2. Bayang ilusi

Kedua kaki Keira tampak melangkah dengan tergesa-gesa, sembari mengangkat tangan kirinya untuk melirik jam tangannya sekilas. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit waktu Kuala Lumpur, Malaysia. Langkahnya mulai melambat, saat memasuki lingkungan Khalifah Preschool. Salah satu Islamic Playgroup di negeri tempatnya tinggal saat ini.

"Assalamualaikum, Cikgu. Maaf saya terlambat menjemput Kaisa," tutur Keira sopan menggunakan bahasa Indonesia.

"Wa'alaikumsalam Ibu Kaisa. Tak apa, Bu. Kaisa is over there," sahut guru Kaisa sembari menunjuk ke tempat bermain.

Keira tersenyum, "Terima kasih, Cikgu. Saya permisi dulu, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," sahut guru Kaisa.

Keira tersenyum, memandang putrinya yang sedang asik bermain dengan teman-teman sebayanya. Jika bisa, ia tak ingin menyekolahkan Kaisa diumurnya yang baru saja menginjak empat tahun. Kesibukan Keira sebagai seorang wedding planner, membuatnya terpaksa memasukkan Kaisa ke Preschool. Terkadang, Kaisa harus mengikuti day care di Preschool-nya jika dirinya sangat sibuk.

"Kaisa," panggil Keira.

Kaisa menolehkan kepalanya. Senyum manisnya tersungging kala melihat ibunya telah datang. Ia segera turun dari ayunan, dan berlari kecil ke arah ibunya.

"Ibu, lama," rengek Kaisa setelah mencium punggung tangan ibunya, Keira.

"Maaf ya, Sayang. Tadi, Ibu menunggu taksinya lama," cerita Keira, "ayo kita pulang! Tapi, ke kantor Ibu dulu ya sebentar."

"Lama tak?" tanya Kaisa dengan logat bahasa melayu yang bercampur bahasa Indonesia.

"Tak, Ibu mau mengambil sesuatu."

"Apa tu?"

"Tablet Ibu tertinggal tadi."

"Kaisa lapar, Bu."

"Anak Ibu sudah lapar?"

Kaisa mengangguk dengan wajah memelasnya. Membuat Keira tersenyum kecil, lantas mencium kembali pipi Kaisa dengan gemas.

"Kaisa nak makan apa?" tanya Keira menirukan logat Kaisa.

"Kaisa nak makan ayam goreng," jawab Kaisa bersemangat.

"Ayam goreng lagi?" tanya Keira tak percaya.

"Nak, nak. Jom beli ayam goreng Bu," ajak Kaisa menggandeng tangan kanan ibunya.

"Ya lah," sahut Keira menggandeng erat Kaisa, "beli ayam goreng di dekat kantor Ibu saja ya!" Kaisa mengangguk membalas ajakan ibunya.

Kaisa tersenyum, kala bertemu dengan beberapa rekan kerja ibunya. Semua teman ibunya tampak sangat gemas melihat wajah lucu Kaisa. Tak jarang, mereka akan mencium atau mencolek wajah Kaisa.

"Bawa apa tu? Buat Uncle ke?" ledek Alim saat melihat Kaisa membawa sebuah plastik putih berisi sekotak ayam goreng kesukaannya.

"Tak! Ini buat Kaisa je," sahut Kaisa yang disambut kekehan tawa dari teman-teman ibunya.

"Bagilah sikit," rengek Alim yang masih meledek.

"Tak nak!" Seru Kaisa.

"Bang Alim, jangan meledek terus! Nanti Kaisa teriak-teriak. Keira nggak enak, Bang!" Lerai Keira sebelum mengambil tablet-nya.

"Ya lah, ya lah," sahut Alim.

"Kei, Ibu Zoya meminta flower arrangement-nya diubah," ujar Fiya, salah satu teman dekat Keira yang juga berasal dari Indonesia.

"Apa? How come?" tanya Keira terkejut, "kurang seminggu lagi, Fi. Astaghfirullahhal'adzim."

"You tak tahu macam mana Ibu Zoya tu, garang. Minta inilah, minta itulah. I pusing dengarnya," tambah Alim kesal.

Keira mengembuskan napas beratnya, "Ibu Zoya meminta bunga apa?" tanya Keira sabar, sebelum melirik Kaisa yang sedang mengambil pensil berbentuk lucu di meja kerjanya.

"Calla Lily dan White Rose," sahut Fiya, "asli." Fiya menambahkan, membuat Keira terbelalak.

"Asli?! Ya Allah. Calla Lily is so expensive now," tutur Keira.

"And Dia tak da masalah dengan tu," timpal Alim, membuat Keira memijat keningnya.

"Oke! Aku pergi dulu, sekalian mencari bunga itu," pamit Keira.

"Aku sudah mendapatkan white rose-nya, Kei," ujar Fiya yang dibalas anggukan kepala dari Keira.

"Kaisa, mau bantu Ibu tak?" tanya Keira memohon.

"Nak, nak. Apa tu Bu?" sahut Kaisa yang membuat Keira tersenyum.

"Menemani Ibu mencari bunga, mau tak?"

"Kita tak jadi pulang?"

"Tak. Maafkan Ibu ya. Nanti setelah itu, kita jalan-jalan."

"Janji?!"

"Janji. Ayo, Sayang!"

Keira membantu Kaisa turun dari kursinya. Kemudian menggandengnya dan tak lupa membawa makanan yang baru saja dibelinya.

"Ibu, boleh tak Kaisa bawa ini pulang?" tanya Kaisa sembari mengangkat pensil lucu dengan boneka bebek berwarna kuning di ujungnya.

Keira mengangguk diiringi senyum simpulnya, "Boleh, Sayang."

"Jom, Kei! I pun nak cari bunga itu," ajak Nisa, salah satu rekan kerja Keira.

"Semoga berjaya!" Seru Alim dan Fiya sembari mengepalkan tangannya ke atas memberi semangat kepada Keira dan Nisa.

"Aamiin," doa Keira sebelum melangkah pergi.

---

Keira tersenyum, memandang wajah polos putrinya yang sedang tertidur. Kaisa Billah, perempuan manis dan cerdas, hadiah dari Sang Pencipta untuknya. Diusapnya pucuk kepala Kaisa, sebelum mencium kening putrinya. Ia kembali memandang Kaisa dengan lekat, sebelum akhirnya beranjak untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Jemari tangan kanannya kembali sibuk menyalakan laptop. Dibukanya beberapa video pernikahan kliennya yang baru di-upload pagi tadi oleh Alim. Kedua matanya menatap salah satu video viral yang berada di bagian teratas. Nama seseorang yang selalu dirindukannya tampak terpampang jelas di judul video itu. RM. Raykarian Narotama Yudaningrat speech at United Nation. Dengan ragu-ragu ia pun membukanya.

Detak jantung Keira berdegup kencang, ketika mendengar suara khas Raykarian dari video itu. Tatapan tajam, tutur bicaranya yang lugas dan tegas, senyum tersembunyinya, semakin membuat Keira merindukan sosok suaminya itu. Senyum kecil Keira tersungging, melihat betapa lancarnya Raykarian berpidato secara ekstemporer dalam Bahasa Inggris. Sesekali mata tajam Raykarian tampak melirik catatan kecil di buku agendanya. Air bening sudah mulai berkumpul di kedua mata Keira.

"I'm so proud of you, Mas Raki," ucap Keira kala melihat Raykarian memberikan sebuah pepatah sebelum menutup pidatonya, diiringi sebulir air matanya yang terjatuh.

Tangan kirinya segera menghapus air mata itu. Jemari tangan kanannya pun kembali bergerak. Ia men-download video itu, lantas menyimpannya. Ia kembali membuka beberapa folder lama yang tersembunyi di laptop-nya. Ditatapnya, foto-foto Raykarian yang masih disimpannya. Tak ada yang berubah dari sosok suaminya itu. Raykarian terlihat semakin tampan di usia matangnya. Kedua matanya menatap lekat salah satu foto Raykarian yang paling disukainya. Foto yang diambilnya ketika makan malam berdua di salah satu cafe favoritnya.

Air mata yang baru saja menetes segera dihalau dengan tangan kirinya, ketika suara Kaisa memanggilnya. Ia pun segera menutup folder itu sebelum Kaisa melihatnya.

"Ibu," panggil Kaisa yang sedang berjalan menghampiri Keira sembari memeluk boneka teddy bear kesayangannya.

Boneka yang sejatinya adalah milik Keira, salah satu oleh-oleh yang diberikan Raykarian setelah bertugas dari Korea lima tahun silam. Keira tersenyum, setelah memeluk Kaisa yang sudah berada dipangkuannya.

"Ko bangun, Sayang? Kenapa?" tanya Keira setelah menciumi wajah Kaisa.

"Kaisa nak tidur ditemani Ibu," pinta Kaisa.

"Manjanya anak Ibu," ujar Keira gemas sebelum menciumi wajah Kaisa kembali.

Kaisa mendongakkan kepalanya, lantas menatap wajah cantik ibunya dengan lekat, "Ibu, boleh tak Kaisa tanyakan sesuatu?" tanya Kaisa ragu.

"Boleh," sahut Keira sembari tersenyum, "Kaisa mau tanya apa?"

"Ibu, kapan Ayah pulang? Kenapa Ayah tak pernah pulang seperti Ayah kawan-kawan Kaisa?"

"Kenapa Kaisa menanyakan hal itu?"

"Kaisa rindu dengan Ayah. Atau Kaisa tak punya Ayah?"

Tubuh Keira menegang kala mendengar ucapan Kaisa. Pandangannya kembali mengabur menatap wajah polos putrinya saat ini.

"Kaisa mempunyai Ayah. Ayah Kaisa sedang bekerja sekarang. Ibu sudah pernah bercerita bukan tentang Ayah? Kalau tempat kerja Ayah itu jauh," cerita Keira menahan air mata dan sesak di dadanya.

"Ibu ambil je tabungan Kaisa, kita ke tempat Ayah esok," sahut Kaisa.

"Tak cukup tabungan Kaisa untuk pergi ke tempat Ayah bekerja. Sabar ya Sayang!"

"Kaisa nak tengok Ayah, Bu!"

Keira memeluk Kaisa dengan erat. Bersamaan dengan itu, air matanya menetes. Semenjak Kaisa bersekolah, ia selalu menanyakan soal ayahnya. Hal ini mengingatkan Keira pada masa kecilnya dulu. Selalu merindukan kehadiran ibu di hidupnya. Menatap Kaisa, membuat dirinya seakan bercermin dan kembali ke masa kecilnya. Hingga detik ini, Kaisa belum pernah melihat bagaimana sosok ayahnya. Keira menahan kepala Kaisa yang ingin menolehnya. Isakan kecil Keira terdengar oleh Kaisa.

"Ibu, kenapa menangis?" tanya Kaisa.

Keira menyeka air matanya, sebelum merenggangkan pelukannya, "Kaisa mau melihat Ayah?" tanya Keira yang dibalas anggukan kepala dari Kaisa.

"Kenapa Ibu menangis?" ulang Kaisa.

"Ibu juga rindu sama Ayah," jelas Keira menahan air matanya yang akan menetes, "Kaisa harus janji, setelah melihat Ayah, jangan menanyakan Ayah lagi!"

Kaisa mengangguk, "Janji! Tapi, Ayah pasti pulang kan, Bu?" tanya Kaisa berharap.

"Ayah pasti pulang," dusta Keira.

Kaisa memeluk bonekanya sembari menatap layar laptop di depannya dalam diam. Ia memerhatikan tangan kanan Keira yang sedang sibuk memilih video. Kedua mata Kaisa menatap gambar seorang lelaki di laptop tanpa berkedip.

"Itu ..., Ayah Kaisa ke?" tanya Kaisa kala menonton video Raykarian yang sedang berpidato.

"Iya, itu Ayah Kaisa. Ayah Raki," jelas Keira sembari mengeratkan pelukannya di tubuh kecil Kaisa.

"Kacaknya Ayah Raki," puji Kaisa kala melihat ketampanan ayahnya.

"Iyakah?"

"Iya."

Keira tersenyum mendengarnya. Ia pun terdiam, menatap wajah Raykarian di layar laptop-nya. Suasana malam semakin terasa sunyi dan sepi kala keduanya hanya terdiam. Hanya suara lantang khas Raykarian yang terdengar di ruang keluarga itu.

"You're welcome, Ayah," sahut Kaisa saat Raykarian menutup pidato dengan mengucapkan terima kasih dalam bahasa inggris.

Keira tersenyum, sebelum mencium pucuk kepala Kaisa. Kaisa kembali menyentuh mouse kemudian video Raykarian pun memutar kembali.

"Ibu, nanti Kaisa nak cakap apa kalau Ayah pulang?" tanya Kaisa sebelum menolehkan kepalanya menghadap ibunya, "Kaisa tak bisa cakap macam Ayah tu."

Keira terkekeh, "Ayah itu dari Indonesia, seperti Ibu. Jadi, Ayah pasti tahulah apa yang Kaisa cakapkan nanti," jelas Keira sabar.

"Indonesia tu sama tak seperti Malaysia?"

"Tak sama."

"Ayah ada di Indonesia, Bu?"

"Ayah sekarang bekerja di Amerika."

"Amerika?!"

Keira terkekeh melihat wajah polos Kaisa yang sedang terkejut. Ia pun kembali mencium pipi Kaisa dengan gemas. Kedua jemari tangannya kembali sibuk mencari gambar peta melalui laptop-nya. Senyum simpulnya tersungging, kala apa yang dicarinya telah ditemukan.

"Gambar apa tu?" tanya Kaisa saat melihat gambar peta di layar laptop ibunya.

"Itu gambar peta, Sayang," jelas Keira, "kita ada di sini." Keira melingkari gambar peta Negara Malaysia.

"Kecilnye," gumam Kaisa.

"Nah, ini Negara Indonesia."

"Besarnye! Kapan Ibu ajak Kaisa ke Indonesia? Kaisa nak tengok rumah Ayah dan Ibu di sana."

"Sabar ya, Sayang!"

"Ayah di mana, Bu?"

"Ayah ada di sini. Ini Negara Amerika Serikat."

"Besar sangat Negara Amerika itu! Jauh pula."

Keira tersenyum mendengar celotehan Kaisa yang sepertinya sudah tidak mengantuk lagi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam waktu setempat. Kaisa kembali menoleh, lantas menatap ibunya.

"Ibu ..., Ibu tak bisakah menelpon Ayah?" tanya Kaisa memohon.

Keira menggelengkan kepalanya, "Tak, Ibu tak tahu nomor telpon Ayah di sana."

"Kaisa rindu sangat dengan Ayah. Kaisa nak seperti kawan-kawan. Diantar ke sekolah oleh Ayah. Masih lama ke Ayah pulang, Bu?" desak Kaisa yang membuat kedua mata Keira berkaca-kaca.

"Ibu tak tahu, kapan Ayah pulang. Kaisa sabar, ya! In syaa Allah, kita akan bertemu Ayah secepatnya," tutur Keira menahan air matanya yang akan lolos menetes.

"Ibu janji?" tanya Kaisa.

Keira terdiam membeku, menatap wajah Kaisa dengan lekat. Wajah yang hampir mirip dengan wajah Raykarian, suaminya. Kedua tangannya menangkup wajah Kaisa dengan perlahan. Kaisa pun terdiam. Menatap kedua mata ibunya yang sudah berkaca-kaca.

"Ibu janji?" ulang Kaisa tak sabar.

Keisa mengangguk pelan, "Ibu janji, Sayang," ujar Keira lirih.

Kedua tangan Kaisa segera mengalung di leher ibunya yang tertutup pashmina. Keira pun membalas pelukan Kaisa dengan erat. Setitik air matanya menetes, kala mengingat ucapannya saat memberikan harapan-harapan semu kepada putrinya, Kaisa. Ia tak tahu, apakah dirinya siap untuk kembali ke Indonesia atau tidak. Ia pun tak bisa memastikan, apakah bisa dirinya bertemu lagi dengan Raykarian yang sangat sulit untuk diraihnya. Namun, Kaisa berhak mengetahui siapa ayahnya. Rasanya tak adil, jika dirinya terus menerus menutupi jati diri Raykarian kepada putrinya, Kaisa.

"Kaisa sayang Ibu," ucap Kaisa yang membuat Keira menangis haru.

"Ibu juga sayang sama Kaisa, sangat," sahut Keira diiringi pelukannya yang semakin mengerat.

Kaisa adalah satu-satunya orang yang membuat Keira selalu berusaha kuat dalam hal apa pun. Kaisa pula yang menjadi alasannya untuk tetap bernapas hingga detik ini. Sedangkan Raykarian, suami sekaligus ayah dari putrinya hanyalah bayangan ilusi dan harapan semu baginya. Bayangan dan harapan yang tidak bisa dihapus dalam hati dan ingatannya.

Tbc.

***

"Jangan protes ye! Ini khayalan udah ke simpan lama, tapi baru sampai sini. Karena nggak tahu arahnya ke mana. Semoga nanti arahnya, bisa membuat Mas Raki, Keira dan Kaisa bertemu. Aamiin berjamaah ya! ^^

Semoga bisa menghibur. Niatnya mau libur dari dunia orange, tapi Mas Raki manggil-manggil mulu. Kan gak kuat. Buahahaha.

Angkat kaki dulu, bye semua!" Pengkhayal pun kabur dan nggak tahu kapan balik. 😂

1011.16

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top