Chapter 01: Si Gadis Kasar
“Bajingan! Udah dibilangin jangan ngadu, masih aja ngadu. Bisa-bisanya dia ngadu setelah semua usaha gue buat nutupin masalah? Kok gue bisa temanan sama dia, sih? Anjing, emang—” Mulut yang dari tadi terus mengomel itu mendadak bungkam. Bibirnya terkatup rapat ketika sudut matanya menangkap siluet kehadiran seorang laki-laki. Matanya langsung menatap tajam, tak senang dengan kedatangan laki-laki tak diundang tersebut.
Cih! Tumben ada orang datang ke tempat ini. Biasanya tempat ini sepi pengunjung. Anak-anak sekolah pun enggan kemari karena bagi mereka tempat ini tuh, angker—tempat keramat, kata mereka. Lagian, siapa yang mau main ke gedung kosong yang sudah lama enggak kepakai? Kayaknya cuma dia doang yang berani.
Selama ini dia datang ke tempat ini selalu sendiri dan belum pernah ada murid lain kemari selain dirinya. Jisoo menyadarinya setelah dua minggu rutin datang ke gedung kosong tersebut. Tempat ini kemudian dia jadikan sebagai lokasi rahasianya di sekolah. Jisoo selalu datang ke tempat itu selama waktu istirahat atau pada jam-jam tertentu saat dia ingin menyendiri tanpa teman-temannya. Tapi siapa sangka, seseorang akan mengunjungi tempat rahasianya setelah dua minggu ini sendirian.
Seorang murid laki-laki tak dikenal. Mood Jisoo langsung jelek saat melihat kedatangannya.
“Apa lihat-lihat?” Dulu Jisoo tidak berharap akan ada orang datang kemari setelah dia mengakui tempat itu sebagai tempat rahasianya. Kemunculan tak terduga laki-laki ini hanya membuatnya kesal sekaligus tak nyaman. “Nggak pernah lihat orang ngomel-ngomel, hah?”
Laki-laki itu berdiri kaku di sebrang. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan bercampur kebingungan. Matanya sedikit melebar, menatap tak berkedip pada sosok murid perempuan yang tengah marah-marah kepadanya.
“Bajingan. Ada hama mengganggu,” gumamnya pelan namun masih cukup keras untuk didengar oleh laki-laki di sebrangnya. Kendati demikian, Jisoo sama sekali tidak merasa takut apalagi terancam waktu bertukar pandang seperkian detik dengan laki-laki tersebut.
Jisoo mendengus pelan, lalu berdiri dari posisi duduk berjongkoknya dan melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Dia tidak peduli lagi sama kehadiran laki-laki itu. Baginya orang tak dikenal itu tak layak mendapatkan perhatian lebih darinya. Meski kelihatannya tak acuh, hatinya sebenarnya masih dongkol.
Cih! Bajingan, gumamnya lagi, kali ini tidak cukup didengar orang lain. Dia jengkel karena sekarang ada murid lain yang mengetahui tempat rahasianya—salah satu tempat ternyaman di sekolah untuk menyendiri. Rasanya tidak seru lagi datang ke tempat ini, tapi berat juga untuk meninggalkannya. Terlebih dia tidak punya tempat lain untuk menyendiri di sekolah.
“Nyebelin banget! Kenapa sih, tuh orang pakai datang ke situ segala? Kayak nggak ada tempat lain aja,” gerutunya sepanjang jalan.
Sementara itu, di tempatnya berdiri, laki-laki itu masih diam terpaku. Atensinya mengikuti punggung kepergian gadis itu yang semakin menjauh. Alisnya sedikit berkerut, seperti sedang mencoba memahami sesuatu. “Apa dia selalu semenyebalkan itu?” pikirnya terheran-heran pada pertemuan tak terduganya dengan seorang gadis yang omongannya cukup kasar.
Taeyong tidak tahu kalau ternyata selain dirinya, ada murid lain yang datang ke gedung olahraga lama yang sudah tidak dipakai ini. Sama seperti gadis itu, dia juga sering diam-diam ke tempat ini untuk menyendiri. Bedanya Jisoo datang selama jam istirahat; dia datang selama jam masuk kelas. Dan, iya, tempat ini bagaikan tempat persembunyiannya selama membolos sekolah.
Meski begitu, dia tidak dengan enteng mengakui tempat ini sebagai miliknya. Tidak seperti Jisoo yang kesal karena merasa tempatnya direbut oleh orang lain, Taeyong justru menganggapnya lumrah karena ada banyak murid di sekolah ini yang pasti menginginkan satu tempat di sekolahan untuk menyendiri.
Tapi apa-apaan sikapnya tadi? Taeyong mengerutkan kening, perhatiannya kembali tertuju ke arah gadis yang baru saja pergi setelah meninggalkan gema kata-kata kasarnya di udara. Dia masih bisa mendengar nada tajam dalam suaranya, yang entah bagaimana justru membuatnya semakin penasaran.
Omongannya kasar, tapi ... penampilannya? Taeyong menggeleng kecil, mencoba memahami kontradiksi itu. Wajah gadis itu cantik, bahkan bisa dibilang terlalu lembut untuk seseorang yang bicara seperti itu. Rambutnya yang tergerai rapi dan seragamnya yang sempurna menciptakan kesan berbeda dari sikapnya yang blak-blakan dan tanpa basa-basi.
Ah, terserah deh, enggak peduli! Mending tidur aja, pikirnya lalu berjalan mendekati tempat yang biasanya dia pakai untuk tiduran.
┈ ┈ ┈ ⋞ 〈 shilly-shally 〉 ⋟ ┈ ┈ ┈
“Robin, oper bolanya ke sini!”
“HEH, YANG BENER AJA LO—oalah, juancok, bocah stress!”
“Ckck, lihatkan, si Budi pengerti ngamuk-ngamuk lagi,” komentar si anak laki-laki dengan potongan rambut buzz cut yang duduk di tepi lapangan futsal. “Oi, Budi, nggak usah ngamuk-ngamuk gitu. Santai aja Mas Bro!”
Namanya Baekho, badannya paling gede di antara teman sekelasnya, dan wajahnya cukup garang. Tapi anehnya, teman sekelas memanggilnya Budi atau si Budi Pengerti. Panggilan itu diambil dari nama bapaknya, Budi. Orang pertama yang memulai kebiasaan memanggilnya dengan nama bapaknya adalah Bobby, si anak iseng yang tak tahu malu. Gara-gara dia sering memanggilnya dengan panggilan itu, teman-teman yang lain pun ikut-ikutan. Begitulah akhirnya semua orang tahu nama bapaknya dan panggilan “Budi” melekat padanya.
Baekho menoleh sekilas ke arah Bobby, wajahnya datar, tapi gerakannya tegas saat dia mengangkat tangan dan mengacungkan jari tengahnya. Isyarat itu disertai dengan dengusan kecil sebelum dia kembali memusatkan perhatian pada permainan bola di lapangan futsal sekolah.
“Hahaha! Dasar kocak!” Bobby tertawa terbahak-bahak, menganggap balasan Baekho tadi sebagai lelucon hari ini.
Taeyong, yang sedari tadi duduk di sebelahnya, hanya menggeleng pelan saat melihat kelakuan tak tahu malu Bobby. Selain tidak tahu malu, Bobby juga tidak tahu diri. Kalau dia sadar, sebenarnya Bobby juga tidak jauh beda dari Baeho. Mereka ini sama-sama nyeleneh. Dan lebih aneh lagi, kenapa Taeyong masih mau temenan sama mereka? Padahal, masih banyak orang waras di kelas yang bisa dijadikan teman.
Apa otak gue udah ikutan korslet juga, ya? gumamnya dalam hati sambil menatap kedua temannya. Bobby yang terus cekikikan seperti orang kurang kerjaan dan Baekho yang kini sibuk mengejar bola dari lawan mainnya.
Hari ini merupakan jadwal olahraga, makanya Taeyong tidak membolos seperti biasa. Kebetulan juga, Pak Samsul, guru olahraga, tidak masuk kelas jadi anak-anak kelas dibiarkan bebas memilih olahraga mereka. Anak laki-laki tentu saja memilih bermain bola di lapangan futsal, sementara anak perempuan lebih memilih duduk santai dan bermain di dalam kelas.
Taeyong sendiri sudah bermain tadi. Sekarang, giliran anak-anak lain yang mengambil alih permainan. Tadinya selesai main, dia mau langsung pergi beristirahat ke kantin. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa berat. Malas sekali rasanya untuk berjalan ke kantin—mungkin hasutan Bobby sebelumnya berhasil mempengaruhinya lebih dari yang dia sadari.
Maka di sinilah dia sekarang, duduk berleha-leha di tepi lapangan futsal sambil mengamati anak-anak lain yang sibuk bermain. Pandangannya kadang fokus sama bola yang bergerak cepat, tapi lebih sering melayang ke tempat lain. Yah, ke mana lagi kalau bukan ke sebelah? Di sebelahnya, Bobby sibuk mengoceh non-stop dan berlagak seperti komentator sepakbola profesional.
“Lihat tuh, si Budi Pengerti, striker terbaik di kelas kita! Coba kalau dia main di tim nasional, udah pasti juara dunia!” seru Bobby, lengkap dengan gestur tangan dramatis seolah dia sedang melakukan siaran langsung.
Taeyong hanya menghela napas sambil mencubit batang hidungnya. “Bob, diam bentar bisa enggak?” ujarnya dengan nada malas, tapi Bobby malah terkekeh.
“Eh, kalau gue diam, nanti suasana jadi sepi, Bro. Lo nggak mau, kan, hidup lo makin membosankan?” balasnya sambil menepuk bahu Taeyong dengan keras, membuatnya mendesis kesal.
Taeyong memutar bola mata, memilih mengabaikan Bobby dan kembali memperhatikan lapangan. Baekho, seperti biasa bermain dengan gaya khasnya—serius, penuh tenaga, dan sedikit agresif. Temannya itu selalu bermain dengan serius meskipun tahu mereka sedang bertanding santai untuk mengisi jam olahraga. Tapi perhatian Taeyong tidak bertahan lama di sana. Matanya mendadak kembali tertarik ke sudut lain lapangan, di mana sosok cewek yang tadi dia lihat berjalan melewati mereka bersama temannya.
Nah, itu dia! Cewek kemarin yang omongannya kasar tanpa filter, pikirnya sambil memiringkan kepala sedikit, matanya menatap tajam ke arah kelompok kecil di kejauhan. Cewek itu berdiri di antara tiga temannya, terlihat begitu santai. Dia tertawa kecil, bahunya sedikit terangkat, gerakannya ringan seakan dunia ini tak memiliki beban untuknya.
Hm, rasanya aneh. Ada sesuatu yang membuat Taeyong tidak bisa mengalihkan pandangannya dari cewek itu begitu saja. Semakin dia melihatnya, semakin sulit baginya untuk menghubungkan cewek itu dengan versi dirinya yang kasar dan blak-blakan kemarin. Sekarang dia tampak seperti cewek normal—malahan seperti cewek yang memiliki sikap lembut, manis, dan tidak pernah berkata kasar. Senyumnya kecil, cara bicaranya pelan, dan gerak-geriknya halus, bahkan terlihat anggun.
“Buset dah, kok beda banget? Perasaan kemarin dia enggak kayak gitu,” Taeyong bergumam sambil memicingkan mata, mencoba memastikan kalau dia tidak salah lihat. Tapi tidak, itu benar-benar cewek kemarin. Mereka berdua orang yang sama.
Kenapa beda banget? Taeyong hanya bisa duduk terpaku, otaknya berputar keras mencoba mencari tahu alasan mengapa cewek itu berbeda dengan sosoknya yang kasar kemarin. Ah, enggak mungkin gue salah mengenali orang. Jelas-jelas mereka sama kok. Panjang rambutnya aja sama, pikirnya kebingungan.
Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Bobby menepuk bahunya.
“Hayoloh! Ngapain bengong, Bro? Naksir, ya?” goda Bobby dengan senyum nakal. Taeyong yang tersentak, buru-buru mengalihkan pandangan.
“Apaan, sih! Enggak ada urusan sama lo,” jawabnya, tapi matanya kembali melirik ke arah cewek itu, masih mencoba menemukan jawaban atas perubahan aneh yang baru saja dia lihat.
Bobby terkikik geli, merasa menang karena berhasil memancing reaksi temannya. “Yaelah, ngaku aja, Yong. Tuh cewek cakep, kan?” godanya sekali lagi. “Karena gue orangnya jujur, dia emang cakep kok. Tapi kalau mau naksir dia, siap-siap mental dulu, deh. Fyi aja, dia anak OSIS. Jadi, gak bakalan cocok sama lo premannya anak IPS dua.”
“Gue? Preman? Enggak salah denger, nih?”
“Enggak kok.” Bobby terus terkekeh seperti orang gila yang baru kabur dari rumah sakit jiwa. “Emang siapa lagi yang cocok menjabat posisi itu selain tukang pukul andalan anak IPS dua?”
Taeyong mendengus keras, berusaha mengabaikan Bobby yang terus saja tertawa. “Kalau gue preman, lo apaan? Badut kelas?” balasnya dengan nada sarkastis.
Bobby langsung menepuk dada dengan ekspresi dramatis, seperti sedang memproklamirkan sesuatu yang penting. “Badut? Wah, itu penghinaan, Bro. Gue ini entertainer sejati! Gue bikin hidup lo yang datar-datar aja jadi lebih berwarna.”
“Warna apaan? Hitam putih?” ujar Taeyong sambil melirik malas. “Eh, ngomong-ngomong, siapa namanya?”
“Wih, mulai cari info, ya?” Taeyong mendelik tajam ke Bobby yang semakin puas menggodanya. “Namanya kalau enggak salah, Jisoo. Anak kelas sebelah. Cewek paling cakep di kelasnya—eh, menurut gue di sekolah juga sih, tapi menurut si Budi Pengerti pasti si Lea soalnya tuh orang kan, bulol mampus!”
“Lo bilang begini karena masih jomlo, beda lagi ceritanya kalau lo kayak si Baekho.”
“Oh, benar juga!” serunya, lalu tertawa lagi. “Tapi sebagai teman baik lo, gue mau kasih saran. Mending nggak usah berharap dapatin si Jisoo, deh. Anak OSIS sama preman kayak lo itu beda kasta, Bro!”
“Diam, deh! Siapa juga yang mau dapatin dia? Gue cuma penasaran doang,” ujar Taeyong ketus.
“Penasaran, ya? Hmm, penasaran itu awal dari naksir. Gue udah ahli soal beginian,” katanya, sok dramatis. “Nih, dengerin nasihat gue lagi, cinta itu nggak peduli kasta, tapi dia peduli modal! Lo punya modal apa buat dekati anak OSIS? Catat, ya!”
“Modal? Modal gue cukup buat nendang lo dari sini,” balas Taeyong sambil memutar bola matanya, jelas malas meladeni ocehan Bobby.
“Oh, enggak bisa gitu, Kawan. Modal cinta itu harus kuat. Minimal tampang rapi, sopan, dan nilai bagus. Coba lihat diri lo sendiri. Rambut awut-awutan, kaus lusuh, dan nilai lo aja pas-pasan. Anak OSIS kayak Jisoo pasti langsung ilfeel.”
Taeyong mendengus kesal, tapi sebelum dia bisa membalas atensinya kembali melirik ke arah Jisoo yang sudah hampir hilang. Dia hanya terlihat sekilas di antara celah bangunan, tapi bahkan dari jauh pun, cewek itu tetap menarik perhatian Taeyong.
“Lo serius lihatin dia lagi?” Bobby memutar bola matanya sambil tertawa pelan. “Ya ampun, Taeyong, lo beneran nggak ada harapan. Gue yakin, bentar lagi lo bakal—”
“Diem, Bob!” potong Taeyong dengan nada tajam, membuat temannya itu akhirnya diam meski hanya untuk beberapa detik. Taeyong menghela napas panjang sebelum menoleh ke temannya dengan ekspresi datar. “Gue cuma penasaran, oke? Dia kelihatan ... beda aja gitu.”
“Beda apanya? Cakepnya? Aduh, cinta emang buta,” jawab Bobby dengan nada dramatis.
Taeyong mengabaikannya, memilih untuk menyimpan rasa penasarannya sendiri. Dia tidak tahu kenapa, tapi baginya Jisoo benar-benar seperti teka-teki yang menarik dan entah bagaimana, dia merasa ingin memecahkannya.
Yo, back again with Hippoyeaa—yeay!!! o(〃^▽^〃)o
Balik lagi sama cerita baru sekoci kesayanganku jisyong—yip yip, huraa ヾ(^-^)ノ hehehe tadinya mau balik lagi pas awal tahun baru, tapi enggak jadi, maunya sekarang aja. Tadinya juga mau update cerita antara “Hello, Sunshine” atau “Eternal Seas; Eternal Love” tapi enggak jadi soalnya pengen update cerita ringan dulu.
Cerita ini cukup ringan, konfliknya dikit, dan jumlah chapternya juga dikit, antara chapter 20-25an—bisa kurang, bisa juga lebih. Kalian juga pasti kangen cerita ringan cast jisyong, kan? Hehe nih, kukabulin cerita jisyong with squad 95line hehehe ˙˚ʚ(´◡')ɞ˚˙
Aku udah draft beberapa chapter, tinggal review sama edit ulang aja. Jadi, updatenya nanti seperti biasa hehe.
Dah, sekian catatan authornya. Selamat membaca, everyone! Jangan lupa tinggalkan jejak kalian di lapak ini ♥︎♡
with love,
𓄁 hippoyeaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top