9. Jauh

Keira terdiam, menatap selembar kertas yang berisi beberapa pesanan klien barunya. Suara lantang Fiya yang sedang membagi tugas kepada tim intinya semakin lama semakin terdengar lirih di kedua telinga Keira. Kaisa dan Raykarian telah menyita pikirannya selama lebih dari satu minggu terakhir. Kaisa yang selalu menanyakan ayahnya setiap hari. Sedangkan Raykarian hingga hari ini tak bisa dihubungi. Membuat otaknya dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk akan apa yang akan terjadi kepada keluarga kecilnya nanti.

Fiya mengembuskan napasnya seraya menatap Keira yang ternyata sedari tadi tak menyimak ucapannya, "Keira!" pekik Fiya kesal.

Keira bergeming. Ia seakan tak mendengar panggilan Fiya yang memekik kepadanya. Resti, Rida, Rega, Leon dan Vigo memandang Keira dengan tatapan bingung. Kelimanya tidak mengetahui apa yang membuat team leader-nya, Fiya, marah kepada Keira.

"Keira Allysa Alkhatiri!!!" teriak Fiya geram.

Resti segera menyadarkan Keira dari lamunannya. Keira terkesiap kala mendapat sentuhan lembut dari tangan Resti. Ia menatap Resti dengan bingung.

"Keira!" pekik Fiya kembali, membuat Keira terperanjat saat mendengarnya.

"Iya," sahut Keira takut menatap raut wajah garang Fiya.

"Can you follow me?!" tanya Fiya seraya menatap tajam Keira.

Keira terdiam ketika menyadari kesalahannya, "I'm sorry," ucap Keira menyesal.

Fiya menghela napasnya dan mengembuskannya dengan kasar, membuat anggota timnya memandangnya dalam diam, "Saya tidak pernah memaksa kalian semua untuk selalu hadir di setiap meeting. Saya hanya meminta kalian untuk bertanggung jawab dan konsisten terhadap tugas-tugas kalian. Percuma saja kalau kalian hadir di sini tapi fokus kalian di tempat yang lain. I hate it so much!!!" tandas Fiya lugas seraya menatap anggota tim intinya bergantian.

"It's enough! Kita lanjutkan meeting-nya setelah istirahat makan siang, jam satu. Be on time, please!!!" peringat Fiya keras.

Semua anggota timnya mengangguk patuh tanpa suara. Bagi Rega dan Keira, hal ini bukanlah kali pertama Fiya seperti ini. Fiya akan menunjukkan taringnya jika memang kinerja anggota tim intinya tak sesuai dengan harapan. Terlebih lagi jika kliennya itu merupakan klien besar dengan permintaan yang luar biasa memusingkan. Rida, Resti, Leon dan Vigo beranjak dari tempat duduknya kala melihat Rega meninggalkan ruangan meeting tanpa berpamitan.

"Permisi, Mbak," pamit Vigo dan teman-temannya kepada Fiya sebelum meninggalkan ruangan.

Fiya menatap Keira yang sedang menunduk dan merapikan barang-barangnya. Helaan napasnya kembali berembus ketika menyadari apa yang sudah dilakukannya kepada sahabat baiknya, Keira. Ia tahu apa yang membuat Keira menjadi tidak fokus saat ini.

"Maafkan aku, Fy. Maaf," ucap Keira menahan sesak di dadanya.

"Kaisa sama siapa sekarang?" tanya Fiya tak sabar.

"Kaisa sama Kenzi sekarang," jawab Keira.

"Aku senang kamu bisa bekerja kembali, Kei. Tapi buat apa kamu datang, kalau pikiran kamu berada di rumah," ungkap Fiya menahan emosinya.

"Maaf," ulang Keira sembari menunduk dan mengeratkan genggaman pada buku agendanya.

"Ada apa? Apa Mas Raki belum bisa dihubungi? Cerita sama aku, Kei!" terka Fiya.

Keira mendongakkan kepalanya, lantas menggeleng. Ia menatap Fiya dengan kedua matanya yang sudah merebak, "Aku nggak masalah kalau Mas Raki tiba-tiba pergi meninggalkanku. Tapi Kaisa," ujar Keira tertahan, "Kaisa selalu menanyakan Ayahnya setiap saat, dan aku nggak pernah bisa menjawab pertanyaannya itu. Ini yang aku takutkan Fy, Kaisa nggak bisa jauh dari Ayahnya." Keira menitikkan air matanya yang sedari tadi tertahan, membuat Fiya hanya bisa terdiam menatapnya.

"Apa aku harus menyusul Mas Raki ke Amerika, Fy?" tanya Keira yang hampir berputus asa.

Fiya menggelengkan kepalanya, "Kamu mau meninggalkanku sendirian mengurusi WO ini, Kei?" tanya Fiya yang membuat Keira menangis.

"What should I do, Fy? Aku capek, aku capek, Fy," keluh Keira bingung ditengah tangisannya.

Fiya segera memeluk Keira dengan erat. Air matanya pun ikut menetes, "Aku di sini, Kei. Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu sendirian. Nggak akan!" bisik Fiya yang mencoba memberikan kekuatan kepada Keira.

Tubuh Keira bergetar. Ia menangis tergugu di dalam dekapan Fiya. Kedua tangannya mengeratkan pelukannya kepada Fiya. Hanya Fiya yang menjadi sandarannya selama ini. Sandaran untuk bisa selalu kuat dan tetap berdiri dengan tegap.

---

Dari dalam taksi yang ditumpanginya, Raykarian menatap tajam sebuah mobil sport yang terparkir di depan rumah kontrakan Keira. Perlahan, kedua rahangnya mengeras diiringi tangan kanannya yang mengepal kuat. Mencoba menekan emosinya yang selama beberapa hari terakhir sudah berusaha diredamnya.

"Berhenti di depan Pak," titah Raykarian tegas.

Sedangkan di dalam rumah, Kaisa memerhatikan Kenzi yang sedang serius berbicara dengan seseorang dari smartphone-nya. Dipeluknya boneka teddy bear kesayangannya sembari menonton kembali film kartun kesukaannya. Kepalanya bersandar di badan sofa. Tubuhnya masih terasa lemas walau sudah hampir seminggu beristirahat di rumah. Tiga hari berada di rumah sakit membuat Kaisa seakan trauma untuk sakit.

"Om, dah bisa telpon Ayah tak?" tanya Kaisa saat melihat Kenzi selesai menutup panggilannya.

Kenzi tersenyum kecil, sebelum duduk di samping Kaisa dan mencium pipi keponakannya, "Ibu belum balas pesannya Om. Om Kenzi nggak tahu nomor telpon Ayah Kaisa berapa," jelas Kenzi.

"Om telpon kantor Ayah je, jom!" rengek Kaisa yang dibalas kekehan kecil dari Kenzi.

"Memangnya Kaisa tahu, kantor Ayah di mana?" ledek Kenzi.

"Tahulah."

"Di mana?"

"Di kantor Kementerian Luar Negeri."

"Mana nomor telponnya?"

"Kaisa tak tahu. Om carilah! Kaisa rindu Ayah, sangat. Lama tak tengok Ayah. Ibu bilang Ayah sibuk."

Kenzi terdiam mendengarkan cerita Kaisa. Ia menatap iba Kaisa yang sedang menampilkan wajah sedihnya. Senyumnya tersungging seraya mengusap pucuk kepala Kaisa.

"Ayah Raki itu orang hebat, pekerjaannya banyak. Pastilah sibuk. Kaisa sabar ya! Ayah kan bekerja untuk Kaisa dan Ibu," terang Kenzi menenangkan.

Kaisa menatap Kenzi, "Kaisa nak jumpa Ayah, Om. Sekejap je," ucap Kaisa dengan kedua matanya yang mulai merebak.

"Nanti kalau Om sama Ibu ada libur, kita menyusul Ayah Kaisa. Mau?" hibur Kenzi yang langsung dibalas anggukan kepala dari Kaisa.

Kaisa segera memeluk Kenzi dengan erat, "Terima kasih Om Kenzi," ujar Kaisa bahagia.

"Sama-sama Cantik," sahut Kenzi.

Kenzi tersenyum bahagia. Ia berharap kakaknya, Keira, mau menyetujui usulnya untuk menyusul Raki ke New York-Amerika. Ia yakin jika tabungannya akan cukup untuk membawa kakak dan juga keponakannya ke negeri Paman Sam itu. Apa pun akan diusahakannya agar bisa melihat kakak dan keponakannya bahagia. Suara bel pintu rumah terdengar. Membuat Kenzi dan Kaisa melepaskan pelukannya.

"Om buka pintu dulu ya," ucap Kenzi sebelum beranjak dari tempat duduknya, "sebentar!" pekik Kenzi kala suara bel berbunyi kembali.

Raykarian menghela dan mengembuskan napasnya saat mendengar suara seorang lelaki memekik. Tangan kanannya mengeratkan pegangan di tali paper bag yang dibawanya. Jantungnya sudah berdetak kencang karena tak sabar menunggu pintu rumah Keira terbuka.

"Assalamualaikum," salam Raykarian sebelum pintu dibuka.

"Wa'alaikumsalam," sahut Kenzi seraya membuka pintu, "Bang Raki?!" seru Kenzi terkejut.

"Kenzi?"

Kenzi menganggukkan kepalanya, lantas menyalami Raki dengan sopan. Kemudian keduanya saling berpelukan.

"Siapa Om?" tanya Kaisa ketika menyusul Kenzi.

"Ayah!!!" pekik Kaisa saat melihat ayahnya telah selesai memeluk Kenzi.

"Hai Sayang," sapa Raykarian bahagia.

Raykarian segera menggendong Kaisa. Diciumnya pipi Keiza dengan penuh sayang. Kedua tangan Kaisa mengalung erat di leher jenjang ayahnya. Seulas senyum tersungging dari bibir Kenzi ketika melihat Kaisa memeluk ayahnya dengan erat.

"Kaisa rindu Ayah," tutur Kaisa saat menatap wajah ayahnya.

Raykarian tersenyum. Ia melepas topi yang menutup rambutnya, lantas memakaikannya kepada Kaisa, "Ayah juga kangen banget sama Kaisa," sahut Raykarian sebelum menghujami Kaisa dengan cium-ciuman gemasnya.

Gelak tawa Kaisa mulai terdengar ketika mendapat ciuman-ciuman singkat dari ayahnya. Rasa geli membuatnya tak berhenti tertawa karena ciuman ayahnya. Tubuhnya seakan terisi energi kembali saat melihat ayahnya sudah berada di depan matanya. Kenzi yang melihatnya pun merasakan aura bahagia dari pertemuan Kaisa dan ayahnya.

"Comelnya boneka ni," ujar Kaisa kala mendapatkan oleh-oleh boneka keledai berwarna biru keabu-abuan, salah satu teman winnie the pooh.

"Suka?" tanya Raykarian menatap Kaisa dengan lekat.

"Sangat," sahut Kaisa sebelum berhambur pelukan kepada ayahnya, "terima kasih Ayah." Kaisa mencium kedua pipi Raykarian dengan penuh sayang.

"Jangan menangis lagi! Ayahnya sudah pulang tuh," seloroh Kenzi yang membuat Kaisa tersenyum malu.

"Ayah lama tak di rumah?" tanya Kaisa ingin tahu.

Raykarian menggeleng, "Kaisa mau ikut Ayah nanti?" tanya Raykarian yang langsung disambut anggukan kepala dari Kaisa.

"Nak, nak!" seru Kaisa bersemangat.

Raykarian mencium kembali pipi Kaisa dan mendekapnya dengan erat. Rasanya ia sudah tak sabar ingin menyelesaikan masalahnya bersama dengan Keira secepat mungkin.

"Jadi, Abang pulang mau menjemput Kak Keira dan Kaisa?" tanya Kenzi yang hanya dibalas segaris senyum datar dari Raykarian.

"Syukurlah, Bang. Semoga Abang, Kak Keira dan Kaisa bisa bahagia di sana. Jaga Kak Keira ya, Bang! Jangan biarkan dia menangis lagi!" pinta Kenzi yang membuat Raykarian tertegun.

"Kenzi pamit dulu, Bang. Kenzi ada meeting siang ini. Kalau sempat, Abang ajak Kak Keira pulang ke rumah sebentar. Bunda kangen banget sama Kak Keira," imbuh Kenzi yang dibalas anggukan kepala dari Raykarian, "Kaisa, Om pulang dulu ya! Om tunggu Kaisa di rumah Opa dan Oma, oke?!"

"Oke, Om!" seru Kaisa sebelum mencium punggung tangan Kenzi.

Raykarian terdiam, menatap Kaisa yang sedang tertidur sembari memeluk boneka yang baru dibelinya di Hongkong saat transit kemarin. Setelah berhasil membujuk Kaisa untuk makan dan meminum obat, ia pun meminta Kaisa untuk beristirahat. Pesan Kenzi masih terngiang jelas di kedua telinganya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali Keira menangis karena dirinya. Ia pun tak mengerti, mengapa hubungannya bersama dengan Keira selalu saja bermasalah walau sudah terikat dengan ikatan yang suci.

Mungkinkah karena dirinya memilih jalan yang salah untuk memiliki Keira? Atau mungkin karena pernikahannya belum mendapatkan restu dari kedua orang tuanya dan kedua orang tua Keira? Haruskah seluruh pengorbanannya selama ini berakhir begitu saja?

Raykarian mengecup kening Kaisa sebelum beranjak dari ranjang. Ia berjalan ke arah meja rias Keira, lantas mengambil kunci mobilnya dan mengenakan jaketnya kembali sembari menatap Kaisa dengan tatapan sendunya. Kedua kakinya melangkah keluar kamar. Bersamaan dengan itu, Keira membuka pintu rumah.

"Assalamualaikum," salam Keira.

"Wa'alaikumsalam," sahut Raykarian singkat setelah menghentikan langkahnya.

Keira tersenyum bahagia saat melihat Raykarian sudah berada di hadapannya. Ia menatap Raykarian yang hanya berdiri terdiam di tempatnya. Raykarian bergeming, menatap Keira dengan tatapan tajam namun terkesan tak acuh. Tangan kanan Keira terulur, lantas menarik dan mencium punggung tangan kanan suaminya.

"Mas kapan pulang? Kenapa nggak memberitahu Keira dulu, Mas?" tanya Keira memberondong.

"Kenapa? Apa semua yang aku lakukan harus meminta ijin dulu dari kamu?" tanya Raykarian ketus, membuat Keira terpaku, "kamu saja bebas untuk melakukan apa pun yang kamu mau, tanpa perlu meminta ijin dariku."

"Bukan begitu Mas. Kalau Keira tahu Mas Raki pulang hari ini, Keira bisa menjemput Mas Raki di bandara."

"Menjemput? Lalu kamu akan menitipkan Kaisa ke tetangga karena dia sedang sakit?!"

Keira terdiam melihat perubahan raut wajah Raykarian yang menjadi dingin dan serius. Tatapan Raykarian pun telah berubah menjadi tatapan tajam menyalang penuh emosi. Membuat Keira menelan salivanya dengan susah payah.

"Aku nggak menitipkan Kaisa ke tetangga, Mas." Keira mencoba menyanggah ucapan Raykarian.

"Kaisa masih membutuhkan kamu. Dia masih belum sehat. Dan bisa-bisanya kamu meninggalkan dia bersama dengan Kenzi sejak tadi pagi. Ini hari libur! Apa kantor kamu tidak mengenal tanggal merah? Sehebat itukah kantor kamu?!" seru Raykarian tak sabar.

"WO tidak mengenal hari libur atau pun tanggal merah. Kami bekerja sesuai dengan permintaan klien, dan kami harus selalu siap setiap saat. Hampir seminggu lebih aku meminta ijin untuk tidak bekerja karena Kaisa sakit. Kebetulan hari ini Kenzi datang, maka aku sempatkan untuk meeting di kantor sebentar. Aku nggak enak sama teman-teman di kantor, Mas," jelas Keira.

"Nggak enak, atau karena kamu ingin bertemu dengan Ferry?!"

Keira mengedipkan matanya karena terperanjat dengan ucapan Raykarian. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir kemana arah percakapan suaminya itu. Mengapa nama Ferry terbawa dalam percakapannya kali ini.

"Astaghfirullahaladzim, Mas Raki! What are you talking about?! Bang Ferry itu bos aku, Mas!" jelas Keira.

"Ya, dia bos kamu. Dan kamu nggak bisa membantah perintahnya walau suami kamu melarang! Bukan begitu?!" Raykarian menimpali ucapan Keira dengan tegas dan keras.

Keira menghela napasnya. Suaminya, Raykarian, tak akan pernah mengalah jika sedang berdebat. Ia pun tak mengetahui apa yang membuat Raykarian menjadi emosi seperti ini.

"Mas, ada apa ini? Apa Keira punya salah sama Mas Raki?" tanya Keira tak sabar.

"Nggak usah balik bertanya, Kei! Kamu tanya diri kamu sendiri, apa saja yang sudah kamu lakukan selama aku nggak ada!" tandas Raykarian keras dan semakin membuat Keira kebingungan.

"What do you mean?!"

"Aku mau kamu berhenti dari pekerjaan kamu, bisa?!"

Keira terdiam membeku mendengar permintaan Raykarian. Ia hanya mematung menatap wajah Raykarian yang sedang tersulut emosi. Membuat Raykarian menerka-nerka sendiri tentang makna dari keterdiamannya.

Raykarian menganggukkan kepalanya, seakan mengerti jawaban apa yang akan terlontar dari mulut Keira, "Tidak bisa?!" desak Raykarian sebelum helaan napasnya berembus, "oke! Semoga kamu tidak melupakan kewajiban penting kamu sebagai seorang istri terhadap suaminya!!!" pungkas Raykarian sebelum beranjak pergi meninggalkan Keira.

Keira tersentak mendengar ucapan tegas dan keras Raykarian. Ia segera mengejar Raykarian dan berusaha menahannya agar tak pergi.

"Mas tunggu!" seru Keira menahan salah satu tangan Raykarian.

Kedua mata Keira merebak ketika Raykarian menghempaskan tangannya dengan keras ke udara. Membuat Keira terpaku, menatap kepergian Raykarian yang sedang emosi. Sebulir air matanya menetes kala suara deru mobil Raykarian meninggalkan rumah kontrakannya.

---

Keira terdiam saat mendengar suara merdu operator dari balik smartphone-nya. Helaan napas beratnya berembus kala menurunkan smartphone dari telinganya. Ia menatap sendu Kaisa yang juga sedang menatapnya balik.

"Ayah masih belum bisa dihubungi. Smartphone Ayah nggak aktif," cerita Keira yang membuat Kaisa kecewa, "Kaisa makan dulu ya!"

Kaisa menggelengkan kepalanya, "Tak nak! Kaisa nak tunggu Ayah je," tolak Kaisa kala Keira bersiap menyuapinya.

"Iya, sambil menunggu Ayah datang, Kaisa makan ya!"

"Tak nak!!! Kaisa nak makan sama Ayah!"

"Mungkin, Ayah lagi di jalan. Kaisa makan dulu ya sedikit! Kaisa masih harus meminum obat, ya Sayang!"

"Tak nak!!!"

Kaisa menggelengkan kepalanya sembari menjauhkan diri dari Keira yang akan menyuapinya. Ia menutupi mulutnya menggunakan boneka baru, oleh-oleh dari ayahnya. Keira terdiam memandang Kaisa. Kaisa tak akan menurut lagi kepadanya jika sudah bertemu dengan Raykarian. Hingga detik ini, ia pun tak mengerti dengan sikap emosi Raykarian siang tadi. Ucapan Raykarian masih saja terngiang di benaknya. Membuatnya selalu bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukannya hingga Raykarian semarah itu kepadanya.

"Ya sudah kalau Kaisa nggak mau makan. Ibu salat isya dulu ya," ucap Keira menahan sesak di dadanya.

Segala cara sudah dicoba Keira agar Kaisa mau makan sebelum meminum obatnya. Namun Kaisa tetap pada pendiriannya untuk menunggu Raykarian pulang. Keira meletakkan piring datar yang dipegangnya di atas meja, sebelum beranjak dari sofa. Ia melangkah pergi meninggalkan Kaisa tanpa sepatah kata apa pun. Ia terus berjalan menuju kamarnya tanpa menoleh kembali ke arah Kaisa. Menahan air matanya yang hampir terjatuh.

Setelah selesai berdoa, kedua tangan Keira menutup wajahnya yang sudah berlinang air mata. Tak peduli lagi jika mukenanya akan basah. Tubuhnya perlahan bergetar karena tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk membujuk Kaisa makan. Kaisa hanya membutuhkan ayahnya saja saat ini. Dalam sekejap, Raykarian telah mampu menggeser keberadaannya di hati Kaisa.

Kedua mata Kaisa merebak. Memandang Keira yang menunduk sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Isakan tangis Keira yang sengaja ditahan masih bisa didengar oleh kedua telinga Kaisa. Tubuh Keira yang bergetar pun membuat Kaisa mengerti apa yang sedang terjadi kepada ibunya. Perlahan, kaki kecil Kaisa berjalan menghampiri Keira. Ia duduk di atas sajadah, tepat di hadapan ibunya yang masih menangis.

"Ibu," panggil Kaisa sembari mencoba menurunkan kedua tangan ibunya yang masih menutupi wajah.

Keira menahan air matanya yang tak mampu lagi dibendung. Ia memandang Kaisa yang sedang menatapnya dengan sendu.

"Ibu, kenapa menangis? Kaisa nakal ke?" tanya Kaisa yang semakin membuat air mata Keira mengalir dengan deras.

Keira menggelengkan kepalanya di tengah tangisannya. Membuat air mata Kaisa ikut menetes.

"Ibu, Kaisa minta maaf," ucap Kaisa tulus sebelum memeluk Keira.

"Maafkan Ibu," ucap Keira lirih karena merasa belum mampu menjadi ibu yang baik untuk Kaisa.

Keira menangis tergugu. Ia mendekap Kaisa dengan erat. Menumpahkan segala rasa sakit di hatinya melalui pelukan hangatnya kepada Kaisa.

"Tak! Kaisa yang nakal. Maafkan Kaisa, Bu," sela Kaisa yang merasa bersalah karena sedari tadi berdebat keras dengan ibunya.

Kaisa melepas pelukannya. Kemudian menyeka air matanya sebelum menghapus air mata ibunya yang masih saja terus mengalir. Keduanya saling menatap dalam diam.

"Jangan menangis, Bu! Kaisa nak makan sikit, tapi disuapi Ibu." Kaisa memohon kepada Keira yang masih menatapnya tanpa bersuara sedikit pun, hanya tetesan air mata yang menjawab ucapannya.

"Ibu, cakaplah! Jangan diam je! Kaisa takut," tutur Kaisa yang mulai menangis.

"Ibu sayang banget sama Kaisa," ujar Keira dengan berlinang air mata, "Ibu nggak mau Kaisa sakit lagi. Ibu sedih kalau melihat Kaisa sakit seperti kemarin. Ibu nggak mau Kaisa kenapa-kenapa!"

Kaisa menangis mendengar ucapan ibunya. Ia segera memeluk ibunya dengan erat. Sampai kapan pun, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Keira di hatinya. Ayahnya telah menempati tempat tersendiri di hatinya. Rasa rindunya kepada Raykarian selama bertahun-tahun seakan tak mampu terobati walau sudah bertemu. Dan ia tak akan membiarkan ayah dan ibunya terpisah kembali. Ia hanya ingin seperti teman-temannya yang setiap hari bisa bersama ayah dan ibunya.

"Kaisa juga sayang Ibu, sangat," tutur Kaisa tulus di tengah isakan tangisnya.

Keira menyeka air matanya. Kemudian mencium pucuk kepala Kaisa yang masih didekapnya, "Ayo makan! Kalau Ayah pulang dan tahu Kaisa belum makan, Ayah pasti akan marah sama Ibu," ajak Keira sembari menghapus air mata Kaisa.

Kaisa memandang Keira yang sedang memisahkan daging ayam goreng dari tulangnya. Mulutnya masih sibuk mengunyah suapan kelima dari ibunya. Sedari tadi ibunya, Keira, lebih sering terdiam dan tak seperti biasanya. Semua pertanyaannya pun hanya dijawab singkat oleh ibunya.

"Ibu, nanti kita orang ikut Ayah tak?" tanya Kaisa, "Ayah cakap, Ayah tak lama berada di sini. Kaisa nak ikut Ayah, Bu. Boleh tak?" Kaisa memeluk boneka pemberian Raykarian dengan erat. Menutupi rasa takut dan cemasnya saat mengungkapkan keinginannya.

"Boleh," sahut Keira singkat sebelum menyuapi Kaisa lagi.

Keira menjawab sekenanya. Ia tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Untuk detik ini, ia hanya ingin melihat Kaisa bahagia. Hidupnya saat ini hanyalah untuk Kaisa. Walau dirinya sakit dan hancur, semua akan dilakukannya untuk kebahagiaan Kaisa. Karena Kaisa adalah nyawanya saat ini.

"Ibu pun," imbuh Kaisa yang hanya dibalas senyuman simpul dari Keira.

---

Kedua mata Keira mengerjap-ngerjap, sebelum akhirnya terbuka dengan sempurna. Pandangannya terarah lurus di hadapannya. Menatap Kaisa yang sedang tertidur dengan memeluk boneka pemberian ayahnya. Diusapnya pucuk kepala Kaisa sebelum menciumnya dengan penuh sayang. Keira terbangun, lantas duduk di tepi ranjang sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Gemercik suara rintik hujan yang masih terdengar membuat suasana rumahnya menjadi terasa semakin dingin.

Keira beranjak dari tempat duduknya kala mendengar suara mobil Raykarian. Ia segera melangkah keluar dari kamar sembari mengenakan pashmina-nya dengan asal. Dibukanya pintu rumah dengan tergesa-gesa. Bersamaan dengan itu, Raykarian berjalan santai menerobos rintikan hujan dan melewati Keira yang sedang berdiri menunggunya di ambang pintu.

"Wa'alaikumsalam," ucap Keira lirih kala Raykarian memasuki rumah dan melewatinya tanpa mengucapkan salam.

"Mas Raki, tunggu!" panggil Keira seraya mencekal salah satu tangan Raykarian.

"Lepas!" seru Raykarian menghempaskan tangan Keira yang memegangnya.

Keira terperanjat mendapat sentakan keras dari Raykarian. Terlebih ketika merasakan hawa panas dari tubuh Raykarian yang sempat disentuhnya. Kedua matanya memerhatikan Raykarian yang berjalan lemas memasuki kamar.

"Astaghfirullahaladzim, Mas!" seru Keira menahan tubuh Raykarian yang limbung dan hampir terjatuh.

Raykarian menatap Keira dengan tatapan tajam bercampur kesal, "Don't touch me!" seru Raykarian mencoba untuk berjalan kembali menuju ranjang, menahan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya serta rasa pusing yang mendera.

"Oke," sahut Keira menahan sesak di dadanya, "tapi ijinkan Keira untuk membantu dan merawat Mas Raki malam ini. Setelah Mas sembuh, silakan kalau Mas mau marah sama Keira. Silakan! Ijinkan Keira, Mas!"

"It's none of your business!" sahut Raykarian yang membuat Keira terpaku di tempatnya.

Keira menghela napasnya, lantas mengembuskannya dengan perlahan sebelum mengambilkan handuk untuk Raykarian. Ia memerhatikan Raykarian yang sedang mencium kening Kaisa dengan cukup lama. Tangan kanannya menyodorkan handuk kepada Raykarian. Raykarian menatap handuk itu sekilas, lantas menatap Keira sebelum beranjak menuju kamar mandi.

Air mata Keira kembali menetes saat mendengar suara pintu kamar mandi yang tertutup dari dalam dengan keras. Entah apa yang sudah dilakukannya hingga membuat Raykarian tak menganggap keberadaannya. Raykarian terasa sangat jauh untuk bisa disentuhnya saat ini. Walau Raykarian berada di hadapannya, namun ada jarak yang membentang di antara mereka. Jarak yang selalu membuat Keira merasa sebatang kara. Merasa sendiri seperti beberapa tahun silam.

Tbc.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top