4. The God of The Dead
Aku tidak pulang ke rumah.
Aku kembali ke TKP, menerobos masuk ke dalam garis polisi, menatap genangan darah yang sudah hampir mengering di bawah sana. Aku berjongkok, lantas menyentuh permukaannya.
"Heh, dasar anak haram."
Aku tidak tahu apa alasan Kitaro Tanaka menyeret kerah seragamku keluar kelas. Jelas anak gendut itu ingin merundungku lagi, di mana kali ini dia ingin melakukannya seorang diri tanpa anak-anak pengecut yang selalu membantunya di belakang. Begitu mendorong punggungku pada tembok, dia meludah di atas sepatuku.
"Jawab aku anak haram!"
Aku hanya menunduk, dengan dua tangan terkepal erat.
"Kau tidak mau menjawabku?" Kitaro menjambak rambutku, membuatku terpaksa mendongak menatap wajahnya yang menjijikkan. "Jawab aku atau kubunuh kau sekarang juga."
Aku terkekeh mengejek.
"Kau tertawa?!" teriaknya tepat di depan wajahku.
Aku menatap matanya tajam. "Jika ada satu orang yang harus mati di tempat ini... jelas itu kau."
Aku tertawa.
Tidak ada yang dapat menggantikan rasa bahagia ini. Aku memandang dua telapak tanganku dengan bangga, lalu menciuminya. Ah, tangan ini adalah pembawa kebahagiaanku yang sesungguhnya.
Hei, dia juga yang memberiku hadiah dua tahun yang lalu. Aku ingat betul, saat itu ibu memintaku untuk menyusul ayah di kantor terlebih dahulu. Hari itu kami punya agenda makan bersama keluarga untuk merayakan hari ulang tahunku.
Pulang sekolah, dengan langkah enteng aku berniat untuk masuk menerobos ke dalam pintu ruang kerjanya begitu saja—berhubung ayahku bekerja sebagai seorang manajer di perusahaan yang cukup ternama. Tapi sialnya, saat aku baru membuka pintu sedikit, aku justru melihat ayahku tengah berciuman dengan gadis lain, rekan sekantornya.
Aku berdiri kaku cukup lama tanpa mereka berdua sadari. Kemudian entah bagaimana tiba-tiba ciuman itu berakhir dan ayah pamit untuk pergi ke kamar mandi. Aku bersembunyi dan mengikutinya diam-diam. Dalam perjalanan isi kepalaku hanya dipenuhi oleh senyuman ibu. Itu saja.
Ayah yang memergokiku masuk ke dalam kamar mandi hanya bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Ya, anggap saja itu sejenis kalimat penutup sebelum Dewa Kematian menusukkan cutter di sekujur tubuhnya tanpa ampun. Terimakasih untuk Dewa Kematian.
Aku mendongak, menatap langit dengan senyum sumringah. "Ini adalah alasan kenapa musim semi sangat indah. Karena Dewa Kematian selalu percaya apa itu keadilan. Bukankah begitu, Ayah? Bukankah begitu, Kitaro? Kalian melihatku dari atas sana, 'kan?"
"H-Haru-kun...?"
Suara ini.
Aku segera berdiri, membalikkan diri dan melihat Sakura dengan muka pucat pasi berdiri sejauh dua meter di hadapanku.
"Sakura-chan."
Aku melihat tangan gadis itu mengepal. "Apa benar yang barusan kudengar?"
Oh, dia sudah tahu? Rupanya dia mengikutiku ya?
Baiklah, dia sudah tahu, untuk apa disembunyikan lebih lama.
Aku mengendikkan bahu. "Menurutmu?"
"K-kenapa kau melakukannya?"
Sakura mundur ke belakang saat melihatku berjalan keluar dari garis polisi. Gadis itu gemetaran dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Melakukan apa?"
Sakura menggeleng pelan. Bibir gadis itu bergetar.
Aku mendesah panjang. "Aku hanya melakukan tugasku."
"Kau bilang itu tugas Dewa Kematian!"
Aku menarik salah satu sudut bibirku. Tungkaiku berjalan lebih dekat pada gadis itu. Sakura terpaku di tempat. Saat dua tanganku mencengkeram bahunya, dia hanya bisa memejamkan mata.
"Selalu percaya kepada Dewa, atau kau bisa mewujudkannya." Aku mengecup dahinya pelan. Batinku sempat sekelebat berkata, sesungguhnya sebelum Ibu mengatakannya pun aku sudah tahu. "Aku mewujudkannya, Sakura-chan. Ini keadilan namanya."
Sakura terisak. Gadis itu mulai menangis.
Aku berbisik di telinganya, "Jangan lupa, Dewa juga mampu melakukan semuanya. Bisa saja kau berikutnya kalau sampai kau membocorkan semuanya."
"K-kenapa kau lakukan ini?"
Punggungku menegak. Aku mundur beberapa langkah. Dan dalam sepersekian detik, aku berteriak nyaring sembari merentangkan kedua tanganku, membelah angin musim semi.
"Because I'm Shinigami, the God of the dead!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top