Shirayukihime
》· · ──────·本·──────· · 《
.
.
.
.
.
.
The first snowfalls
and make everything feel
so possible, so hopeful.
But, i still
miss you
-Kristina Mahr
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Shirayukihime: (n) snow white
.
.
.
.
.
.
“Kamu sedang apa?”
Mata blueberry lelaki kecil itu berbinar penasaran ketika mendapati seorang anak perempuan sedang berjongkok di dekat jungkat-jungkit. Kalender musim dingin telah tiba, hawa terasa sangat dingin.
“Menunggu salju.”
“Tapi kata kakakku salju tidak turun tahun ini.”
“Makanya aku akan menunggu.”
“Memang tidak kedinginan?”
“Tidak.”
Kageyama Tobio, bocah itu mengerjap tak mengerti. Usianya tujuh tahun dan dia pikir anak perempuan di depannya itu juga seusia dengannya. Ibu selalu saja memakaikan pakaian tebal saat musim dingin, sweater berbulu dan syal berlapis yang membuat Kageyama sulit bergerak, tetapi juga merasa hangat.
Tapi anak itu tidak. Perempuan itu, bahkan hanya memakai gaun tidur berwarna putih tanpa alas kaki. Rambut hitam panjang miliknya terlihat sedikit berantakan dan dia tidak memakai syal.
Dan dia bilang kalau dia tidak kedinginan?
Kageyama melepaskan syal biru bergaris hitam miliknya, mengalungkannya pada leher anak itu yang kosong. “Pakai saja punyaku.”
Anak itu tak mengucapkan apapun, hanya menatap heran pada syal yang dikalungkan padanya. Lalu menatap Kageyama yang sekarang sedang bermain dengan sebuah bola, memantul-mantulkan di tangannya.
“Kenapa kamu…”
“Kata ibuku musim dingin bisa membuatmu demam.”
“Tapi nanti kamu yang demam.”
“Aku kan anak laki-laki.”
Gadis kecil itu tak mengerti. Tapi wajahnya terasa sangat hangat bersamaan dengan pipinya yang memerah seperti kepiting rebus. “terima kasih ya.”
“Hei, ini bola voli baruku. Kakek yang memberikannya, hadiah ulang tahunku.” pamer Kageyama bangga. Bola voli berwarna merah, hijau, putih, itu tak pernah lepas darinya sejak hari ulang tahunnya 22 Desember kemarin.
“Itu keren.”
Kageyama memberikan cengiran lucu. Dia merasa senang. “kakek bilang aku bisa menjadi pemain voli yang hebat. Jadi aku sering bermain voli. Sekarang saja aku kabur dari ibuku. Ibu melarangku bermain di luar tapi aku kabur.”
Dua bocah itu tertawa. Kageyama juga bilang kalau rumahnya tidak dekat dari taman tempat mereka bertemu, tapi dia yakin kalau dia tahu jalan pulang.
“Aku juga kabur dari rumah.”
“Kenapa? Apa karena kau tidak boleh bermain voli juga?”
“Sepi. Tidak ada orang di rumahku.” gadis kecil itu merapatkan syal yang Kageyama yang dia kenakan.
“Kamu tidak punya teman?”
“Aku baru pindah. Tidak ada yang mau berteman denganku di sini. Apa karena aku tidak cantik?”
Kageyama dengan mata blueberrynya menatap sosok sebelahnya itu dalam. Dia terpana melihat bola mata yang serupa warna kakao. Tetapi wajah gadis itu terlihat sedih. “Jangan sedih. Kamu cantik,” Kageyama kembali mengulas senyum yang menampakkan deretan gigi kecilnya.
“Seperti putri salju!”
Lagi dan lagi, sang gadis kecil dibuat terpana. “Kenapa… putri salju?”
“Karena kamu sedang menunggu salju,” Kageyama memeluk bola volinya dan menyembunyikan wajahnya di sana. “terus… kamu juga… cantik. Seperti tuan putri.”
Kedua bocah itu tidak menyadari kalau wajah mereka memerah dan hawa dingin tak lagi menusuk. “Tapi katamu salju tidak akan datang tahun ini?”
Kageyama diam-diam mencuri pandang pada anak di depannya, baik telinga maupun pipinya sudah memerah, “A-aku berubah pikiran!” dia meraih tangan mungil sang gadis yang terasa hangat walau tak diselimuti sarung tangan. “Aku akan menunggu salju bersamamu.”
Bola mata kakao milik si bunga kecil berbinar, “sungguh?”
Kageyama mengangguk riang, “Ayo berteman. Kita lihat salju bersama!”
“Kita berteman?” gadisnya terlihat ragu, tetapi senang ketika Kageyama lagi-lagi tersenyum cerah seperti matahari musim panas.
“Besok aku akan datang lagi. Kamu harus menungguku ya?” Kageyama mengulurkan kelingking kanannya. Disambut hangat oleh kelingking sang gadis yang ikut mengaitkannya.
“Aku juga ingin melihat salju pertama bersamamu.”
“KAGEYAMA!”
Lelaki yang dimaksud tersadar seketika mendengar seruan dari partnernya, Hinata. Kageyama mengerjap, memandang sekitarnya yang ternyata ada di ruang kelas. Ruang kelasnya sendiri sudah kosong. Sepertinya bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Dia bukan berada di taman seperti yang dirasakannya sebelumnya. Atau berada dalam tubuh bocah berusia tujuh tahun. Kageyama, umur enam belas. Ada di ruang kelasnya.
Lagi-lagi dia bermimpi.
“Jangan mentang-mentang musim dingin kau malas latihan, Bakageyama!” gerutu Hinata yang terpaksa pergi ke kelas kawannya itu karena di suruh oleh kapten tim mereka, Sawamura. Habis Kageyama tidak terlihat di gedung olahraga sepulang sekolah itu suatu hal yang langka.
“Siapa yang malas latihan boge?!” Kageyama mendengus kesal sambil meraih tasnya. Dia melirik ke luar jendela. Menerawang ke arah langit. “Apa salju tidak turun?”
“Hah? Kenapa kau membicarakan salju?” Hinata tak mengerti.
“Bukan apa-apa.”
Cuma mimpi. Entahlah, tapi Kageyama merasa kalau mimpinya sangat nyata. Hatinya tak tenang karena belakangan ini mimpi itu terus mendatanginya.
Seolah untuk mengingatkannya bahwa ada seseorang yang menunggunya.
Apa benar dia telah membuat janji pada gadis itu?
Dua kombo yang jadi andalan di klub voli itu berjalan menuju ruang olahraga. Hinata banyak bercerita sedangkan Kageyama larut dalam pikirannya. Apa dia melupakan janji masa kanak-kanaknya?
“Hei Hinata, salju datang atau tidak tahun ini?”
Hinata bingung, kenapa Kageyama sejak tadi bicara tentang salju terus?. “Entah. Mungkin Yuki-onna yang akan datang.”
“Kenapa Yuki-onna?” kali ini Kageyama yang bingung. Hinata menyebut hantu wanita salju yang selalu jadi cerita favorit dimasa anak-anak.
“Karena anak menyebalkan sepertimu pantas didatangi Yuki-onna! Hahaha!” Hinata tertawa terbahak sambil berlari riang masuk ke gedung olahraga tim voli putra Karasuno. Meninggalkan Kageyama yang tersulut rasa kesal.
“TEME!!”
Ah, jangan-jangan dia memang Yuki-onna?
Tidak, dia itu Yukihime.
*
Latihan voli selesai lebih cepat dari biasanya karena suhu makin turun. Tim voli putra membubarkan diri, termasuk Kageyama. Kali ini dia tidak pulang bersama Hinata karena temannya itu akan pergi ke tempat Yachi untuk belajar. Jadi setter Karasuno itu pulang sendiri.
Sesekali Kageyama menggosokkan kedua telapak tangannya, menghalau hawa dingin. Lalu menyembunyikannya di kantung celana. Rasanya dia ingin cepat pulang lalu memakan nabe buatan ibunya.
Entah bagaimana, tapi langkahnya membawanya ke sebuah tempat yang tak asing baginya. Tempat itu tak luas, hanya berisi pohon-pohon tak berdaun karena telah gugur. Ranting-rantingnya saling beradu tertiup angin musim dingin.
Dalam sejenak, Kageyama seolah tersihir agar langkahnya memasuki tempat itu.
Taman yang terlihat seperti dalam mimpinya.
Jantungnya berdegup lebih cepat dan langkahnya terhenti melihat sosok yang berdiri membelakanginya. Rambut panjangnya yang hitam legam, baju seragam tanpa mantel apapun serta kaki tanpa alasnya. Berlindung di bawah payung berwarna merah semerah apel.
Apa dia benar-benar nyata?
Rasanya angin dingin berhembus tajam menusuk kulit Kageyama. Hatinya berdesir dan kakinya terasa begitu lemas. Meskipun hanya menatap punggungnya, entah kenapa Kageyama tahu bahwa kepalanya menengadah dan matanya terpejam.
Yuki-onna kah?
Atau dia memang Yuki-hime?
Sang putri salju yang menunggu?
“Ka-kau, sedang apa?” tak tahan, Kageyama bersuara getir pada gadis yang berdiri dua meter di depannya. “Sekarang dingin, kau bisa… demam.”
Gadis itu tak menoleh. “Aku menunggu salju.”
Kageyama tertegun. Denyut jantungnya makin tak beraturan.
“Kenapa menunggunya?”
“Karena aku dan dia sudah berjanji.”
Dia menjawab dengan suara serak dan sendu. Kageyama mengepalkan tangan, entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia merasa tak ingin meninggalkan gadis itu. Yuki-onna atau apalah itu, Kageyama tidak ingin pergi.
“Aku… ada di sini.”
Ajaib. Hal magis tiba-tiba terjadi ketika langit kelam itu perlahan-lahan menangis. Menjatuhkan kapas-kapas putih perlahan. Mengisi kekosongan ranting pohon dengan selimut putih indah itu.
Salju pertama telah datang.
Gadis itu berbalik. Wajahnya masih tertutup payung merah. Hening tanpa kata selain isak tangis yang terdengar.
“Kamu menangis?” tanya Kageyama getir.
Untuk sesaat gadis itu masih bergeming. Kemudian dia menurunkan payung merahnya, menampilkan mata kokoa yang berkaca-kaca. Pipi yang merona seperti bunga sakura dan bibir delima yang kedinginan. Dan syal biru bergaris hitam yang mengalungi lehernya.
“Ya.” jawabnya pelan.
Kageyama membatu. Dia ingat semuanya. Ulang tahunnya yang ketujuh, musim dingin, syal biru polkadot, seorang gadis berwajah sendu, dan janji jari kelingking.
Itu semua bukan mimpi.
Kalau dia tidak terlihat benar-benar seperti manusia, mungkin Kageyama percaya kalau gadis itu benarlah seorang malaikat. Begitu cantik, dia diselimuti salju yang berjatuhan. Menangis tapi tetap tersenyum. Benar-benar cantik.
Dia adalah wujud sebenarnya putri salju.
“Kenapa… setelah selama ini?” tanya Kageyama serak.
“Aku sudah berjanji.”
“Maafkan aku.”
“Aku selalu percaya kamu akan datang. Dan kamu akhirnya datang.”
Mendengar itu Kageyama merasakan sesuatu yang sesak. Dia tak tahu apa namanya tetapi dadanya terasa begitu sesak.
"Kenapa lama sekali?"
Entah siapa yang memintanya, Kageyama kemudian melangkah ke arahnya. Merengkuh gadis yang terlihat rapuh itu erat-erat. Terasa kaku untuk sesaat, tetapi sedetik kemudian dia membalasnya.
Dengan kikuk, Kageyama berkata, “salju pertama datang. Aku ada di sini.”
“Kamu terasa hangat.”
Wajahnya menengadah, menatap salju yang saling berlomba menyentuh mereka. Kageyama menatap gadis dalam rengkuhannya, semakin terlihat cantik, semakin membuat jantungnya berdebar. Boleh dibilang, ini kali pertamanya merasakan hal seperti ini. Ah tidak, mungkin yang kedua sejak mereka bertemu dulu. “Aku merasa sangat merindukanmu.”
Gadis itu tertawa, “mau tahu sesuatu?”
“Mm-hm?”
“Katanya dua orang yang melihat salju pertama bersama, akan bersama untuk waktu yang sangat lama.”
“Kalau begitu, aku akan menemanimu melihat salju pertama selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya lagi.”
“Terima kasih.”
“Tidak, terima kasih, putri salju.”
*
“Tobio, kamu benar-benar nakal!”
Kageyama meringis karena sang ibu mengomelinya sejak pagi. Salahnya sendiri bangun tidur dengan suhu badan yang tinggi. Termometernya menunjuk angka 38 derajat celcius.
“Ini karena kamu kemaren kabur dari rumah! Lihat saja ibu takkan biarkan kamu keluar rumah selama libur musim dingin!”
“I-ibu, u-uhuk!” bahkan Kageyama juga flu. Dia tak ingin terkena omel ibu dan menyia-nyiakan liburan musim dinginnya.
Lagipula, dia sudah berjanji.
“Ibuu, salju akan turun.”
“Tidak. Tidak ada salju untuk anak nakal sepertimu.”
“Ibu aku sehat.”
Tapi sang ibu tak mau dibantah. Dia kembali menyelimuti Kageyama dan menempelkan handuk hangat di dahinya. “kamu harus sembuh dulu. Putri salju akan marah melihatmu bermain dalam kondisi payah seperti ini, Tobio.”
Kageyama ingin merengek tetapi kepalanya terasa pusing. Ia melirik keluar jendela kamarnya yang tertutup rapat, menatap langit yang kosong.
“Tapi putri salju sedang menungguku…”
.
.
.
.
.
.
We meet under the snowfalls and we fall in love
.
.
.
.
.
.
》· · ──────·本·──────· ·《
End
Yuki-onna: legenda hantu wanita yg datang ketika musim dingin saat salju datang
Yogs
Aaakhirnya bisa publish juga oneshot kageyamaa hahhaha.
Efek nonton ulang haikyuu yg ke sejuta kali nih jadi greget pengen bikinin ff buat setter kesayangan gue kageyamaa
Sama sedih juga si karena manga haikyuu tamat kan ya favorit gue loh anjer...
Tapi seneng akhirnya duo kebodohan karasuno, kageyama hinata bersatu lagi anjaayy
Yak, agak ragu sih mau publish jadi kritik saran sok atuhlah dikasih kalo kebetulan kelen baca recehan haluanku disini
Sekian terima cinta dari kageyama
Tobyosan a.ka hana
4 Agustus 2020
🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top