12. Kau harus bahagia
Senyum Keira tersungging. Memandang Kaisa yang masih bergelung dengan selimut tebal di atas ranjang. Perlahan kedua tangannya meletakkan setelan jas hitam yang akan dikenakan Raykarian di atas sofa bed di kamarnya. Kemudian dibukanya tirai jendela yang menampakkan pemandangan indah dari turunnya salju di pagi buta.
Dalam diamnya, Keira memerhatikan orang-orang yang sedang membersihkan jalan dari salju yang menutupinya. Dari tempatnya berada, ia dapat melihat lampu-lampu di sekitar tempat tinggalnya yang mirip seperti bintang bersinar. Senyumnya kembali tersungging, kala merasakan kedua tangan kokoh memeluknya dari belakang diiringi kecupan singkat di pucuk kepalanya yang tertutup hijab.
"Lihat apa, Sayang?" tanya Raykarian setiap kali melihat Keira berdiri terdiam di samping jendela kaca kamarnya.
Keira menatap Raykarian setelah membalikkan badannya, "Anything," jawab Keira yang sudah sangat dihapal oleh Raykarian.
"Jenuh?!" tebak Raykarian.
"Tak!" jawab Keira singkat meniru logat Kaisa, membuat kedua mata Raykarian semakin menatapnya dengan tajam.
"Are you sure?!" tegas Raykarian memastikan dan segera disambut anggukan kepala dari istrinya, Keira.
Keira melepaskan pelukan Raykarian. Ia merasa ngilu saat melihat tubuh shirtless Raykarian yang baru saja selesai mandi di kala cuaca sedang dingin, "Cepat pakai baju! Ibu siapkan teh dulu buat Ayah."
"Wait!" seru Raykarian menahan kepergian Keira.
"What?" tanya Keira.
"I love you, Baby," ujar Raykarian yang mampu membuat Keira tersenyum bahagia.
"I do love you, Baby," sahut Keira sebelum neninggalkan kamar.
Raykarian terkekeh melihat rona merah di wajah cantik Keira. Bukan karena udara dingin tentunya, namun rona merah itu ada karena godaannya yang selalu mampu membuat Keira tersipu malu. Hal yang selalu membuatnya tak bosan untuk memberi warna alami di wajah cantik Keira.
Diciumnya kening Kaisa sebelum memakai kemeja hitamnya. Raykarian merasa lebih bersemangat untuk bekerja selama kurang lebih dua bulan terakhir. Kehadiran istri dan putrinya seakan menjadi penyemangat tersendiri baginya. Rasa lelahnya akan sirna kala bisa melihat senyum manis Keira dan Kaisa di setiap harinya.
Kesibukan Raykarian menjadi PTRI (Perutusan Tetap Republik Indonesia) membuatnya sering pulang larut. Ia hanya bisa melihat Keira dan Kaisa saat pagi hari saja. Walau tak jarang Keira akan setia menunggunya pulang hingga tertidur di sofa. Membuat Raykarian sangat bahagia bisa memiliki Keira sepenuhnya.
Setelah menuangkan teh hangat di cangkir, Keira menambah dua sendok makan madu sebelum mengaduknya. Ia tak pernah menyangka jika pekerjaan Raykarian lebih sibuk dibandingkan dengan ayahnya. Jam kerja Raykarian yang terkadang tiba-tiba berubah sesuai dengan perintah atasannya, membuat Keira mengurungkan cita-citanya untuk menjadi seorang diplomat. Ia pun baru mengetahui bagaimana kehidupan Raykarian selama menjadi diplomat. Dan tugasnya sekarang, mengatur semua pengeluaran sepintar mungkin tanpa mengambil uang tabungan pendidikan Kaisa kembali.
"Nanti kalau Kaisa mau berangkat ke sekolah, Ibu telepon Ayah dulu ya! Ayah kangen dengar suara Kaisa," ujar Raykarian sebelum duduk di kursi, di meja makan.
Keira tersenyum sebelum merapikan dasi Raykarian, "Iya Ayah. Tapi kayaknya Kaisa hari ini nggak ke sekolah. Kaisa akan ikut day care sore nanti, sekalian Ibu berangkat Dharma Wanita."
"Oke! Kalau begitu, Ayah yang akan menelepon nanti," tutur Raykarian setelah meminum tehnya.
"Kapan Mas Raki ada libur?" tanya Keira seraya menatap Raykarian dengan lekat.
"Belum tahu, Sayang. Nanti kalau ada waktu senggang, kita jalan-jalan. Kamu mau jalan-jalan kemana?" ujar Raykarian seraya memeluk pinggang Keira dengan erat.
Keira tersenyum, "Kemana saja, asalkan kita bisa quality time bersama seharian."
Raykarian beranjak dari duduknya, lantas mencium kening Keira sebelum memeluknya dengan erat, "Siap, Sayang! Mas berangkat dulu ya, kamu dan Kaisa baik-baik di rumah! Kalau ada apa-apa telepon Mas!" titah Raykarian lugas dan disambut anggukan kepala dari Keira.
"Mas juga baik-baik ya! Hati-hati di jalan! Kalau sedang istirahat, telepon Keira sebentar. I'll miss you," ujar Keira manja, membuat Raykarian tersenyum bahagia.
"I'll miss you too, Baby," balas Raykarian, "I have to go!"
Keira memejamkan matanya, saat Raykarian mencium keningnya, hidung dan bibirnya dengan singkat. Kebiasaan Raykarian yang selalu dilakukannya sebelum berpamitan kepada Keira sedari dulu.
"I love you," ucap Raykarian.
Keira tersenyum. Kedua kakinya berjinjit sebelum mengecup bibir Raykarian dengan singkat, "I do love you, Mas Raki."
Keira membantu Raykarian mengenakan jaket parka tebalnya. Ia mengikuti langkah Raykarian yang berjalan menuju pintu.
"Assalamualaikum," pamit Raykarian setelah sampai di depan pintu.
"Wa'alaikumsalam," balas Keira seraya tersenyum.
Keira menutup pintunya setelah tubuh Raykarian menghilang ketika menuruni tangga. Ia segera bergegas menuju jendela kamarnya kembali. Menunggu Raykarian keluar dari flat, tempat di mana dirinya tinggal sekarang. Senyum manisnya tersungging kala Raykarian melambaikan tangan kepadanya sebelum masuk ke mobil yang menjemputnya. Ia pun melambaikan tangannya hingga mobil jemputan Raykarian tak bisa lagi terjangkau oleh pandangannya.
---
Raykarian kembali melirik jam tangannya. Jam tangannya telah menunjukkan pukul lima pagi lebih waktu setempat. Kedua tangannya kembali bersedekap, menahan semilirnya hawa dingin yang menerpa tubuhnya. Dengan sabar, ia menunggu seorang tamu penting dari Indonesia yang akan menjadi tanggung jawabnya selama beberapa hari ke depan di New York.
Diplomat, kata yang identik dengan sebuah pekerjaan yang sangat pretisius bagi kebanyakan orang. Jalan-jalan ke luar negeri, gaji dolar, penampilan stylish lengkap dengan jas dan dasi, kehidupan glamour, pintar bersilat lidah dengan bahasa-bahasa bersayap, atau mungkin semua orang sepakat dengan pepatah lama bahwa diplomat identik dengan protokol, alkohol, dan kolesterol. Itulah imajinasi semua orang tentang seorang diplomat yang memang tidak terlalu salah, tapi juga tidak mencerminkan profesi diplomat secara benar dan utuh. Hal itulah yang dirasakan Raykarian selama bekerja menjadi seorang diplomat. Profesinya sebagai seorang diplomat jauh lebih luas dari sekadar hal-hal yang sering diimajinasikan oleh orang awam.
Selain Raykarian dan teman-temannya yang menjadi diplomat, ada pegawai kementerian luar negeri lain yang bekerja di sana. Contohnya staf lokal, pegawai administrasi dan komunikasi. Secara kongkrit, seorang diplomat mengerjakan hampir semua hal yang terkait dengan hubungan negaranya dengan negara lain. Pekerjaan diplomat tidak hanya menjadi delegasi di PBB, menghadiri sidang ASEAN, atau juru runding perjanjian RI dengan negara lain. Namun seorang diplomat juga harus menjalankan tugas-tugasnya yang bersifat pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, seperti pelayanan visa atau perlindungan WNI di luar negeri. Sebagai contoh, Raykarian pernah mengurus para TKI yang bermasalah. Mulai dari mengunjungi penjara, menyediakan bantuan hukum, memproses pemulangan, bahkan termasuk mengantar jenazah WNI ke tanah air.
Dan inilah salah satu tugas Raykarian yang lain, mendampingi tamu penting yang akan mengadakan suatu perundingan kerja dengan salah satu otoritas dari New York. Perlahan tubuhnya berdiri tegap, bersiap menyambut tamunya yang sudah mulai keluar dari pintu gerbang kedatangan. Senyum kecilnya tersungging sebelum mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan tamunya.
"Selamat datang Bapak Sandi," salam Raykarian kala menjabat tangan tamunya, Sandi Nugraha, "saya Raykarian, utusan dari KJRI New York."
"Terima kasih Pak Raykarian," sahut Sandi sebelum memperkenalkan rekannya, Hendra.
"Mari Pak," ajak Raykarian untuk mengantarkan Sandi dan rekannya ke hotel.
Sandi memerhatikan Raykarian yang sedang berbincang dengan supir di hadapannya. Ia merasa tak asing dengan wajah Raykarian. Ia memandang Raykarian dengan kagum. Ia tak menyangka jika ada seorang diplomat muda dengan perawakan bak model terkenal seperti di televisi.
"Pak Ray, Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sandi sopan.
"Tidak, Pak. Ini pertama kalinya saya bertemu dengan Pak Sandi," ungkap Raykarian.
"Wajah Anda tidak asing, Pak Ray." Sandi mencoba mengingat-ingat dimana pernah melihat sosok Raykarian.
"Benarkah Pak? Wah, wajah saya sudah pasaran berarti Pak!" gurau Raykarian yang membuat semua orang di dalam mobil tersenyum.
"Saya ingat sekarang. Saya pernah melihat foto Pak Ray di ruang kerja salah seorang rekan saya, Keenan Alyan Al-Khatiri. Apa Anda itu putra dari Bapak Keenan?" tanya Sandi kembali.
Raykarian tersenyum simpul saat mendengar bahwa fotonya berada di ruang kerja Keenan, "Beliau adalah Ayah mertua saya, Pak."
"Pak Keenan beruntung sekali mempunyai menantu seorang diplomat seperti anda," puji Sandi dan hanya dibalas senyuman simpul dari Raykarian.
"Pak Ray, enak ya jadi diplomat! Bisa jalan-jalan di negara bagus dan indah, bisa membeli barang-barang bermerek dengan harga lokal, fasilitas telepon gratis, pendapatannya dolar lagi," tutur Hendra yang duduk di sebelah Sandi.
"Semua orang pasti ingin menjadi diplomat jika semua itu benar adanya, Pak." Raykarian menjawabnya dengan tenang diiringi senyumannya.
"Maksud Pak Ray?" tanya Sandi meminta penjelasan lebih.
"Jika dinominalkan, gaji saya setiap bulannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama istri dan juga putri saya di sini. Saya tidak bisa menikmatinya dengan hidup berfoya-foya seperti yang orang awam pikirkan. Sesekali saja saya mengajak istri dan juga anak saya travelling atau membeli barang impian yang mereka inginkan," cerita Raykarian yang membuat Sandi dan Hendra tertegun, "intinya pintar-pintar mengatur keuangan saja, Pak."
"Tentang fasilitas telepon, kami tidak mendapat penggantian uang telepon. Jadi uang telepon yang digunakan berasal dari kantong pribadi kami," lanjut Raykarian yang semakin membuat Sandi dan Hendra tak percaya, "hal itulah yang menjadi keluhan kami kepada Duta Besar di sini. Saya dan teman-teman diplomat yang lain berusaha mencari solusi untuk permasalahan itu. Hingga terbentuklah suatu dana operasional yang merupakan sumbangan bersama para diplomat tersebut."
"Bagaimana dengan uang representasi? Bukankah semua diplomat mendapatkannya?" tanya Sandi ingin tahu.
"Uang representasi itu sebenarnya adalah uang taktis yang dimiliki oleh setiap diplomat di perwakilan asing untuk digunakan sebagai networking. Networking itu juga digunakan untuk aktivitas lainnya, seperti intelijen untuk mengetahui info strategis yg bisa di gali dari counterpart diplomasi, atau negosiasi non formal apabila negosiasi formal tidak berhasil, juga meningkatkan hubungan baik antar kedua negara dan sebagainya." Raykarian menjelaskan sesuai dengan apa yang dialaminya.
"Maaf Pak Ray. Kalau boleh saya tahu, berapa uang representasi seorang diplomat?" tanya Hendra yang hanya dibalas dengan senyuman manis dari Raykarian.
Raykarian tidak menjelaskannya dengan gamblang. Namun ia menceritakan jumlah kisaran uang representasi seorang duta besar kepada Sandi dan Hendra. Membuat keduanya mengangguk-anggukan kepala ketika menghitung jumlah totalnya selama satu tahun.
"Bagaimana menurut Anda, enak tidak menjadi diplomat itu?" tanya Sandi.
"Semua pekerjaan pasti ada enak dan tidaknya, Pak," ujar Raykarian diiringi senyumannya, "enaknya itu bisa mempelajari budaya dan lingkungan baru, memperoleh pengetahuan yang luas, bisa mengabdi untuk negara, bisa keliling dunia jika sedang bertugas dan berdinas, dan juga bisa merasakan menggunakan dolar," gurau Raykarian yang membuat semua orang di mobil tersenyum kepadanya.
"Sedangkan tidak enaknya, keliling dunia ketika bertugas dan ketika liburan itu berbeda. Kalau keliling dunia ketika bertugas harus membuat persiapan perundingan, membuat paper, posisi Delri dan meneliti kelemahan lawan dalam negosiasi, membuat laporan dan sebagainya. Menerima dolar juga enak, tapi kalau mendapat tugas di negara euro atau poundsterling yang rate pertukarannya lebih tinggi dari dolar ya tetap saja rugi," jelas Raykarian, "pendapatan yang besar terkadang sejalan lurus dengan biaya hidup negara setempat yang juga besar, terlebih lagi harus memerhatikan kesejahteraan istri dan pendidikan anak."
Sandi dan Rendra menganggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan dari Raykarian. Keduanya tak menyangka jika deskripsi dari seorang diplomat selama ini sangatlah jauh berbeda dari kenyataan yang ada. Mereka melanjutkan perbincangan dengan hal-hal yang lebih ringan. Sesampainya di hotel, Sandi dan Hendra mengajak Raykarian beserta supir untuk sarapan bersama.
---
Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi waktu setempat. Waktu rutin Kaisa untuk terbangun dari tidur malamnya. Namun tak ada tanda-tanda apa pun dari Kaisa untuk terbangun. Cuaca yang dingin, membuat Kaisa merasa malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Terlebih ia sudah mengetahui jika hari ini dirinya tak akan bersekolah.
Suara bel yang berbunyi, membuat Keira segera beranjak dari duduk santainya yang sedang menikmati secangkir lemon tea hangat. Tangan kanannya terulur untuk membuka pintu setelah melihat seorang kurir dari lubang kecil di pintu.
"Good morning, Mrs. Raykarian. This is for you, " ucap kurir itu seraya memberikan sebuket bunga mawar merah dan sebuah kotak persegi kepada Keira.
"Who's sent this?" tanya Keira ingin tahu.
"I don't know, Mrs. I just sent it to you." Kurir itu menjawabnya dengan jujur, sebelum meminta tanda tangan Keira.
"Thank you," sahut Keira.
"You're welcome," balas kurir sebelum pergi.
Keira mengambil amplop kecil yang terselip di buket bunga itu. Dengan ragu, ia membuka kartu kecil yang berada di dalam amplop. Napasnya tertahan, ketika membaca barisan kata di kartu itu. Kedua matanya berkaca-kaca seraya tersenyum bahagia ketika mengetahui siapa pengirim hadiah indah itu.
"Selamat Hari Ibu, Ibu Keira tersayang.
Terima kasih karena telah bersedia menjadi ibu yang terhebat dan terbaik untuk Kaisaku.
Ayah Raki 💙"
Keira mengulum senyumnya, seraya menghapus air matanya yang sempat menetes. Dibukanya kotak persegi berwarna perak yang dihiasi pita emas di salah satu sisinya.
"Thank you so much, Mas Raki," ucap Keira diiringi setitik air matanya yang menetes kala melihat sekotak cupcakes kesukaannya, vegan gluten free cupcakes.
"Ibu," panggil Kaisa saat baru saja terbangun, membuat Keira segera menyeka air matanya.
"Iya Sayang," sahut Keira seraya mendekap Kaisa yang sudah berada di hadapannya.
"Ayah sudah berangkat?" tanya Kaisa dengan Bahasa Indonesia dengan sedikit logat melayunya.
Keira mengangguk, "Ayah tadi berangkat kerja jam 4 pagi," tutur Keira sebelum mencium pipi Kaisa dengan gemas.
"Yah, Kaisa nggak ketemu Ayah lagi. Kapan Kaisa bisa main sama Ayah lagi, Bu? Kaisa rindulah," keluh Kaisa yang sudah dua hari ini jarang sekali bertemu dengan ayahnya.
Saat Raykarian pulang bekerja, Kaisa sudah tertidur. Saat Kaisa terbangun, Raykarian sudah berangkat ke kantor. Kaisa hanya bisa mendengar suara ayahnya melalui telepon saja. Membuatnya sering merasakan rindu terhadap ayahnya.
"Sabar ya, Sayang! Ayah sedang sibuk bekerja sekarang. Tadi Ayah janji, kalau Ayah ada libur, Ayah akan mengajak Ibu dan Kaisa jalan-jalan." Keira mencoba menenangkan Kaisa yang kembali kecewa setiap kali tak bertemu dengan ayahnya.
"Kapan?" tanya Kaisa merajuk.
"In syaa Allah secepatnya," sahut Keira sabar, "gimana kalau kita telepon Ayah. Kaisa mau?"
Kaisa mengangguk dengan semangat, "Mau! Kaisa yang telepon Ayah. Mana smartphone Ibu?"
"Ini," ujar Keira seraya memberikan smartphone-nya kepada Kaisa.
"Itu cupcakes-nya siapa, Bu?" tanya Kaisa saat melihat sekotak cupcakes di atas meja.
"Itu cupcakes punya Ibu, dari Ayah." Keira membetulkan posisi Kaisa yang sedang duduk dipangkuannya.
"Punya Kaisa mana?" tanya Kaisa sebelum menekan angka satu di layar smartphone ibunya.
"Coba Kaisa tanya sama Ayah," bisik Keira seraya tersenyum.
Kaisa menempelkan smartphone Keira di telinga kanannya. Menunggu ayahnya, Raykarian, mengangkat panggilannya. Ia terkekeh ketika ibunya menciuminya dengan gemas.
"Assalamualaikum," salam Raykarian di tempatnya.
"Wa'alaikumsalam Ayah. Ayah dimana?" tanya Kaisa tak sabar.
"Ayah di kantor. Kaisa sedang apa? Ibu mana?"
"Kaisa sedang duduk dipangku Ibu. Ayah, cupcakes tuk Kaisa mana? Kenapa cupcakes-nya cuma buat Ibu?"
"Kaisa mau cupcakes juga?"
"Maulah! Kaisa nak cupcakes cantik macam cupcakes Ibu tu."
"Kaisa minta saja sama Ibu. Ibu nggak akan habis makan cupcakes sebanyak itu."
"Yalah, nanti Kaisa minta je sama Ibu."
"Ibu mana? Ayah mau bicara sama Ibu sebentar!"
"Sekejap, Kaisa nak tanya sesuatu. Kapan Ayah pulang? Kaisa rindulah sama Ayah."
"Ayah nggak tahu pulang jam berapa. Ayah juga rindu sama Kaisa. Tunggu Ayah pulang ya! Jangan tidur!"
"Kaisa penatlah tunggu Ayah pulang!"
"Ya sudah, nanti Ayah bangunkan Kaisa kalau Kaisa sudah tidur. Oke?!"
"Oke! I miss you, Ayah."
"I miss you too, Kaisa."
Kaisa memberikan smartphone itu kepada ibunya. Perlahan, ia turun dari pangkuan ibunya. Jari telunjuknya menyentuh cream cupcakes yang sedari tadi menggodanya. Kemudian menjilatnya dan tersenyum kikuk kepada ibunya yang sedang menggeleng-gelengkan kepala kepadanya.
"Ya Yah," tutur Keira kepada Raykarian.
"Kamu baik-baik saja kan, Sayang?" tanya Raykarian memastikan.
"Alhamdulillah baik," sahut Keira, "Ayah dengarkan Ibu baik-baik ya! Dan jangan memotongnya!"
"Yes, Mom!"
Keira tersenyum simpul mendengar ucapan Raykarian yang terdengar lucu di telinganya. Kepalanya mengangguk kala Kaisa meminta ijin untuk memakan salah satu cupcakes yang diberikan oleh Raykarian.
"Thank you so much more, Mas Raki. I hope you always stand by me, no matter what happen to us. I really need you so much. Thank you for everything, thank you." Dengan menahan air matanya, Keira mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya kepada Raykarian selama ini.
Keira mengetahui bahwa masih ada hal yang harus diselesaikannya bersama Raykarian jika ingin pernikahannya jauh dari masalah. Pernikahannya bersama dengan Raykarian masih belum mendapatkan restu dari kedua orang tua Raykarian. Khususnya ibunda Raykarian. Orang yang selalu membuat nyalinya menciut saat bertemu.
"It's same too, Baby. Jangan pernah pergi lagi dari hidup Mas! Apa pun yang terjadi, kita harus tetap sama-sama. Oke!" tutur Raykarian menyahuti ucapan terima kasih dari keira.
"Mas kerja dulu ya! Nanti kita sambung lagi," lanjut Raykarian.
"Iya, Mas. Assalamualaikum," pamit Keira sebelum menutup panggilannya.
"Wa'alaikumsalam Sayang," balas Raykarian.
Keira tersenyum, melihat Kaisa menyeret selimut tebal dari kamar. Tangan kirinya menghalau air matanya yang akan menetes. Raykarian dan Kaisa adalah salah satu alasan dirinya bisa selalu tersenyum saat ini. Keduanya selalu membuat hidupnya merasa lebih berwarna. Entah warna cerah atau gelap, namun warna itulah yang membuatnya semakin lebih kuat dari sebelumnya.
---
Senyum Keira tersungging seraya menjabat tangan para ibu-ibu Dharma Wanita sebelum pulang. Ini kali kedua Keira mengikuti pertemuan rutin Dharma Wanita Persatuan (DWP) PTRI di tempat suaminya bekerja. Anggota DWP ini bukan hanya dari istri-istri PTRI New York saja, namun juga gabungan dari DWP KJRI New York dan juga ibu-ibu dari Forum Perbankan Indonesia. Mereka adalah ibu-ibu dari Forum Perbankan yang sedang menemani suami bertugas di New York.
Kedua tangan Keira merapatkan trench coat-nya menutupi seragam Dharma Wanita yang berwarna soft peach. Udara dingin yang berembus membuatnya semakin mempercepat langkahnya untuk menjemput Kaisa di Day Care. Harapannya untuk bisa pulang bersama dengan Raykarian hanya menjadi mimpi saja. Hingga detik ini Raykarian belum juga membalas pesannya yang sudah dikirim sejak satu jam lalu.
Keira tersenyum. Melihat wajah serius Kaisa yang sedang menghias kue bersama dengan teman-temannya di dalam kelas. Senyum manis Kaisa tersungging saat berhasil menyelesaikan tugasnya menghias cupcakes. Tangan kanannya segera memasukkan cupcakes tersebut ke dalam kotak kue yang sudah dibuatnya beberapa menit lalu. Kemudian menempelkan hiasan bunga dari pita jepang yang juga merupakan hasil karyanya di atas penutup kotak kue itu.
"Kaisa, have you finished?" tanya pengajar Day Care.
"Yes, Miss." Kaisa menunjukkan kotak kuenya yang sudah selesai dihias.
"It's beautiful, Kaisa," puji pengajar Kaisa.
Kaisa tersenyum kala mendengar kata 'beautiful' dari pengajarnya, "Thank you, Miss Cathy," ucap Kaisa.
"Itu Ibu, Miss!" seru Kaisa kala melihat ibunya sedang tersenyum memandangnya dari balik kaca jendela kelasnya.
Keira melambaikan tangannya kepada Kaisa. Dengan sabar, Keira menunggu Kaisa yang sedang berpamitan dengan teman-temannya setelah mengenakan jaket parkanya dan menggendong tasnya. Senyum Keira kembali tersungging, melihat pengajar Kaisa membukakan pintu kelas.
"Thank you, Miss Cathy." Keira mengucapkan terima kasih kala Kaisa sudah berdiri di hadapannya.
"You're welcome Mommy Kaisa," sahut Miss Cathy, "see you, Kaisa."
"See you Miss," ujar Kaisa sebelum pergi meninggalkan kelasnya.
"Apa itu?" tanya Keira seraya kotak yang dibawa Keisa.
"Rahsia," jawab Kaisa singkat dengan logat melayunya yang masih melekat.
"Oh! Jadi, Ibu nggak boleh tahu isinya?" tanya Keira yang langsung dibalas anggukan kepala dari Kaisa, "oke! Sarung tangannya mana? Kenapa nggak dipakai?"
"Kaisa lupa," ucap Kaisa seraya tersenyum.
Kaisa meletakkan kotak kue itu di atas kursi tunggu di lobby sekolahnya. Diambilnya sarung tangan yang berada di saku tas ranselnya. Keira terdiam memerhatikan Kaisa yang sedang memasang sarung tangan di tangannya tanpa ingin dibantu. Kedua tangannya mulai bergerak kala Kaisa tampak kesusahan menggendong tasnya.
"Ibu, Ayah mana?" tanya Kaisa setelah mengambil kotaknya kembali dengan hati-hati.
"Ayah masih banyak pekerjaan, jadi belum bisa pulang," jawab Keira sabar seraya menggandeng tangan Kaisa ketika sudah berada di trotoar.
"Sibuknya Ayah," keluh Kaisa kecewa, "tak seronoklah makan berdua dengan Ibu je. Kaisa nak beli makan enak tuk Ayah dan Ibu hari ni."
Keira tersenyum simpul mendengar celotehan kecewa dari Kaisa, "Kaisa mau mentraktir Ayah dan Ibu? Memangnya Kaisa punya uang?!" gurau Keira.
"Punyalah! Banyak!"
"Siapa yang kasih?"
"Om Kenzi yang bagi."
"Oke! Kaisa mau mentraktir Ibu apa?"
"Ayam goreng."
"Tak nak! Bosanlah makan ayam goreng."
Kaisa menghentikan langkahnya, lantas mendongakkan kepalanya. Menatap ibunya yang sedang menatapnya dengan intens.
"Jangan bosanlah, Bu. Dah lama kita tak makan ayam goreng. Lagi pun, uang Kaisa tu cukup tuk beli ayam goreng je. Ibu mau ya makan ayam goreng? Atau cikenek rep?" rayu Kaisa dengan wajah menggemaskannya.
"Mmm..., bolehlah Chicken snack wrap. Tapi jangan minum air dingin ya!" larang Keira keras.
"Siap!" ujar Kaisa bersemangat setelah mendapat ijin dari ibunya.
Di seberang jalan, Raykarian mempercepat langkahnya kala melihat istri dan anaknya sedang berjalan menuju salah satu restoran cepat saji. Ia menahan diri untuk tidak berlari mengejar Keira dan Kaisa. Salju yang turun membuat jalanan menjadi licin. Dengan tergesa-gesa Raykarian menyusul Keira dan Kaisa yang sudah hilang dari pandangannya.
"Ayah pesan Big Mac!" seru Raykarian di samping Kaisa dengan napasnya yang masih memburu, membuat Keira dan Kaisa menolehkan kepala ke arahnya.
"Ayah!" seru Kaisa bahagia.
"Maaf, Ayah terlambat," ujar Raykarian kepada Kaisa.
"No! Ayah belum terlambat," sahut Kaisa.
"Kaisa mau minum apa? Chocolate milk or Apple juice?" tanya Keira yang sedang memesan makanan dan minuman.
"Chocolate milk," sahut Kaisa memerhatikan pelayan yang sedang menanyakan makanan kepada ibunya
"Chocolate milk, and then one Big Mac and hot McCafe coffee," tambah Keira.
"Is there anything else?" tanya pelayan.
"French fries medium, please," pinta Kaisa yang sedang belajar menggunakan bahasa inggris.
"Anything else?" tanya pelayan kembali.
Kaisa menggeleng, "How much?" tanya Kaisa yang membuat Raykarian terkejut.
"Kaisa mau membayar?!" tanya Raykarian yang tak dihiraukan oleh Kaisa.
Keira tersenyum kala Kaisa mengeluarkan seluruh uangnya dari dompet. Ia pun menambahkan kekurangan uang Kaisa kepada kasir. Membuat Kaisa mengerutkan dahinya karena bingung. Kaisa memang pandai berhitung, namun ia belum bisa menghitung jumlah uang dengan baik.
"Uang Kaisa kurang ke?" tanya Kaisa.
Keira tersenyum kecil sebelum membawa pesanannya ke meja, "Sedikit," ujar Keira.
"Ayo!" ajak Raykarian yang juga sudah membawa nampan berisi sisa pesanan Keira dan Kaisa.
Kaisa berjalan mengikuti ayah dan ibunya menuju meja yang berada di ujung restoran di samping jendela. Ia memilih duduk di samping ayahnya, di depan ibunya.
"Kotak apa itu?" tanya Raykarian kala melihat kotak berwarna ungu di atas meja.
Kaisa segera mengambilnya, "Rahsia!" seru Kaisa kepada ayahnya.
"Oh! Mau main rahasia-rahasiaan nih sama Ayah?" ujar Raykarian gemas.
"Ini untuk Ibu," ucap Kaisa seraya menyodorkan kotak itu kepada Keira.
"Untuk Ibu?" tanya Keira tak percaya, membuat Raykarian menatap putrinya dengan penasaran.
Kaisa mengangguk, "Iya, itu untuk Ibu. Ibu buka je!"
Keira membuka kotak itu dengan perlahan. Ia tertegun kala melihat isinya. Tiga buah cupcakes berhias krim berwarna ungu dan juga tulisan khas ala Kaisa dengan jelly berwarna merah. Cupcakes pertama bertuliskan I, cupcakes kedua bergambar hati love dengan jelly merah penuh di tengahnya, dan cupcakes ketiga bertuliskan ibu. Membuat kedua mata Keira berkaca-kaca saat melihatnya.
"Selamat Hari Ibu, Ibu. I love you," ucap Kaisa tulus, membuat Keira sekuat tenaga menahan air matanya agar tak terjatuh.
Raykarian tersenyum melihat Kaisa yang sedang menatap ibunya dengan lekat. Tangan kanannya terulur mengusap pucuk kepala Kaisa dengan penuh sayang.
Keira tersenyum bahagia, "Thank you, Sayang. I love you too, so much."
Kaisa beranjak dari duduknya, lantas mencium pipi Keira dan memeluknya dengan erat. Membuat setitik air mata Keira menetes. Tangan kanannya segera menghapusnya dan menciumi wajah Kaisa dengan penuh sayang.
"Kaisa tahu dari mana kalau hari ini itu Hari Ibu?" tanya Keira ingin tahu.
"Oma," jawab Kaisa, "kemarin Oma yang kasih tahu Kaisa."
Keira kembali memeluk Kaisa. Ia pun teringat saat bundanya menelpon dan berbicara cukup lama dengan Kaisa. Ingatannya kembali ke masa kecilnya, ketika ia mewakili kelasnya untuk membaca puisi di perayaan Hari Ibu di sekolah kala itu. Senyumnya tersungging saat mengingat gurunya yang sekarang menjadi bundanya membantu menjawab pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Pertanyaan tentang sosok bunda yang tak dimilikinya sejak lahir.
"Buat Ayah mana?" tanya Raykarian yang membuat Kaisa melepaskan pelukan ibunya.
"Tak de! Ini Hari Ibu, bukan Hari Ayah," elak Kaisa.
"Jadi, nggak ada hadiah buat Ayah?" ujar Raykarian berpura-pura sedih.
"Kongsi," sahut Kaisa dengan logat melayunya, "ya kan Bu?!"
Keira mengangguk seraya mengambil cupcakes kedua dan menyodorkannya di hadapan Raykarian, "Love cupcakes buat Ayah," ucap Keira sebelum menyuapkannya kepada Raykarian.
Raykarian tersenyum. Kemudian menggigit cupcakes itu dan mengunyahnya dengan perlahan.
"Enak tak?" tanya Kaisa.
"Enak," puji Raykarian.
"Ayah tak kasih Ibu hadiah ke?" Kaisa bertanya seraya bergelayut manja di pangkuan ibunya.
"Sudah," jawab Raykarian singkat sebelum meminum kopinya.
"Iya ke?! Hadiah apa itu Yah?"
"Rahsia!"
Keira tertawa saat mendengar jawaban singkat dari Raykarian. Jawaban yang mampu membuat wajah Kaisa memberengut karena kesal.
"Ayah! Kaisa nak tahulah!" pekik Kaisa kesal.
"Rahsia!" sahut Raykarian kembali, meniru ucapan Kaisa dengan logat melayunya.
"Ayah!!! Jangan tiru cakap Kaisa!" geram Kaisa.
"Sudah! Sekarang kita makan," tutur Keira melerai Kaisa dan suaminya yang sepertinya akan memulai keributan.
Raykarian mengulum senyumnya, seraya memandang Keira yang sedang memberikan hand sanitizer di kedua telapak tangan Kaisa. Kedua matanya tak lepas memandang Keira dan Kaisa. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Raykarian kala melihat senyuman manis dari istri dan putri semata wayangnya. Apa pun akan dilakukannya untuk bisa selalu membuat keduanya tersenyum bahagia.
Tbc.
***
-280417-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top