Chapter 02: Si Hama Penganggu
“Lagi-lagi orang ini,” Jisoo mendesah, “dia enggak capek apa bikin orang kerja dua kali? Sekali sih, nggak masalah. Lah, ini berkali-kali? Oh, dasar bajingan! Mentang-mentang keponakan kepala sekolah, main seenak udelnya nyuruh orang!”
Kemarahan itu tercermin pada gerutuannya yang tak ada habis-habisannya. Kata-kata kasar bercampur dengan dengusan napas panjang terus dia keluarkan. Tangannya sesekali terkepal erat, menahan keinginan untuk meledak begitu saja.
“Dasarnya dia goblok, mau dinasehatin kayak apa juga nggak bakalan masuk ke telinganya. Herannya orang goblok kayak dia banyak yang ngikutin. Kok dia bisa jadi OSIS, sih? Siapa yang masukin? Jelas-jelas dulu gue nolak!” Jisoo masih heran, mengapa ada begitu banyak orang di sekolah yang tunduk sama satu murid. Padahal, jelas banget kalau orang itu murid terbodoh yang hanya mengandalkan omongan dan statusnya sebagai keponakan kepala sekolah. “Masa gue mulu yang harus negur orangnya? Capeklah, anjir! Anaknya nggak pernah tahu diri pula. Ngandelin ketua OSIS juga percuma, kalau dia budaknya kepala sekolah.”
Kedua tangannya terkepal semakin erat. “Argh... gue benci orang-orang OSIS! Mereka semua kayak anjing!”
Jisoo terus menggerutu, sepanjang jalan menuju gedung olahraga lama yang terbengkalai. Tempat itu seperti biasa menjadi pelariannya setelah seharian dipusingkan oleh orang-orang OSIS yang dianggap seperti “anjing liar”. Awalnya Jisoo sempat ragu untuk datang ke sini lagi. Semua gara-gara kejadian kemarin, saat “hama” tak diundang merusak kenyamanannya.
Walau akhirnya dia memutuskan untuk tetap pergi, perasaan khawatir itu tidak sepenuhnya hilang. “Ada satu hama baru lagi yang perlu diberantas,” gumamnya pelan, sambil membayangkan betapa menyebalkannya jika dia harus berhadapan dengan laki-laki itu lagi. Tempat yang selama ini dia anggap rahasia, yang seharusnya hanya miliknya, terasa dicuri darinya.
“Bajingan mana lagi yang harus gue hadapin?!” Jisoo berteriak dalam hati, melampiaskan kekesalannya hari ini. Dia masih kesal sama kelakukan “ajaib” salah satu rekan seanggotanya di OSIS—tidak, bukan salah satu lagi, tapi kebanyakan anggota OSIS sering membuatnya jengkel dan marah. Lalu sekarang, rasa kesalnya bertambah saat bayangan laki-laki kemarin muncul di benaknya.
Kenapa laki-laki itu membuatnya kesal, meskipun dia tidak melakukan apa-apa padanya? Yeah, karena Jisoo menganggap laki-laki itu telah merebut tempat rahasianya.
Jisoo menghela napas panjang saat langkah kakinya berbelok menuju belakang gedung olahraga. Tinggal beberapa langkah lagi sebelum dia sampai di tempat tujuannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti di tengah jalan. Matanya menangkap bayangan seorang laki-laki, tengah duduk di tempat yang selama ini menjadi tempat duduknya selama bersembunyi dari keramaian sekolah.
Berengsek! Orang itu benar-benar datang lagi!
Laki-laki itu duduk bersandar santai di dinding tua, dengan kaki disilangkan dan tangan terlipat di dada. Sikapnya memancarkan aura percaya diri yang berlebihan, seolah tempat terbengkalai itu memang miliknya sejak awal.
“Ah, datang lagi ternyata,” ujarnya dengan santai begitu matanya menangkap kedatangan Jisoo. Tatapan matanya tajam, tapi senyumnya justru terlihat menyebalkan. Taeyong mengangkat satu tangan, melambaikannya seperti sedang menyapa seorang teman lama.
“Gue udah nunggu, nih,” tambahnya, kali ini dengan nada yang lebih ringan, tapi jelas-jelas dimaksudkan untuk memancing reaksi. Cara bicaranya seperti bercanda, tapi ada nada mengejek di balik setiap kata yang diucapkannya.
Jisoo berdiri mematung, matanya menyipit tajam ke arah laki-laki itu. Rahangnya mengeras dan napasnya sedikit lebih berat dari biasanya mencoba menahan gelombang kemarahan yang mulai naik ke permukaan.
“Berengsek!” Umpatan itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa sempat dia hentikan. Alih-alih meladeni laki-laki itu, dia menghela napas kasar dan memutuskan untuk berbalik pergi. Langkah kakinya cepat, seolah ingin secepat mungkin menjauh dari tempat yang kini terasa seperti sudah ternoda oleh kehadiran laki-laki tersebut.
“Eh, kok pergi? Gue nggak gigit, kok!” serunya dari belakang, nadanya terdengar seperti orang panik, tapi jelas ada nada menggoda di sana.
Seruannya belum cukup untuk mencegahnya pergi. Jisoo tidak berhenti, tidak juga menoleh. Gadis itu hanya mengangkat tangan kanan tanpa melihat ke belakang dan jari tengah teracung jelas ke udara, sebuah balasan tanpa perlu kata-kata untuk menyampaikan kekesalannya.
Taeyong terpaku sejenak, sedikit terkejut dengan respons kasarnya. Namun, alih-alih merasa tersinggung, sudut bibirnya justru terangkat membentuk seringai kecil. Ya ampun! Benar-benar cewek yang menarik, pikirnya, seolah menemukan hiburan baru dalam kekesalan Jisoo yang meledak-ledak.
“Santai aja, dong. Ini cuma tempat duduk, bukan tanah warisan keluarga lo!” teriaknya lagi, kali ini diiringi dengan tawa keras yang terdengar menyebalkan, seperti sengaja menyiram bensin ke api yang sudah menyala.
Jisoo menggertakkan gigi, amarahnya memuncak, tapi dia tetap tidak memberi respons. Langkahnya semakin cepat, nyaris seperti berlari menjauh dari suara Taeyong yang terus menggema di belakang. Namun, semakin jauh dia berjalan, semakin keras tawa laki-laki itu terdengar, membuatnya ingin berbalik dan membalas dengan lebih dari sekadar acungan jari tengah.
Brengsek, laki-laki itu benar-benar brengsek! Jisoo mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Siapa dia, main seenaknya merebut tempat orang? Tempat yang selama ini menjadi pelariannya, yang seharusnya hanya miliknya, kini diinvasi oleh sosok yang sama sekali tidak dia inginkan.
Dia semakin erat mengepalkan tangan, kukunya hampir mencengkeram telapak tangannya sendiri. Rasanya ingin sekali dia berteriak, meluapkan semuanya, tapi lidahnya kelu. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.
“Gue benci! Pokoknya gue benci sama orang yang nggak mau usaha cari tempat sembunyi sendiri!” ujarnya dengan penuh dendam. Bayangan laki-laki itu, dengan senyum santainya yang menyebalkan, terus membayangi benaknya, membuat darahnya mendidih.
“Gue benci dia!” Suara itu bergaung di pikirannya, semakin mempertegas kekesalan yang tak bisa dia redam.
┈ ┈ ┈ ⋞ 〈 shilly-shally 〉 ⋟ ┈ ┈ ┈
“Gue bener-bener nggak paham soal trigonometri tadi,” keluh Sally sambil menyandarkan sikunya di pagar. “Pak Soman kayak ngomong bahasa alien.”
Wheein tertawa kecil sambil melirik Sally dengan tatapan penuh simpati. “Sama, kok. Pas dia nanya soal sinus sama cosinus, otak gue langsung blank. Tapi lo lihat nggak sih, si Minwoo tadi? Dia bisa jawab semua soal. Gila banget!”
“Itu sih, gue nggak kaget lagi. Minwoo emang pinter kok,” timpal Jisoo.
“Orang pinter kayak Minwoo jangan samain kayak kita.” Sally menggeleng, sebelum mendesah. “Tetap saja, kenapa gue nggak bisa sepinter dia? Padahal gue udah belajar semaleman, tapi pas disuruh maju mendadak semua ilmu di otak gue amnesia. Gue cuma berdiri kayak patung.”
“Lo nggak sendirian, Sal. Gue juga,” timpal Wheein. “Tadi pas Pak Soman nanya soal rumus tangen, gue malah mikir soal makan siang. Untung dia nggak nyuruh gue maju.”
“Sebenernya rumusnya tuh nggak susah banget, cuma kadang cara Pak Soman ngejelasin itu bikin kita bingung sendiri. Gue inget waktu beliau kasih contoh pakai bola, malah bikin kepala gue muter kayak bola juga,” sambung Jisoo, teringat kembali pada satu moment di mana Pak Soman—guru matematika—menjelaskan suatu rumus di kelas.
Sally terkekeh. “Halah, lo sama pinternya juga kayak si Minwoo. Bedanya Minwoo selalu dapat nilai sempurna, nilai lo sedikit di atas rata-rata. Tapi seenggaknya lo ngerti walaupun cuma separuh. Lah, gue? Rumus aja nggak hapal. Apa gue harus minta privat ke Minwoo aja, ya?”
Wheein memutar bola matanya sambil menyikut Sally pelan. “Privat apaan? Bukannya diajarin si Minwoo, tapi malah bikin minder yang ada!”
“Tapi jujur, gue penasaran,” lanjut Sally, masih dengan rasa ingin tahunya. “Minwoo dapet otak kayak gitu dari mana, sih? Apa makanannya beda sama kita?”
“Kalau gitu, besok lo ajak aja dia makan di kantin,” ujar Wheein sambil tertawa kecil.
“Iya, biar gue bisa nyerap energi jeniusnya,” balas Sally sambil mengibaskan tangan seolah sedang menyerap sesuatu, membuat Wheein tertawa lebih keras.
Jisoo yang berdiri di antara kedua temannya, hanya mengangguk kecil sembari memberikan senyum samar. Namun, pikirannya mulai melayang dan fokusnya perlahan terpecah. Matanya melirik ke bawah, mengamati suasana di lapangan upacara yang perlahan mulai lengang.
Perhatiannya tertuju pada empat murid yang berdiri di depan tiang bendera dengan kepala tertunduk. Wajah mereka tampak suram, menyiratkan penyesalan—atau mungkin rasa kesal karena harus menjalani hukuman. Di depan mereka, berdiri Pak Sugeng, guru bahasa yang terkenal tegas. Tangan beliau sesekali terlipat di dada, sementara suaranya yang penuh otoritas terdengar memberi ceramah, meski dari jarak ini Jisoo tidak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas.
Sesuatu dalam pemandangan itu telah menarik perhatian Jisoo, membuatnya terus memperhatikan lebih lama dari yang dia sadari. Matanya menelusuri barisan murid yang dihukum dengan kepala menunduk, ada sesuatu yang memaksa perhatiannya bertahan lebih lama pada salah satu dari mereka.
Dia memperhatikan lebih saksama, matanya menyipit untuk memastikan. Lalu tiba-tiba tubuhnya membeku. Salah satu dari empat murid itu terlihat sangat familiar. Sosok laki-laki yang berdiri paling ujung, dengan postur santai dan raut wajah yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun adalah orang sama yang beberapa jam lalu membuatnya kesal karena merebut tempat persembunyiannya di belakang gedung olahraga.
Cih, di antara semua orang, kenapa gue mesti lihat si hama itu lagi? pikirnya, jengkel. Bikin bete aja, deh!
Dia mendengus pelan, rasa kesal kembali menyeruak saat suara tawa menyebalkan laki-laki itu terngiang di kepalanya. Jisoo mengepalkan tangan, berusaha menahan dorongan untuk mengalihkan mata, tapi sulit. Ada sesuatu yang membuat sosok itu terlalu mencolok, seolah sengaja menantangnya meski dari kejauhan.
“Oh, lo lihat itu?” Sally tiba-tiba bertanya, memecahkan lamunan Jisoo. “Lagi-lagi mereka bikin masalah sama Pak Sugeng.”
Jisoo menoleh cepat, ekspresinya penuh rasa ingin tahu. “Lo kenal mereka, Sal?” tanyannya.
Sally mengangguk santai sambil menunjuk ke arah mereka. “Yang pakai jaket abu-abu itu anak kelas IPS dua. Namanya Bobby, dia terkenal suka usil. Yang badannya gede itu si Baekho, cowoknya Leah anak kelas sebelah. Yang satu lagi gue nggak terlalu kenal. Kayaknya anak IPS juga, terus yang paling ujung itu—”
“Siapa yang paling ujung?” potong Jisoo buru-buru, matanya kembali mengarah ke laki-laki yang berdiri di ujung barisan bagian kanan.
“Namanya Taeyong anak IPS dua juga,” jawab Sally sambil menatap keempat cowok yang berdiri di depan tiang bendera. “Dia tuh terkenal suka bikin masalah. Si tukang pukul, julukannya. Jadi wajar aja kalau dia kena hukuman.”
Jisoo terdiam, matanya terus terpaku pada Taeyong yang berdiri di ujung barisan. Laki-laki itu terlihat santai, bahkan sedikit tak acuh padahal dia sedang dihukum di depan tiang bendera sama guru bahasa. Satu tangannya dimasukkan ke saku celana dan raut wajahnya seperti menantang dunia untuk berani mengomentari sikapnya.
“Taeyong, ya,” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Kenapa lo nanya, Jis? Lo kenal dia?” tanya Wheein tiba-tiba dipenuhi rasa ingin tahu.
Jisoo tersentak kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Gue? Kenal dia? Ya, nggak mungkinlah! Ngapain juga kenal sama cowok yang dapat julukan ‘si Tukang Pukul’?”
“Siapa tahu kenal,” balas Wheein.
“Ya ampun, jangan, Jis! Meskipun orangnya ganteng, tapi kan, enggak banget gitu, loh? Julukannya aja si tukang pukul. Orangnya juga sering bikin masalah di sekolah,” kata Sally, nada suaranya terdengar panik sekaligus ngeri. “Gue denger-denger, dia suka bolos kelas. Terus rapot dia banyak nilai merahnya alias di bawah rata-rata. Katanya juga, anaknya enggak sopan. Omongannya kasar, dikit-dikit suka pukul orang, terus dia pernah—”
“Udah, Sal, udah. Omongan lo semakin melebar ke mana-mana,” potongan Jisoo, menghentikan Sally sebelum ocehannya semakin panjang.
Sally mengatupkan mulutnya, tapi tatapan paniknya masih belum menghilang. Dia menoleh ke Wheein, mencari dukungan. “Tapi bener, kan? Cowok kayak gitu enggak cocok banget buat Jisoo.”
Wheein hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis. “Santai aja, Sal. Jisoo nggak bilang dia suka sama cowok itu. Lagi pula, Jisoo terlalu pintar buat terjebak sama yang model begitu.”
“Ya iyalah!” balas Jisoo cepat, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang dia harapkan. “Gue nggak suka dia, kok. Lo terlalu lebay, Sal.”
Sally mendengus kecil, tapi akhirnya memilih tidak melanjutkan pembicaraannya. Jisoo tersenyum lega karena teman-temannya tidak lagi membahas soal cowok bernama Taeyong. Dengan begini, dia tidak perlu mendengar lebih jauh tentang cowok menyebalkan itu.
Sementara di lapangan upacara, Pak Sugeng berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada. Suara sang Guru Bahasa menggelegar memenuhi lapangan sekolah. Murid-murid yang berlalu-lalang di sekitar lapangan sesekali melirik penasaran ke arah lapangan upacara, tapi mereka segera berpaling, takut tertangkap basah ikut mengamati.
Pak Sugeng seringkali menunjuk ke arah keempat murid yang sedang dihukumnya ini di sepanjang ceramahnya. Di antara keempat murid itu, hanya ada satu murid yang tidak terlalu peduli dengan ceramahnya.
Taeyong berdiri dengan postur santai tanpa menundukkan kepala. Tubuhnya sedikit miring, satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sementara kakinya bergoyang pelan seolah sedang mendengarkan musik yang hanya dia dengar sendiri. Sesekali dia melirik teman-temannya di sebelah yang wajahnya penuh rasa bersalah. Namun, di wajah Taeyong, tidak ada rasa penyesalan sedikit pun—hanya ekspresi tak acuh yang tak tergantikan siapa pun.
Dari lantai dua, Jisoo mengamati adegan itu dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, tapi dia terlalu fokus pada Taeyong hingga tidak menikmati suasana di sekitarnya. Ada sesuatu yang membuat matanya tak bisa lepas dari laki-laki itu—mungkin sikap santainya saat mendapat hukuman atau mungkin, rasa kesalnya yang belum hilang sejak kejadian di belakang gedung olahraga.
“Cih, tetap aja dia orang ngeselin!” gerutunya, tanpa sadar. Untung saja kedua temannya, Wheein dan Sally, terlalu sibuk mengobrol sehingga tidak mendengar komentarnya barusan. Jisoo cepat-cepat menggigit bibirnya, mencoba menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan lebih banyak keluhan.
Dia menghela napas panjang, atensinya entah bagaimana melayang kembali ke arah lapangan upacara di bawah. Namun, saat mata Taeyong tiba-tiba naik dan langsung bertemu dengan matanya, jantung Jisoo serasa berhenti berdetak. Dia yang terkejut, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, tapi sudah terlambat. Mata Taeyong telah menangkapnya basah dan sudut bibir laki-laki itu terangkat membentuk senyum kecil—senyum yang tidak hanya terlihat menyebalkan, tapi juga penuh kemenangan seakan dia baru saja memenangkan permainan yang hanya dia tahu aturannya.
Karakter jisoo di sini sering menggerutu sendiri, jadi jangan heran 💁🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top