Red String


“Halo, kau di mana, Kak?”

Manik abu-abu seindah bulan purnama pada malam hari bergulir menatap sekitar, bibirnya mengeluarkan suara pelan.

“Bangku nomor berapa?”

“Empat? Ah! Ketemu! Hei!”

[Full Name], ia mematikan panggilan telepon yang sedang berlangsung lalu berjalan kearah meja kafe nomor empat, senyumnya mengembang melihat seorang wanita bersurai pirang yang tengah duduk di sana.

“Halo, Kak Rachel!”

Rachel melambaikan tangannya anggun pada gadis bersurai pendek berwarna silver itu, “Hei, [Name].”

“Wah, kakak sampai di Korea kapan?” ucap [Name] sambil mendudukkan dirinya di kursi kosong yang berada di hadapan wanita itu.

“Sore kemarin.”

“Kenapa tidak bilang? Aku bisa menjemputmu.”

“Tak perlu, nanti kau kerepotan. Lagipula kan ada taksi.”

“Ah, begitu..” [Name] menggaruk tengkuknya, “Jadi..? Bagaimana?”

Rachel tersenyum, lalu merogoh isi tas branded miliknya di pangkuan, mengeluarkan sesuatu lalu memberikannya pada [Name].

[Name] tersenyum sendu, maniknya berkaca-kaca, bibirnya terkekeh menatap sesuatu di tangannya saat ini, menatapnya begitu lamat.

“Mereka sehat kan?”

“Seperti yang kau lihat.”

[Name] menatap Rachel lalu terkekeh, ia mengusap sudut matanya yang terasa basah.

“You good?” ucap Rachel sedikit cemas, tangannya terulur mengusap puncuk kepala [Name].

“Yes. I'm good, just ignore my tears.”

[Name] tertawa, “Yah.. selama mereka bahagia dengan pasangan masing-masing.”

Rachel menggigit bibir bawahnya, hatinya terasa diremas kencang tanpa aba-aba. Senyum yang tak pernah berubah sama sekali semenjak peristiwa sembilan tahun yang lalu. [Name] yang polos, gadis yang baru saja menginjak usia remaja, kini berada di hadapannya dengan wajah dewasa.

Merogoh saku celananya mengeluarkan sebuah kartu, “Aku minta tolong, Kak. Berikan ini pada Ayah, bilanglah padanya bahwa mulai sekarang tak perlu mentransferku uang lagi. Katakan, [Name] sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri.”

Setitik air membasahi pipi Rachel, “[Name]..”

[Name] tersenyum, kedua pipinya telah basah karna air mata, “Bilang pada mereka, aku sangat berterima kasih atas kerja keras mereka untukku selama ini. Aku sangat menyayangi mereka.”

“Katakan pada Ibu..” [Name] menunduk, memainkan jemarinya sambil menahan isak, “K-katakan.. aku sungguh meminta maaf, aku menyayanginya.”

“Cukup, [Name].”

Rachel berdiri dari duduknya lalu menarik [Name] masuk kedalam pelukannya, ia memeluk erat gadis itu sambil menangis, tak memperdulikan sekitar yang mulai menjadikan keduanya sebagai tontonan.

“Kau bisa pulang kesana jika kau mau.”

“Aku harus pulang kemana, Kak?” [Name] menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rachel, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

“Rumahku sudah roboh sembilan tahun yang lalu.”

“Ayo bercerai.”

“Huh? [Mom's Name]? Apa maksudmu?”

“Rumah tangga kita sudah di ambang kehancuran, tak perlu menunggu hingga pada akhirnya benar-benar terjadi, itu membuang-buang waktu.”

Ayah [Name] menatap sang istri dengan wajah datar, “Itu bukan alasan yang sesungguhnya, bukan?”

“Kau peka sekali.”

[Dad's Name] memalingkan wajahnya kearah lain lalu tertawa miris, “Baik, mari bercerai.”

“Jadi [Name] akan ikut siap-”

“Ayah dan Ibu mau bercerai?” [Name] datang tiba-tiba mengagetkan kedua orangtuanya yang sedang mengobrol itu.

“Serius?” wajah [Name] begitu kosong, tak ada emosi tergambar.

“[Name] sayang, kok belum tidur?” hendak menggapai tangan kurus sang putri, sebuah tepisan terlebih dahulu menghentikan niatnya.

Plak!

“[Name]?” kaget pria paruh baya itu.

“Aku tak mau tinggal dengan salah satu dari kalian.”

[Name] berjalan menjauh, “Aku tak membenci kalian, Ayah, Ibu.”

“Ini semua kan salahku.”

“Yang patut dibenci itu aku.”

“Jangan tinggal denganku, nanti kalian kena sial loh, aku kan anak pembawa sial.”

Deg!

[Name] menoleh sekilas kebelakang, memberikan senyuman ringan yang penuh arti.

“Lakukan sesuka dan sebahagia kalian!”

“Hiraukan aku!”

“Sampai aku menangis darah pun, Ayah dan Ibu tak akan bisa saling mencintai lagi.”

•••

“Wajahmu sembab, kau habis menangis?”

[Name] menepis lembut tangan kekasihnya yang terulur hendak mengusap matanya, “Iya.”

“Kenapa? Ada yang mengganggumu?”

“Tidak kok.”

Sang gadis menggeleng, kemudian menatap lurus televisi yang sedang menayangkan kartun favoritnya.

“Gun.”

“Hm?”

“Cinta kita akan berubah tidak ya kedepannya?”

Gun menoleh, ia sedikit kaget mendengar ucapan ngawur dengan nada begitu datar dari bibir gadisnya.

“Tidak akan.”

“...”

Grep!

“Sudah, jangan berpikiran aneh. Kau sudah jadi calonku.”

[Name] terkekeh, ia membalas pelukan pemuda di sampingnya dengan erat, “Aku mencintaimu!”

“Aku mencintaimu juga.”

“Kapan kita menikah?”

Menaikkan sebelah alisnya, “Kau mau kapan?”

“Terserah, besok juga boleh.”

Si manik iblis tertawa lalu mengecup pipi sang gadis bertubi-tubi, “Besok? Boleh!”

“Hah?! Serius?!”

[Name] melotot kaget, “Jika kau mau.”

“J-jangan dong! Aku belum siap!”

“Tadi kau bilang besok boleh.”

“Kan bercanda..” gumam [Name].

Gun terkekeh lalu mengangkat [Name] dan mendudukkannya di atas pangkuannya, melirik jam di dinding, menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit.

“Mau keluar jalan-jalan?” tawar Gun.

“Kemana?” tanya [Name].

“Kau ingin kemana?”

“Um.. beli cheesecake yuk!”

“Baik. Ayo ambil jaket dan kunci mobil dulu.”

Keduanya saling menggenggam erat, benang takdir mereka tak akan bisa putus, begitu melilit erat keduanya. Bahkan orang ketiga tak mampu memutuskannya.

Sejauh apapun mereka berjauhan, cinta keduanya tak pernah sedikitpun menguap.

Dari awal mereka memang ditakdirkan bertemu dan saling mencintai, tapi tak tahu apakah mereka ditakdirkan bersama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top