5. Satu hati satu jiwa
Dari tempat duduknya, Keira menatap Raykarian dan Kaisa yang sedang memesan makanan dengan tatapan sendunya. Kaisa terlihat sangat bahagia berada dalam gendongan Raykarian. Jemari mungilnya tampak menunjuk beberapa makanan cepat saji kesukaannya. Senyum Raykarian pun terlihat sumringah, meladeni permintaan Kaisa yang juga merupakan favoritnya. Sudah berulang kali, Kaisa bergelayut manja dalam gendongan ayahnya.
Keira bahagia melihat putrinya terlihat sangat gembira saat ini. Namun hatinya merasa pedih, jika kebahagian yang dilihatnya saat ini akan melenyap tanpa terduga. Banyak hal yang harus diselesaikannya bersama dengan Raykarian untuk bisa tetap hidup bersama-sama. Keputusannya kembali ke Indonesia, adalah salah satu hal yang pasti akan membuat dirinya terluka kembali. Apa pun yang akan terjadi nanti, ia akan berusaha menerimanya dengan lapang.
"Ibu," panggil Kaisa saat menghampiri Keira yang sedari tadi menunggunya memesan makanan.
"Beli apa saja tadi?" tanya Keira sebelum memandang Raykarian yang baru saja meletakkan sebuah nampan dengan begitu banyak makanan di atasnya.
"Tu," tunjuk Kaisa gembira, "da ayam goreng, burger, kentang goreng, es krim, dan tu apa, Yah?" tanya Kaisa menunjuk sebuah makanan yang tak diketahui namanya.
Raykarian tersenyum, sebelum mengangkat tubuh Kaisa di atas pangkuannya, "Chicken snack wrap," jawab Raykarian.
"Cikenek rep," ulang Kaisa yang kesulitan mengikuti ucapan ayahnya.
Raykarian terkekeh mendengarnya, sebelum akhirnya mencium salah satu pipi Kaisa dengan gemas. Sedangkan Keira kembali terdiam melihat kebersamaan Kaisa dan Raykarian yang berada di hadapannya.
"Ni untuk Ibu," ujar Kaisa memberikan sebuah piring yang berisi Chicken snack Wrap kepada Keira, salah satu makanan yang dipilihkan oleh Raykarian.
"Ibu belum lapar, Sayang. Untuk Kaisa saja ya!" Ucap Keira.
Kaisa menoleh ke samping kanannya, lantas menatap Raykarian, "Ayah, tengok tu! Ibu tak nak makan lagi," ujar Kaisa melaporkan kebiasaan Keira yang susah dan jarang makan.
Raykarian mengerutkan dahinya samar mendengar penuturan putrinya. Mencoba menerka apa yang Kaisa ucapkan dalam bahasa campurannya.
"Selama Ayah nggak ada, Ibu sering nggak makan?" tanya Raykarian yang masih mengingat kebiasaan buruk Keira.
Kaisa mengangguk dengan raut wajah yang sangat lucu. Kedua matanya mengikuti arah pandang Raykarian yang sedang menatap ibunya dengan tatapan tajam. Pandangannya beralih, memerhatikan kedua tangan ayahnya yang sedang membuka pembungkus burger, lantas menyodorkannya di depan mulut ibunya. Keira terdiam menatap burger di hadapannya.
"Buka mulutnya!" Titah Raykarian lugas, membuat Keira menatapnya dengan lekat.
Pandangan Keira mengabur. Ia teringat dengan apa yang selalu Raykarian lakukan saat dirinya tak mau makan. Raykarian akan terus berusaha memaksanya hingga ada makanan yang masuk ke perutnya. Ditatapnya burger itu sekilas, sebelum membuka mulut dan menggigitnya. Kemudian mengunyahnya sembari meneteskan air matanya. Membuat Kaisa terkejut melihatnya.
"Ibu, kenapa menangis?" tanya Kaisa cemas, hanya gelengan kepala Keira yang menjawabnya.
"Ayah," panggil Kaisa menatap ayahnya.
Dengan santainya, Raykarian memakan burger yang baru saja disuapkan kepada Keira. Ia sudah hafal dengan tingkah istrinya itu. Istrinya, Keira, mempunyai perasaan yang teramat sensitif akan sesuatu hal yang mengharukan.
"Ibu itu sedang bahagia, Sayang. Makanya menangis," tutur Raykarian sebelum menyuapkan burger ke mulut Kaisa.
Dahi Kaisa mengerut samar sembari mengunyah burger yang baru saja digigitnya, "Iya ke?! Ibu pun menangis kalau rindu Ayah," ucap Kaisa yang membuat Raykarian tersenyum bahagia.
"Kaisa, cepat di makan makanannya! Duduk sendiri! Ayah kesusahan itu makannya," perintah Keira mengalihkan pembicaraan Kaisa.
"Ayah nggak kesusahan, Bu," sahut Raykarian menggoda, membuat Keira terperanjat mendengarnya.
"Kaisa nak duduk sama Ayah," ucap Kaisa sebelum memakan nasi dan ayam gorengnya.
"Kaisa sudah cuci tangan belum?" tanya Keira menahan tangan Kaisa yang akan menyentuh ayam goreng.
Kaisa tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi susunya kepada Keira, "Belum," sahut Kaisa.
"Cuci tangan dulu!" Perintah Keira yang dibalas anggukan kepala dari Kaisa.
Kaisa turun dari pangkuan ayahnya, lantas berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangan setelah mendapat arahan jalan dari ayahnya. Keira mengalihkan pandangannya, saat kedua mata Raykarian mulai menatapnya dengan lekat dan penuh cinta. Tatapan yang selalu membuat Keira melemah dengan sendirinya di hadapan Raykarian.
"Kamu nggak berubah, Sayang," ujar Raykarian yang membuat detak jantung Keira kembali abnormal.
Tangan kanan Raykarian terulur. Menolehkan kepala Keira agar menghadapnya. Keira hanya bisa terdiam, menatap wajah suaminya yang selama ini dirindukannya. Lidahnya kembali menjadi kelu berada di hadapan Raykarian. Hanya sorot matanya yang mampu mencurahkan segala perasaannya saat ini. Sorot mata yang sudah dihiasi dengan air bening, membuatnya terlihat berkaca-kaca.
"I always miss you, Baby. So much," ucap Raykarian, "and please, don't leave me again!"
Keira tertegun mendengar permintaan Raykarian. Permintaan yang rasanya akan sangat sulit untuk dijalaninya nanti. Tetap bersama dengan Raykarian, sama halnya seperti menetapkan hati dan merelakannya untuk tersakiti kembali.
"Ayah, Ibu, sudah." Kaisa mengangkat kedua tangannya yang masih terlihat sedikit basah karena belum dikeringkan.
Keira mengambil tisu dari dalam tasnya, lantas mengelap kedua tangan putrinya hingga kering. Kaisa kembali menghampiri ayahnya.
"Kaisa, duduk sendiri!" Perintah Keira.
Mulut kecil Kaisa mengerucut. Wajahnya pun tertekuk mendengar perintah ibunya. Ia menoleh ke arah ayahnya, "Kaisa nak duduk sama Ayah, boleh tak?" pinta Kaisa memohon, membuat Raykarian iba sekaligus gemas melihat raut wajahnya.
"Nak duduk sama Ayah?" sahut Raykarian mengulang, karena belum terlalu mengerti arti ucapan Kaisa.
Kaisa mengangguk dengan penuh semangat, kala mendengar ayahnya berbicara dengan bahasa seperti dirinya, "Nak, nak!" Seru Kaisa bahagia.
"Nak?!" Ulang Raykarian bingung, sebelum menoleh ke arah Keira meminta penjelasan.
"Nak itu artinya mau," jelas Keira yang langsung disambut anggukan kepala dari Raykarian.
Dengan gerakan cepat, Raykarian mengangkat tubuh kecil Kaisa untuk duduk di pangkuannya. Senyum bahagianya tersungging saat Kaisa tiba-tiba mencium pipinya sebelum mengucapkan terima kasih. Membuat Keira terpaku di tempatnya. Menyaksikan betapa bahagianya Raykarian dan Kaisa saat bertemu.
"Terima kasih, Ayah," ucap Kaisa bahagia.
"Habiskan makanannya! Setelah itu kita jalan-jalan. Kaisa mau?" tanya Raykarian.
"Mau," sahut Kaisa yang mulai diajari Keira untuk menggunakan bahasa Indonesia, "Ayah nak ajak Keira jalan-jalan ke mana?" tanya Kaisa.
"Kemana saja, terserah Kaisa." Raykarian menyahut sambil membantu Kaisa memisahkan daging ayam dari tulangnya.
"Kaisa tak tahu nak jalan-jalan ke mana. Ibu ikut ke?"
"Ya sudah, terserah Ayah ya! Ibu pasti ikutlah. Nanti menangis lagi kalau ditinggal."
Kaisa terkekeh mendengar ucapan lucu dari Ayahnya. Keduanya saling melempar tawa sembari memakan makanan favoritnya. Raykarian dengan burger-nya, Kaisa dengan sepaket menu ayam gorengnya. Keira tetap terdiam memandang kebersamaan Kaisa dengan ayahnya. Kebersamaan yang tak akan mungkin selalu bisa dilihatnya setiap hari.
"Sayang," panggil Raykarian yang sudah siap menyuapkan chicken snack wrap kepada Keira.
Keira segera tersadar dari lamunannya kala mendengar panggilan yang sudah lama tak didengarnya dari mulut Raykarian. Ia kembali menatap Raykarian dalam diam.
"Makan!" Titah Raykarian tegas.
Keira mengambil makanan yang berada di tangan suaminya, Raykarian. Kemudian ia menggigitnya dan mengunyahnya dengan perlahan. Ia menikmatinya sambil menatap Kaisa yang sedang lahap memakan ayam goreng. Ia tak mengindahkan Raykarian yang sedang menatapnya dengan lekat. Tatapan yang selalu bisa membuatnya salah tingah dan tak berdaya hanya dalam hitungan detik.
"Don't stare at me like that!" Ketus Keira menatap tajam Raykarian.
Raykarian tertawa melihat istrinya yang sudah mulai mengeluarkan taringnya. Inilah yang membuatnya selalu merindukan Keira. Keira yang akan terusik jika dirinya menggoda walau hanya dengan sebuah tatapan intens tanpa suara sekali pun. Keira yang akan mengeluarkan suara lantangnya saat tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Keira yang akan menampilkan wajah menggemaskan kala memarahinya. Semua yang ada di diri Keira akan selalu diingatnya sampai kapan pun.
Kaisa terlihat bingung. Ketika ayahnya tertawa, sedangkan ibunya terlihat sangat kesal. Ia pun memerhatikan ibunya yang tiba-tiba meletakkan makanannya dan beranjak pergi menuju toilet.
"Ibu lucu," ucap Raykarian setelah Keira pergi.
"Ibu tu comel lah," sahut Kaisa yang menolak keras ungkapan ayahnya, bahwa ibunya tidak lucu tapi ibunya cantik.
Raykarian terkekeh. Ia tak tahu apa yang putrinya maksudkan, "Ibu comel," ulang Raykarian spontan.
"Kaisa pun," timpal Kaisa yang dihadiahi ciuman gemas dari ayahnya.
---
Keira mendekap tubuh kecil Kaisa yang sedang tertidur nyenyak di atas pangkuannya, sembari memandang jalanan yang basah karena turunnya hujan. Ia tahu sedari tadi suaminya, Raykarian, sedang memerhatikannya sambil menyetir. Mencuri-curi pandang terhadapnya setelah Kaisa tertidur. Keira sengaja mengurangi kontak mata dengan Raykarian selama menemani Kaisa berjalan-jalan dan bermain dengan ayahnya. Ia mencoba menekan segala perasaannya yang tak mampu dijabarkannya saat ini. Ada rasa bahagia dan juga rasa sesak yang bercampur menjadi satu.
Raykarian mengembuskan napas beratnya, mencoba fokus kembali melihat jalanan di depannya. Ia tahu bahwa Keira sedang mencoba menghindarinya saat ini. Empat tahun lebih tidak bertemu, membuat keduanya sedikit canggung. Candaan dan lelucon yang dilontarkannya pun seakan tak mampu membuat Keira tersenyum kepadanya. Hanya ocehan lucu Kaisa yang mampu membuat Keira menyunggingkan senyum kecilnya.
"Apa Kaisa tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia?" tanya Raykarian memulai percakapan di tengah hening dan dinginnya suasana di dalam mobil.
"Bisa, sedikit. Bahasanya sudah bercampur, antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu. Terlebih ketika Kaisa mulai masuk pre-school. Dia jadi mengikuti cara berbicara teman-temannya," cerita Keira sebelum mencium pucuk kepala Kaisa.
Raykarian menoleh ke arah Keira. Menatapnya dengan tajam, "Kaisa sudah bersekolah? Sekecil itu kamu masukkan ke sekolah, Kei?! What's on your mind, hah?!" Geram Raykarian.
"Kaisa itu seharusnya belajar sambil bermain, belum waktunya dia belajar membaca atau menulis," imbuh Raykarian yang masih geram karena mendengar cerita Keira bahwa Kaisa sudah bersekolah.
"I didn't have choices!" Balas Keira kesal sambil menutupi kedua telinga Kaisa.
"You have! You always have a choice. Life is matter of choice, Kei!" Raykarian menyanggah keras ucapan Keira.
"But, I don't have it!"
"You always have it, Keira!!!"
"Aku nggak bisa meninggalkan Kaisa sendirian di rumah saat aku bekerja."
Raykarian terdiam mendengar jawaban pamungkas dari Keira. Ia mencengkram setir mobilnya dengan kuat dan erat. Kedua Rahangnya pun mengeras dalam hitungan detik. Entah siapa yang harus disalahkannya saat ini karena perpisahannya dengan Keira. Dan tidak seharusnya, Kaisa ikut menanggung akibatnya.
Keira kembali terdiam. Ia mendekap Kaisa dengan erat setelah berani membantah ucapan suaminya, Raykarian. Raykarian bukanlah orang yang dengan gampangnya menyerah saat berdebat. Ia mempunyai bermilyaran kosakata di otak cerdasnnya. Keira pun sudah mulai bisa merasakan aura dingin dari Raykarian. Ia tak berani menoleh atau pun menatap Raykarian yang sedang tersulut emosi.
Raykarian mematikan mesin mobilnya setelah sampai di depan rumah kontrakan kecil Keira. Ia melepaskan jaketnya sebelum turun dari mobil. Ia pun telah melarang Keira untuk turun karena hujan belum mereda. Ia menggunakan jaketnya untuk menutupi kepala Keira dan Kaisa yang masih terlelap di dalam gendongan ibunya. Air hujan yang deras membuat seluruh pakaiannya basah, walau jarak mobil dan teras rumah kontrakan Keira tak begitu jauh.
"Ada berapa kamar di sini?" tanya Raykarian saat berhasil membantu Keira membuka pintu rumah.
"Satu," jawab Keira singkat sebelum masuk ke kamar.
Raykarian mengacak-acak rambutnya yang basah. Kedua mata tajamnya menyapu seluruh sudut rumah kontrakan Keira yang sangat kecil. Kontrakan yang sepertinya hanya berukuran tipe tiga enam. Langkahnya pun memasuki kamar di mana Keira merebahkan tubuh Kaisa di atas ranjang berukuran tanggung atau queen size.
"Ayah," racau Kaisa yang masih memejamkan matanya, "Ayah!"
Keira mengusap pucuk kepala Kaisa dengan perlahan, "Kaisa bobo lagi ya! Ibu di sini," ucap Keira.
"Ayah," racau Kaisa kembali.
"Ayah di sini, Sayang. Kaisa tidur lagi ya!" Tutur Raykarian yang sudah berjongkok di samping Keira, lantas mencium kening Kaisa cukup lama.
Keira mengalihkan pandangannya saat air matanya sudah berkumpul di kedua matanya. Digigitnya bibir bagian bawahnya kala melihat betapa besarnya rasa sayang Raykarian kepada Kaisa. Ia beranjak dari sisi Kaisa. Diambilnya handuk dari dalam lemari dan memberikannya kepada Raykarian. Kemudian berjalan keluar kamar, menuju dapur.
"Diminum tehnya! Setelah itu Mas bisa pulang," ucap Keira menyodorkan secangkir teh panas di hadapan Raykarian yang sudah duduk di kursi mini bar.
Raykarian menatap Keira dengan lekat, "Kenapa harus pulang? Siapa yang melarangku untuk tinggal bersama istri dan anakku sendiri?" tanya Raykarian yang mulai kesal dengan ucapan Keira.
"Pulanglah, Mas! Nggak enak dilihat tetangga," ujar Keira mencari alasan.
"Tetangga?! Sejak kapan mereka memberi kamu makan?" sindir Raykarian, "kita belum bercerai. Dan aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Keira Alyssa Al-khatiri! Buku nikah kita masih kamu simpan bukan? Atau sudah kamu bakar?" imbuh Raykarian dengan sindirannya yang semakin memanas.
"Belum." Keira menjawab singkat tanpa berpikir.
"Belum?! Jadi kamu mempunyai niat untuk membakar buku nikah kita begitu?"
"Mas Raki! What are you talking about?!"
"Apa yang sudah Ibu minta sama kamu? Sampai kamu pergi meninggalkanku tanpa pamit. Sampai kamu juga lupa dengan nomor telponku. Mana janji kamu sebelum aku mengucapkan ijab kabul? Mana?!"
Keira terdiam menatap Raykarian yang sudah tersulut emosi kembali. Ia hanya bisa terdiam mematung, dan mendengarkan semua keluh kesah Raykarian selama ini.
"Kamu bilang, kalau kita nggak boleh berpisah. Kamu juga bilang, kalau kamu bersedia hidup denganku walau apa pun yang terjadi. Aku nggak lupa, saat kamu mengatakan bahwa kita harus selalu bersama-sama sampai nanti," tutur Raykarian mengingatkan, membuat dada Keira semakin terasa sesak, "dan dengan gampangnya, kamu pergi meninggalkanku sendirian di saat aku sakit. Di saat aku benar-benar membutuhkan kamu."
"Aku pergi, karena aku nggak mau merusak masa depan dan cita-cita kamu, Mas." Keira berusaha membela dirinya.
"Masa depan dan cita-cita? Tahu apa kamu soal masa depan dan cita-citaku, hah?!"
"Kalau aku nggak pergi, Mas nggak mungkin bisa menjadi seorang diplomat hebat seperti sekarang."
Raykarian mencengkeram kedua bahu Keira dengan kuat. Ia menatap Keira dengan tatapan tajam mengintimidasi. Tatapan yang sudah diselimuti oleh amarah dan benci. Membuat Keira menelan salivanya dengan susah payah. Ia menunduk, karena tak berani menatap kedua mata Raykarian.
"Lihat Mas, Kei!" Perintah Raykarian keras, "Keira!!!"
Dengan takut, Keira mendongakkan kepalanya. Menatap Raykarian dengan pandangannya yang sudah mengabur. Tubuhnya seakan melemas kala mendapat tatapan tajam dari suaminya.
"Sejak kamu menjadi istriku, cita-citaku telah berubah. Masa depanku itu kamu, dan cita-citaku hanya satu. Aku ingin membahagiakan kamu dan juga anak kita. That's it!" Terang Raykarian yang membuat air mata Keira menetes.
"Aku mohon, jangan pernah lagi menuruti ucapan siapa pun untuk meninggalkanku lagi! Siapa pun!!!" Pungkas Raykarian mengungkap seluruh isi hatinya.
"Mas nggak ada di sana waktu itu. Mas juga nggak bisa membantu aku. Mas nggak tahu, bagaimana rasanya dihina dan dipermalukan oleh orang-orang yang memandangku dengan kotor. Mas nggak tahu, bagaimana rasanya ditolak sendiri oleh orang tua dan juga keluarga." Keira meluapkan semua rasa sakitnya kepada Rayakarian dengan berlinang air mata.
"Mas nggak tahu, bagaimana rasa sakitnya aku saat melahirkan Kaisa tanpa Mas di sampingku. Saat Kaisa menangis, aku ikut menangis. Aku cuma mau hidup tenang, Mas! Dan saat itu, Ibu nggak mengijinku untuk menemui kamu walau hanya satu detik. Ibu," ucap Keira terhenti karena Raykarian menarik tubuhnya dan mendekapnya dengan erat.
Keira menangis tergugu, "Ibu bilang, Mas nggak akan pernah menjadi Ayah dari anak haram yang aku kandung," cerita Keira di tengah isak tangisnya, "Kaisa bukan anak haram, Mas. Bukan!!!"
"Kaisa anak kita. Dia anak kita," bisik Raykarian dengan menitikkan sebulir air matanya, "maafkan Mas, Sayang. Maaf." Raykarian mencium pucuk kepala Keira berulang kali.
Keira membalas pelukan Raykarian dengan erat saat tak mampu lagi menahan rasa sakit yang membuat dirinya seakan melemah. Ia menangis di dalam dekapan Raykarian yang masih mengenakan pakaian basahnya. Baik Raykarian atau pun Keira tak menyadari jika sedari tadi ada sepasang mata yang memerhatikan keduanya dengan sedih. Kaisa menatap keduanya dalam diam. Membiarkan air matanya menetes perlahan. Melihat ibunya menangis selalu membuat hatinya sakit.
"Ibu," panggil Kaisa, membuat Keira dan Raykarian tersentak.
"Kaisa," sahut Keira terkejut sambil menyeka air matanya dengan serabutan, "ko bangun, Sayang?"
"Ibu, maafkan Ayah. Jangan marah sama Ayah," ucap Kaisa karena melihat ibunya mengungkap sesuatu dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya.
Air mata Keira kembali menetes, "Ibu nggak marah sama Ayah," sahut Keira lirih.
"Kaisa tak nak Ayah pergi lagi. Kaisa nak seperti kawan-kawan, punya Ayah yang da di rumah bersama kita orang. Ayah tak boleh pergi lagi! Ya, Bu? Boleh ke?" ungkap Kaisa sembari menangis, membuat Keira menutup mulutnya rapat-rapat dengan telapak tangan kanannya. Menahan isakan tangisnya agar tak terdengar semakin keras.
Raykarian menggendong Kaisa sembari tersenyum, "Ayah di sini. Ayah nggak akan kemana-mana! Kita akan tinggal bersama sekarang," ujar Raykarian yang membuat Keira tertegun di tempatnya.
Kaisa mengangguk, lantas membenamkan wajahnya di antara leher dan bahu ayahnya. Ia memeluk leher ayahnya dengan erat, "Ayah tak boleh pergi lagi!" Gumam Kaisa yang langsung dihadiahi ciuman sayang dari ayahnya.
"Iya, Sayang. Ayah nggak akan pergi," sahut Raykarian sembari menghampiri Keira yang masih menangis.
Tangan kanannya yang bebas, menarik tubuh Keira untuk dipeluk. Diciumnya pucuk kepala Keira dengan penuh sayang. Senyumnya tersungging kala Keira memeluknya dengan erat.
Malam ini, adalah malam baru bagi Raykarian beserta istri dan juga putrinya. Malam dimana keluarga kecilnya bisa berkumpul kembali. Ia tahu, bahwa masih banyak hal yang harus diperjuangkannya agar istri dan anaknya tak pergi kembali. Apa pun yang akan terjadi nanti, ia tak akan membiarkan siapa pun memisahkannya dengan kedua wanita tercintanya. Walau keluarga besarnya sekali pun.
Tbc.
***
"Ih!!! Susahnye," gerutu Kaisa saat mencoba menyalakan smartphone ayahnya.
Keira menoleh ke belakang, ke arah ranjang, "Sayang, jangan mainan smartphone Ayah! Main smartphone punya Ibu saja," tutur Keira sebelum melanjutkan merias wajahnya.
"Tak nak! Bosan Kaisa main smartphone Ibu," sahut Kaisa kesal dan berguling di kasur.
"Ada apa? Ko ramai banget," tanya Raykarian.
"Ayah, Kaisa nak main smartphone Ayah, boleh tak?" tanya Kaisa.
"Pakai smartphone Ibu saja," timpal Keira.
"Tak nak!!!" Seru Kaisa keras.
"Udah-udah! Kenapa jadi ribut begini sih!" Lerai Raykarian.
Raykarian ikut merebahkan tubuhnya di samping Kaisa. Kemudian menyalakan smartphone-nya dengan salah satu sidik jari jemari kanannya.
"Kaisa, jangan tiduran, Sayang! Nanti bajunya lusuh!" Pekik Keira sebal melihat Kaisa yang selalu manja jika ada ayahnya.
"Tak nak!" Sahut Kaisa.
"Bangun, Sayang! Kita buat video yuk!" Ajak Raykarian kepada Kaisa, sebelum terbangun dari tidurnya.
Keira pun mengembuskan napas beratnya. Kaisa sudah tak menurut lagi kepadanya sejak dekat dengan ayahnya. Ia pun terdiam melanjutkan merias wajahnya sebelum pergi dengan kedua kesayangannya, Raykarian dan Kaisa. Tak peduli dengan tingkah suami dan anaknya yang sedang membuat video di sampingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top