Tiga
Ketika pria itu bilang untuk saat ini entah mengapa Anggita lega, untuk sesaat saja. Karena setelah itu dia berbaring disebelah wanita berparas menarik tersebut dengan santai.
Oh Demi Tuhan! Anggita menatap pria itu horror. Menarik selimut memelototi setiap pergerakan pria itu. Mengangkat wajahnya Devian membalas tatapan itu dengan alis terangkat.
Terkekeh pelan pria itu melemparkan senyum miringnya, "apa? Kau berharap aku tidur disofa? Setelah aku membayar hotel mahal dan membebaskanmu dari tawaran yang kau tawarkan sendiri?"
Dan Anggita merasa seperti orang paling tidak tahu diri didunia ketika mendengar ucapan Devian tersebut. Dia benar, pria itu yang membayar hotel mahal ini, dan dengan baik hati pula dia bilang dia tidak akan berbuat macam-macam.
Hey, di jaman ini menemukan pria baik itu sangat sulit. Bahkan jika mau mereka bisa melakukan kekerasan dan paksaan pada wanita wanita yang mereka temui dan pria ini baru saja membebaskan seorang gadis yang menawarkan diri dengan suka rela. Kurang baik apa coba?
Jadi mereka tidur bersama, dalam artian tidur yang benar-benar tidur, dengan bantal guling sebagai pembatasnya.
Setidaknya dia tidak berbohong, dia memang tidur dengan pria yang ia temui di restourat tadi.
Dan akhirnya Anggita hanya diam menatap langit-langit kamar sampai ia jatuh tertidur.
Dan begitu bangun keesokan harinya, Anggita kembali teringat dia sedang tidur dengan seseorang, didalam hotel mahal.
Jadi dia bangun dan menatap pria yang berbagi ranjang dengannga malam tadi, dia masih tidur. Dan dia tampan. Anggita harus mengakui itu.
Kalau dia ingat, pria ini mengaku sebagai Devian Alvaro, Demi Tuhan yang benar saja?! Satu-satunya Devian Alvaro yang pernah Anggita kenal dalam hidupnya adalah kakak kelasnya, si pendiam dengan seragam rapi buku-buku tebal dan bahan bully beberapa laki-laki di masa SMAnya.
Si pria dengan tampang cupu dan bukan harapan gadis manapun di masanya untuk dijadikan pacar.
Tapi lihat pria itu sekarang, wah! Gayanya, wajahnya, siapapun akan melompat untuk menyatakan cinta hanya dengan senyum menawan itu.
Lihat wajah dewasa dan maskulin itu, dibalut dengan mata dam senyuman ramah. Dia tampak seperti pria baik dengan segala macam tanggung jawab.
Mungkin dia menyelamatkan Anggita karena kasihan, apa dia terlihat seperti gadis yang patah hati semalam? Meski faktanya memang begitu.
Membuang nafasnya, Anggita beringsut. Menyandarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Malam patah hatinya terlewat begitu saja, rasa sakit tadi malam, entah mengapa malah semakin menjadi-menjadi pagi ini.
Ketika wanita berambut gelombang itu sadar, semuanya berakhir. Kisah cinta indahnya, membangun kepercayaan dan rasa sayang sejak dulu.
Bertahan adalah hal yang paling dibutuhkan dalam hubungan, karena cinta akan datang kembali jika berusaha bertahan, karena masalah apapun akan selesai jika berusaha bertahan dan tidak menyerah.
Dalam kisahnya dan Naufal tentu saja banyak masalah yang terjadi, namun keduanya tetap berusaha bertahan, tidak peduli siapa yang salah, karena itu hubungan mereka terbilang langgeng.
Dan semalam, Naufal berhenti, dia menyerah dalam hubungan mereka berdua. Mengakhiri kisah keduanya.
Menarik lututnya kedepan dada, Anggita menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya, air mata wanita itu jatuh. Perih, sakit Anggita tidak tahu patah hati bisa se sakit ini.
Isakan pelannya terdengar, semalam ia sudah menahannya sebaik mungkin, dan pagi ini dia bahkan tidak dapat menahan suaranya.
Mata Devian terbuka, wanita dengan gaun putih yang kusut itu menangis, disampingnya saat ini. Devian tahu apa yang terjadi pada Anggita. Mejanya tepat berada dibelakang meja Anggita semalam.
Dia patah hati.
Mata redupnya menyorot dengan kasihan. Dia hebat menahan semua rasa sakitnya semalam dan baru menumpahkannya pagi ini.
Bangkit, pria itu menarik tubuh wanita itu kedalam rengkuhannya.
"Tidak apa-apa, tidak masalah." tubuh dalam balutan gaun putih itu awalnya terkejut, sebelum rileks kemudian semakin terisak. Kemeja putih Devian diremas wanita itu kuat. Tangisannya semakin kencang.
"Ketika kau membiarkan cinta masuk kedalam hatimu, saat itu juga kau mengirimkan undangan pada rasa sakit." bisik Devian di telinga berhias anting-anting perak tersebut. "Ini sudah biasa, jadi tidak apa-apa."
Anggita terisak semakin kencang, dia tentu tahu itu. Tapi tetap saja tidak pernah terlintas dalam pikirnya, pernikahannya bulan depan, semua rencana sudah dipersiapkan, design undangan bahkan sudah disepakati dan tinggal dicetak.
Anggita mencintai Naufal, tentu saja.
Lama dalam posisi yang sama, pada akhirnya Anggita tertidur kembali setelah tangisannya, Devian tidak berani bergerak, dia tahu Anggita cukup peka ketika tidur, jadi dia memilih bersandar pada ujung tempat tidur, membiarkan Anggita tertidur didadanyan.
Wanita ini cantik, masih sama mempesonannya seperti dulu. Gadis penuh semangat juga ceroboh. Sejak dulu dia memang memiliki ego yang tinggi.
Devian ingin tertawa mengingat apa yang dilakukan wanita itu tadi malam, untung saja Devian adalah pria yang wanita itu ajak, entah bagaimana kalau pria lain.
Mungkin setengah jam Anggita tertidur, begitu membuka matanya, dada seseorang adalah pemandangan yang menyambutnya.
Teriakan melengking menyebar cepat diseluruh ruangan, melompat menjauh Anggita melotot menatap pria yang menatapnya dengan senyum miring dan alis terangkat.
"Selamat pagi Crying Princess." wajah Anggita memerah, membuang mukanya wanita itu malu.
"Apa yang kau bicarakan? Tidak jelas!" tunjuk gadis itu dengan wajah berusaha menahan malu.
Anggita merenggut, dia malu sekali. Demi Tuhan, menangis didalam pelukan pria yang bahkan dia tidak kena. Ok, dia memang mengenal Devian tapi tidak sekenal itu. Devian adalah salah satu teman dari laki-laki yang menjadi idola sekolah dulu. Jangan tanya bagaimana mereka bisa berteman, karena hampir satu sekolah menanyakan hal yang sama.
Dari pertama kali mengenal Devian dulu, Anggita sudah menandai wajahnya untuk tidak dijadikan teman kencan, kejam? Memang. Lagi pula Devian yang dulu bukanlah orang yang mau main-main, jangankan pacaran. Kalau tidak diseret tekan gaulnya dulu Anggita benar-benar tidak akan bertemu dengan Devian diluar sekolah.
Menatap wajah Devian cukup lama, Anggita mendadak tersenyum sendiri.
"Pubertas menghantammu cukup keras, kau benar-benar berbeda."
Tawa Devian memenuhi kamar, pria tersenyum lebar.
"Ya, anggap saja seperti itu."
"Bagaimana kau bisa seperti ini, maksudku jadi modis tampan, bergaya dan tampak benar-benar berbeda. Aku tidak bilang dulu kau jelek, hanya tidak pandai bergaya. Jadi wajahmu tidak terlihat tampan dulu."
Mengelus dagunya Devian tampak berpikir. Memperbaiki posisi duduknya, mencari tempat yang lebih nyaman.
"Aku besar dengan tanggung jawab Anggita, perusahan yang dibangun kakekku sudah berkembang begitu besar, dan aku adalah pewaris utama. Aku di didik untuk serius, lagi pula bergaya dengan uang orang tua bukan gayaku, jadi ketika aku sudah memiliki uang sendiri dalan artian aku sudah bekerja seperti saat ini, aku bebas untuk bergaya seperti apapun."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top