1. Spring in Tokyo
Prompt 3
"Sepulang sekolah kamu menemukan mayat di dekat pohon sakura atau taman bunga"
.
.
.
Sepasang kakiku baru menapak di kelas dan seorang gadis cantik dengan rambut panjang segera berlari ke arahku bersama banyak pertanyaan yang mungkin sudah bergumul hingga menjadi benang ruwet dalam kepalanya. Beberapa orang menatap ke arah kami, bukan karena penasaran, tapi cukup merasa terganggu dengan suara Sakura, gadis itu, yang terlampau keras.
"Haru-kun, kau dari mana saja? Sensei—" gadis itu berhenti berbicara dengan mulut menganga. Selanjutnya aku dapat mendengar suara tarikan napasnya, "Astaga, Haru-kun!" jemari mungilnya menarik daguku mendekat, otomatis aku menundukkan punggungku agar bisa sejajar dengan wajahnya. Dia menolehkan wajahku ke kiri dan ke kanan.
"Sakura-chan, aku—akh!"
Sakura mendorong daguku kasar yang mau tidak mau membuat luka di sudut bibirku terasa perih. "Kau dipukuli lagi?"
Aku menelan ludah, berusaha untuk tidak menjawabnya. Aku tidak ingin jujur, apalagi berbohong. Dan Sakura bukan tipikal gadis manis lemah lembut yang akan menurutimu. Dia memang spesial.
"Kitaro-kun?" ekspresi mukaku mungkin segera berubah menegang karena tahu-tahu Sakura terkekeh menyedihkan. "Bocah gendut itu benar-benar—astaga aku sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Memangnya tidak ada obyek yang lebih bagus lagi apa? Masa dia harus merundungmu terus-terusan? Kau sudah kurus kerempeng begitu."
Pengetahuan penting nomor satu tentang Sakura Yamamoto adalah kau harus mampu menahan agar telingamu tidak berdengung selama beberapa jam ke depan. Katakan saja masalah perundungan yang dilakukan Kitaro Tanaka sudah tergolong hal yang biasa, bahkan orang-orang di sekolah sudah mutlak tahu. Anak bertubuh gempal yang hobi tidur itu memang suka kelewatan dengan mulutnya. Tapi lihat, Sakura membahasnya selama perjalanan pulang ke rumah. Dia seperti sedang story-telling.
"Aku yang memukulnya lebih dulu."
Sakura mendengus tidak percaya, "Bohong. Pasti dia cari gara-gara denganmu duluan. Coba jujur saja padaku, Haru-kun, aku tahu dia pasti sudah sangat kelewatan sampai-sampai kau memukulnya!"
Pada akhirnya aku mengalah. Aku berhenti melangkah. Sakura yang tidak menyadariku berhenti terus berjalan, sampai gadis itu menoleh dan tidak mendapati sosokku di sebelahnya lagi. Gadis itu membalikkan badan dan berderap kembali ke arahku dengan langkah dongkol. Begitu sampai di hadapanku, dia melipat tangan dan mengangkat dagu, seolah menantangku.
"Dia berkata aku anak haram."
Lagi, aku mendengar tarikan napasnya. Dua bola matanya melotot sempurna sampai-sampai aku takut akan keluar dari tempatnya. "Astaga—"
Aku memotongnya dengan desahan panjang, lantas mendongak menatap langit. Satu tanganku terangkat untuk menghalau sinar matahari yang menyilaukan. "Orang seperti itu... pasti akan dapat ganjaran yang setimpal."
"Ya, pasti, dan aku yang akan memberinnya ganjaran!"
Aku terkekeh saat menatapnya kembali. Aih, dia benar-benar lucu. Mengenal Sakura sejak kecil membuatku tahu bahwa dia ini tukang marah-marah. Tukang marah-marah yang lucu, lebih tepatnya.
"Hanya Dewa yang berhak memberikannya ganjaran," kataku pelan.
"Tahu darimana kau?"
Aku mengangkat bahu cuek. "Aku tidak tahu. Aku hanya percaya."
"Memangnya Dewa apa yang akan memberikannya ganjaran?" Sakura bertanya kembali.
Entah dia ini tidak tahu atau hanya mengetesku. Dua alisku bertaut menjadi satu. "Tentu saja Dewa yang punya tugas itu."
"Kau yakin?"
Bersamaan dengan suara Sakura yang mulai melembut, angin yang entah datang dari mana berembus. Angin yang menerbangkan helaian rambut Sakura. Angin yang membuatku memejamkan mata sembari menarik dua sudut bibirku. Ah... sudah kuduga Dia pasti mendengarku.
"Haru-kun?" Sakura mendorong bahuku, membuat dua mataku kembali terbuka. "Kau menyeraman kalau bertingkah begitu."
"Haru," beoku teringat sesuatu. Aku tersenyum menatap Sakura. "aku lahir di musim semi."
Sakura menatapku kebingungan.
"Sakura," lanjutku, mendorong bahunya sedikit. "bunga yang mekar indah di musim semi."
"Haru-kun? Kau sehat?" Sakura menempelkan punggung tangannya di dahiku. "Dipukul Kitaro apakah membuat otakmu agak em... atau jangan-jangan kepalamu membentur sesuatu?"
Aku mengabaikannya, lantas membalikkan tubuhnya paksa. "Ayo, kita menikmati musim semi Tokyo, Sakura-chan. Bukankah kita dilahirkan untuk menjadi penikmat musim semi?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top