Chapter 08: Bertahan?

“Dasar anak nggak berguna! Kalau bukan karena Hasan, gue nggak bakal mau ngurusin lo!” teriak Erna sambil membanting kain lap ke meja. Matanya melirik tajam ke arah Jisoo yang sedang membungkuk membersihkan sudut lantai. “Lihat, tuh! Kerjaan lo kayak gini aja nggak becus. Lo pikir gue ini pembantu lo, hah?!”

Jisoo tidak menjawab. Tangannya terus menggosok lantai dengan lap basah, meskipun dalam hati dia ingin membalas semua kata-kata tantenya. Jika dia menyahut, amarah Erna akan semakin meledak. Di rumah ini dia tidak memiliki hak untuk membela diri meskipun dia tidak bersalah.

“Gue bener-bener nggak ngerti kenapa Hasan bawa lo ke rumah ini. Udah tau hidup gue susah, masih aja nambahin beban. Lo itu nggak lebih dari sampah, tahu nggak?”

Sekarang dia disebut sampah. Ironis, mengingat dulu tantenya lebih suka menyebutnya anjing liar yang dipungut di rumah tua. Kata-kata itu masih terngiang jelas di kepala Jisoo, seperti luka lama yang terus diungkit-ungkit.

Dua minggu setelah neneknya meninggal, pamannya, Hasan, mengajaknya pulang ke rumah ini. Waktu itu Jisoo baru berumur 12 tahun—masih terlalu kecil untuk memahami sepenuhnya dunia yang kejam ini. Saat langkah pertamanya menginjak lantai rumah ini, sambutan pertama yang dia dengar dari tantenya adalah ejekan tajam, “Anjing liar dibawa pulang ke sini buat apa? Nggak ada gunanya! Biarkan aja dia gelandangan di rumah tua.”

Ucapan tersebut menusuk seperti belati, menggores harga dirinya yang masih rapuh. Dulu Jisoo tidak tahu bagaimana caranya melawan. Dia hanya bisa menunduk sambil menggenggam erat tas kecil yang berisi seluruh harta bendanya. Tapi sekarang dia sudah terbiasa mendengar hinaan tersebut.

Sampah, ya? Dalam hati dia tersenyum, sementara tangannya tetap bekerja menggosok lantai.

Sedangkan di sofa ruang tengah, sepupunya Ema duduk santai dengan ponsel di tangannya. Jari-jarinya sibuk menggulir layar, sementara telinganya jelas mendengar omelan ibunya. Gadis seusia Jisoo itu hanya sesekali melirik ke arahnya dengan ekspresi malas. Di depannya TV menyala dengan volume rendah, menayangkan acara yang tidak benar-benar dia perhatikan.

Jisoo menatap sekilas ke arah Ema, rasa kecewanya semakin dalam. Bagaimana bisa dia yang terus disuruh bekerja keras, sementara Ema hanya duduk santai tanpa satu pun teguran dari ibunya?

“Jangan cuma diem aja di situ, tolol!” Suara Erna kembali memekik, membuat Jisoo tersentak. “Lo itu udah numpang, masih aja malas-malasan! Dasar anak nggak tahu diri!”

Jisoo mengepalkan tangan, berusaha menahan kemarahannya yang sudah di ujung tanduk. Tapi kemudian, Erna melontarkan kalimat yang membuat darahnya mendidih.

“Lo persis kayak nyokap lo. Pemalas, nggak guna, nggak tahu diri!” Mata Erna menyipit penuh kebencian. “Kalau nyokap lo nggak ninggalin lo, gue yakin dia juga bakal nyusahin gue! Lo itu sama aja kayak dia, sampah masyarakat!”

Jisoo menghentikan gerakannya, tubuhnya membeku. Dia sudah tida tahan lagi mendengar omong kosongnya. Dengan napas terengah-engah, Jisoo berdiri dan menatap sang tante dengan mata penuh kemarahan. “Jangan samakan aku sama dia! Aku nggak pernah kenal siapa dia, jadi Tante nggak berhak ngomong begitu!” serunya, suaranya pecah oleh emosi yang tidak lagi bisa dia tahan.

Tidak masalah jika tantenya mencaci maki, menghina, dan menyebutnya sampah masyarakat. Jisoo masih sanggup menerima semua hujatan itu sebagai cemilan setiap hari. Tapi dia tidak tahan jika terus disamakan dengan wanita yang mentelantarkannya.

Jisoo membencinya ibunya lebih dari siapa pun. Berkat wanita itu, dia menerima banyak kebencian dari banyak orang. Bukan hanya saja istri sang paman yang tidak menyukainya, teman-temannya di sekolah juga banyak yang tidak menyukainya—terutama ketika dia masih kecil, banyak anak menyebutnya anak pungut yang tak diinginkan. Mereka sering mengolok-oloknya hanya karena tidak punya ibu dan ayah.

Erna terkejut mendengar Jisoo menyahut, tapi rasa terkejut itu segera digantikan oleh kemarahan yang lebih besar. Dengan geram, dia meraih piring di atas meja tanpa berpikir panjang lalu melemparkannya dengan tenaga penuh ke arah Jisoo.

Piring itu melesat cepat, berputar di udara sebelum menghantam keras dinding tepat di samping kepala Jisoo. Suara hantaman diikuti oleh bunyi pecahan piring yang berhamburan di lantai, memecahkan keheningan dengan gemuruh yang memekakkan telinga.

Jisoo membeku di tempat, matanya melebar seketika dan tubuhnya tegang. Napasnya terasa sesak, sementara dia perlahan menoleh ke dinding di sampingnya, di mana serpihan piring berserakan. Jika dia sedikit terlambat menghindar, pecahan itu pasti akan menghantam kepalanya langsung. Dadanya berdebar kencang, rasa takut bercampur marah mengguncang pikirannya.

“Berani bener lo ngomong kayak gitu ke gue, hah?! Anak nggak tahu diuntung! Mau jadi pembangkang sekarang?!” teriak Erna histeris, tanpa menunjukkan penyesalan sedikitpun setelah melempar piring ke arah keponakannya. Wanita itu maju dengan langkah kasar, tangannya sudah terangkat, siap menyerang Jisoo lagi.

Jisoo mundur dengan langkah cepat. “Aku nggak mau ribut, Tante. Aku cuma bilang apa yang aku rasain,” katanya mencoba meredam situasi meski dadanya terasa sesak.

Tapi Erna tidak peduli. Dia menunjuk ke arah Ema yang masih asyik dengan ponselnya. “Ema! Pegang dia! Jangan kasih dia kabur!”

Ema mendongak cepar dengan ekspresinya terkejut, tapi gadis muda itu langsung patuh. Dia meletakkan ponselnya di sofa dan bangkit, melangkah ke arah Jisoo dengan wajah ragu. “Ma, serius? Kenapa aku—”

“Jangan banyak omong! Pegangin dia sekarang juga!” bentak Erna, membuat putrinya langsung memegang lengan Jisoo dengan canggung.

Jisoo berusaha melawan, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Ema. Namun, kekuatan Ema jauh lebih besar dan tubuhnya yang lebih besar dibanding miliknya memberikan keunggulan. Cengkeramannya begitu kuat, membuat Jisoo kesulitan untuk bergerak. Dia menggeliat dan menendang, tapi sepertinya sia-sia.

Erna yang sudah dipenuhi kemarahan berdiri dengan sapu di tangannya. Wajahnya penuh kebencian dan matanya menyipit tajam ke arah Jisoo. Dia melangkah mendekat, setiap langkahnya menyebabkan suasana kian mencekam. Tanpa ragu, wanita itu mengangkat sapu tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya dengan gerakan cepat ke arah kaki Jisoo.

Jisoo hanya sempat melihat bayangan sapu itu sekilas sebelum hantamannya terasa. Suara sapu yang mengenai kakinya terdengar nyaring, membuat rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia menggertakkan gigi, menahan teriakan yang hampir keluar, sementara matanya berkilat penuh kemarahan dan rasa sakit.

“Lo pikir bisa sok-sokan sama gue, hah?! Ini rumah gue! Gue yang ngatur semuanya!” teriak Erna sambil memukulkan sapu ke kaki Jisoo berulang kali.

Jisoo meringis kesakitan, tubuhnya bergetar saat mencoba menghindari pukulan yang terus datang, meski gerakannya terbatas oleh cengkeraman Ema. ”Tante, berhenti! Kumohon, berhenti!” teriaknya dengan suara serak, campuran antara amarah dan keputusasaan terdengar jelas dalam setiap kata.

Namun, permohonannya seperti angin yang berlalu. Erna tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Wajahnya dipenuhi kemarahan yang membara dan dia terus mengayunkan sapu dengan sekuat tenaga, seolah ingin melampiaskan seluruh kebenciannya. Suara hantaman sapu yang mengenai tubuh Jisoo bergema di ruangan, membuat atmosfer semakin mencekam.

Sementara itu, Ema tetap memegang Jisoo erat-erat. Wajahnya datar, matanya tidak menunjukkan emosi apa pun, seperti dia telah mematikan rasa simpatinya. Dia hanya berdiri di tempat, menjadi penahan agar Jisoo tidak bisa melarikan diri, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Rasa sakit menjalar di seluruh tubuh Jisoo, tapi lebih dari itu, hatinya terasa seperti diremukkan. Tidak hanya oleh pukulan sapu, tapi oleh kenyataan bahwa orang-orang yang seharusnya menjadi pelindungnya justru menjadi sumber luka terbesarnya.

“Berani-beraninya lo nyahut tadi! Anak kayak lo memang nggak tahu diuntung! Udah numpang, ngelunjak pula!” bentak Erna tanpa ampun.

Bibirnya bergetar setiap kali dia menahan rasa sakit yang menjalar di kakinya. “Tante, udah ... aku janji nggak bakal nyahut lagi,” ucapnya pelan.

Erna tetap enggan mendengarkan. Pukulan demi pukulan terus mendarat tanpa henti, seolah dia melampiaskan seluruh kemarahan yang sudah lama tertahan. Dia baru berhenti ketika genggamannya pada sapu mulai melemah. Ayunan terakhir terlalu keras, membuat sapu hampir terlepas dari tangannya.

“Punya keponakan, tapi nggak pernah tahu terima kasih.” Matanya menatap Jisoo yang tergeletak lemas di lantai begitu Ema melepaskan cengkramannya. “Pantesan nyokap lo ninggalin anak kayak lo.”

Ema masih berdiri di tempat, wajahnya terlihat bingung dan tidak nyaman. Gadis itu perlahan melangkah mundur, menjauh dari pusat kekacauan. Ekspresinya menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak ingin terlibat lebih jauh. Dengan gerakan lambat, dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas sofa, seolah mencari alasan untuk menghindar. Jemarinya mulai menggulir layar tanpa arah, tapi matanya sesekali melirik ke arah keributan yang masih berlangsung, menunjukkan bahwa meskipun dia mencoba mengalihkan diri, dia tidak sepenuhnya bisa mengabaikan apa yang terjadi.

Sementara itu, ibunya—Erna—membuang sapu yang sudah bengkok ke lantai dengan kasar, lalu menunjuk Jisoo yang masih terdiam di tempat. “Denger ya, sekarang lo beresin rumah ini sampai kinclong! Gue nggak peduli kaki lo sakit atau apa, itu urusan lo, bukan urusan gue!”

Jisoo mengangguk pelan, air matanya menetes meski dia berusaha keras menyembunyikannya. Tidak ada gunanya membantah. Toh, apa bisa dia menang? Tidak, kan? Apalagi saat ini dia tidak punya pendukung yang bersedia membelanya. Hasan, pamannya yang biasa melindungi dirinya, sedang tidak ada di rumah. Tanpa Hasan, tidak ada yang bisa menghentikan Erna.

“Cepat berdiri, jangan bikin gue lebih muak lagi ngeliat lo!” bentak Erna sambil menunjuk ke lantai yang belum selesai dibersihkan.

Dengan tangan gemetar, Jisoo berusaha bangkit. Rasa nyeri di kakinya semakin terasa ketika dia berdiri, membuat tubuhnya sedikit oleng. Dia segera menggigit bibir demi menahan semua rasa sakit itu dalam diam. Jika dia merengek, tantenya itu tidak akan tinggal diam. Bisa-bisa nanti ada pukulan sapu kedua kalinya

“Gue nggak mau ada setitik debu pun di rumah ini, ngerti?! Lo pikir gue seneng hidup bareng lo? Gue mending tinggal sama kucing liar daripada sama lo!” lanjutnya.

Jisoo hanya mengangguk sekali lagi, lalu mengambil lap basah yang tadi dia tinggalkan di ember. Meski seluruh tubuhnya terasa lelah dan terluka, dia tetap melanjutkan pekerjaan rumahnya. Tangannya bergerak lambat membersihkan lantai, sementara air matanya terus menetes tanpa bisa dia tahan.

Bertahanlah, Jisoo. Bertahanlah! Dia menyakinkan dirinya untuk tetap bertahan. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menunggu sampai ketika dia lulus sekolah dan meninggalkan rumah ini.

┈     ┈     ┈     ⋞ 〈 shilly-shally 〉 ⋟     ┈     ┈     ┈

Dengan langkah pelan, dia berjalan menuju belakang gedung olahraga lama. Jalanannya sedikit berbatu, tapi yang membuatnya semakin sulit melangkah adalah rasa nyeri yang menjalar di kakinya. Bekas pukulan sapu dari tantenya kemarin masih terasa menyakitkan setiap kali dia berjalan, membuatnya harus menyeret sedikit kaki kirinya. Kaki kirinya paling banyak menerima pukulan kemarin dibanding kaki kanan.

Dia sebenarnya bisa saja membolos dengan kondisi seperti ini, tapi mengingat ujian kenaikan kelas yang tinggal beberapa hari lagi, dia akhirnya mengurungkan niat tersebut.

Taeyong yang ternyata sudah ada di sana duluan, langsung berdiri saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman, siap menyambut hangat kedatangan sang “teman rahasia”.

Namun, begitu Jisoo muncul di sebrang jalan, senyuman itu perlahan memudar. Ada yang berbeda kali ini. Langkah Jisoo terlihat berat, seolah ada beban besar yang dia pikul. Kepalanya sedikit menunduk dan cara dia berjalan tampak jauh dari sikap percaya diri yang biasanya.

Dahi Taeyong mengerut dalam. Rasa heran bercampur kekhawatiran mulai muncul di wajahnya. Matanya memperhatikan Jisoo lebih saksama, mencari tanda-tanda yang bisa menjelaskan perubahan itu.

“Jisoo.”

Jisoo mengangkat wajahnya, memaksa senyum tipis yang sama sekali tidak meyakinkan. “Lo udah di sini ternyata?” tanyanya berusaha terdengar biasa saja.

Taeyong tidak menjawab, melainkan langsung berjalan mendekatinya. Saat dia sudah cukup dekat, matanya tertuju pada cara Jisoo menyeret kakinya yang kelihatan kesulitan saat berjalan melewati jalan berbatuan. Dengan gerakan refleks, dia meraih lengan Jisoo untuk membantunya berdiri lebih tegap.

“Lo pincang,” katanya, suaranya rendah dan penuh perhatian. “Kenapa?”

Jisoo tersentak sedikit, tidak menyangka Taeyong akan begitu cepat menyadarinya. Sementara temannya di kelas baru sadar setelah Jisoo mondar-mandir beberapa kali di depan kelas. “Enggak, gue nggak apa-apa. Cuma ...,” dia terdiam sejenak, otaknya berpacu keras mencari alasan, “gue jatuh kemarin. Kepleset di rumah.”

Taeyong menatapnya tajam, seolah berusaha membaca apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak tahu apakah Jisoo  berbohong atau sedang mengatakan kebenarannya. Tapi dia tidak langsung membantah atau menerima jawaban itu. Taeyong menghela napas panjang sambil melirik kakinya. “Lo jatuh sampai segininya? Kelihatan parah, tahu.”

Jisoo mengalihkan pandangannya, merasa canggung. “Ya, gitu deh. Udah biasa kok. Gue baik-baik aja.”

“Lain kali jalan hati-hati,” ujarnya lalu memindahkan lengan ke punggung Jisoo, membantu menopang tubuhnya. “Kalau tahu lo sakit begini, mending jangan ketemuan dulu.”

Meskipun Jisoo ingin menolak, dia tidak punya energi untuk membantah. Dia cukup mengangguk saja dan membiarkan Taeyong membantunya berjalan perlahan ke salah satu sudut yang biasa mereka tempati. Begitu dia duduk, Taeyong tetap berdiri dan menatapnya dengan sorot mata penuh tanya.

“Lo beneran cuma jatuh?” tanyanya lagi, ingin memastikan kebenarannya.

Jisoo mendongak, matanya bertemu dengan mata Taeyong. Sorot perhatian di mata laki-laki itu membuat dadanya terasa berat. Jisoo tahu Taeyong peduli, tapi dia tidak bisa menceritakan kebenarannya. Tidak sekarang.

“Iya, Taeyong,” jawabnya sambil memaksakan senyum. “Gue cuma ceroboh. Lo nggak perlu khawatir.”

Taeyong menghela napas sekali lagi. “Kalau lo bilang begitu, gue nggak maksa. Tapi ...,” dia berhenti sejenak, matanya masih menatapnya, “kalau ada apa-apa, lo bisa minta bantuan gue, oke?”

Jisoo terdiam. Hatinya sedikit tersentuh mendengar kata-katanya, tapi dia hanya mengangguk pelan tanpa berkomentar.

Taeyong akhirnya duduk di sampingnya dan bersandar pada dinding yang sama. Untuk sesaat suasana menjadi hening, hanya terdengar angin yang bertiup pelan di sekitar mereka. Namun, meskipun tidak ada kata yang diucapkan, kehadiran Taeyong di sampingnya membuat Jisoo merasa sedikit lebih tenang.

Setelah beberapa menit, Taeyong akhirnya berbicara lagi, mencoba mencairkan suasana. “Lo tuh, aneh. Jalan pincang masih maksa ke sini.”

Jisoo meliriknya dengan senyum kecil. “Gue nggak mau lo nunggu sendirian. Lagian, gue butuh tempat buat istirahat dari dunia yang bikin pusing.”

“Ya udah. Kalau lo butuh istirahat, gue juga bisa bantu jadi bodyguard lo di sini. Siapa tahu ada ‘hama’ lain yang mau ganggu lo.”

Mendengar jawabannya, Jisoo terkekeh kecil meskipun suara tawanya terdengar lemah. “Gue udah cukup punya satu ‘hama‘. Nggak butuh yang lain.”

Taeyong tersenyum tipis, lalu ikut terkekeh pelan. Dalam keheningan berikutnya, keduanya tertawa kecil dan untuk sesaat, rasa sakit yang Jisoo rasakan seolah memudar. Beban di pikirannya terasa sedikit lebih ringan, seperti angin yang membawa pergi kepedihan meski hanya sementara.

Meskipun Jisoo tahu dia tidak bisa menceritakan semuanya kepada Taeyong—semua luka, semua rahasia yang dia simpan rapat-rapat—dia tetap merasa bersyukur. Kehadiran Taeyong, meskipun hanya untuk duduk bersamanya dan berbagi keheningan yang nyaman, memberikan rasa aman yang jarang dia rasakan. Di sisi laki-laki itu, dunia yang penuh tekanan terasa sedikit lebih mudah untuk dihadapi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top