23. Her Name Is Greisy [23]
Saat Hydra meninggalkan kelas, dia melihat Rean duduk di pagar balkon. Pemuda itu menatapnya beberapa saat, bibirnya terkatup rapat, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung tidak tahu apa yang harus dia katakan?
Rean hanya merasa berat. Dia selalu ingin menatap Hydra. Lebih lama dan lebih lama, seolah satu kali saja dia memalingkan wajahnya, dia akan kehilangan Greisy selamanya.
Tapi dia sudah ditolak.
Greisy tidak lagi mencintainya. Greisy tidak lagi menganggap Rean sebagai objek pemujaannya.
Rean terus bertanya-tanya dan menyesalkannya. Andai ... dia lebih sadar terhadap perasaannya lebih awal. Andai saja dia mengetahui betapa berharganya Greisy untuk dirinya sendiri beberapa tahun lalu, melindunginya ... tidak membiarkan siapa pun menyakiti Greisy, menghancurkannya.
Greisy tidak akan menjadi sosok yang rendah diri seperti sekarang.
Dia tidak membutuhkan cinta siapa pun lagi. Bagi Greisy, kehidupan yang damai dan tenang sudah lebih dari cukup.
Hydra tersenyum, berjalan menghampirinya, mengeluarkan beberapa permen cokelat dari saku seragamnya, lalu meletakkannya di telapak tangan Rean.
"Muka lo kelihatan mendung banget. Makan cokelat buat balikin mood."
Greisy benar-benar orang baik. Bahkan setelah Rean mengabaikannya, dia masih akan mendekati Rean saat menyadari Rean terus memperhatikan.
Rean menelan ludah. Berbisik serak, "Gue nggak suka yang terlalu manis."
"Jadi, lo lebih suka nelen yang pahit?"
Mata mereka saling menumbuk, Hydra tersenyum main-main. Lalu tertawa kecil, "Nggak semuanya yang manis itu jelek, nggak setiap hal pahit bisa lo telen. Yang terlalu pahit juga bikin sakit."
Rean linglung. Kata-kata Hydra terlalu ambigu, dia mengepalkan tangannya, menggenggam permen cokelat itu lebih erat.
"Lo suka yang manis?" dia mencari topik pembicaraan. Berharap bisa bicara dengan Hydra lebih lama. "Yang manis gue suka, yang pahit juga nggak apa-apa. Asam atau asin, semuanya gue suka."
Hydra merenungkannya, lalu menyeringai, "Sebenernya ... gue nggak benci apa-apa, tapi gue lebih takut sama rasa sakit."
"Takut sakit?"
"Mm." Hydra mengangguk. Dia memasang ekspresi humor, "Gue itu ... tipe orang yang bisa nangis beberapa jam karena kulit kegores pisau. Dulu, gue nggak tahan sama rasa sakit."
Rean merasa sesak. Membayangkan sejak Jimmy cs selalu menyakitinya, melukai fisik Greisy sepanjang waktu. Di mana Greisy menangis selama ini? Berapa lama dia menangis sampai bisa meredakan kesedihannya, rasa sakitnya?
"Sekarang, gue agak terbiasa." Hydra berbisik lembut. "Tapi kalo bisa dihindari, gue masih lebih berharap dihindari."
Rean tertegun. Hydra mengerjap, dia melihat Rean lalu menyeringai, "Gue dipanggil guru sekarang. Gue duluan."
Rean melihat Hydra yang melangkah semakin jauh, menatap punggungnya yang kian mengecil sebelum akhirnya menghilang saat berbelok.
Bibir Rean memanggil serak, "Greisy ...."
Matanya panas. Hidungnya stringen. Kata-kata Hydra benar-benar membuat Rean sedih dan tidak nyaman. Dia berharap bisa menahan Hydra lebih lama di sisinya, tapi Rean tidak punya alasan.
Jika Rean tahu itu adalah terakhir kalinya dia melihat Greisy yang masih riang, dia tidak akan melepaskannya.
Bahkan walau itu artinya dia harus merendahkan dirinya, berlutut agar Greisy tetap tinggal, dia tidak akan membiarkan Greisy pergi.
***
"Guru ini ngasih tugas asal-asalan. Jelas dia diperintah Jimmy buat bikin lo lebih lama tinggal di sekolah, kan?"
"Mm." Hydra tidak menyangkalnya. "Mereka nunggu lingkungan sekolah sepi. Setengah jam lagi, baru gue bisa pergi."
Benar saja, setelah setengah jam ... Hydra dibiarkan pergi. Pukul 7 malam, langit sudah gelap. Sekolah sepenuhnya kosong. Hydra berjalan menyusuri trotoar. Ada banyak mobil yang berlalu lalang, dia menuju halte dalam suasana hati yang baik.
Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di sisinya. Hydra menoleh begitu pintu mobil terbuka, hanya dalam beberapa detik, dia dibekap dan diseret masuk ke dalam mobil.
Diculik.
Hydra tidak mengenal orang yang menculiknya sekarang, tapi dia dia tahu siapa orang yang memberi mereka perintah.
Hydra mencoba meronta asal-asalan, namun jarum suntik menusuk lehernya, obat bius didorong ke peredaran darahnya, lambat laun ... rontaannya melemah, dia kehilangan kesadaran sepenuhnya.
Yara di sisi Hydra gelisah, walau dia selalu yakin Hydra adalah orang yang kuat, bukan berarti dia bisa berhenti khawatir. Tidak ada jaminan kalau rencana Hydra akan sukses, bagaimana ... kalau orang-orang itu justru berhasil melakukan rencana mereka?
Walau Hydra bilang dia tidak akan kalah, Yara masih selalu mencemaskannya.
***
"Hydra!"
Panggilan itu terus berdengung. Suara tangisannya begitu pilu, dia terus mencoba membangunkan sosok yang terbaring lemah di tempat tidur.
"Hydra, bangun! Nggak lama lagi Jimmy cs dateng, mereka nggak lama lagi dateng. Bangun!"
Perlahan, kelopak mata Hydra yang berat bergerak. Pandangannya layu dan kabur, namun setelah beberapa detik, jauh lebih jelas dan jernih.
"Akhirnya lo bangun juga. Lo cuma punya waktu 10 menit buat kabur, cepetan. Cepetan."
Tubuh Hydra sakit. Jiwa di dalam tubuhnya mulai menjerit. Tangisan itu begitu pilu dan penuh keluhan, jeritannya membuat telinga Hydra pengang hampir tuli.
Ini ... tangisan Greisy.
Greisy sangat ketakutan. Tubuh Hydra tidak berhenti gemetar. Dia terus menjerit pilu, seolah sudah ada di ambang keputusasaan. Dia tidak tahan. Dia tidak mampu. Dia hanya ingin mati. Kenapa mereka tidak mau melepaskannya?
Kenapa mereka terus menyakitinya?
Dari awal sampai akhir, Greisy tidak pernah dicintai, dia tidak memiliki apa-apa. Dia hanya ingin menjadi orang pinggiran, tidak punya ambisi untuk naik ke puncak atau apa pun.
Hanya karena dia jatuh cinta pada Rean ....
Hanya karena dia sangat naif menolak Jimmy.
Atau ... hanya karena dia tokoh kertas yang bahkan tidak punya hak memilih takdir hidupnya sendiri?
"Greisy ... tenang." Hydra bersuara parau. Berusaha menahan tangisannya, tubuhnya kehilangan kendali. "Greisy ... kita bebas hari ini, ini yang terakhir."
Tapi Greisy masih menolak kendali Hydra sepenuhnya. Hydra menggertakkan giginya, tangisan yang keluar dari mulutnya masih rancu.
"GREISY, KALO LO NGGAK TENANG KITA NGGAK BISA LARI!"
Baru setelah teriakan Hydra, tubuhnya menjadi lebih mudah dikendalikan. Hydra terengah-engah, Yara juga tidak berhenti menangis. Dia menutup mata dengan kedua telapak tangannya.
Hydra mencoba menggerakkan tangannya, tapi terlalu lemah, lambat ... dia berusaha memasukkan tangan ke dalam saku, masih sulit.
"Lo mau ambil pisau?" Yara bicara di sela-sela tangisnya.
Hydra mengangguk kecil. Dia terus mencoba, tapi kesulitan. Waktu berjalan begitu cepat, Yara lebih panik dan gugup. Hydra selalu gagal meraih pisaunya. Yara mencoba menyentuh Hydra, tapi dia tidak bisa.
Dalam kecemasannya, Yara melihat pisau buah di nakas. Dia tidak tahu apa yang akan Hydra lakukan? Namun Yara masih mencoba mengambil pisau itu, sepertinya ... lebih mudah menyentuh hal-hal yang belum disentuh Hydra?
Yara juga tidak tahu. Dia hanya mencobanya.
Jiwanya terdistorsi, rasa sakit mencekiknya hampir membuat Yara kehilangan kendali. Tapi melihat Hydra yang tidak menyerah, Yara juga tidak mau. Dia ingin melakukan sesuatu untuk seseorang yang saat ini berusaha menyelamatkannya.
Yara berhasil.
Dia memegang pisau, lalu buru-buru menyerahkannya ke telapak tangan kiri Hydra.
Hydra menggenggamnya, terkejut. Sebelum dia mengucapkan terima kasih, dia melihat sosok Yara yang sejak awal entitasnya transparan semakin memudar.
Hydra menggertakkan giginya. Amarahnya membeludak.
"Apa yang bakalan lo lakuin sama pisau it- Hydra!" saat Yara akan bertanya apa gunanya pisau itu? Hydra menggenggam pisau erat, mengayunkannya lalu menikam bahu kanannya sendiri.
Darah merembes membasahi seragamnya.
Tangisan Yara pecah. Dia berteriak gila, "Kenapa lo nyakitin diri lo sendiri?!"
Kalau Yara tahu pisau itu digunakan Hydra untuk melukai tubuhnya, dia tidak akan berusaha keras untuk mengambilkannya.
Wajah Hydra pucat. Namun rangsangan sakit itu membuat Hydra perlahan mendapatkan kendali seluruh tubuhnya. Matanya memerah, air mata refleksi kesakitan itu mengalir lebih banyak. Pelipisnya dihiasi lapisan keringat.
Hydra perlahan bangkit, mencabut kembali pisau di bahunya, lalu berkata terengah, "Ayo ..." Hydra turun dari kasur, melangkah terhuyung, pisau di tangannya jatuh. "Kita nggak punya waktu lagi."
Jika Jimmy dan dua bajingan itu datang sebelum Hydra pergi, rencananya akan benar-benar gagal.
Yara mengikuti Hydra. Selangkah demi selangkah, matanya menatap punggung sedikit melengkung itu dengan sorot kosong.
Dalam hidupnya ... Yara tidak pernah melihat seseorang yang tidak ragu menikam dirinya sendiri seperti itu.
Seberapa banyak rasa sakit yang Hydra rasakan dalam kehidupan aslinya?
Bibir Yara mengerut, dia berusaha untuk tidak menangis lagi.
Seberapa dalam luka yang ditinggalkan orang-orang dalam kehidupan nyatanya ... sampai Hydra merasa tikaman pisau yang begitu dalam itu bukanlah apa-apa?
***
Vote dulu.
Absen dulu.
Kali ini update dalam seminggu. Mood nulis saya keknya lagi bagus. Update di KaryaKarsa aja hampir setiap hari. #gosoktangan
Btw, 2 chapter lagi tamat. Lalu ada 5 bonus chapter HNIG yang saya posting di KK nanti. HAHAHAHAHAHA. Itu bonus chapter yang ada di versi novelnya. Sementara novelnya akan saya terbitkan setiap 3 ARC. (Book 1 : Her Name is Greisy, Everybody Loves Me, Little Happiness).
Untuk versi Wattpad, dari ARC 1 bakalan lompat langsung ke ARC 6. Mengingat proses tamat di KK bisa 3x lebih cepat dari di Wattpad. Tapi nanti setiap prolog ARC-nya saya posting berurutan di work ini. Biar tetep nyusun.
Ngomong-ngomong, ARC 2 EVERYBODY LOVES ME udah tamat di KK. Silakan mampir. Sekarang di KK udah masuk ARC 3 LITTLE HAPPINESS. Welcome beloved ORC. Berikut sinopsisnya :
JANGAN LUPA MAMPIR~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top