Chapter 03: Uhh, stalker?
Sudah tiga hari berlalu, Taeyong tidak pernah melihat gadis bernama Jisoo itu datang ke gedung lama olahraga. Biasanya dia muncul waktu jam istirahat, tapi beberapa hari ini gadis itu tidak pernah menunjukkan wajah masamnya yang khas. Karena penasaran, diam-diam Taeyong berkeliaran di sekitar kelas Jisoo dan ruang OSIS, berharap mereka bertemu sehingga dia bisa menggodanya lagi. Sayangnya, dia tidak pernah bertemu Jisoo selama tiga hari ini.
Taeyong menyandarkan tubuhnya ke dinding yang berlumut, matanya menatap kosong langit yang tampak mendung siang ini. “Hm, apa jangan-jangan dia nggak mau ke sini lagi, ya?” pikirnya, rasa penasaran mencuat di benaknya.
Bukankah aneh kalau dia tidak muncul? Taeyong mengalihkan perhatiannya ke sebrang jalan yamg kosong. Biasanya, gadis itu muncul di jam-jam seperti ini—walaupun setiap kali mereka bertemu, suasananya selalu diwarnai oleh ketegangan.
Meski mereka terlihat seperti musuh bebuyutan dan meski gadis itu jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan padanya, dia tidak pernah menyerah untuk kembali datang ke sini. Jisoo selalu datang pada hari esoknya, meski tahu Taeyong ada di sana. Gadis seperti Jisoo tidak kenal pantang menyerah dan itulah sebabnya, Taeyong menyukainya.
Pikirannya melayang pada setiap moment, ketika mereka berdua dan terlibat perdebatan sengit. Gadis itu dengan mata menyala dan nada penuh pembenaran, bersikeras bahwa dia yang menemukan tempat ini duluan. Taeyong, tentu saja, tidak mau kalah, membalas dengan argumen sarkastik yang hanya membuat gadis itu semakin marah.
Taeyong tertawa kecil mengingat ekspresi kesalnya. Bagaimana gadis itu mengepalkan tangan seperti siap memukul, tapi akhirnya hanya mendengus dan melontarkan kata-kata tajam sebelum berbalik pergi. Dia tidak serius membalas kata-katanya dengan argumen sarkastik, niatnya hanyalah untuk menggodanya saja.
Jarang-jarang ada murid cewek yang mau berdebat dengannya di sekolah, apalagi dengan api amarah menyala-nyala seperti Jisoo. Selama ini, interaksinya dengan murid cewek biasanya berjalan satu arah—mereka mendekatinya dengan tujuan tertentu.
Kebanyakan dari mereka hanya ingin menarik perhatiannya, mencari kesempatan untuk mengajaknya berkencan atau sekadar menyombongkan diri di depan teman-temannya. Bagi Taeyong, mereka semua terasa sama—terlalu manis, terlalu mudah ditebak, dan terlalu sibuk mengagumi reputasinya yang sebenarnya tidak dia pedulikan.
Alih-alih takut pada reputasinya yang terkenal buruk, mereka justru menyukai itu dan anehnya, saling berebut mendapatkannya. Pernah terjadi beberapa kasus, di mana para murid cewek berantem karena saling memperebutkan dirinya. Padahal, dia tidak mengenal siapa pun di antara mereka yang merebutkannya.
Keributan di sekitarnya kedengarannya memang aneh, tapi begitulah apa adanya. Lalu di tengah keanehan itu, sosok Jisoo muncul dan menarik perhatiannya dengan sikapnya yang berubah-ubah itu. Baginya, Jisoo jauh lebih menarik daripada senyum manis atau ucapan manja yang sering dia dengar dari gadis-gadis lain di sekolah.
Suasana hari terasa sama seperti kemarin. Dia sudah menunggu di sini selama beberapa menit, tapi tetap saja tidak ada langkah kaki mendekat dan tidak ada suara gerutu yang khas dari gadis itu. Taeyong melirik jam di pergelangan tangannya, merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Kenapa dia nggak muncul lagi? pikirnya, sedikit gelisah tanpa alasan yang jelas.
Semenjak mengetahui ada orang lain selain dirinya yang datang ke gedung olahraga lama, Taeyong merasa tempat ini mulai terasa berbeda. Hanya saja, belakangan ini tempat ini terasa sepi. Biasanya dia menanggapi suasana itu dengan tenang dan tidak terusik sedikitpun. Tapi semenjak hari itu—hari di mana pertemuan mereka terjadi—kesunyian di tempat ini mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang anehnya membuat tempat ini terasa lebih hidup.
Kehadiran gadis itu.
Sejak saat itu, Taeyong merasa seperti memiliki seorang “teman berbagi tempat rahasia”. Meski pada dasarnya, gadis itu bukanlah temannya.
“Huh? Teman? Dia aja benci banget sama gue,” gumamnya, sedikit mencibir diri sendiri sambil menatap lurus ke arah langit. “Jadi, kenapa dia enggak mau datang ke sini lagi?”
Bayangan terakhir kali mereka bertemu terlintas kembali di pikirannya. Waktu itu kebetulan mereka berpapasan di jalan kecil menuju gedung olahraga. Taeyong ingat dengan jelas bagaimana Jisoo langsung menghentikan langkahnya begitu melihatnya. Tanpa banyak bicara, dia langsung memutar tubuh dengan cepat, seolah Taeyong adalah penyakit menular yang harus dihindari.
Sebelum pergi, dia tidak lupa melontarkan serangan verbal andalannya dengan nada pedas. Dengan tatapan yang bisa menusuk hati, dia memelototi Taeyong dan menggerutu, “Berengsek! Si Hama datang lagi.”
Taeyong hanya bisa berdiri, tertegun. Setiap kali gadis itu memaki dan menyebutnya hama, dia tidak tahu harus membalas apa. Makian ditambah ekspresi galak gadis itu yang seperti ingin melemparnya ke jurang, membuatnya terhenyak seketika. Biasanya dia selalu punya respons cepat—entah itu balasan sarkastik atau senyuman mengejek. Tapi kala itu, dia hanya berdiri membatu sambil menyaksikan Jisoo berjalan cepat menjauh tanpa menoleh.
Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyum. Senyuman kecil muncul, campuran antara geli dan rasa penasaran. Wajah masam gadis itu, mata coklatnya yang menyala-nyala, kata-katanya yang kasar dan tajam, terus berputar di kepalanya. Semakin lama dia memikirkan gadis itu, semakin dalam pula dia terhanyut dalam lamunannya.
Menyadari betapa konyol isi kepalanya saat ini. Taeyong menggeleng cepat, bergegas mengusir bayangan Jisoo dari pikirannya. Apa sih, yang gue pikiran?! Walaupun dia mencoba untuk mengelak fakta bahwa dia sedang membayangkan sosok gadis itu, tapi usahanya sia-sia. Semakin dia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Jisoo terbayang di kepalanya.
Taeyong mengacak rambutnya frustrasi, berharap tindakan itu bisa segera menghapus bayangan Jisoo dari pikirannya. Rese banget! Kenapa dia segitu nyangkut di otak gue, sih?! Dia berusaha menertawakan dirinya sendiri, tapi tawa itu hanya keluar sebagai desahan lelah.
┈ ┈ ┈ ⋞ 〈 shilly shally 〉 ⋟ ┈ ┈ ┈
“Sabar, dong! Gue baru mau jalan, habis nganterin si Bujang pulang ke rumahnya. Yaelah, pakai nanya segala siapa!” ujar Taeyong dengan nada setengah jengkel sambil melongok ke trotoar. “Teman kita, si Dowon. Emang siapa lagi si Bujang kalau bukan Dowon?”
Dia mendengar Bobby tertawa kecil di ujung telepon. “Iya, iya, gue cuma mau konfirmasi. Lagian, siapa suruh lo ngasih dia julukan Bujang? Orang baru denger aja udah bingung.”
“Salah gue, ya? Bujang itu julukan yang pas banget buat dia. Lagian, lo juga sering manggil dia gitu.”
“Iya, tapi gue nggak bilang ke orang-orang. Bedain, lah,” balas Bobby cepat, diiringi suara gumaman entah apa di belakangnya. “Eh, tapi lo lama banget, sih? Gue udah nunggu dari tadi di tempat biasa.”
“Santai, lah. Gue juga capek, tahu. Lo pikir gue supir apa?” Taeyong menghela napas sesaat, sebelum memutar bola matanya dengan ekspresi jengkel bercampur malas. Tangannya meraih helm yang tergantung di setang motor, lalu memasangnya dengan gerakan santai dan sedikit tergesa.
“Oke, oke. Cepet dikit, Bro. Gue ada gosip baru buat lo!”
“Gosip apaan?” tanyanya tidak begitu ingin tahu, tapi dia tahu Bobby tidak akan berhenti kalau dia tidak memberi respons.
“Nggak seru kalau gue kasih tahu di telepon. Mending ketemuan langsung aja,” jawab Bobby penuh misteri, sebelum tiba-tiba menutup telepon tanpa memberi kesempatan Taeyong untuk bertanya lebih lanjut.
“Hah? Goblok, matiin telpon pakai nggak bilang-bilang!” Taeyong menggerutu heran sambil menatap ponselnya yang kini hanya menampilkan layar gelap. Dasar orang aneh! Dia mendengus jengkel dengan ekspresi bingung bercampur kesal. Bobby memang selalu punya gaya dramatis yang menyebalkan, terutama kalau sudah menyangkut gosip.
Bobby dan gosip itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Temannya itu selain iseng, dia juga hobi mengumpulkan gosip dari berbagai sumber. Yup! Persis seperti anak cewek yang hobinya menggosip. Kalau ditanyain, kenapa sebagai cowok Bobby suka sama gosip, jawabannya pasti, “Gara-gara kakak gue. Gue ketularan mereka.”
Betul sekali! Bobby adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga kakaknya perempuan sehingga menjadikannya satu-satunya anak laki-laki di keluarga itu. Dengan ayahnya yang bekerja di luar kota dan jarang pulang, Bobby sering merasa seperti “satu-satunya pria” di rumah, meski status itu lebih sering jadi bahan lelucon ketimbang kebanggaan.
Taeyong menyimpan ponselnya ke dalam saku, lalu naik dengan santai ke atas motornya. Dia sebenarnya tidak terlalu penasaran dengan gosip yang disebut-sebut Bobby, tapi dia tahu satu hal: gosip dari Bobby hampir selalu menarik. Bobby bukan tipe orang yang membuang waktu untuk berita basi; dia punya caranya sendiri untuk mendapatkan gosip terpanas langsung dari “sumber terpercaya” miliknya, entah itu teman, kakak kelas, atau bahkan guru yang lengah.
Kali ini gosip apa lagi? Terakhir kali dia membagikan gosip tentang seorang guru yang berselingkuh dengan seorang murid SMA. Guru itu sekarang sudah dikeluarkan dan murid yang menjadi selingkuhan sang guru pindah sekolah. Berita itu sempat heboh, bahkan sampai di luar sekolah, dan menjadi omongan setiap hari di lingkungan sekolah.
Taeyong menyalakan mesin motor, bersiap untuk pergi meninggalkan halaman depan rumah Dowoon. Motor itu bergetar pelan memecah keheningan sore hari dengan suara knalpot seraknya. Udara dingin mulai terasa menusuk membawa aroma khas aspal yang memanas setelah diterpa matahari sepanjang hari. Matahari perlahan tenggelam di balik deretan bangunan rumah, meninggalkan semburat oranye dan merah muda yang membentang di langit. Angin sore menggoyangkan ranting pohon, beberapa helai daun kering jatuh melayang dan mendarat pelan di jalanan beraspal.
Mata Taeyong melirik ke arah jalan yang mulai disinari lampu-lampu kota. Cahaya lampu memantul di atas jalanan beraspal. Taeyong menarik napas panjang, udara dingin sore itu seketika mengisi paru-parunya, membuat pikirannya terasa lebih ringan. Lalu dengan satu tarikan, motornya meluncur mulus ke jalanan lenggang menuju lokasi berikutnya—tempat tongkorongan yang biasa dia datangi bersama teman-temannya sepulang sekolah atau saat malam hari. Lokasinya tidak terlalu jauh, jadi Taeyong memilih untuk mengendarai motornya dengan santai, membiarkan udara sore yang sejuk menerpa wajahnya melalui celah helm.
Jalanan kompleks di sekitarnya tidak terlalu ramai, hanya sesekali ada mobil dan motor yang melintas. Taeyong menikmati keheningan di sekitarnya, tetapi pikirannya tiba-tiba berputar pada seseorang yang tiga hari tidak pernah menunjukkan hidung batangnya di gedung lama olahraga.
Yeah, daripada tertarik mendengar gosip milik Bobby, sebetulnya dia lebih tertarik mendengar alasan gadis bernama Jisoo tidak pernah datang lagi ke tempat rahasia milik mereka.
Saat mendekati persimpangan jalan, atensinya secara tak sengaja menangkap siluet seorang gadis yang sedang berjalan sendirian di trotoar jalan. Taeyong hampir tidak memperhatikan sosoknya, tapi ada sesuatu yang terasa familier dari punggung gadis itu.
Taeyong sengaja memperlambat motornya, hanya ingin memastikan sesuatu. Meski tudung hoodie oversize menutupi sebagian besar kepalanya, tapi wajahnya yang sekilas terlihat membuat Taeyong langsung mengenali siapa dia.
“Jadi, rumahnya di sekitar sini,” gumamnya, sambil memperhatikan kawasan perumahan di sekitar dengan hati-hati. Jika gadis itu tinggal di kompleks sekitar sini, maka berarti, dia satu kompleks dengan Dowoon.
Melihat Jisoo muncul di tempat tak terduga, sebuah ide konyol pun muncul di kepalanya. Taeyong semakin sengaja melambatkan laju motornya demi membuntuti Jisoo dari jarak aman. Suara mesin motornya yang serak terdengar pelan di jalanan yang sepi. Dia memiringkan kepala sedikit, memperhatikan bagaimana Jisoo menyelipkan tangannya ke saku hoodie. Dan langkah gadis itu tidak tergesa-gesa, hampir seperti sedang larut dalam pikirannya sendiri.
Dia terus membuntuti Jisoo dalam diam, matanya tidak pernah lepas dari sosoknya. Ketika Jisoo berbelok ke sebuah gang kecil, Taeyong memperlambat motornya hingga nyaris berhenti. Dia melihat Jisoo berhenti di depan sebuah gerbang tua yang berkarat.
Rumah kosong? pikir Taeyong dengan alis berkerut heran. Ngapain dia ke situ? Taeyong segera mematikan mesin motornya dari kejauhan, tidak ingin suara bisingnya membuat gadis itu menyadari keberadaannya. Lalu dengan hati-hati, dia memarkirkan motornya di tepi jalan di bawah bayangan pohon besar.
“Apa hobinya tuh masuk rumah kosong, ya?” gumamnya lagi, masih merasa heran dengan “keanehan” gadis itu yang masuk ke rumah kosong sendirian. Mata Taeyong menyipit sesaat, menatap rumah tua di depannya penuh rasa ingin tahu. Rumah itu jelas tidak berpenghuni—cat temboknya mengelupas, daun pintunya tampak kusam, dan ilalang liar di halamannya hampir menutupi jalan setapak. Tempat itu terlihat seperti sesuatu dari film horor, tapi Jisoo masuk ke sana tanpa ragu sedikit pun.
“Kenapa dia kelihatan santai banget? Itu rumah kosong, loh,” pikirnya, semakin bingung melihat tingkah laku Jisoo yang tak kenal takut. Rasa penasarannya terus memuncak, seperti ada dorongan yang memintanya untuk mencari tahu lebih jauh.
Taeyong mengalihkan mata ke jalan di sekitar. Gang kecil itu hampir tidak ada orang, hanya diterangi oleh lampu jalan yang cahayanya mulai redup. Suara jangkrik terdengar samar dan angin malam menggoyangkan ilalang di halaman rumah itu, menciptakan suasana yang semakin sunyi.
Suasananya agak serem apalagi kalau sudah menjelang malam hari, pasti tambah serem. Pikiran Taeyong yang harusnya tidak membayangkan hal-hal menyeramkan, tetap saja berakhir ke sana. Dia tidak bisa menghentikan pikirannya sendiri, mengingat bagaimana penampakkan rumah tua ini. Untung saja dia bukan Baekho, punya badan gede tapi takut sama hal-hal menyeramkan—sama serangga saja dia takut banget, apalagi sama setan. Taeyong lumayan berani—kalau dia tidak berani, orang-orang tidak mungkin memanggilnya si tukang pukul. Tapi beda cerita kalau ketemu langsung sama setan, dia pasti juga akan lari ketakutan. Memang siapa yang mau bertemu langsung sama setan kalau bukan orang gila?
Setelah beberapa saat berdiri diam, Taeyong menghela napas panjang. “Ya udahlah, gue liat aja,” gumamnya akhirnya, menyerah pada rasa ingin tahunya. Dia meletakkan helm di atas motor dengan hati-hati, sebelum melangkah mendekati gerbang rumah itu.
Setiap langkahnya pelan dan hati-hati, memastikan tidak ada suara berisik yang bisa menarik perhatian Jisoo. Gerbang rumah itu masih terbuka sedikit, cukup untuk Taeyong menyelinap masuk tanpa perlu menyentuhnya. Begitu berada di dalam halaman, dia berhenti sejenak, matanya langsung memindai sekeliling. Ilalang yang menjulang tinggi menciptakan bayangan aneh di bawah sinar rembulan, menambah kesan misterius pada tempat tersebut. Jendela rumah yang gelap membuatnya sulit menebak di mana Jisoo berada.
“Dia ngapain ke tempat kayak gini, sih?” Rasa penasaran itu terus menganggunya. Taeyong melangkah lebih dekat ke pintu rumah yang terbuka. Langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara kecil dari dalam. Dia langsung menahan napas, sedang telinganya dengan tajam menangkap setiap suara yang didengar.
Dia tidak yakin apakah harus masuk atau menunggu di luar saja, tapi rasa penasaran yang membakar dirinya membuatnya kemudian memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Dengan hati-hati, dia menyentuh daun pintu yang terbuka sedikit, mendorongnya pelan hingga timbul suara berderit. Suara itu terdengar nyaring di tengah kesunyian malam, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Taeyong berhenti sejenak sambil menahan napas. Deritan suara tadi terdengar seperti jeritan kecil yang menggema di dalam rumah kosong. Setelah memastikan deritan suara pintu tadi tidak tertangkap oleh indra pendengar Jisoo, dia lalu melangkah masuk dengan hati-hati dan memastikan tidak menginjak sesuatu yang bisa menimbulkan suara berisik.
Udara di dalam terasa lebih dingin, lembap, dan beraroma kayu tua yang mulai lapuk. Ruangan di depannya gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela. Matanya menyapu sekeliling, berusaha menemukan keberadaan gadis itu. Tidak ada tanda-tanda jelas, hanya bayangan samar yang bergerak di ujung lorong.
Ngapain dia ke sini? Apa yang dia cari? Dan ngapain juga, gue mengikutinya? Dia melangkah lebih dalam, merasa semakin ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu di sini sekaligus gelisah.
Taeyong melewati sebuah ruang tamu kecil yang dipenuhi debu. Meja tua dengan kursi reyot terlihat di sudut dan jaring laba-laba menggantung di setiap sudut-sudut langit. Tiba-tiba sebuah suara kecil terdengar. Taeyong langsung berhent, matanya terpaku ke arah lorong di depannya.
Suara itu semakin terdengar jelas kali ini, tidak lagi hanya gumaman samar yang terpantul di dinding tua yang berlumut. Taeyong memperlambat langkahnya, mencoba mendengarkan lebih saksama. Semakin lama dia mendengar, semakin dia merasa aneh karena suara itu terdenger seperti tangisan seseorang bercampur dengan umpatan sekaligus.
Oh? Dia mengenali suara itu, tidak mungkin salah. Itu jelas suara Jisoo.
Jantungnya berdegup lebih cepat, rasa penasaran bercampur kekhawatiran mulai merambat. Tanpa banyak berpikir, dia melangkah lebih dalam ke lorong gelap, sementara matanya terus mencari sumber suara. Lantainya berderit di bawah langkahnya, tapi dia tidak peduli. Suara tangisan itu membimbingnya.
Setelah beberapa saat berjalan, Taeyong menemukan sosok Jisoo di sudut ruangan yang nyaris gelap. Dia duduk di lantai yang kotor, mendekap kedua lututnya erat-erat seperti berusaha melindungi dirinya sendiri. Pundaknya bergetar hebat karena tangisannya yang tertahan, membuat suasana di ruangan terasa semakin suram.
Taeyong berhenti sejenak, menatapnya dengan alis berkerut. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya melihat Jisoo seperti ini—gadis yang selalu terlihat kuat dan penuh amarah, kini tampak begitu rapuh dan tersakiti. Dengan langkah hati-hati, dia mendekat sambil berusaha tidak membuat suara yang bisa mengejutkannya.
Ketika Taeyong mendekat dari arah samping, dia akhirnya bisa melihat lebih jelas. Tudung hoodie yang semula menutupi kepala gadis itu kini terlepas sepenuhnya sehingga memperlihatkan rambutnya yang sedikit berantakan dan wajahnya yang basah oleh air mata. Tapi bukan itu yang membuat Taeyong tertegun.
Dia melihatnya, sebuah memar di pipi Jisoo, cukup jelas meskipun cahaya di ruangan itu remang-remang. Warnanya kebiruan, seperti luka yang baru saja terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top