2. The Boy is Dead
Haru Watanabe. Anak laki-laki yang dilahirkan tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya saat udara di Tokyo menghangat setelah dingin yang cukup panjang. Musim semi telah tiba. Musim paling menyenangkan, serta musim yang paling dinanti-nanti. Bagi orangtuaku, musim semi tujuh belas tahun yang lampau adalah musim paling membawa berkah dalam sejarah rumah tangga mereka, yaitu musim di mana aku terlahir.
Ibu pernah bilang sewaktu aku masih kecil bahwa apapun yang kulakukan, aku harus selalu percaya pada Dewa. Ya, anggap saja keluargaku adalah keluarga yang sangat memercayai hal begitu, yang otomatis membuatku percaya juga. Hingga aku menginjak usia lima belas tahun, di mana aku kehilangan sosok seorang ayah.
Ayah meninggal—tewas lebih tepatnya, di saat aku harus merayakan hari ulangtahun. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memeluk ibuku yang menangis pilu. Bagaimana ayah yang berperan penting dalam keluarga kami, harus meninggal secara tidak terhormat. Ayahku ditemukan tewas dengan puluhan luka tusuk di sekujur tubuhnya.
Hari itu aku bahkan tidak menangis. Namun, Ibu mencengkeram kedua bahuku erat. Dan aku menyadari tatapan matanya berubah.
"Selalu percaya kepada Dewa, atau kau bisa mewujudkannya."
Tujuh hingga sepuluh meter lagi, hingga kami tiba di rumah kami masing-masing. Namun sesuatu yang kami lihat, membuat Sakura memekik keras dan refleks memeluk tubuhku erat. Gadis itu terkejut dan ketakutan. Tubuhnya bergetar.
Tepat di hadapan kami, di bawah pohon sakura yang rindang, terbaring mayat seorang anak laki-laki.
"Haru-kun—"
"Ssshhhttt." Aku membelai punggung Sakura, mencoba menenangkannya. Tangan kananku merogoh saku jas dan mengambil ponsel. Aku menghubungi kepolisian, mengatakan bahwa ada mayat di bawah pohon sakura, tepatnya di alamat yang sudah kusebutkan di telepon.
Jalanan di sekitar sini sepi, tidak banyak orang yang tahu. Mungkin hanya orang asli daerah sini yang akan lewat, sisanya akan lebih memilih jalan raya yang penuh sesak dengan orang-orang. Warga yang memiliki rumah di sekitar sini pasti sibuk bekerja dan tidak menyadari ada tubuh mati yang terbaring pucat di bawah pohon sakura. Tubuh bocah gempal.
Mayat Kitaro Tanaka.
"Haru-kun, apakah dia...?" Sakura masih sesenggukan, namun dia berusaha bertanya.
Aku mengangguk pelan. "Mm. Kitaro Tanaka."
"Bagaimana mungkin?" Sakura melepaskan diri dari pelukanku. Bola matanya bergetar ketakutan. "Haru-kun, ini mengerikan. Bagaimana mungkin Kitaro-kun—"
"Sakura-chan," panggilku pelan, menatap matanyanya dalam. Tanganku beringsut mengelap dahinya yang berkeringat, namun hal itu tidak benar-benar mengurangi ketakutannya.
"Ya, Haru-kun?"
"Apa kubilang, hm? Hanya Dewa yang berhak memberikannya ganjaran, bukankah begitu?"
Sakura terdiam menatapku.
Aku tersenyum lebar. "Nah, mulai sekarang kau harus percaya pada Dewa, ya?"
"Dewa yang mana?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top