PRESENT

SATURDAY,
SEPTEMBER 08, 2018

Mom tidak bisa berfungsi tanpa Star. Tanpa Star yang hidup dan bernapas.

Semenjak kematian Star, aku tak pernah melihat Mom keluar dari rumah. Untuk sekedar menghirup udara segar, maupun untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dad dan Stormy menjadi dua orang yang mengambil alih pekerjaan Mom. Tapi, keduanya memiliki banyak hal lain yang harus mereka pikirkan selain sekadar makanan di dalam kulkas. Mungkin itulah mengapa sekarang ini kulkas sedang kosong, tanpa apapun selain sebotol susu dan apel.

Star suka apel. Star suka memakan buah dan sayur.

Tapi aku tidak.

Aku menghela napas sembari menutup kulkas. Mataku kemudian teralih pada sosok Mom yang kali ini duduk di atas meja makan dengan laptop di hadapannya. Dia terlihat sedang memandang layar laptop dengan earphone yang menyumpal telinganya. Terlihat begitu normal. Tapi, di balik kenormalan itu, aku tahu bahwa Mom tidak benar-benar melihat, telinganya tak benar-benar mendengar.

Mom tidak di sini.

Sosoknya seolah menghilang bersamaan dengan menghilangnya Star dari hidup kami.

Memutuskan bahwa aku sudah lelah melihat Mom seperti itu, aku segera pergi dari rumah setelah mengganti celana pajamaku dengan sebuah jins, dan melapisi kausku dengan hoodie merah yang kudapatkan dari thrift store sekitar tiga bulan lalu, serta meraih dompet yang sebelumnya kugeletakkan di atas meja belajarku.

Musim gugur adalah musim paling aneh bagiku. Aku menyukai musim gugur, tapi di saat yang bersamaan aku membencinya. Aku membenci dedaunan yang terjatuh dari pohon. Ada sesuatu yang sangat menyedihkan dari semua itu. Pohon-pohon seolah mengingatkan, bagaimanapun indahnya sesuatu, akan ada saat di mana semua itu mati.

Aku memasuki sebuah convenience store dan membeli beberapa makanan ringan sekaligus hal-hal yang biasanya Dad atau Stormy beli; sup kaleng, ramen instan, sereal, susu, dan yoghurt.

Setelah selesai mendapatkan segala hal yang kuinginkan--yang menghabiskan terlalu banyak uangku (tentunya aku akan meminta uang ganti pada Dad nanti)--, aku keluar dari bangunan tersebut.

Hal pertama yang ditangkap oleh mataku adalah sebuah taman kecil. Aku tidak pernah menghabiskan waktu di taman. Bahkan, aku tak pernah pergi ke taman sendirian. Tapi, entah kenapa, taman terdengar jauh lebih baik saat ini.

Dan begitulah cerita bagaimana aku berakhir duduk di salah satu bangku taman sembari memakan sebuah sandwhich dengan sebotol kecil susu. Sembari mengunyah sandwhich pelan-pelan, mataku melirik ke arah jalanan. Kuperhatikan tiap-tiap mobil yang lewat, tiap-tiap orang yang berjalan, dan tiap-tiap daun yang berjatuhan.

Meski ini bukanlah sesuatu yang sering aku lakukan, semua ini terasa begitu menenangkan. Mungkin yang aku butuhkan hanyalah untuk menjauh dari semua orang di tempat lain. Bukan di kamarku yang dulunya juga adalah tempat Star tidur. Bukan rumah yang juga menjadi tempat Mom bercengkrama dengan kesedihannya.

"Sunny."

Mendengar namaku di sebut, aku mendongakkan kepalaku. Kai telah berdiri beberapa langkah dariku dengan sebuah bola basket di tangannya. Di belakangnya, sosok Yuta dan Ray sudah berdiri. Ketiganya terlihat berkeringat.

"Oh hey Kai!"

Aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan bertemu dengan Kai di tempat ini.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Hanya sedang ingin menghirup udara segar," jawabku. Sandwhich pertamaku sudah habis, aku mengambil sandwhich kedua sekaligus terakhir dan mengangkatnya ke arah tiga laki-laki di hadapanku. "Kalian mau?"

Kai dan Ray kompak menggelengkan kepala mereka, namun Yuta berkata "terima kasih" dan meraihnya dari genggamanku. Aku hanya terdiam ketika mataku menangkap sosok Yuta memakan sandwhichku dengan lahap.

"Kalian baru saja berolahraga?"

"Yeah," jawab Kai, "ada sebuah lapangan basket di taman ini, tak begitu banyak orang yang menggunakannya."

Oh. Aku bahkan tidak tahu jika ada lapangan basket di taman ini.

Aku meminum susuku sembari memperhatikan sosok Ray dan Yuta yang berbincang. Keduanya memperhatikan ponsel Ray sembari sesekali tertawa. Entah apa yang sedang mereka lihat saat ini, tapi aku bisa mendengar beberapa nama perempuan di sekolahanku keluar dari bibir mereka.

"Kau mau ke rumahku?" Kai bertanya tiba-tiba, menyebabkan pandanganku segera beralih pada sosoknya. "Ray dan Yuta akan ke sana juga. Mom ingin bertemu denganmu. Dia merindukanmu."

Rindu. Aku tidak pernah sekalipun mendengar seseorang merindukanku.

Ibu Kai, Grace, adalah sosok wanita yang penuh dengan cinta. Dia sangatlah baik, dan sebagai nilai tambah, Grace sangat pintar dalam hal membuat kue.

Dulu, Star beberapa kali membawaku ke kediaman keluarga Knight, hal itu berhasil membuat Grace cukup familiar terhadapku. Ketika Star menghabiskan waktunya dengan Dave, dan meninggalkanku, Grace selalu mengajakku untuk mengobrol mengenai banyak hal, terkadang dia juga akan mengajakku untuk membuat kue bersamanya. Star juga beberapa kali memberi tahuku bahwa Grace sempat mengajarinya cara memasak makanan kesukaan Dave.

"Aku yakin suatu saat aku akan melihatmu dan Dave mengucap janji," Grace sering mengatakan itu pada Star. Sayangnya, ucapannya itu tidaklah menjadi kenyataan. Pada akhirnya, keyakinan hanyalah keyakinan. Hal ini membuatku berpikir, tak peduli seberapa yakinnya kita terhadap sesuatu, tak berarti sesuatu itu akan menjadi kenyataan.

"Benarkah?" aku akhirnya merespon ucapan Kai setelah beberapa saat.

"Yeah, tentu saja. Dia pasti akan sangat senang jika kau ke rumahku."

Aku terdiam sejenak. Memandangi sosok Kai yang juga memandangiku. Memandangi Yuta dan Ray yang kini tertawa terbahak-bahak pada sesuatu yang tidak jelas. Memandangi sebuah mobil sedan yang bergerak melewati jalan.

Aku kemudian mengangguk. "Oke."

Kai tersenyum semakin lebar.

[-][-][-]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top