Lima: Subject No. 19

"Tiga puluh sembilan derajat." Jelas Edwin Jenner, seorang ahli virus yang bekerja untuk CDC, sekaligus orang terakhir yang hidup di sana.

Jenner menarik termometer dari mulut Maia, membersihkannya sejenak lalu menyimpannya kembali ke saku snelli yang dipakainya. Dengan raut cemas, pria itu memandang Rick dan Daryl yang sedari tiba tadi langsung menantinya di ruang rawat.

"Aku minta maaf, tapi sebagai antisipasi, nona Earline harus diisolasi selama semalam."

"Omong kosong." Gerutu Daryl, keningnya berkerut. "Dia tidak tergigit, kau bisa lihat sendiri, kan?"

"Memang tidak ada tanda-tanda telah tergigit, tapi bagaimana kalau semisal penularannya lewat goresan atau darah mereka yang masuk ke tubuh nona ini?" Jenner menggeleng. "Semalam saja, demi kebaikan bersama, kumohon."

"Baiklah." Setuju, Rick menganggukkan kepalanya.

"Rick, dasar sialan!" Bantah Daryl masih belum bisa terima. "Kita tidak bisa--"

"Ini demi kebaikan bersama." Bisik Rick, menarik Daryl keluar, lalu menepuk pundaknya sebagai penenang. "Kalau sesuatu terjadi padanya, aku-- kita semua juga tidak akan tinggal diam, paham?"

"Tapi.."

"Kau cemas, aku mengerti perasaanmu, Daryl. Tapi kalau kita membiarkannya begitu saja dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita akan kehilangan lebih banyak orang lagi."

Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan-- membayangkannya saja Daryl enggan. Dia mengambil langkah, balik ke ruang tempat Maia sedang tidur, menatapnya selama beberapa saat.

Mengingat percakapan-percakapan mereka beberapa hari lalu membuatnya semakin berat untuk pergi, tapi dirinya tahu kalau Jenner melakukan semua ini terhadapnya karena tidak ada pilihan lagi.

⚰️⚰️⚰️

Saat makan malam, semua orang bergembira-- kecuali Daryl. Rick, yang meski ada juga sedikit kekhawatiran di dalam hatinya tentang perempuan itu, tampak menikmati momen bersama istri, Carl putranya, dan teman-teman yang lainnya di meja makan, diiringi beberapa botol alkohol.

Di tengah-tengah keramaian seperti ini, Daryl hanya diam sambil memandang botol anggur yang ada di hadapannya. Sebagai sosok yang bengis, seharusnya Daryl sudah mabuk-mabukkan, tapi herannya pria itu sama sekali belum melayangkan tangannya menyentuh benda tersebut.

Setelah acara makan malam ditutup, semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk tidur-- Tidak semua, rupanya. Hampir semuanya.

"Sebaiknya jangan dekati Carl lagi, kuperingatkan kau, Shane."

Daryl mendengar suara samar-samar dari arah perpustakaan. Baru saja hendak membuka pintu, tiba-tiba Lori muncul di hadapannya, membanting pintu perpustakaan sampai terbuka lebar, memampang sosok Shane yang lemah tak berdaya tengah bersimpuh di lantai, dimabuk cinta-- dan lumayan banyak alkohol, tampaknya.

"Ah, Daryl.." Lori mengerjapkan mata lalu membuka mulutnya tanpa bicara, sedang berusaha menjelaskan sesuatu. "I-Itu.. Ka-Kami.."

"Aku tak dengar apa pun." Daryl berbohong sembari berlalu masuk, tampak tak peduli. Dia lalu duduk di bangku yang ada di belakang tempat Shane mematung.

"Well, anggap saja begitu." Lori malu, memerah, lalu lari menghilang tanpa mengatakan kalimat pamit.

Shane masih tak bergerak, tapi tatapan mata mereka akhirnya bertemu. Sebenarnya Daryl tidak pernah menyukai pria ini. Selain sok dan egois, Shane juga munafik. Heran juga kenapa selama ini semua orang mau saja menuruti perintahnya.

"Kau tahu, kan?" Tanya Shane.

Tanpa perlu bertanya apa-apa lagi, Daryl langsung mengerti dan mengangguk untuknya. "Tahu."

"Bagaimana menurutmu? Bukankah dia wanita yang mengerikan?"

"Kenapa? Kau berbohong padanya, kok?"

"Tapi.."

"Memang bodoh juga bisa langsung berpaling hati secepat itu, tapi kau tidak bisa menyalahkannya." Kata Daryl dengan santai, menyelonjorkan kakinya ke meja.

"Aku mencintainya."

"Iya, terserah. Tapi aku sama sekali tak kasihan padamu."

Shane hanya menghela napas frustasi, sadar bahwa dirinya telah lupa dengan siapa orang yang sedang bicara padanya itu-- Apa yang bisa kuharapkan dari Daryl Dixon?

⚰️⚰️⚰️

Keesokan paginya, semua orang kembali berkumpul di ruang makan, menikmati hidangan sarapan mereka dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi pada dunia di luar sana.

"Yo, Daryl, setidaknya makanlah sedikit!" Bujuk T-Dog, mengoper sepiring panekuk padanya.

"Aku tak lapar."

"Well, kau akan." Sindir Glenn, menuding ke arah pintu yang terbuka di belakang mereka, menampilkan sesosok pucat yang sedang digandeng oleh Jenner.

Daryl menelan ludah tegang memandang dirinya. "Maia,"

"Maia!" Yang lainnya ikut bersorak gembira menyambut kedatangannya.

"Hai, guys." Sapa Maia pada yang lainnya.

"Bagaimana kondisimu?" Carol bertanya, khawatir.

Langkahnya yang sempoyongan sebenarnya sudah cukup menjelaskan keadannya, tapi perempuan itu tetap memaksakan diri dan mengangguk. "Aku sudah baik-baik saja, trims."

Perlahan, Maia melepaskan genggamannya yang gemetar dari lengan Jenner kemudian bergerak turun ke kursi yang bersebelahan dengan tumpukan boks yang Daryl duduki.

Ketika mereka bertukar pandang, wajah Daryl langsung membentuk senyuman langka yang bergigi. Meski pucat dan agak kurusan, Daryl berpikir kalau sesungguhnya perempuan itu sangat cantik.

"Apa katanya?"

"Infeksi, tapi semua sudah baik-baik saja." Katanya dengan santai, menenggak segelas susu hangat yang telah T-Dog sediakan untuknya.

"Kau yakin?"

"Daryl," Maia memutar bola matanya, menepuk punggung pria itu seolah-olah untuk meyakinkannya. "Aku baik-baik saja."

"Baik, tapi kau mesti beri aku alasan untuk percaya padamu, Mai."

Maia tertawa. "Daryl, aku baik-baik saja sekarang, sungguh."

"Terakhir kali kau juga bilang begitu di mobilku, dan lihat dirimu sekarang." Desis pria itu, merebut panekuk pemberian T-Dog dan segera memberikannya pada Maia. "Makan ini. Cepat."

Tingkah Daryl yang aneh membuat seisi ruangan tertawa padanya, tapi Daryl tak mempedulikan itu dan terus-terusan menunjukkan kepeduliannya terhadap Maia.

Setelah kembalinya Maia, suasana di antara grup ini kembali normal. Memang mereka telah mengalami begitu banyak kehilangan kemarin, tapi hidup tetap berjalan. Dan di dunia yang sudah kacau ini, banyak hal bisa terjadi dalam satu kedipan mata. Terdengar ironis, tetapi semua orang, faktanya, sudah mulai terbiasa dengan itu.

"Rasa panekuk ini enak." Maia menyantap sesuap lagi dan memejam, menikmati makanan yang kemungkinan terlezat yang pernah singgah di mulutnya selama dua puluh tahun terakhir.

"Sungguh? Trims. Itu kata-kata termanis yang pernah kudengar selama beberapa minggu terakhir." T-Dog mendadak emosional. "Kau menyukainya?"

"Ya, aku suka sekali. Aku harap kau mau buatkan panekuk lagi untukku suatu hari!" Sahut Maia seraya melahap suapan terakhirnya.

"Yeah. Aku tahu kau menyukainya," Daryl tergelak dan mengambil serbet, mengarahkannya ke pipi Maia. "Sekarang, lap dagumu, wajahmu berlepotan sirup."

Selagi Maia membersihkan sirup di dagunya, Daryl memperhatikan wajah gadis itu. Mulai dari matanya, turun ke hidungnya, lalu ke bibirnya dan terkunci untuk waktu yang lama di sana. Maia yang menyadari tatapan Daryl secara naluriah menggigit bibir bawah, membuat laki-laki redneck itu tak kuasa menahan tawa akibat responsnya.

"Aku mau menginformasikan sesuatu sebelum seseorang menagihnya," Kata Jenner dengan suara rendah sambil menyesap kopi pagi harinya. Dia bangun dari kursi, berjalan ke pintu menuju lorong. "Tolong datang ke Aula 5 begitu selesai sarapan."

⚰️⚰️⚰️

Jenner menunjukkan sinapsis sinyal elektrik di dalam otak, menjelaskan bagaimana cara kerja perkabelan organik yang mereka saksikan dari layar raksasa di ruangan itu. Semua orang kebingungan sampai akhirnya,

"Subyek tes nomor 19," Jenner berseru pada komputernya, kemudian secara otomatis layar berubah, memamerkan sebuah rekaman radiografi dari otak seseorang. "Seseorang yang telah tergigit dan terinfeksi, serta dengan sukarela mengizinkan kami merekam prosesnya."

Maia menyikut pelan Rick yang berdiri di sebelahnya. "Kurasa ini pertanda buruk."

"Kita dengar saja dulu apa yang sedang dia coba sampaikan." Rick menjawab dengan suara rendah.

"Pindai pada kejadian pertama." Jenner berteriak lagi dan komputernya memindai pada sebuah rekaman lain dari orang yang sama.

Semua orang berani bersumpah itu adalah pemandangan yang amat mengerikan. Sel-sel otak orang itu menghitam, kata Jenner itu adalah wujud dari penyakitnya.

"Dimulai dari pendarahan kelenjar adrenal, lalu otaknya mati, kemudian organ utamanya. Dan dia akhirnya mati." Kata Jenner. Meskipun dari raut wajahnya terlihat dirinya tenang, semua orang tahu kalau pria ini akan menangis di suatu tempat di mana mereka takkan melihatnya. "Dirimu di masa lalu atau di masa depan ... akan lenyap begitu saja."

Mata Jenner berkeliling sampai akhirnya terpaku pada Andrea yang tersedu di sudut ruangan. Sekujur tubuh wanita itu bergetar selagi dirinya memikirkan sosok adik perempuannya yang merupakan salah satu korban dari penyerangan beberapa hari lalu.

"Dia kehilangan seseorang dua hari lalu." Jelas Lori, bersimpati. "Saudarinya."

"Aku juga kehilangan seseorang, aku tahu betapa pedihnya itu." Jenner menepuk punggung Andrea dan menghela napas berat. "Sekarang lihat,"

Jenner memerintah komputernya lagi untuk menampilkan rekaman lainnya. Lagi-lagi, masih dengan orang yang sama.

Di layar, semua orang bisa lihat sepercik warna merah menyala di batang otak yang sudah mati itu, secara perlahan menjalari semua bagiannya hingga tampak seperti menggerayangi seluruh bagian otaknya. Itu,

"Menjijikan." Protes Daryl, terpanjat. "Apa itu?"

"Virus itu hidupkan kembali batang otaknya, membuat mereka bisa bangun dan bergerak."

"Tapi mereka tak hidup?" Sambar Rick, mewakili semua orang.

Jenner mengedikkan bahu. "Menurutmu bagaimana?"

"Tidak seperti sebelumnya," Rick menyipitkan mata ke layar, meneliti. "Sebagian besar otaknya gelap."

"Lobus depan, neocortex, bagian dari manusia yang tidak bangkit kembali. Bagian dirimu." Gumam Jenner, mengerjapkan mata. "Tinggal cangkang yang digerakkan oleh naluri tak berakal."

Saat orang di dalam rekaman itu mulai bergerak-gerak dengan gelagat seperti walkers, sesuatu seperti cahaya menembus kepalanya-- Dia menembak kepala pasiennya.

"Kau menembaknya?" Tanya Andrea, frustasi.

Jenner hanya tersenyum dan berbalik. Ketika dia membuka mulut lagi, dia bicara pada komputernya, "Vi, matikan layar utama dan pos kerja."

Sebagian lampu dan layar raksasa itu berubah menjadi gelap dan barulah semua orang merasa ... janggal. Di tempatnya berdiri, Maia hanya diam seraya memperhatikan jam yang terus menghitung mundur.

"Jenner, kau tahu apa ini, bukan?" Dale akhirnya ikut bicara setelah menyimak selama beberapa saat.

"Entahlah. Mungkin mikroba, virus, parasit, jamur ... "

"Murka tuhan." Sambar Jacqui.

"Mungkin juga itu."

Andrea mengerang frustasi dan menggertak tangannya ke meja. "Pasti ada orang yang mengetahuinya di suatu tempat-- Pasti ada yang lain, kan? Fasilitas yang lain?"

"Mungkin ada beberapa ... Orang-orang sepertiku."

"Tapi kau tidak tahu? Bagaimana bisa kau tidak tahu?" Sindir Rick, mulai geram.

"Semuanya padam, Grimes." Suara Jenner yang dingin menggema di ruangan, membungkam semua orang. "Komunikasi, instruksi, semuanya. Aku telah berusaha selama hampir sebulan. Sendirian."

"Jadi maksudmu, tak ada yang tersisa di mana pun? Tak ada sama sekali?"

"Ya ..." Maia akhirnya buka mulut dan menuding ke arah jam yang terus mundur yang kini hanya tersisa satu jam beberapa detik. "Dan kenapa jamnya menghitung mundur? Apa yang akan terjadi kalau sudah di angka nol?"

"Generator di ruang utama akan kehabisan bahan bakar."

"Lalu?" Tanya Rick dengan nada curiga.

Keheningan mengatakan semuanya. Mereka sudah hidup dalam rasa takut dan kengerian selama beberapa minggu, tetapi kali ini hampir keterlaluan. Merasakan keselamatan untuk kemudian dirampas kembali.

⚰️⚰️⚰️

"Aku tak suka cara Jenner menutup diri!" Gertak Rick sembari mereka berlari, segera memeriksa bahan bakar yang tersisa di ruang bawah tanah.

Saat semua orang mulai sibuk, listriknya mendadak padam karena sistemnya menurunkan semua pemakaian tenaga yang tak penting, mungkin untuk tetap menjalankan komputer hingga detik akhir. Sekarang ini, di tempat Maia dan Andrea berkeliling, semua generator sudah mati dan banyak bahan bakar yang sudah kosong yang tak terhitung jumlahnya.

"Tak mungkin cuma tersisa satu!" Shane mengerang di suatu tempat.

"Sebaiknya kita naik dan tanyakan cecunguk itu." Daryl menendang salah satu generator dengan kasar.

"Kalau dia tak mau jawab?" Tanya Maia.

"Kita hajar dia."

Setelah bicara begitu, semua orang sepakat dan kembali ke Aula 5, mengerubungi Jenner seperti seorang pencuri yang terpergok.

"Orang-orang perancis." Kata Jenner, sebelum mereka sempat bicara dan meneriakinya.

"Apa?"

"Sejauh yang kutahu, mereka yang terakhir bertahan sementara bangsa kita berlari keluar atau bunuh diri di lorong, mereka tetap di lab hingga akhir. Mereka pikir mereka nyaris temukan solusinya."

"Apa yang terjadi?"

"Hal yang sama dengan kejadian di sini. Tak ada jaringan listrik, kehabisan bahan bakar." Ujarnya. "Dalam kejadian kerusakan daya listrik yang parah, HIT dikerahkan untuk mencegah adanya organisme keluar dari sini."

"HIT?"

"Peledak udara bertenaga panas tekanan tinggi yang menghasilkan gelombang berkekuatan dan berdurasi lebih besar dibanding peledak lainnya kecuali nuklir, diatur untuk membakar udara yang nantinya akan melenyapkan kehidupan dan bangunan ... tanpa rasa sakit."

"Oh sial."

Kepanikan meledak di sepenjuru ruangan. Sophia dan Carl menangis pada ibunya, sisanya mengutuk Jenner seraya berjuang menahan dorongan untuk mengulitinya hidup-hidup.

"Buka pintunya, Dokter Jenner!"

"Ini di luar kendaliku. Sebaiknya kalian pasrah saja karena itu akan lebih mudah." Suara Jenner dingin dan hampa, seolah dirinya tak peduli lagi apa yang orang-orang akan katakan tentang dirinya. "Lebih baik seperti ini."

"Apa? Lebih mudah untuk siapa, dasar kau sialan?!" Daryl tak kuasa menahan diri lebih jauh lagi, meninju wajah pria itu tetapi Rick dan Shane cukup gesit untuk menariknya jauh-jauh.

"Kalian semua, apa yang ada di luar sana, kehidupan singkat yang berbahaya dan kematian yang menyiksa." Jenner menuding Andrea. "Apa yang terjadi pada saudarinya. Kalian telah melihatnya, kan?"

"Aku. Tak. Menginginkan. Ini." Rick membentaknya. "Cepat buka pintunya karena aku tak bisa mendobraknya."

"Pintu itu dirancang untuk menahan roket."

"Tapi kepalamu tidak--" Daryl hendak melempar kapaknya ke kepala pria itu tapi Maia kali ini sukses menahannya, merengkuh badan Daryl erat-erat hingga dirinya tenang.

Jenner tersenyum lembut pada Maia yang kini tengah memeluk Daryl, lalu mengangguk. "Bukankah lebih nyaman untuk mendekap orang yang kau sayangi dan menunggu waktu habis?"

"Kubilang lepaskan kami, dasar brengsek!" Kali ini Shane yang lepas kendali. Dia mengambil shotgunnya dan mengarahkannya ke kepala pria itu.

Sekali tarikan, maka Jenner akan tamat. Tapi kalau Jenner tamat, mereka juga akan tamat-- Dengan pikiran itu, Rick dan Dale mencegahnya menarik pelatuk, namun Shane terlalu bersikeras dan meledak-ledak. Jadi Rick mau tak mau mesti memukulnya sampai jatuh dan menyita senjatanya.

"Kau berbohong, Jenner." Rick memandang orang-orangnya yang mulai lemas tak berdaya. Mata mereka, apa yang terpancar di sana. "Mengenai tak ada harapan. Jika itu benar, kau pasti sudah lari atau menembak kepalamu sendiri seperti mereka. Namun kau tak melakukannya. Kenapa?"

"Itu tak penting."

"Ya itu penting, Jenner. Kau menetap di sini sementara rekan-rekanmu pergi. Kenapa?"

"Karena aku sudah berjanji kepadanya," Dia menuding layar. "Kepada istriku, subyek tes nomor 19. Dia memohon agar aku terus bertahan selama yang aku bisa, bagaimana aku bisa menolaknya? Dia sekarat, dan semestinya itu aku karena aku takkan menjadi masalah bagi siapa pun. Tapi dia? Dia merupakan suatu kehilangan bagi dunia. Dia yang mengelola tempat ini, bukan aku."

"Istrimu tak ada pilihan, tapi kau ada. Dan itu yang kita inginkan." Maia menyambar. "Kesempatan." Lirihnya berjuang agar tak menangis. "Biarkan kami tetap berusaha selama yang kami bisa, Jenner."

Jenner menatap Maia selama beberapa saat. Setelah beberapa menit, pria itu mengangguk dan berjalan ke meja depan, tempat dia menaruh alatnya, membuka pintunya.

"Itu kesempatan kalian. Ambilah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top