(Name) menabrak seseorang saat ia telah tepat berada di gerbang.

"Mengapa kau menangis, (Name)-chan?"

(Name) menatap pria dihadapannya dengan tatapan sedih dan nanar seraya berkata, "Sakuma-senpai ... hiks ...."

Karena merasa iba, Rei pun memeluk (Name). Membiarkan (Name) bersandar dan membagi semua hal yang membebani dirinya.

"Sakuma-senpai ... hiks ... me-mengapa ... hiks ... mengapa aku lemah? Mengapa dia begitu kejam ... hiks ... mengapa dia ... hiks ... tidak mem-membiarkanku memiliki keputusan sendiri ... hiks ...."

Mendengar ucapan (Name), Rei sudah bisa menebak siapa dalang dibalik ini semua. Tentunya, Rei sangat tidak terima melihat (Name) diperlakukan seperti ini.

Rei melepas pelukannya dan meminta (Name) untuk menatap dirinya.

"Jangan menangis lagi, (Name)-chan. Kau tidak salah apapun. Semua akan baik-baik saja," ucap Rei sembari menghapus air mata (Name).

"S-senpai ... hiks ...."

Rei pun meletakkan telunjuknya dibibir (Name) dengan sebuah senyuman yang begitu tulus dan berkata, "Jangan bicara dulu, Ojou-chan. Lebih baik, tenanglah hatimu dan berpikirlah jika semua akan berakhir dengan indah. Karena, aku ada disini untukmu."

Blush~

(Name) menjadi merona. Tangisnya hilang dan digantikan oleh sikap malu-malu kucingnya. Lalu, (Name) pun memalingkan wajahnya dari Rei.

Melihat hal itu, Rei masih senantiasa tersenyum. Tangan kanan Rei pun terulur lalu mengelus surai (Name) dengan penuh perhatian.

"Itu baru (Name) yang ku kenal," ucap Rei yang masih setia pada senyumannya.

"Sakuma-senpai, aku ... aku izin pulang awal hari ini," ucap (Name) dan Rei yang mengerti kondisi (Name) pun hanya mengiyakan lalu membiarkan (Name) pulang.

Setelah dirasa (Name) cukup jauh, Rei pun segera menuju ke tempat dimana Eichi berada saat ini.

"Rei~♪"

"Ah, Shinkai Kanata," sapa Rei yang berhenti sejenak setelah dipanggil oleh rekannya.

"Puka puka~♪ Rei tampak tergesa-gesa, apa ada masalah yang serius?" tanya Kanata sembari mengapung di air fountain.

"Hanya urusan kecil," jawab Rei.

"Puka puka~♪ Rei pun sama. Jika ada hal yang bisa kami bantu, tolong katakan, ya," ucap Kanata dengan lemah lembut.

Rei pun terdiam sebentar dan kemudian berkata, "Bisa tolong kumpulkan gokijin?"

"Rei bisa menelepon mereka," ucap Kanata.

"Ah, tsumanna, ponselku tertinggal di kelas," ucap Rei dengan tampang bersalah.

"Wakatta, akan aku kumpulkan dengan segera~♪" ucap Kanata yang kemudian bangkit dari fountain lalu mulai mencari para anggota gokijin.

Namun, disela-sela menunggu, Rei justru mendapatkan tamu duluan. Siapa lagi jika bukan sang emperor, Tenshouin Eichi yang secara tidak sengaja lewat dihadapan Rei.

"Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk bertemu, Tenshouin Eichi," ucap Rei sembari bersantai di fountain.

Eichi pun berhenti saat mendengar suara Rei. Dengan senyumannya, ia pun berkata, "Ya, kurasa begitu, Sakuma Rei."

*****

Malam ini rembulan tidak menampakkan diri. Entah mengapa, hal itu membuat malam ini terasa sepi.

Begitu juga dengan (Name) yang sedang duduk di taman yang tak jauh dari rumahnya seorang diri. Hanya sekedar mencari udara segar sembari mengingat masalah yang baru saja ia hadapi.

"Sendirian di malam hari, kau bisa terkena bahaya lagi."

'Suara itu ....' batin (Name) dan dengan segera, (Name) melihat disebelah kanannya.

"Sakuma ... Ritsu," gumam (Name) pelan.

"Saat di sekolah, kulihat ada gadis yang berlari dan menabrak Nii-chan lalu ia menangis dalam pelukan Nii-chan," ucap Ritsu yang tanpa sadar membuat mood (Name) kembali tidak karuan.

"Betsuni," gumam (Name) yang masih bisa didengar oleh Ritsu.

Ritsu hanya bisa menerobos langit. Meskipun ia tahu sedikit tentang permasalahannya, namun ia memilih diam saja.

Dan kini, sudah cukup lama keheningan menemani mereka.

Click~

"Ambillah," ucap Ritsu sembari menyodorkan kopi dingin pada (Name).

(Name) pun menerimanya dengan lesu seraya berkata, "Arigatou."

'Ritsu, apakah aku boleh bersama Knights?' batin (Name).

Sejujurnya, (Name) sangat ingin mengatakan hal tersebut. Namun, ia selalu tercekat dan berakhir pada hal yang tidak bisa ia katakan.

"Aku rasa semakin larut disini, mari pulang," ucap Ritsu yang telah bangkit duluan dan menunggu (Name) untuk berjalan bersamanya.

"Doushita? Apa kau lelah? Baiklah, hanya untuk kali ini saja," ucap Ritsu yang tiba-tiba menghampiri lalu menggendong (Name) ala bridal style.

Blush~

Pipi (Name) sangat merona saat ini. Bahkan, rasanya jauh lebih merah dibandingkan dengan tomat segar yang baru saja dipetik.

"Ritsu, apa yang kau lakukan! Aku bisa berjalan!" ucap (Name) yang tetap belum mengerti maksud Ritsu.

"Terlalu lama jika menunggumu berjalan, jadi ku gendong saja," ucap Ritsu dengan santainya.

"Turunkan aku, sekarang!" titah (Name) yang tidak dijalankan oleh Ritsu.

Ritsu berpura-pura tuli. Sejujurnya, ia sangat malas mendengar protes darinya. Namun, apa mau dikata, Ritsu sudah terlanjur melakukannya. Maka ia harus bertanggungjawab.

Sesampainya di depan rumah (Name), Ritsu menurunkan (Name) perlahan. Dan (Name) masih belum bisa berkata apapun, ia masih terlalu malu untuk berbicara.

"Jika tidak ada yang ingin dikatakan, maka ... selamat malam, mimpi indah," ucap Ritsu yang kemudian mengelus surai (Name) sejenak sebelum memasuki rumahnya yang berada tepat disebelah kiri rumah (Name).

(Name) tersenyum tipis atas perlakuan Ritsu.

'Selamat malam, Ritsu. Dan terima kasih telah menghibur ku untuk sesaat.'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top