12. Her Name is Greisy [12]

An : Kadang namanya Rais, kadang Ruis. Yang bener Ruis. Ntar aja dibenerinnya, pas dibukuin. HAHAHAHAHA

Vote dulu.

Komen dulu.

***

"Ini."

Hydra terdiam. Dia melihat tangan cowok di depannya yang terulur, menyerahkan beberapa lembar uang kertas. Hydra baru saja meninggalkan toilet cewek. Saat ini jam kelas sedang berlangsung, jadi dia sedikit tidak menyangka akan ada seseorang yang menghadang jalannya.

Hydra mengangkat wajah, melihat wajah Halard yang babak belur. Cowok itu tersenyum tidak berdaya, "Gue tahu duit ini nggak seberapa, gue nggak bawa banyak duit cash sekarang. Cuma 3 juta, anggap sebagai ganti uang yang dipake Alva, juga biaya lo buat berobat."

Halard sedikit gugup. Greisy di matanya memiliki harga diri tinggi. Mana mungkin dia bersedia menerima uang dari seseorang yang dia benci.

Tapi sebenarnya Halard terlalu banyak berpikir. Bahkan, walau yang memberikan uang itu bajingan Jimmy, Hydra masih akan menerima uang dengan senang hati.

Yang sialan itu adalah orang-orangnya, uang mereka sama sekali tidak bersalah.

Melihat Hydra menerimanya, Halard menghela napas lega, "Kalo lo butuh apa-apa, lo bisa ngomong sama gue."

Sejujurnya, sejauh ini Halard memang tidak banyak bersalah pada Greisy. Dia ini hanya ikut-ikutan saja. Bahkan saat teman-temannya mengganggu Greisy, dia hanya akan ikut bersorak atau diam, tidak benar-benar banyak ikut campur.

Itu sebabnya juga di geng Jimmy, Hydra menjadikan Halard sebagai sasaran pertamanya.

"Sejujurnya, gue tadi mau bilang. Jangan berantem dulu, gue bermaksud gantiin duit lo yang dipake Alva sejak awal." Halard menjelaskan, "Tapi lo terlanjur emosi."

Hydra hanya tersenyum kecil. Tidak mengatakan apa-apa. Reaksinya yang tenang membuat Halard semakin gugup.

"Greisy, jangan berurusan lagi sama Jimmy dan yang lain, oke? Mereka bener-bener nggak bakalan ngelepasin lo."

"Bahkan tanpa gue berurusan sama mereka, mereka masih nggak akan ngelepasin gue." Hydra menggeleng pelan, senyumannya tampak ironi, "Tapi makasih buat peringatannya."

Hydra tidak mau mengatakan apa-apa lagi, dia melangkah terpincang meninggalkan Halard yang hanya menatap punggungnya, di samping Hydra ... Yara tampak menoleh menatap Hydra dan Halard bergantian.

"Dia orang baik." Yara memuji.

Hydra meliriknya mencibir, "Hm. Mereka semua orang baik, cuma gue yang jahat."

Yara tidak setuju, "Hydra ... lo juga orang baik." kalau Hydra tidak baik, dia tidak akan memberi Yara pertolongan bukan?

Tapi Yara memang salah paham. Hydra tidak pernah menjadi sosok yang baik hati. Dia hanya orang yang tidak suka berhutang. Entah itu kebaikan, atau keburukan.

"Tapi Rean tadi bener-bener nggak ada ampun." Yara menghela napas. "Dia bener-bener bisa bikin kelompok Jimmy mundur."

"Mungkin, karena nggak ada yang bener-bener cidera parah, kalau mereka akhirnya berselisih ... kerugiannya terlalu banyak." Hydra menjelaskan, "Rean ini anak tunggal. Hidupnya udah macem Pangeran di negeri dongeng. Jadi kalau dia udah tersinggung, keluarganya pasti bakalan habis-habisan."

"Di dunia gue sebelumnya, orang tua gue juga kayak gitu. Kakak gue juga kayak gitu." Yara mengingat keluarganya, dia tidak bisa menahan senyum. "Lio juga baik."

"Ya." Hydra setuju, "Lo di kelilingi sama banyak orang baik, jadi lo harus pulang."

Bagi Hydra ... bahkan walau dirinya sendiri terjebak di dalam novel, dia harus memastikan Yara kembali ke tempat asalnya, tempat di mana ada begitu banyak orang yang mencintainya.

Berbeda dengan Hydra ... baginya, hidup di mana pun sama saja. Karena tidak ada orang yang benar-benar menunggunya, tidak ada orang yang mengharapkan kehidupannya.

Percaya atau enggak, ke mana pun lo mau pergi ... gue pasti ngikutin setiap langkah lo.

Tiba-tiba Hydra merasa tersesat. Maniknya terlihat gelap, dia berkedip saat teringat ucapan seseorang yang selalu mengikutinya tanpa lelah.

Setelah Hydra memikirkannya ... mungkin masih ada orang yang akan merasa kehilangannya bukan?

Hydra sudah beberapa hari memasuki dunia novel, tapi baru kali ini dia mengingat sosok Lexa lagi.

Kalo dipikir-pikir, gue mungkin sedikit kangen sama Lexa.

Hydra bergumam dalam hati, saat dia meluruskan pandangan lagi, dia melihat Rean yang berdiri, bersandar ke dinding kelas. Kepalanya tertunduk dalam, kakinya sesekali akan menendang angin dengan gerakan ringan.

Jari-jari Hydra sesaat melengkung.

Postur ini ... agak familier.

Hydra tidak akan salah. 

"Lexa?" 

Suaranya memecah hening, cowok yang sedang berdiri beberapa meter di depannya menoleh, menemukan Hydra, alisnya tampak berkerut, "Siapa yang lo panggil?"

Hydra terdiam. Hanya beberapa detik, degupan jantungnya agak kacau, namun Hydra selalu menjadi pengontrol emosi yang baik. Dia tersenyum, "Siapa yang gue panggil?"

Tidak. Tentu saja bukan.

Lexa jelas masih hidup. Dia mungkin saat ini masih menangisi kematian Hydra di depan matanya, dia tidak akan tiba-tiba muncul di depan Hydra, menjadi akrab dengannya.

Hanya saja, gerakan tadi memang terlalu sama.

Untuk sesaat, Hydra hampir tidak bisa membedakannya. 

Hydra dan Lexa mengenal selama bertahun-tahun, setiap kali Lexa menunggunya ... dia akan melakukan tindakan tadi. 

Jadi, begitu Hydra melihat Rean melakukannya, dia tanpa sadar langsung teringat pada sosok cowok yang selalu setia mengikutinya.

Konyol, mana mungkin Lexa mengikutinya sampai ke kematian bukan?

"Rean, nunggu gue?" Hydra mendekat. Dia tersenyum hangat. Pupil emasnya terlihat riang, "Ada apa?"

"Enggak. Jangan kepedean, gue nggak nungguin lo sama sekali. Kebetulan aja gue lagi ngelamun terus lo lewat." Rean berkata dengan dagu terangkat. Tampak sombong dan menyebalkan.

Hydra setuju, "Ya, mana mungkin Rean mau nunggu cewek rendahan semacam gue."

Rean hampir tersedak, dia meralatnya, "Lo sebenernya nggak sampai seburuk itu. Harus pede dong!"

Hydra hanya tersenyum.

Rean sedikit salah tingkah, dia berdehem. "Gue udah izin sama guru, ayo kita pergi ke rumah sakit. Mastiin lo nggak ngalamin cidera yang lebih fatal."

Kepala Hydra dibenturkan ke dinding oleh Jimmy, Rean takut cewek ini mengalami gegar otak. Tapi Hydra selalu sangat pendiam dan pandai menutupi rasa sakitnya, dia tidak punya sosok yang bisa dijadikannya tempat mengadu, itu sebabnya Rean berinisiatif untuk mengajak Hydra pergi ke rumah sakit.

Hydra mengangguk kecil, "Oke. Maaf bikin lo repot."

"Kalo lo tahu bisa bikin gue repot, jangan lagi ngelakuin sesuatu yang gegabah. Gimana bisa lo berantem sama 5 cowok sekaligus?" baru sekarang Rean ingat, dia benar-benar harus memarahi Hydra karena terlalu impulsif. "Seenggaknya, lo harus cari bantuan dulu."

Hydra memiringkan wajahnya. Dia tertawa saat mengatakan, "Gue dibenci sama semua orang, siapa yang mau ngasih gue bantuan?"

Rean terdiam. Dia mengepalkan kedua tangannya. Apa yang Hydra katakan memang benar. Hampir seisi sekolah membenci Greisy, jadi ... Hydra tidak percaya diri. Bahkan walau dia berteriak meminta bantuan, tidak akan ada orang yang menolongnya.

Tidak perlu lebih mempermalukan dirinya sendiri. 

"Lo ... lo bisa manggil gue." Rean berkata terbata. Ekspresinya sangat tegang, jelas dia gugup saat mengatakannya. Seolah dia takut Hydra tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Rean memelototi Hydra dan berkata tegas, "Greisy, kalo lo butuh bantuan ... lo bisa manggil gue. Gue ... gue itu bener-bener kuat."

Hydra tertegun.

Langkahnya terhenti.

Rean juga menghentikan langkah kakinya, dia berbalik ... mereka saling berhadapan. 

"Gue ..." Hydra menelan ludah, manik terangnya  berembun. Ekspresi wajahnya tampak kaget, linglung, dan tidak menyangka. Suaranya serak saat dia mengimbuhkan, "Lo ... lo bener-bener nggak keberatan kalo gue minta bantuan?"

Hati Rean terasa masam. Dia pikir ... seberapa sakit dan sulitnya hidup Greisy selama ini sampai dia begitu terharu begitu mendengar Rean bersedia memberikannya bantuan?

Rean maju selangkah, tangannya ragu-ragu mengusap puncak kepala Hydra, dia berbisik, "Hm." seolah ingin meyakinkan, Rean juga menegaskan, "Selama lo bilang, gue pasti ngasih lo bantuan."

Mendengar itu, air mata Hydra menetes satu per satu. Dia menangis terisak, tapi senyumannya begitu hangat dan lembut. 

Tangisan itu membuat Rean panik dan gemetar, "Kenapa lo justru nangis? Ucapan Reanders Rex itu lebih berharga dibanding 1000 gunung, gue jelas bisa dipercaya. Kalo gue bilang gue bakalan jagain lo ... artinya gue bener-bener bakalan ngejagain lo selamanya."

Apa bedanya mengatakan menjaga selamanya dengan mengungkapkan cinta, bodoh?

Tapi Rean sedang panik, jadi dia sama sekali tidak menyadari arti dari setiap kalimat spontannya.

Hydra tertawa. Dia mengangguk, berusaha menyeka air matanya yang terus mengalir namun sulit dihentikan. Gerakannya sangat lucu. Rean buru-buru mengeluarkan sapu tangan mahalnya dari saku celana, dia membantu Hydra dengan gerakan kikuk, menyeka air matanya.

"Jangan nangis, jangan nangis. Nggak bakalan gue biarin siapa pun ngegertak lo lagi. Jangan nangis, Greisy."

Namun semakin Rean membujuk, semakin sedih tangisan Hydra.

Yara juga di sampingnya tercengang, dia tidak tahu saat ini Hydra sedang berakting ... atau benar-benar menangis serius?

Rean agak bingung, jadi ... dia hanya menarik kepala Hydra untuk bersandar ke bahunya. Menepuki puncak kepalanya pelan. "It's okay. Semuanya pasti baik-baik aja. Entah itu Jimmy atau bahkan kakeknya, mereka nggak akan bisa gangguin lo lagi."

Rean sama sekali tidak menyadari ... kalau diam-diam di pelukannya, kedua sudut bibir Hydra terangkat tinggi, mengukir seringaian mengejek yang menakutkan.

Bego.

Hydra menghinanya di dalam hati.

Di mata Hydra, entah itu Rean atau Jimmy ... mereka semua tidak terlalu penting. Mereka hanya karakter novel yang entah itu emosi atau setiap pergerakan mereka ... sudah dikendalikan dan ditentukan sejak awal.

Mereka tidak bisa mempengaruhi Hydra sama sekali.

Justru Hydra merasa kalau orang-orang ini sangat membosankan.

Pupil Hydra menyusut.

Mereka semua bener-bener terlalu gampangan.

***

Hydra ini jahat banget emang. HAHAHAHAHAHAHA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top