Guardian Devil


Di dalam sebuah kamar bernuansa pink pastel, seorang gadis kini sedang duduk di atas pinggiran kasur dengan seorang pemuda berjongkok di depannya.

Angin masuk melalui ventilasi udara di pojok atas ruangan, membuat suhu di dalam kamar itu  menjadi sejuk.

“[Name].”

“Hm?”

Gun terpaku melihat raut wajah kekasihnya, begitu datar, tak ada emosi tergambarkan. Ini hal yang ia takutkan akhirnya terjadi.

“Itu bukan salahmu.”

“...” manik abu-abunya bergulir ke samping, menghindari kontak mata dengan pemuda di hadapannya.

“Jangan salahkan dirimu.”

“Andai saja Kakak tak menolongku-”

“Hei!” Gun menepuk bahu [Name] pelan, mengintruksi gadis itu untuk menghentikan ucapannya.

“Jangan begini lagi, [Name].”

Matanya mengerjap kemudian ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Maaf..”

“Aku tiba-tiba ingat dulu,” gadis itu menunduk, punggungnya kembali bergetar.

Gun sontak langsung menarik gadis bersurai silver itu ke dalam pelukannya, “Kuatkan bentengmu, aku berjaga di depan.”

[Name] meremas jemarinya di dalam dekapan, “Everything will be fine, right?”

“Hm. Of course.”

Dia berkata seolah semuanya akan baik-baik saja, meski kenyataan kehancuran sedang perlahan terjadi.

“Aku tadi memalukan ya..?” lirih [Name], Gun menggeleng sambil mengelus kepala gadis di dalam pelukannya itu.

“Besok aku mau bolos.”

“Huh? Tidak boleh!” ucap Gun.

[Name] ingin menangis, “Pasti satu sekolah mengejekku! Aku seperti orang gila!”

“Aku malu..” air mata luruh ke pipinya, ia malu sekali, orang-orang di sekolah pasti mengira dirinya tak waras saat melihatnya terkena serangan panik tadi.

“Tidak akan ada yang mengejekmu, kalaupun ada tunjukkan orangnya, biar jadi urusanku.” Gun mengelus punggung [Name] lalu mengecup puncuk kepalanya beberapa kali.

“Aku mau di rumah saja!” [Name] terisak.

“Aku mau di rumah saja.”

Jong Gun menghelakan nafasnya, ia tak bisa memaksa gadis itu, mentalnya sedang goyah.

“Baiklah, kau tak perlu ke sekolah, aku akan membuatkanmu surat ijin besok.”

Dalam batin Gun menggerutu, ‘Padahal baru saja satu hari sekolah setelah libur dua Minggu.’

•••

Gun melirik gadisnya yang sedang tertidur di atas kasur, wajahnya begitu tenang. Beberapa saat lalu ia menawari gadis itu untuk pergi ke psikiater, namun ditolak mentah-mentah.

“Traumamu sepertinya kambuh.. mau ke psikiater? Aku akan menemanimu.”

“Tidak mau! Aku baik-baik saja!”

Jam dinding menunjukan pukul enam lebih lima puluh tiga menit, langit di luar sudah gelap.

Gun beranjak dari atas sofa lalu berjalan menuju balkon kamar. Merogoh saku kemeja, mengeluarkan rokok sekaligus pematiknya.

Pintu balkon ia tutup terlebih dahulu, sebelum menyalakan tembakaunya, agar asap tak masuk.

Huft!

Asap putih pekat keluar dari mulutnya, pikiran yang semula kacau perlahan menjadi tenang, rokok memang yang terbaik. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, empat tahun yang lalu.

Falshback start!

Seorang pemuda mengenakan sebuah syal biru di lehernya nampak sedang berjalan sendirian di atas aspal yang dingin.

Sudut bibirnya lebam, ia nampak habis bertarung dengan seseorang.

Bugh!

Bugh!

“Hentikan! Hentikan! Jangan pukuli kakakku!”

“Berhenti! Ku mohon! Kakakku tak bersalah!”

Langkahnya terhenti saat mendengar jeritan pilu bercampur isak tangis dari dalam sebuah gang yang tak jauh darinya berada. Karna rasa ingin tahu yang tinggi akhirnya pemuda itu memutuskan untuk mengecek kedalam gang tersebut.

BUGH!

BUGH!

BUGH!

Semakin dekat, bunyi pukulan membabi buta terdengar semakin jelas, alisnya berkerut saat baru sadar jika suara tangisan serta permohonan yang ia dengar barusan merupakan suara milik seorang anak perempuan.

“KUMOHON! KAKAKKU TIDAK SALAH!”

“BERHENTI! DIA BISA MATI!”

“KUMOHON MAAFKAN AKU!”

Sungguh pemandangan mengerikan. Di dalam gang itu ada seorang anak laki-laki yang sedang dipukuli tanpa ampun oleh sekitar lima orang anak laki-laki berbadan lebih besar darinya dua kali lipat, pakaian yang dikenakan anak malang itu kotor dan penuh darah.

Seorang gadis yang diketahui merupakan adik dari anak malang itu mencoba mencegah lima orang yang memukuli kakaknya itu namun sayang, kekuatannya tak seberapa. Ia terbanting beberapa kali ke tembok gang saat berupaya menolong kakaknya.

Park Jong Gun, pemuda berumur enam belas tahun itu berdecih, ia merasa jijik melihat lima orang yang memukuli secara bersama-sama anak laki-laki malang itu. Menindas yang lebih lemah, keroyokan lagi! Lebih buruk dari sampah!

“Hei!”

Lima orang sekaligus seorang gadis bermanik abu-abu yang sedang menangisi kakaknya itu menoleh kearah Gun yang berdiri di ambang gang.

Melihat pemuda itu, gadis bermanik abu-abu langsung berlari kearah Gun, lalu dengan menangis ia memohon, “Tolong kakakku! Ku mohon! Mereka memukulinya dari tadi tanpa henti! Kakakku bisa mati! Dia tak bersalah!”

Gun terpaku melihat manik abu-abu berkilau di hadapannya, meski terhalang air mata ia dapat melihat dengan jelas sorot putus asa.

“Aku mohon!”

“Beritahu namamu dulu.”

Gadis itu langsung menjawab, “Namaku [Full Name]!”

Gun mengangguk-angguk lalu melepas syal yang melingkar di lehernya lalu memasangkannya di leher [Name], “Di sini dingin.”

“Oi! Kalau mau mesra-mesraan jangan di sini, bangsat!”

Salah satu dari lima orang itu berucap kesal.

Gun dengan santai berjalan kearah mereka, “Kalian menjijikan sekali, dasar sampah negara.”

“Apa?! Sialan! Bajingan ini-”

BAGH!

Brazilian kick, jurus andalan Gun. Tanpa mengeluarkan tenaga ia dapat menumbangkan salah satu dari lima anak laki-laki berbadan besar itu.

“Sial! Dupyo! Kau baik-baik saja?!”

“Ah, menyebalkan!” Gun mendengus.

BAGH!

BAGH!

BAGH!

BAGH!

Cukup satu tendangan untuk satu orang, akhirnya lima orang itu tumbang ke atas semen, mereka pingsan.

“Sudah, [Full Name]-” Gun terdiam, di sana, [Name] memangku kepala kakaknya di atas paha dengan sorot mata kosong lurus kedepan.

“Ayo bawa kakakmu ke rum-”

“Terlambat.”

[Name] mendongak menatap Gun, ia tersenyum namun air matanya banjir, “Badan kakakku dingin, denyut nadinya tidak ada.”

Grek!

Gun tersentak dari lamunannya, ia menoleh kebelakang, [Name] dengan wajah mengantuk berdiri di ambang pintu balkon, menatap kearahnya.

“Gun.”

“Hm?” rokok yang masih menyala di antara jari telunjuk dan tengahnya ia remas hingga mati dan tak mengeluarkan bara api atau asap lagi, lalu ia buang ke bawah sana.

[Name] berjalan kearahnya, sontak saja pemuda itu langsung merentangkan tangannya dan membawa gadis itu dalam pelukannya.

“Aku habis mimpi buruk.”

“Hm..? Lupakan saja, jangan diceritakan.” Gun mengelapkan tangannya ke celana dulu sebelum digunakan untuk mengelus puncuk kepala [Name], bekas memegang rokok.

[Name] mengangguk-angguk, “Kenapa setiap aku mimpi buruk kau selalu tak mengijinkanku untuk menceritakannya pada siapapun?”

“Karna hal buruk tak perlu dibahas, apalagi kau bagi dengan orang lain. Lupakan saja.”

Gadis bersurai silver itu mengangguk lalu menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Gun yang terbalut kemeja, “Kau bau rokok.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top