8. Makna cinta

Keira menatap sedih Kaisa, setelah mengompresnya dengan menggunakan air hangat. Demam Kaisa kembali naik saat sore hari tadi. Kaisa bisa beristirahat setelah obat penurun demamnya bereaksi, membuatnya mengantuk dan bisa tertidur dengan tenang. Sesekali rintihan lirihnya terdengar, memanggil ayahnya yang masih sangat dirindukannya. Membuat hati Keira merasakan sakit kala mendengarnya.

Pandangan Keira beralih ke samping Kaisa yang kosong. Waktu seakan bergulir cepat saat memberikan kebahagian sederhana kepadanya. Pagi tadi, ia masih bisa melihat Raykarian tertidur sembari memeluk Kaisa di tempat kosong itu. Ia pun masih bisa merasakan sentuhan tangan Raykarian beberapa jam yang lalu. Suara khas Raykarian pun masih terngiang di telinganya hingga detik ini. Raykarian, seseorang yang mampu memberikannya kebahagiaan, kesedihan dan kesakitan dalam satu waktu.

"Ayah," gumam Kaisa lirih, membuat Keira meneteskan air matanya.

Dengan cepat, Keira menghapus air matanya. Lidahnya seakan kelu untuk bisa menyahuti gumaman Kaisa yang mampu membuat hatinya merasa nyeri. Dikecupnya pucuk kepala Kaisa sebelum dirinya beranjak untuk menunaikan salat wajibnya sembari menunggu suaminya, Raykarian, yang berjanji akan menelponnya ketika transit. Tak ada yang bisa membuat hatinya tenang selain bersujud dan berkeluh kesah kepada Sang Penciptanya.

Malam ini, Keira kembali merasakan takut, resah, gelisah, dan tidak tenang. Semua rasa itu pernah hadir kala dirinya mengetahui bahwa ada sebuah nyawa di dalam perutnya yang tak pernah diharapkannya hadir. Walau Raykarian telah bersedia bertanggung jawab, namun perasaan-perasaan itu tak pernah hilang hingga Kaisa lahir ke dunia.

Di atas sajadahnya, Keira duduk bersimpuh seraya mengangkat kedua tangannya ke atas setelah selesai melaksanakan salat wajibnya. Mulutnya mulai bergerak tanpa suara, kala membaca doa untuk kedua orang tuanya, suaminya dan juga putrinya. Ia memanjatkan segala doa terbaik untuk keluarga kecilnya. Tak lupa membaca doa untuk memohon ketenangan hati, agar hatinya menjadi tenang dan tentram.

"Allohumma inni as aluka nafsaan bika muthma-innah, tu'minu biliqoo-ika watardhoo bi qodhooika wataqna'u bi'athooika," ucap Keira membaca doa untuk memohon ketenangan hati.

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu, yang yakin akan bertemu dengan-Mu, yang rida dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu." Keira melanjutkan memanjatkan doanya dengan khusyuk.

Kedua telinga Keira mulai terusik saat mendengar Kaisa terbatuk-batuk. Ia segera beranjak dari duduk bersimpuhnya dan bergegas menghampiri putrinya. Tangan kanannya mengusap dada Kaisa dengan perlahan. Kemudian membangunkan Kaisa dan menyuruhnya untuk meminum air hangat yang sedari tadi sudah berada di atas nakas, di samping tempat tidur.

"Enakan?" tanya Keira khawatir, dan hanya dibalas anggukan kepala dari Kaisa, "Kaisa tidur lagi ya!"

"Kaisa nak telpon Ayah, Bu," rengek Kaisa.

"Ayah kan masih di pesawat, jadi belum bisa ditelpon. Kita tunggu Ayah yang menelpon saja ya!" Keira mencoba menenangkan Kaisa.

Kaisa mengangguk sebelum batuknya kembali menyerang. Membuat Keira semakin khawatir. Dipeluknya tubuh Kaisa saat suara gemuruh petir menggeledek dengan keras. Dinginnya malam di saat hujan deras menyelimuti dirinya yang sedang dilanda kegalauan.

"Ibu buatkan obat batuk dulu ya sebentar," pamit Keira yang hanya dibalas anggukan lemah dari Kaisa.

Keira melepas mukenanya, lantas beranjak meninggalkan kamarnya menuju dapur. Ia pun mulai meracik obat batuk tradisional yang pernah diajarkan bundanya. Memeras jeruk nipis, lalu mencampurkan air perasan itu dengan madu dan sedikit air hangat. Kemudian segera memberikannya kepada Kaisa.

"Asam," ujar Kaisa yang baru mencicipi minuman obat dari ibunya.

"Pilih asam atau pahit?" tanya Keira memberikan pilihan.

"Asam," jawab Kaisa singkat.

"Habiskan ya, Sayang!" Perintah Keira yang disambut anggukan kepala dari Kaisa.

Keira memijat bagian belakang lehernya yang terasa tegang sembari mengambil smartphone-nya di atas nakas. Jam digital di layar smartphone-nya telah menujukkan pukul setengah sepuluh malam. Dibukanya beberapa pesan yang masuk.

Fiya

Kei, di rumah?! Contoh dekorasinya ada sama Bang Ferry. Aku harus ke Bandung sekarang.

Fiya

Kei, sibuk?! Balas dong!

Keira

Iya.

Fiya

Tahu deh yang lagi kangen-kangenan sama suami tercintah. :p

Bang Ferry

Kei, ada titipan dari Fiya. Nanti sekitar jam 9 Abang antar ke rumah. Tolong, mintakan ijin sama suami kamu. Abang nggak mau suami kamu mikir yang aneh-aneh. Oke?!

Keira

Oke.

Bang Ferry

Otw.

Keira meletakkan smartphone-nya kembali saat mendengar rintihan dan gumaman lirih Kaisa memanggil ayahnya. Kaisa mulai menggigil dan berkeringat dingin. Keira meletakkan tangan kanannya di atas dahi Kaisa. Kedua matanya terbelalak ketika merasakan suhu tubuh Kaisa semakin memanas. Diambilnya termometer di atas nakas, lantas meletakkan di ketiak Kaisa.

"Laa ilaha illallah," ucap Keira terkejut saat melihat hasil termometer yang menunjukkan suhu tubuh Kaisa di atas tiga puluh sembilan derajat celsius.

"Ayah," rintih Kaisa.

Keira segera mengenakan pashmina-nya dengan asal. Kemudian mengambil tasnya dan kunci mobil Raykarian. Wajah Keira mulai terlihat panik saat menggendong Kaisa dan bergegas membawa Kaisa ke rumah sakit.

"Kei," panggil Ferry terkejut saat melihat pintu rumah Keira tiba-tiba terbuka.

"Keira harus ke rumah sakit sekarang," ujar Keira sembari mencoba mengunci pintu rumahnya.

Ferry menatap Kaisa yang sedang merintih memanggil-manggil ayahnya. Ia segera membantu Keira untuk mengunci pintu tanpa bertanya apa pun. Walau di otaknya sudah dipenuhi banyak pertanyaan yang siap dilontarkan kepada Keira.

"Abang antar, Kei. Sudah malam," tutur Ferry menawarkan bantuan.

Keira hanya mengangguk patuh. Otaknya seakan tumpul untuk bisa berpikir di kala situasi buruk yang tak diduganya terjadi. Hujan deras pun masih setia turun mengguyur kota kelahirannya. Rasanya, Keira tak akan mampu jika harus mengendarai mobil sendiri di saat Kaisa menggigil. Ia mengikuti Ferry yang berjalan terlebih dahulu. Suhu panas dari tubuh Kaisa mengiringi kedua matanya yang mulai memanas kala mengingat Raykarian yang sangat dibutuhkannya saat ini.

---

Keira menggenggam tangan kiri Kaisa yang terbebas dari jarum infus. Kemudian menciuminya berulang kali. Ditatapnya Kaisa yang sedang menggunakan face mask dengan kedua matanya yang menutup. Napas Kaisa yang sempat tersendat-sendat membuatnya harus diberikan tambahan oksigen. Jika bisa, ia ingin memindahkan penyakit Kaisa ke dalam tubuhnya. Kepalanya menoleh saat seorang dokter dan perawat muncul dari balik kain pembatas di ruang IGD.

"Bagaimana keadaan Kaisa, Dok? Apa Kaisa perlu dirawat inap?" tanya Keira cemas.

"Kita akan melihat perkembangan Kaisa beberapa jam ke depan. Jika membaik, Kaisa boleh pulang dan beristirahat di rumah. Apa Kaisa pernah mengalami seperti ini sebelumnya?" tanya dokter jaga yang merawat Kaisa, dr. Ryan nama yang tertera di name tag.

"Tidak, Dok. Kaisa baru pertama kali seperti ini. Biasanya dia hanya demam biasa, dan akan turun setelah meminum obat."

"Dari gejala yang muncul kepada Kaisa yaitu demam, sakit tenggorokan, batuk, mual, sakit kepala, dan sakit saat menelan makanan, sepertinya Kaisa menderita gejala tonsilitis atau lebih dikenal sebagai radang amandel."

"Radang amandel?"

"Iya, Bu. Radang yang terjadi pada tonsil atau amandel. Kondisi ini sebagian besar dialami oleh anak-anak. Penyebab tonsilitis sebagian besar adalah virus dan selebihnya disebabkan oleh bakteri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu, gejala seperti ini biasanya akan pulih dalam tiga atau empat hari."

Keira mengangguk. Pertanda mengerti akan penjelasan dokter muda di hadapannya. Dokter pun meminta ijin kepada Keira untuk mengambil sampel darah Kaisa. Untuk tes lebih lanjut di laboratorium dan memastikan apakah Kaisa tidak menderita penyakit lain yang lebih berbahaya.

"Kaisa hanya membutuhkan istirahat yang cukup, banyak minum dan tetap makan, meski tenggorokannya terasa sakit. Karena kekurangan cairan dapat membuat gejala tonsilitis memburuk dan menyebabkan dehidrasi. Saya permisi dulu, Bu. Selamat malam," ujar dokter Ryan sebelum beranjak pergi.

"Selamat malam, Dok. Terima kasih," sahut Keira.

Di luar sana, Ferry tengah sibuk membantu Keira mengurus administrasi. Ia pun belum sempat menanyakan keberadaan ayah Kaisa. Membuat beberapa perawat telah salah paham karena menganggapnya sebagai ayah Kaisa.

"Ibu," panggil Kaisa saat membuka matanya.

"Iya Sayang," sahut Keira.

"Nak jumpa Ayah," rengek Kaisa lirih dari balik face mask-nya, membuat kedua mata Keira berkaca-kaca.

"Iya, nanti kalau Kaisa sudah sembuh, kita menyusul Ayah ya!"

"Lama tak?"

"Tak. Kalau Kaisa cepat sembuh, pasti tak lama."

"Ibu janji?"

"Janji."

Setitik air mata Keira menetes saat memberikan janji yang tak pasti kepada Kaisa. Diciumnya kembali tangan mungil Kaisa yang masih digenggamnya. Kemudian menempelkannya di salah satu pipinya seraya menatap Kaisa yang juga sedang menatapnya dengan sendu.

"Kaisa cepat sembuh ya!" Tutur Keira yang dibalas anggukan kepala dari Kaisa.

"Ibu akan menemani Kaisa di sini. Kaisa tidur lagi ya! Ibu nggak akan kemana-mana," imbuh Keira menenangkan.

Kaisa memejamkan matanya kembali, setelah Keira memintanya untuk beristirahat. Tak lupa, ia pun berdoa menuruti perintah ibunya. Berharap ayahnya akan datang dan menemaninya di sini. Di tempat yang ditakutinya, rumah sakit.

---

Raykarian meregangkan otot-ototnya kala mendengar suara merdu pilot menyapanya dan juga penumpang lain lewat pengeras suara. Pilot itu mengatakan bahwa akan menurunkan ketinggian pesawat ke 35.000 kaki. Kemudian perlahan-lahan turun hingga ketinggian 10.000 kaki.

Suara pilot yang merdu itu bagaikan pelipur rasa lelah bagi Raykarian dan penumpang lain setelah menempuh perjalanan panjang dengan total real time perjalanan kurang lebih 27 jam. Mengalami dua kali siang dan dua kali malam. Seluruh badan Raykarian yang terasa kaku mulai digerak-gerakan. Otot-ototnya dilemaskan, lantas membuka penutup jendela kabin. Gradasi warna sempurna dari kemerahan menuju biru dan memutih saat fajar menyinsing telah menyambut kedatangannya, sebelum pesawat Cathay Pasific yang ditumpanginya mendarat di John F Kennedy Airport.

Senyum terkulum Raykarian tersungging. Setelah mengucapkan terima kasih kepada supir taksi yang telah mengantarkannya ke flat, tempat di mana dirinya tinggal. Ia pun bergegas untuk menuju flatnya. Mungkin jika di Jakarta, bangunan bertingkat ini disebut dengan apartemen atau rumah susun. Tempat tinggal yang hanya terdiri dari ruang duduk, kamar tidur, kamar mandi dan dapur yang dibangun secara berderet dengan ukuran minimalis. Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran rumah kontrakan Keira.

Raykarian kembali tersenyum. Senyum simpul yang mewakili rasa bahagianya saat melihat foto kebersamaan istrinya dan putri semata wayangnya di layar datar smartphone-nya. Kedua matanya menatap tajam layar datar smartphone-nya yang sedang menampilkan notifikasi beruntun selama beberapa detik. Ia segera menyentuh angka satu untuk menghubungi Keira. Signal yang buruk membuatnya tak bisa menghubungi Keira ketika transit di Hongkong. Ia tak memedulikan beberapa notifikasi lain yang sedang menunggu balasannya.

"Sayang, kamu sedang apa sih?!" Gumam Raykarian kesal saat panggilannya tak segera diangkat oleh Keira.

Raykarian berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk tentang putrinya, Kaisa, yang sedang sakit. Ia yakin jika istrinya, Keira, pasti akan menjaga Kaisa dengan baik. Ia pun seakan melupakan tabungannya yang terkuras habis hanya untuk membeli tiket pesawat pulang pergi Jakarta-New York. Tabungan yang bisa membeli satu buah motor dalam sekali terbang. Tabungan yang sudah lama dikumpulkannya karena enggan untuk pulang ke Indonesia.

Desahan kecewanya berhembus saat panggilan ketiganya tak kunjung diangkat oleh Keira. Dibukanya satu per satu notifikasi yang sudah bertumpuk di layar datarnya. Kedua alisnya terangkat saat melihat deretan pesan dari romo dan juga ibunya. Notifikasi panggilan tak terjawab dari ibunya pun tampak berderet rapi di layar datarnya. Ia pun membaca singkat beberapa pesan kedua orang tuanya.

Romo

Mas Raki, ibu sedang menyusulmu ke Jakarta. Apa benar kamu di Jakarta sekarang?

Ibu

Mas, bisa menjemput ibu di Bandara sekarang?

Ibu

Mas Raki, tolong jemput ibu! Ibu di Jakarta sekarang.

Tanpa berpikir panjang, Raykarian segera menghubungi ibunya. Otaknya langsung tertuju kepada Keira dan Kaisa saat ini. Ia berharap ibunya tidak menemui Keira dan Kaisa tanpa sepengetahuannya. Tak lupa doa pun dipanjatkannya agar ibunya tak menyentuh atau pun melukai istri dan juga putrinya saat dirinya tak ada. Ia yakin jika kedatangan ibunya di Jakarta karena pertemuannya dengan Ajeng.

"Assalamualaikum, Bu," salam Raykarian ketika panggilannya telah diangkat.

"Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu di mana sekarang? Cepat buka pintu apartemen kamu!" Perintah Nurlita, ibunda Raykarian.

"Apartemen?! Raki sekarang di New York, Bu," jelas Raykarian sabar.

"Jangan membohongi Ibu, Mas! Cepat buka pintu apartemen kamu, Mas Raki!" Pekik Nurlita geram.

"Raki tidak sedang berbohong, Bu. Raki ada di New York sekarang. Maaf, tapi silakan jika Ibu ingin menunggu pintu apartemen Raki sampai terbuka."

"Apa benar kemarin kamu pulang ke Jakarta?"

"Iya, Bu. Raki ada urusan di Jakarta. Ada perlu apa sampai Ibu jauh-jauh datang ke Jakarta? Ibu tahu dari mana Raki ada di Jakarta?"

"Urusan bertemu dengan perempuan murahan itu maksud kamu, Mas?! Apa kamu lupa kalau Ibu juga sudah lama menunggumu pulang, Mas Raki?!"

"Maafkan Raki, Bu. Raki memang sengaja pulang ke Indonesia hanya untuk menemui istri dan juga anak Raki. Dan Raki mohon, jaga bicara Ibu."

"Oh! Rupanya perempuan murahan itu sudah berhasil membuat kamu berani melawan Ibu!"

"Keira bukan perempuan murahan, Bu! Dia adalah istri sah Raki. Dan tolong, jangan membuat Raki menjadi tidak sopan kepada Ibu!"

"Ibu minta, kamu segera pulang ke Jogja! Kamu harus meminta maaf kepada Ajeng dan juga keluarganya!"

Raykarian menghela dan mengembuskan napas beratnya. Mencoba meredam emosinya yang mulai tersulut sembari mengepalkan tangan kirinya dengan kuat, "Meminta maaf? Memangnya apa yang sudah Raki lakukan, Bu? Dan siapa Ajeng?! Raki tidak pernah mengenal Ajeng, apalagi keluarganya. Jadi, Raki tidak memiliki urusan dengan Ajeng atau pun keluarganya." Raykarian menolak dengan tegas permintaan ibunya.

"Mas Raki! Kamu benar-benar keterlaluan! Di mana sopan santun kamu?! Kamu sudah menghina Ajeng di depan wanita murahan itu!!!"

"Raki tidak pernah menghina Ajeng, Bu. Raki hanya mengatakan apa yang harus Raki katakan kepada Ajeng sebagai seorang lelaki yang sudah menikah. Keira adalah istri Raki! Dan sampai kapan pun, Keira akan tetap menjadi istri Raki. Dan tentang sopan santun, Raki tidak pernah melupakan apa yang sudah Romo dan Ibu ajarkan kepada Raki selama ini. Raki selalu bersikap sopan dan santun kepada semua orang yang bersikap baik kepada Raki!"

"Kamu pasti tidak mengetahui bukan, bagaimana istri kamu yang sebenarnya, Mas. Empat tahun lebih dia meninggalkan kamu tanpa pamit. Apa kamu yakin jika dia masih menganggap kamu sebagai suaminya?"

"Raki percaya dengan Keira, Bu. Keira adalah perempuan baik-baik. Dia akan selalu menjaga dirinya dengan baik selama Raki tidak berada di sampingnya. Jadi, lebih baik Ibu simpan cerita buruk Ibu tentang Keira. Karena Ibu tidak pernah mengetahui, siapa Keira yang sebenarnya!"

"Apa kamu tidak ingin mengetahui apa yang sudah Keira lakukan di belakang kamu selama ini, Mas?!"

"Tidak Bu, terima kasih! Raki tahu bagaimana istri Raki yang sebenarnya. Raki masih banyak pekerjaan, Bu. Assalamualaikum."

Raykarian segera menutup panggilannya secara sepihak. Tak peduli jika ibunya akan memaki dirinya saat bertemu nanti. Darahnya seakan mendidih kala mendengar ibunya selalu menghina Keira secara langsung seperti itu.

Ibu jari tangan kanan Raykarian segera menyentuh sebuah icon di layar datar smartphone-nya ketika notifikasi pesan dari ibunya muncul. Dibukanya sebuah video berdurasi beberapa detik yang dikirimkan oleh ibunya. Kedua mata tajamnya memerhatikan video itu tanpa berkedip. Dengan perlahan dan pasti, kedua rahangnya mengeras. Diiringi tangan kanannya yang semakin menggenggam kuat smartphone yang dipegangnya, seakan ingin meremasnya detik itu juga. Napasnya pun mulai memburu saat tak mampu lagi meredam emosinya yang sudah tersulut oleh tayangan video itu.

"Argh!!!" Teriak Raykarian geram kala melempar smartphone-nya ke dinding hingga hancur berkeping-keping.

Raykarian menjatuhkan tubuh letihnya di atas ranjang sembari memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya meremas kepalanya yang terasa pening semenjak menapakkan kedua kakinya di John F Kennedy Airport. Mencoba meredakan emosinya yang sudah meledak. Otaknya seakan beku saat melihat Ferry memayungi Keira yang sedang menggendong Kaisa. Emosinya semakin tak terkendali ketika melihat Keira memasuki mobil Ferry. Video itu telah membuat otak cerdasnya tak bisa berpikir logis akan apa yang sedang terjadi kepada Keira dan Kaisa saat ini.

Mungkinkah Keira memiliki hubungan dengan Ferry selama berpisah darinya? Inikah yang membuat Keira menolak ajakannya untuk berpindah ke Amerika? Apakah ini yang membuat Keira tak mengangkat panggilannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu mulai merasuki otak Raykarian saat ini.  Membuat kepercayaannya kepada Keira perlahan memudar. Ucapan ibunya pun mulai diingatnya kembali. Namun ia harus menunggu beberapa hari lagi untuk bisa pulang kembali ke Indonesia. Menanyakan makna cinta yang sesungguhnya bagi Keira. Kemudian menyelesaikan semuanya dan juga membawa Kaisa untuk mengikutinya.

Tbc.

***

http://www.blogkhususdoa.com/2015/03/doa-agar-hati-tenang-mohon-ketenangan-hati-lengkap-bahasa-arab-latin-dan-artinya.html?m=1

http://informasitips.com/cara-penanganan-demam-pada-anak

http://www.alodokter.com/radang-amandel/pengobatan

https://infodemam.com/2009/07/17/penanganan-dan-pengobatan-kejang-demam-pada-anak/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top