Chapter 04: Uhh, Stalker? (2)

Tamparan itu terjadi begitu cepat, seperti angin tiba-tiba menyerang tanpa peringatan. Jisoo bahkan tidak sempat mengelak. Tangan yang mengayun ke udara mendarat keras di pipi kanannya. Kepala Jisoo terpaksa menoleh ke samping karena hentakan tamparan tersebut, rasa panas segera menyebar ke kulitnya yang perih.

Mata Jisoo terbelalak dan napasnya tertahan sejenak karena terkejut. Lagi-lagi akhirnya begini, gumamnya, nada suaranya lebih terdengar kesal daripada kecewa. Tidak perlu lagi merasa kecewa, toh dia sering menerima perlakuan tak menyenangkan ini. Dia sudah menduga bahwa sesuatu seperti ini akan terjadi lagi, namun meski begitu, dia tetap terkejut setiap kali menerima semua tamparan tersebut.

Memang perlakuan apa yang mau Jisoo harapkan dari seseorang yang tidak menyukainya? Permintaan maaf? Huh, hal itu hanyalah omong kosong belaka. Bahkan ketika suatu saat Jisoo mati, dia yakin wanita itu tidak akan pernah meminta maaf padanya. Tapi mau sampai kapan dia begini?

Suasana di sekitarnya terasa seperti membeku, hanya suara napasnya dan dengungan samar di telinganya yang terdengar. Jisoo meraba pipinya perlahan, rasa nyeri bekas tamparan tadi mulai terasa berdenyut hingga membuat tubuhnya sedikit gemetar. Dia menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca, campuran antara marah, sakit hati, dan kebencian yang tergambar jelas di wajahnya.

“Apa lihat-lihat, hah? Mau gue colok juga mata lo?” Tidak pernah ada kehalusan dalam nada bicaranya, selalu sama, kata-kata kasar dan nada yang mengancam.

“Udah, Ma, udah. Jangan dilanjutin lagi,” ujar Pak Hasan putus asa, sambil berusaha meredakan kemarahan sang istri yang meledak-ledak dan siap membumihanguskan apa pun di depan matanya, terutama sang keponakan. Tangannya terangkat mencoba menahan langkah sang istri, tapi tubuh besar dan perut buncitnya tidak cukup untuk menghentikan wanita yang sedang dikuasai kemarahan.

Erna mendorong suaminya dengan keras, membuat pria itu mundur beberapa langkah. Meski suaminya adalah pria bertubuh besar, Erna yang terbiasa mendominasi tahu cara menang melawan sang suami. Dia mendekati Jisoo—keponakannya—yang berdiri terpaku di sudut ruangan dengan langkah kaki panjang. Tanpa memberi waktu untuk mengelak, Erna langsung menjambak rambut gadis itu dengan kekuatan yang membabi buta.

“Dasar anak nggak tau diri! Apa susahnya lo nurut omongan gue, hah? Kalau gue nyuruh lo cuci piring, ya cuci piring! Bukannya lo anggurin begitu aja, bangsat!”

Hanya masalah sepele, tapi kemarahan Erna terkesan seakan-akan dia telah melakukan kesalahan fatal yang tak bisa dimaafkan lagi. Apakah dia seorang kriminal sehingga perlu menerima semua perlakuan keji ini?

Tarikan rambut Erna begitu kencang hingga kepala Jisoo terasa nyeri dan berdenyut-denyut sakit. Jisoo menjerit kesakitan, tangannya mencengkeram tangan Erna berusaha melepaskan cengkeraman mematikan sang tante. “Sumpah! Demi Tuhan, Tante, piringnya udah aku cuci semua!”

“Halah, omong kosong! Kalau udah lo cuci, terus itu apa dua piring di meja, hah?” Seperti biasa, Erna tak mau tahu soal kebenaran. Apa pun pembelaan yang dia lontarkan, sang tante tidak akan pernah mau menerima semua kebenaran tersebut. Baginya, Jisoo salah dan harus diberi pelajaran karena dianggap tidak taat aturan.

“Piring itu punya Ema, Tante.” Benar, dua piring di meja dapur milik Ema—saudara sepupunya, anak perempuan Erna dan Hasan. Jisoo sudah menegur Ema supaya mencuci piringnya sehabis makan, tapi rupanya anak itu tidak mengindahkan tegurannya dan akibatnya, Jisoo yang disalahkan.

Memang pernah Ema mengindahkan tegurannya? Bukankah dia sama saja seperti ibunya?

“Nggak usah bawa-bawa anak gue, lo! Emang lo aja yang pemalas, maunya hidup enak doang, sama kayak nyokap lo yang nggak tahu malu itu!”

Hinaan itu terasa seperti pukulan kedua, lebih menyakitkan daripada tarikan rambut di kepala. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh, mengalir tanpa suara di pipinya. Jisoo tidak mampu menjawab lagi, hanya berdiri di sana dan menunduk dengan tubuh yang sedikit gemetar.

Kenapa tantenya selalu membawa-bawa ibunya? Apakah menurutnya dengan membawa nama ibunya, dia akan sakit hati? Tidak, tidak pernah. Daripada menyebutnya sakit hati, Jisoo lebih merasa benci—benci ketika dia disamakan dengan seorang wanita yang semestinya menjadi ibu untuknya, tapi justru mentelantarkannya. Kebencian itu semakin lama, semakin mengakar kuat di dalam dirinya setiap kali Erna membawa ibunya dalam masalahnya.

Jisoo benci ibunya lebih dari siapa pun, meskipun dia tidak pernah mengenal wanita seperti apa sosok yang dipanggil sebagai ibunya. Dia hanya mengenal wanita itu melalui cerita orang-orang di sekitarnya dan sebuah foto yang sudah lama dia buang. Jisoo bahkan tidak tahu, apakah wanita itu masih hidup atau sudah mati.

Hasan yang menyaksikan semua, kembali mencoba mendekat untuk menengahi sebelum segalanya berubah semakin kacau. “Udah, Ma. Jangan gitu sama keponakan. Kasihan dia.”

“Keponakan kayak dia tuh nggak perlu dikasihani, Pa! Salah kamu juga, mau-maunya urus anak pelacur ini. Padahal, paling benar dia tinggal di sana, di rumah tua itu!” bentak Erna tajam seperti pisau yang menusuk tanpa ampun.

Hasan terpaku sesaat, matanya membelalak mendengar ucapan barusan. Napasnya tertahan dan wajahnya yang biasanya lembut kini berubah gelap. Ucapan istrinya telah melewati batas—jauh melebihi apa yang bisa dia toleransi. Bagaimanapun pelacur yang dimaksud adalah saudara perempuannya sendiri, ibu Jisoo.

Tangannya mengepal erat, menahan dorongan untuk meledak. Tapi akhirnya, setelah sekian lama diam, amarahnya tidak bisa lagi ditahan.

“Mama, jaga mulutmu!” Suara Hasan menggelegar memenuhi ruangan kecil itu, membuat Erna seketika terdiam. “Jisoo itu keponakanku! Darah daging keluargaku! Dan sudah sewajibnya aku merawatnya kalau ibunya tidak bisa!”

Itu adalah keputusan Hasan mengambil Jisoo sebagai bagian dari keluarganya, semenjak ibunya—nenek Jisoo yang sudah merawatnya sejak bayi—meninggal dunia tujuh tahun lalu. Namun sayangnya, keputusannya tidak pernah disambut hangat oleh istrinya. Sulit bagi Hasan untuk memahami di balik semua tindakan keras istrinya, yang menghina dan menyudutkan keponakannya.

Jisoo bukan anak nakal, malah dibandingkan sama anak mereka yang pemalas, Jisoo terasa lebih baik dari Ema karena selain pintar, dia juga rajin. Kenapa istrinya tidak menyukai keponakannya? Apa benar hanya gara-gara ibu Jisoo?

Hasan menghela napas panjang, mencoba meredakan amarahnya yang masih menggelegak. Dia lalu menoleh ke arah Jisoo, yang berdiri terpaku di sudut ruangan dengan wajah pucat dan air mata yang mengalir di pipinya. Pandangan Hasan melunak.

“Pergi ke kamar kamu, Nak. Biar Om yang urus masalah di sini,” ujarnya, menyuruhnya untuk segera pergi dan mengobati luka di pipinya akibat tamparan istrinya tadi.

Erna mendengus kecil, tapi kali ini tidak berkomentar. Dia juga tidak mencoba menahan keponakannya pergi ketika suaminya sedang memperhatikannya. “Bela aja terus keponakanmu,” gumamnya, sambil mendecak keras.

Setelah Hasan menyuruhnya pergi, Jisoo berlari masuk ke kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tapi dia tidak berencana tinggal di dalam kamar saja untuk melampiaskan kesedihan dan kemarahannya. Seperti biasanya, dia akan diam-diam pergi selama pamannya, Hasan, menahan bibinya. Dia langsung membuka lemari begitu tiba di dalam kamarnya, mengambil hoodie oversize yang biasa dia kenakan, lalu menyelinap keluar melalui jendela tanpa suara.

Jisoo berjalan cepat menjauh dari kediaman sang paman, rumah yang semakin terasa seperti penjara baginya. Napasnya sedikit berat, tapi langkahnya tidak ragu sedikitpun. Tujuannya sudah jelas ke mana, rumah neneknya. Sebuah tempat yang sudah bertahun-tahun dibiarkan kosong, ditinggalkan oleh penghuninya yang telah lama pergi.

Dulu Jisoo berpikir ketika dia meninggalkan rumah neneknya, ketika sang paman menawarkan tempat tinggal padanya, kehidupannya akan tetap sama seperti sedia kala ketika neneknya masih hidup. Namun ternyata, semua itu hanyalah angan-angannya belaka sebagai anak ingusan yang belum mengetahui bahwa sebenarnya ada “monster” yang tidak menyukainya tinggal di dalam rumah barunya.

Dia menyesali keputusannya meninggalkan rumah sang nenek dan memilih tinggal bersama keluarga pamannya. Andai saja dia mengetahui kebenaran itu lebih cepat, maka dia akan menolak tawaran pamannya untuk tinggal bersama. Sekarang dia tidak punya pilihan selain “terpaksa” tinggal di rumah itu, sampai ketika dia dewasa nanti, dia akan meninggalkan rumah pamannya dan pergi jauh dari kota ini.

Ya, Jisoo tidak bisa lagi terus-menerus tinggal di satu tempat bersama seseorang yang terus meninggalkan luka padanya. Dia harus sesegera mungkin meninggalkan rumah itu, mau bagaimanapun caranya.

┈     ┈     ┈     ⋞ 〈 shilly-shally 〉 ⋟     ┈     ┈     ┈

Pergi!” Jisoo membentak, suaranya melengking keras. Dia berdiri dengan napas sedikit tak beraturan akibat tangisannya tadi, sementara matanya menatap tajam ke arah Taeyong yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.

Di antara semua tempat, mengapa orang ini muncul di sini? Apa dia belum puas setelah merebut tempatnya di sekolah, lalu sekarang rumah neneknya? Kurang ajar!

Kenyataan bahwa Taeyong berada di sini, di depannya, membuat darahnya mendidih. Jisoo percaya laki-laki itu tidak sedang tersesat. Mana mungkin seseorang seperti Taeyong mudah tersesat di tengah jalan. Memangnya dia anak-anak? Bukan, kan? Maka hanya ada satu jawaban di antara kebingungannya.

Dia mengikutinya. Tapi kenapa, di antara banyaknya orang dia justru memilih mengikutinya?

Laki-laki itu hanya berdiri diam di sebrangnya, tidak mengatakan apa pun sejak kemunculannya. Ekspresinya sulit ditebak, tapi itu justru semakin membuat Jisoo jengkel melihatnya. Tanpa banyak berpikir, Jisoo melangkah maju dan mendorong bahunya dengan kuat, berusaha menyingkirkan Taeyong dari sisinya.

“Pergi lo, jangan ganggu gue!” Suaranya sedikit bergetar—entah karena marah atau karena emosi lain.

Taeyong tetap diam, tubuhnya tidak bergerak banyak meskipun terus didorong-dorong seperti benda mati. Dia menatap Jisoo dengan mata yang lebih serius sekarang, seolah sedang mencoba membaca apa yang sebenarnya dirasakan gadis itu.

“Denger nggak? Pergi, jangan ganggu gue!” Alih-alih menurut, Taeyong tetap berdiri kokoh di tempatnya, membuat Jisoo semakin marah. “Ya Tuhan, lo tuh budek atau pura-pura budek, sih!?”

Taeyong tetap bergeming, mengabaikan semua kata-kata Jisoo yang terus mencoba mengusirnya.

Sikap diamnya membuat darah Jisoo semakin mendidih. Dia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Harus dengan cara apa lagi untuk mengusirnya? Jisoo tidak mau menjadi orang pertama yang meninggalkan tempat ini. Meskipun rumah ini kosong dan tak seindah dulu, rumah ini tetaplah miliknya. Taeyong tidak punya hak untuk mengusirnya apalagi mengakui rumah ini sebagai miliknya

“Kenapa lo di sini, hah?” Matanya yang berkaca-kaca menatap Taeyong tajam. “Lo nggak punya tempat lain buat ngelantur, ya? Ngapain lo ngikutin gue?”

“Oh, ketahuan, ya?” jawabnya dengan ekspresi polos yang dibuat-buat, sambil menyandarkan tubuhnya dengan santai ke dinding di belakangnya. “Nggak salah sih, gue emang ngikutin lo tadi.”

Jisoo memelototinya. “Ngapain lo ngikutin gue? Penguntit lo?”

Taeyong terkekeh pelan, seringai kecil kini menghiasi wajahnya. “Penguntit? Nggak gitu juga kali. Gue cuma penasaran waktu lihat lo jalan sendiri malam-malam ke tempat kayak begini. Jadi, ya, gue pikir mungkin lo lagi butuh bantuan.”

“Bantuan?” Jisoo mendengus keras. “Yang gue butuhin sekarang cuma lo pergi dan nggak usah ganggu gue lagi. Titik.”

Taeyong bergeming. “Lo tahu, nggak? Semakin lo menyuruh gue pergi, semakin gue nggak mau pergi.”

Kata-kata itu seperti bensin yang dituangkan ke dalam api. Benar-benar kurang ajar! Jisoo semakin erat mengepalkan kedua tangannya, gemetar karena marah. “Lo denger nggak, sih?! Gue nggak mau lihat lo di sini! Pergi! Ini tempat gue, bukan tempat lo!”

Taeyong sedikit mengangkat bahu, seolah tidak terpengaruh oleh ledakan emosinya. Suasana di antara mereka terasa semakin tegang, seperti kabel yang siap putus kapan saja.

“Kalau ini tempat lo, kenapa nggak ada tanda namanya? Gue nggak liat plang ‘milik Jisoo’ di mana-mana,” balasnya dengan santai, tapi matanya menunjukkan keseriusan yang tidak bisa diabaikan.

“Terserah lo, deh!” seru Jisoo akhirnya, suaranya masih terdengar tajam namun juga terdengar lelah. Dia menghela napas panjang, kedua bahunya jatuh menandakan bahwa dia sudah tidak ingin berdebat lagi. Rasa kesalnya masih menggelegak, tapi dia tahu beradu argumen dengan Taeyong hanya akan membuang-buang energi.

Untuk sekarang Jisoo akan mundur dan mengabaikan keberadaan laki-laki ini. Dia pasti akan pergi sendiri, kan?

Seperti biasa, Taeyong tetap bergeming dan berdiri dengan postur santai. Sudut bibirnya terangkat sedikit, dia merasa puas karena dua kali menang dari Jisoo. Akan tetapi, di balik senyumnya, tatapan matanya tetap fokus memperhatikan perubahan emosi Jisoo dan luka di wajahnya.

Menyadari ke arah mana tatapan mata Taeyong, Jisoo langsung memalingkan muka. Dia kemudian memilih berjalan menjauh, menuju sudut ruangan yang biasa dia gunakan untuk duduk. Jisoo duduk di lantai yang berdebu, lalu bersandar pada dinding dingin di belakangnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela rumah yang retak, berusaha mengabaikan kehadiran Taeyong.

Siapa yang menyakitinya? Apa yang menyebabkan pipinya terluka? Kesalahan apa yang telah dia perbuat hingga mendapatkan luka seperti itu? Ada banyak hal yang ingin Taeyong tanyakan pada Jisoo. Namun, dia memilih untuk tetap diam dan mengamati. Dia juga tidak berencana untuk pergi meninggalkan gadis itu sendirian di sini. Sebaliknya, dia berjalan ke arah lain, menjauh dari Jisoo walaupun mereka masih berada di dalam ruangan yang sama. Taeyong menyandarkan tubuhnya kembali ke dinding di sisi yang berlawanan, sementara matanya terus mengamati Jisoo dari jauh.

Waktu berjalan lambat di antara mereka dan ketegangan di udara mulai mereda, kini digantikan oleh keheningan yang terasa berat. Walau tidak ada kata-kata yang diucapkan, keberadaan mereka di ruangan yang sama terasa seperti medan perang kecil—tidak ada pemenang, tapi tidak ada yang kalah juga.

Namun, baik Jisoo maupun Taeyong belum menyadari bahwa moment ini adalah awal mula terbentuknya persahabatan kecil di antara mereka.

Kemarin aslinya update, tapi nggak ada notif jd aku unpub 💁🏻‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top